"Apa kamu tidak tahu bahwa Pak Samsul memutuskan kontrak kerja dengan perusahaan kita?" tanya Dafina. "Apa? Kenapa bisa Pak Samsul memutuskan kontrak kerja?" Stella bertanya dengan bingung. "Pak Samsul sudah tahu bahwa perusahaan kita sedang ada dalam masalah karena tidak bisa memenuhi tenggat waktu proyek. Begitu juga dengan para investor lainnya, mereka menarik saham mereka," jelas Dafina. Stella terdiam, mencoba mencerna informasi yang baru saja didengarnya. Masalah perusahaan ini tentu akan menambah beban pikiran Tristan, dan kabar tentang kehamilannya mungkin hanya akan memperkeruh suasana. "Bantu aku mengurus beberapa dokumen," pinta Dafina. Stella hanya mengangguk. Ketika melihat Dafina sudah kembali ke meja kerjanya, Stella melihat ke arah ruang kerja Tristan lagi. Ia lalu memandangi test pack yang ada di genggamannya. Mungkin untuk sekarang, Stella belum bisa memberitahu Tristan. Ia tak ingin menambah beban yang dimiliki oleh kekasihnya itu. Dengan berat hati, Stella
Stella mengepalkan tangannya dan meremas test pack yang ada di genggamannya ketika mendengar ponsel Tristan berbunyi begitu nyaring. "Sebentar, aku angkat telepon dulu," kata Tristan sambil mengangkat panggilan tersebut. Stella menghela napas gusar, memasukkan kembali test pack yang dibawanya ke dalam tasnya. ‘Mungkin ini bukan waktu yang tepat,’ gumam Stella dalam hatinya. Sebenarnya ia ingin mengungkapkan kehamilannya pada Tristan sekarang juga, tetapi ia belum menemukan waktu yang tepat. Beberapa saat kemudian, Tristan telah selesai berbicara dengan orang yang menghubunginya. Lelaki yang masih mengenakan jas berwarna hitam itu menaruh ponselnya di atas meja dan kembali melihat ke arah Stella. "Om Abraham barusan menghubungiku, dia ingin bertemu denganku sekarang juga," kata Tristan. Stella menghela napas panjang ketika mendengar itu. Ia berusaha untuk tersenyum dan bangkit dari duduknya. "Pergilah, mungkin ini waktu yang tepat untukmu berbicara dengan Om Abraham," ujar Stella.
Dalam perjalanan pulang, Tristan mencoba memikirkan solusinya. Pikirannya bercabang ke mana-mana. Dia tidak tahu harus berbuat apa, keputusan yang akan diambilnya nanti bukan hanya berdampak pada dirinya sendiri, tetapi juga pada orang-orang di sekitarnya, termasuk Stella. Tristan menghela napas panjang saat mobilnya berhenti di depan rumah. Perasaan gelisah dan beban berat menghimpit hatinya. Pikiran tentang tawaran Abraham dan masa depan perusahaan terus berputar di kepalanya. Bagaimana mungkin dia bisa menikahi Weni, wanita yang tidak dicintainya, sementara hatinya sudah sejak lama tertambat pada Stella? Setelah memarkir mobil, Tristan turun dan berjalan cepat menuju pintu rumah. Begitu masuk, dia melihat ayahnya, Damian, dan ibunya, Imelda, duduk di sofa ruang tamu. Mereka tampak sedang berbincang serius. "Ma, Pa. Aku sudah pulang," sapa Tristan dengan suara datar. Damian menoleh dengan cepat dan tersenyum melihat putranya. "Tristan, kemarilah," panggilnya, mengisyaratkan Tris
"Tristan, kamu kenapa, Sayang?" panggil Imelda dengan cemas. Tristan yang masih memegang wastafel, berusaha menenangkan diri. "Aku tidak apa-apa, Ma. Mungkin cuma masuk angin," jawab Tristan dengan suara lemah. Imelda tidak puas dengan jawaban itu. Ia pun ingin memastikan kondisi anaknya lagi. "Buka pintunya, Tristan. Biar Mama lihat kondisimu." Tristan berjalan pelan ke arah pintu dan membukanya. Imelda langsung masuk dan melihat wajah putranya yang pucat. "Kamu kelihatan tidak sehat, Tristan. Mama panggil dokter saja, ya?" kata Imelda sambil menyentuh dahi Tristan untuk memeriksa suhu tubuhnya. "Tidak perlu, Ma. Aku cuma butuh istirahat sedikit lagi. Nanti juga sembuh," jawab Tristan mencoba meyakinkan ibunya. "Baiklah, tapi kalau sampai siang kamu masih merasa tidak enak, kita ke dokter," kata Imelda tegas. "Mama akan buatkan teh hangat untukmu." Imelda keluar dari kamar Tristan dan menuju dapur. Sementara itu, Tristan kembali duduk di tempat tidur, mencoba menenangkan pikir
“Tuan, Anda mau ke mana?!” teriak Dafina ketika melihat Tristan pergi begitu saja. Namun, Tristan sudah tidak mendengarnya. Dia bergegas menuju lift, berpikir hanya tentang Stella. Setibanya di lobi, Tristan segera memanggil sopirnya, Pak Rian. “Pak Rian, cepat siapkan mobil. Kita harus ke rumah Stella sekarang,” perintah Tristan dengan nada mendesak. “Baik, Tuan,” jawab Pak Rian sambil segera menuju mobil dan membukakan pintu untuk Tristan. Selama perjalanan, pikiran Tristan terus berkecamuk. Dia merasa sangat bodoh karena semalaman ponselnya dimatikan, sehingga membuatnya tidak tahu apa yang terjadi dengan Stella. “Kenapa aku tidak lebih perhatian padanya?” gumam Tristan pada dirinya sendiri. “Aku harus memastikan dia baik-baik saja.” Setelah beberapa waktu, mereka sampai di depan rumah Stella. Tristan segera keluar dari mobil dan berlari menuju pintu depan. Dengan cemas, ia mengetuk pintu beberapa kali.Tok! Tok! “Stella, ini aku, Tristan. Buka pintunya, Sayang!” panggil Tri
"Stella hamil?" gumamnya dengan suara hampir tak terdengar. Perasaannya campur aduk antara kaget, bingung, dan cemas. Tristan menatap alat tes itu lama, mencoba mencerna apa yang baru saja dilihatnya. Selimut yang awalnya ia cari sekarang terlupakan. Tristan merasa perlu bicara dengan Stella tentang ini, tetapi ia tidak ingin membangunkannya. Dengan perasaan berat, dia kembali ke ruang tamu, membawa selimut yang sempat diambilnya. Tristan menutupi tubuh Stella yang sedang tidur dengan selimut itu, kemudian duduk di sampingnya, matanya tak lepas dari wajah kekasihnya. Berbagai pikiran berputar di kepalanya, mencoba memahami apa yang harus mereka lakukan selanjutnya. "Kenapa kamu tidak memberitahuku, Stella?" bisik Tristan di telinga Stella dengan lembut. Tristan tahu bahwa masalah ini perlu diselesaikan bersama. Tetapi untuk saat ini, dia hanya bisa menunggu hingga Stella bangun dan mereka bisa membicarakan segalanya. Perasaannya campur aduk, tetapi satu hal yang pasti: dia akan tet
Tristan memutuskan untuk menghubungi sahabatnya, Evan, yang selalu menjadi tempatnya berbagi pikiran dan masalah. Mereka berjanji bertemu di sebuah cafe yang tenang di pinggir kota, tempat favorit mereka untuk berbincang. Setibanya di cafe, Tristan melihat Evan sudah duduk di sudut ruangan, menyesap kopi sambil membaca koran. Tristan menarik kursi dan duduk di hadapan Evan, yang langsung menyadari raut wajah sahabatnya yang tampak kusut dan penuh beban. "Ada apa, Tristan? Kau terlihat seperti membawa beban dunia di pundakmu," kata Evan sambil menaruh koran dan menatap sahabatnya dengan penuh perhatian. Tristan menarik napas panjang sebelum mulai bercerita. "Evan, ada banyak hal yang harus aku sampaikan. Ini bukan hal yang mudah untukku." Evan mengangguk, memberi isyarat agar Tristan melanjutkan. "Kemarin, Om Abraham menawarkanku bantuan untuk menyelamatkan perusahaan. Tapi dia memberiku syarat yang tidak mungkin aku terima," Tristan berhenti sejenak untuk meneguk kopinya. "Syara
Meskipun Stella sudah bilang bahwa ia merasa geli, tetapi Tristan terus saja mengelus perutnya. Tristan mengelus perut Stella dengan lembut, seolah-olah ia sedang mencoba merasakan keberadaan buah hatinya. Senyum kecil terukir di wajahnya, mata penuh dengan kasih sayang dan harapan. "Sudah, berapa lama lagi kamu akan melakukan ini?" tanya Stella, kala Tristan terus saja mengelus perutnya. "Sampai aku puas," jawab Tristan sambil terus mengelus perut Stella dengan lembut. "Aku tidak sabar menunggu untuk melihatnya." Stella tersenyum, merasa hangat dengan perhatian yang diberikan Tristan. "Dia mungkin sedang tidur nyenyak. Aku juga tidak sabar menunggu saat itu tiba, saat kita bisa melihatnya dan memeluknya." Tristan menatap mata Stella dalam-dalam. "Kita akan menjadi orang tua yang baik, Sayang. Aku akan melakukan apa saja untuk memastikan kamu dan anak kita bahagia." Stella merasakan kehangatan dalam kata-kata Tristan. "Aku tahu kamu akan menjadi ayah yang luar biasa, Tristan
Keesokan paginya, Stella terbangun dengan sinar matahari yang menyelinap masuk melalui celah-celah tirai kamar. Dia merasa segar setelah tidur nyenyak semalam. Dia menoleh ke samping dan melihat Tristan masih tertidur pulas di sebelahnya. Wajahnya tampak damai dan bahagia. Stella bangkit perlahan dari tempat tidur, berusaha tidak membuat suara yang bisa membangunkan Tristan. Dia berjalan menuju kamar mandi untuk bersiap-siap menghadapi hari baru sebagai seorang istri. Ketika Stella selesai bersiap, dia keluar dari kamar mandi dan menemukan Tristan yang sudah bangun dan sedang duduk di tepi tempat tidur. "Selamat pagi," sapa Tristan dengan senyum lebar. "Selamat pagi," balas Stella sambil menghampiri Tristan dan duduk di sampingnya. "Apa kau tidur nyenyak?" tanya Tristan sambil mengusap lembut rambut Stella yang masih basah. "Ya, terima kasih. Kamu?" balas Stella sambil menatap mata Tristan dengan penuh cinta. "Aku juga. Ini hari pertama kita sebagai suami istri. Apa rencana
"Hay Stella," sapa Weni dengan senyum ramah. "Oh, iya, aku hanya kaget saja. Aku pikir kamu tidak akan datang," jawab Stella, yang juga tersenyum ke arah Weni. "Aku pasti datang, Stella. Selamat ya," ucap Weni dengan tulus. Stella dan Tristan memang sempat ragu untuk mengundang Weni ke pernikahan mereka, terutama dengan apa yang terjadi belakangan ini. Weni masih bersikukuh untuk mendapatkan hati Tristan kembali. Namun, Tristan tak goyah dengan pendiriannya untuk terus bersama Stella. Meskipun beberapa orang menentang pernikahan mereka, terutama karena sebelumnya Weni menginginkan pernikahan bisnis dengan Tristan untuk membantu perusahaan yang dikelola Tristan, tapi Tristan tetap menolaknya. Tristan lebih memilih cara lain. Ia bahkan pergi ke luar negeri untuk mengurus semuanya dan bekerja sama dengan perusahaan asing. Setelah kembali ke Indonesia, usaha keras Tristan membuahkan hasil. Ia akhirnya bisa membangun kembali perusahaan keluarganya tanpa harus bergantung pada perni
Stella memandangi dirinya dalam cermin, memperhatikan gaunnya yang terlihat begitu indah. Gaun itu berwarna putih gading dengan desain klasik yang elegan. Potongan A-line yang membentuk siluet tubuhnya dengan sempurna, sementara renda halus menghiasi bagian atas gaun, memberikan sentuhan romantis. Tali bahu yang tipis menambahkan kesan anggun, dan ekor gaun yang panjang menambah kemegahan penampilannya. Veil yang panjang menutupi punggungnya, melengkapi penampilan yang sempurna sebagai pengantin. Hari ini adalah hari pernikahannya dengan Tristan. Ia tak menyangka bila akhirnya bisa menikah dengan pria yang begitu dicintainya. Stella teringat kembali saat-saat ketika ia dan Tristan pertama kali bertemu kembali di kantor. Waktu itu, Tristan menggantikan Damian sebagai CEO, dan Stella menjadi sekretarisnya. Mereka tak sengaja bertemu di ruang rapat saat Tristan baru saja mengambil alih jabatan. Stella merasa canggung, tapi Tristan dengan senyum hangatnya membuat Stella merasa nyaman. Pe
"Tristan," gumam Stella lirih, matanya sudah berkaca-kaca ketika melihat Tristan yang ada di hadapannya kini. Tristan malam ini tampil begitu menawan dengan kemeja hitam yang pas di tubuhnya dan celana panjang berwarna senada. Rambutnya disisir rapi, dan ia membawa buket bunga mawar merah yang cantik di tangannya. Cahaya lilin yang redup membuat penampilannya terlihat semakin mempesona. "Stella," kata Tristan ketika melihat Stella yang hanya terdiam. "Ini beneran kamu?" tanya Stella, mencoba untuk memastikan bahwa yang dilihatnya bukan sekadar ilusi. Tristan mengangguk dan memberikan buket bunga mawar yang cantik kepada Stella. Stella meraih bunga tersebut dengan perasaan kesal. "Jahat," gumamnya. "Jahat?" tanya Tristan sambil mengerutkan keningnya, ia merasa bingung. "Kamu jahat," kata Stella dengan suara serak. "Aku sudah menghubungi bahkan mengirim banyak pesan kepadamu, tapi kamu tidak membalasnya." Tristan tersenyum, lalu mengusap air mata yang jatuh di pipi Stell
"Sayang, bangun, ini sudah jam 8 pagi. Apa kamu mau tidur terus?" Safira membangunkan anaknya, Stella, yang masih tidur begitu pulas. Ia mengelus rambut Stella dengan lembut, berharap putri kesayangannya itu bangun. Stella menggeliat ketika merasakan tangan hangat ibunya mengelus rambutnya. "Stella masih ngantuk," gumamnya, yang masih enggan untuk bangun. "Ini udah pagi, Sayang. Mama sudah siapin sarapan, kita sarapan bareng, ya." "Hm, Stella nggak laper," jawab Stella dengan suara serak. "Tadi malam kamu juga makannya cuma sedikit. Sekarang harus makan lagi, ya." "Tapi, Ma ...." "Hust, nurut sama mama, ya. Di luar juga ada seseorang yang ingin bertemu dengan kamu." Stella langsung membuka matanya lebar-lebar ketika ibunya berkata ada seseorang di luar. "Siapa, Ma?" "Temui dia, dia bilang sudah kangen sama kamu." "Mm, iya deh, Ma," ujar Stella sambil bangun dari tidurnya. Ia pun menyingkap selimut dan mulai merapikan rambutnya yang masih berantakan. Namun, ketika Stel
"Ya, tiba-tiba ada urusan keluarga yang harus aku selesaikan, dan aku juga mau menemui kamu. Aku nggak bisa tinggal lama di Jakarta," kata Elsa dengan nada menyesal. Stella menghela napas panjang. "Aku mengerti, tapi aku terkejut mendengar itu. Lalu bagaimana dengan pekerjaanmu di Jakarta?" Elsa tertawa kecil. "Tenang, Stella. Aku cuma sebentar di Jogja. Lagi pula, aku ingin memastikan kamu baik-baik saja. Aku sudah kangen sama kamu. Memangnya kamu gak kangen sama aku?" Stella tersenyum lemah. "Hm, ya, aku juga kangen sama kamu." Stella menghela napas lega. "Baiklah. Aku akan menunggumu di sini." "Aku akan segera menemui kamu, Stella. Kita bisa ngobrol banyak hal seperti biasa," ujar Elsa dengan nada meyakinkan. "Baiklah. Jaga diri di perjalanan, ya. Dan segera hubungi aku kalau sudah sampai Jogja," kata Stella dengan suara pelan. "Pasti, Stella. Kamu juga jaga diri baik-baik. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi aku. Aku selalu siap buat kamu," balas Elsa. "Terima kasih,
Safira terlihat sedikit terkejut dengan reaksi Stella, tetapi ia tetap tenang. "Mama hanya ingin yang terbaik untukmu, Sayang. Tristan tidak ada di sini sekarang, dan mama khawatir kamu akan sendirian mengurus semuanya." Stella menggelengkan kepalanya. "Aku tidak butuh orang lain, Ma. Aku bisa mengurus diriku sendiri dan bayiku." Emir yang sedari tadi diam, kini angkat bicara. "Stella, kami hanya ingin memastikan kamu tidak sendirian. Kami tahu ini berat, tapi coba beri kesempatan." Stella mendesah, ia merasa frustrasi, begitu bingung dengan sikap kedua orang tuanya. "Aku sudah bilang, aku tidak butuh orang lain. Aku hanya ingin fokus pada kesehatanku dan bayiku." Safira mencoba mendekati Stella dan memegang tangannya. "Sayang, mama mengerti perasaanmu. Tapi setidaknya, temuilah dia. Tidak ada salahnya berteman, 'kan?" Stella menarik tangannya dari genggaman Safira. "Ma, aku sudah punya Tristan. Meski dia tidak ada di sini sekarang, aku yakin dia akan kembali dan bertanggung jawa
Stella baru saja selesai mandi dan berjalan ke arah meja. Wanita yang masih mengenakan bathrobe itu segera meraih ponselnya yang ada di atas meja. Ia membuka layar ponselnya dan memeriksa pesan serta panggilan yang masuk. Namun, tak ada satu pun panggilan maupun pesan dari kekasihnya, Tristan. "Apa dia begitu sibuk sampai tak mengabariku?" gumam Stella sambil memandangi ponsel yang ada digenggamannya. Rasa cemas mulai menyelimuti hatinya. Stella pun mencoba untuk menghubungi Tristan, namun ponsel lelaki itu ternyata tidak aktif. Rasa kecewanya semakin bertambah. Akhirnya, Stella memutuskan untuk mencoba menghubungi Dafina, sekretaris Tristan yang ikut pergi ke luar negeri. Ia berharap mendapatkan kabar tentang Tristan dari Dafina. Stella menunggu beberapa saat hingga panggilannya terhubung. "Halo, Dafina?" sapa Stella dengan nada penuh harap. "Halo, Stella. Ada apa?" balas Dafina dari ujung telepon. "Dafina, aku khawatir karena tidak bisa menghubungi Tristan. Ponselnya tid
Stella sudah berulang kali menegaskan bahwa ia tidak ingin meninggalkan Jakarta, tapi ibunya tetap saja bersikeras. Safira terus melipat baju-baju Stella dan memasukkannya ke dalam koper dengan cepat. "Ma, aku sudah bilang aku gak mau," rengek Stella, suaranya terdengar putus asa ketika melihat ibunya yang tak berhenti memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Safira menghela napas panjang dan menatap Stella dengan mata penuh kasih sayang. "Sebentar saja, Stella. Memangnya kamu tidak mau melihat adik-adikmu dan papamu di kampung?" Stella menghela napas panjang, ia merasa terpojok. "Baiklah, tapi aku tidak mau Mama membawa semua baju-bajuku. Aku masih punya banyak urusan di sini." Safira tersenyum sedikit, ia merasa senang karena Stella mulai luluh. "Mama hanya membawa beberapa bajumu saja. Sekarang, bersiaplah. Kamu mandi dulu. Mama takut kita akan ketinggalan kereta." Stella mengangguk dengan enggan. "Hm, baiklah." Stella berjalan gontai menuju kamar mandi, merasa berat hati