Tristan memutuskan untuk menghubungi sahabatnya, Evan, yang selalu menjadi tempatnya berbagi pikiran dan masalah. Mereka berjanji bertemu di sebuah cafe yang tenang di pinggir kota, tempat favorit mereka untuk berbincang. Setibanya di cafe, Tristan melihat Evan sudah duduk di sudut ruangan, menyesap kopi sambil membaca koran. Tristan menarik kursi dan duduk di hadapan Evan, yang langsung menyadari raut wajah sahabatnya yang tampak kusut dan penuh beban. "Ada apa, Tristan? Kau terlihat seperti membawa beban dunia di pundakmu," kata Evan sambil menaruh koran dan menatap sahabatnya dengan penuh perhatian. Tristan menarik napas panjang sebelum mulai bercerita. "Evan, ada banyak hal yang harus aku sampaikan. Ini bukan hal yang mudah untukku." Evan mengangguk, memberi isyarat agar Tristan melanjutkan. "Kemarin, Om Abraham menawarkanku bantuan untuk menyelamatkan perusahaan. Tapi dia memberiku syarat yang tidak mungkin aku terima," Tristan berhenti sejenak untuk meneguk kopinya. "Syara
Meskipun Stella sudah bilang bahwa ia merasa geli, tetapi Tristan terus saja mengelus perutnya. Tristan mengelus perut Stella dengan lembut, seolah-olah ia sedang mencoba merasakan keberadaan buah hatinya. Senyum kecil terukir di wajahnya, mata penuh dengan kasih sayang dan harapan. "Sudah, berapa lama lagi kamu akan melakukan ini?" tanya Stella, kala Tristan terus saja mengelus perutnya. "Sampai aku puas," jawab Tristan sambil terus mengelus perut Stella dengan lembut. "Aku tidak sabar menunggu untuk melihatnya." Stella tersenyum, merasa hangat dengan perhatian yang diberikan Tristan. "Dia mungkin sedang tidur nyenyak. Aku juga tidak sabar menunggu saat itu tiba, saat kita bisa melihatnya dan memeluknya." Tristan menatap mata Stella dalam-dalam. "Kita akan menjadi orang tua yang baik, Sayang. Aku akan melakukan apa saja untuk memastikan kamu dan anak kita bahagia." Stella merasakan kehangatan dalam kata-kata Tristan. "Aku tahu kamu akan menjadi ayah yang luar biasa, Tristan
Tristan menghela napas berat. Dia melirik ke arah Stella yang ada di sampingnya, lelaki itu merasa bingung, apakah ia akan pergi ke kantor atau tetap berada di sisi Stella? "Aku akan segera ke kantor," jawab Tristan tegas. "Siapkan semua yang diperlukan untuk rapat." Tristan lalu mengakhiri sambungan teleponnya. Stella sedari tadi yang mendengar percakapan itu. Dia menatap Tristan dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. "Ada apa, Tristan?" "Para dewan direksi meminta rapat dadakan hari ini. Aku harus segera ke kantor," jawab Tristan sambil bersiap-siap. Stella langsung bangkit dari tempat duduknya. "Aku ikut ke kantor. Sudah beberapa hari aku tidak bekerja, dan aku yakin Dafina juga membutuhkanku di sana." Tristan menatap Stella dengan ragu. "Sayang, kamu masih butuh istirahat. Kondisimu belum pulih sepenuhnya." "Tapi aku merasa lebih baik sekarang." Stella bersikeras. "Lagipula, aku adalah sekretarismu. Aku harus berada di sana untuk membantumu." "Sayang, aku tidak ingin kamu m
Rapat berakhir dengan suasana yang masih tegang. Semua orang yang berada di ruang rapat segera keluar, meninggalkan ruangan dalam keheningan yang sarat akan kekecewaan. Abraham berjalan keluar dengan raut wajah marah, tak bisa menyembunyikan rasa kecewanya terhadap keputusan Tristan. Weni mengikutinya, tatapan matanya kosong dan penuh ketidakpercayaan. Dia tak pernah menyangka bahwa Tristan dan Stella sudah berpacaran dan bahkan Tristan menolaknya mentah-mentah. Di dalam ruang rapat hanya tersisa Damian, Dafina, Stella, dan Tristan. Dafina masih terkejut dengan apa yang baru saja terungkap. Dia tidak pernah menyangka bahwa Stella telah memacari atasannya, terutama karena menurutnya, Stella hanya mengenal Tristan selama beberapa bulan. Sementara itu, dia sendiri sudah hampir tiga tahun menjadi sekretaris Tristan, tapi Tristan tak pernah sekalipun meliriknya dengan cara yang sama. Dafina memberanikan diri untuk berbicara, meskipun hatinya sedikit tercabik. "Tuan Tristan, maaf selama i
"Stella," panggil Dafina ketika melihat Stella sudah kembali ke meja kerjanya. "Ada apa?" tanya Stella sambil tersenyum. Sebelum mengatakan sesuatu, Dafina menghela napas panjang terlebih dahulu. "Aku ingin minta maaf." Stella mengernyitkan keningnya. "Untuk apa?" "Selama ini aku sudah berbuat jahat padamu. Maaf, aku tidak tahu bila kamu adalah wanita yang dicintai oleh Tuan Tristan." Stella terdiam sejenak, lalu tersenyum ke arah Dafina yang ada di sampingnya. "Dafina, tidak perlu merasa bersalah. Kita semua punya masa lalu dan kekhilafan. Yang penting sekarang adalah bagaimana kita memperbaikinya." Dafina menunduk, ia merasa malu karena selama ini sudah berperilaku tidak baik kepada Stella. "Aku benar-benar tidak tahu. Aku pikir wanita yang dicintai Tuan Tristan itu adalah Weni." Stella mengangguk mengerti. "Banyak yang berpikir begitu. Bahkan aku pun sempat ragu dengan perasaannya. Tapi akhirnya semua terungkap." Dafina menarik napas dalam-dalam. "Aku juga merasa iri padamu
Ting! Tong! Ting! Tong! Sejak tadi Stella menekan bel apartemen Tristan, tetapi Tristan tak kunjung membuka pintu. Setelah Stella mengetahui bahwa semua yang ia alami di gudang adalah ulah dari Maya, sahabatnya, Stella merasa kecewa. Pasalnya, selama ini ia mengira bahwa Maya adalah sahabat baiknya, tetapi kenyataannya salah. Maya malah bekerja sama dengan Weni untuk menyakitinya. Stella merasa hatinya hancur. Pikiran tentang pengkhianatan Maya dan manipulasi Weni berputar-putar di kepalanya. Stella menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Namun, rasa sakit dan kekecewaan terlalu besar untuk ditahan. Ia kembali menekan bel, berharap Tristan segera membukakan pintu. Di dalam apartemen, Tristan sedang mengancingkan kemejanya. Ia baru saja selesai mandi dan bersiap-siap untuk membuka pintu ketika mendengar bel pintu berbunyi. Tristan merasa heran siapa yang datang di sore ini. Ia berjalan cepat menuju pintu, suara bel yang terus berbunyi menambah rasa cemasnya. "Iya,
Ramon tersenyum canggung ketika melihat Stella sudah membuka pintu. "Hai, Stella. Aku tahu ini mendadak, tapi aku benar-benar perlu bicara denganmu." Stella mengerutkan kening, bingung dan sedikit waspada kepada mantannya tersebut. Pasalnya, semenjak ia mengetahui perselingkuhan Ramon dengan Almira, ia belum bertemu Ramon sampai saat ini. "Aku tidak ingin bicara denganmu. Pergilah." "Tapi aku ingin bicara denganmu, Stella. Aku hanya ... bisa kita bicara sebentar? Aku mohon. Ini penting," pinta Ramon dengan nada memohon. Stella menghela napas, mencoba menenangkan diri. "Apalagi yang ingin kamu bicarakan? Bukannya semuanya sudah berakhir?" Ramon menghela napas panjang sebelum menjawab. "Stella, aku tahu hubungan kita sudah berakhir, tapi ada sesuatu yang harus aku sampaikan. Aku menyesal atas semua yang terjadi di masa lalu. Aku merasa harus meminta maaf langsung padamu." Stella terdiam sejenak, memproses kata-kata Ramon. "Ramon, itu semua sudah berlalu. Aku sudah melanjutkan
"Stella? Stella bangun!" Ramon mengguncang tubuh Stella dengan lembut, mencoba membangunkannya. Ramon yang masih panik melihat ke arah Almira yang masih terpaku. "Almira, lihat apa yang kamu lakukan! Dia pingsan!" teriak Ramon. Almira mundur beberapa langkah, ia terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. "Aku ... aku tidak bermaksud ...," gumamnya dengan suara gemetar. Ramon mengangkat tubuh Stella dengan hati-hati dan membawanya ke dalam rumah. "Kita harus membawanya ke dalam," kata Ramon dengan nada tegas sambil menggendong Stella ala bridal style. Almira hanya bisa menatap Ramon dan Stella dengan perasaan bersalah. Dia akhirnya membantu Ramon untuk membawa Stella masuk ke dalam. Ramon membawa Stella ke sofa di ruang tamu dan meletakkannya dengan hati-hati. Dia mencoba membangunkannya lagi dengan menepuk pipi Stella perlahan. "Stella, bangunlah. Kamu baik-baik saja?" Setelah beberapa saat, Stella mulai sadar. Dia membuka matanya perlahan, masih terlihat bingung dan lemah. "