Di tengah riuh rendah pesta ulang tahun perusahaan, Stella melangkah perlahan menuju meja prasmanan. Matanya terpaku pada pemandangan yang membuat jantungnya berdegup kencang. Di sampingnya, tiba-tiba seorang lelaki yang familiar berdiri dengan tenang, tersenyum kepadanya sambil menikmati makanan ringan. "Kenapa kamu begitu kaget melihatku seperti itu, ada yang salah?" tanya Daniel, memperhatikan ekspresi terkejut Stella. Ya, lelaki itu adalah Daniel, pria yang sering Stella temui akhir-akhir ini di berbagai tempat secara kebetulan. Stella merasa aneh melihatnya di sini, di pesta ulang tahun perusahaan tempatnya bekerja. Stella tersenyum tipis, berusaha menutupi kegelisahannya. "Aku hanya tidak percaya kamu ada di sini," jawabnya singkat, matanya masih menatap Daniel dengan penuh tanya. Daniel tertawa kecil, suaranya terdengar ramah dan hangat. "Kenapa? Bukannya pekerjaanku sebagai jurnalis memungkinkan aku untuk hadir di berbagai acara? Apa tidak boleh aku ikut berpesta kema
Stella terkejut dengan tuduhan itu. "Itu bukan seperti yang kamu pikirkan! Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku dan Daniel menyukai model dasi yang sama, dan itu stoknya tinggal satu. Jadi, sebagai gantinya aku terpaksa memilihkan dasi untuknya. Aku tidak tahu kalau dia itu kakakmu, Tristan." "Jadi kamu tidak tahu siapa dia? Kamu tidak tahu bahwa dia adalah kakakku? Apa kamu tidak sadar betapa dia mencoba mengganggu hidupku?" Tristan bertanya dengan nada penuh ketidakpercayaan. "Tristan, aku tidak tahu dia adalah bagian dari keluargamu sampai tadi malam ini! Bagaimana aku bisa tahu semua ini?" Stella merasa frustrasi, suaranya mulai bergetar. Tristan menggelengkan kepala, matanya penuh dengan kemarahan dan kekecewaan. "Kamu selalu punya alasan, Stella. Tapi kali ini, kamu sudah melampaui batas. Aku sudah memperingatkanmu untuk menjauh dari dia." "Aku tidak pernah bermaksud untuk melukai perasaanmu atau mengkhianati kepercayaanmu. Daniel hanya muncul begitu saja di hidupku, dan
Plak! Suara tamparan itu begitu keras memenuhi ruangan, membuat semua orang terdiam. Wajah Stella tertoleh ke samping, ruangan itu begitu hening, hanya terdengar suara tamparan menggema yang menyakitkan di antara mereka. Namun, Stella sama sekali tak merasakan sakit pada wajahnya. Stella begitu bingung, Tristan mengarahkan tangan kepadanya, tetapi dia tidak merasakan sakit akibat tamparan Tristan. Stella langsung membuka matanya yang sempat tertutup dan melihat ke arah Tristan kembali. Namun, yang dilihatnya membuatnya terkejut—pipi Tristan yang merah, dan ternyata Tristan menampar wajahnya sendiri. "Tristan, apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu menampar wajahmu sendiri?" tanya Stella dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca. Namun, Tristan hanya terdiam memandangnya. Almira, yang juga ikut kaget dengan tingkah kakaknya, berteriak, "Kak! Aku menyuruhmu untuk menampar wanita ini, bukan malah menampar dirimu sendiri!" Tristan lalu menatap ke arah adiknya, Almira. "Apa kamu suda
Seorang lelaki yang mengenakan jas berwarna hitam melangkahkan kakinya memasuki ballroom yang sudah sepi. Sorot matanya begitu teduh saat ia melihat sosok lelaki paruh baya yang tengah duduk di kursi sendirian, menatap ke luar jendela gedung. "Papa," sahut Daniel yang sudah berada di dekat ayahnya, Damian. "Kamu masih ingat bahwa aku ini ayahmu?" tanya Damian yang masih fokus menatap ke luar jendela tanpa melihat ke arah Daniel. "Pa, walau bagaimanapun juga, aku adalah anakmu," kata Daniel dengan suara pelan, mencoba menahan emosinya. Damian mengetuk jari jemarinya di kursi yang ia duduki. Ia tersenyum sinis sambil berkata, "Anak? Jadi, kamu masih ingat bahwa kamu adalah anakku? Lalu di mana kamu ketika perusahaan kita mengalami kebangkrutan? Kamu malah pergi begitu saja, meninggalkan rumah saat aku menyuruhmu tetap tinggal dan membantu menjalankan bisnis keluarga kita." Damian menatap tajam ke arah Daniel. "Kamu malah pergi meninggalkan kami yang sedang terpuruk dan malah mengej
Stella perlahan membuka matanya saat merasakan sinar matahari hangat menerpa wajahnya. Sepasang bola matanya mengerjap dengan gerakan pelan, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya pagi. Namun, ketenangannya segera terganggu oleh bunyi alarm yang keras dari jam di atas nakas. Dengan cepat, tangannya terulur meraih jam tersebut, mematikannya, lalu melemparnya ke samping tempat tidur. "Kepalaku pusing sekali," gumam Stella sambil menyentuh kepalanya yang terasa berat dan berdenyut. Wanita dengan rambut panjang sebahu yang masih acak-acakan khas bangun tidur itu menyibakkan selimutnya, bersiap turun dari kasur. Namun, rasa mual yang tiba-tiba menyerang membuatnya terhenti. "Hooekk! Hooeekkk!" Stella menutup mulutnya dengan tangan dan langsung berlari ke kamar mandi. "Hooeekk! Hooeekk!" Stella membuka kran wastafel, membasuh mulutnya yang terasa sangat mual. "Kenapa aku mual sekali?" gumam Stella sambil menatap wajahnya yang pucat di depan cermin. Pikirannya mencoba mencari jaw
Stella menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, "Elsa, aku hamil." Mata Elsa membulat karena terkejut. "Apa? Kamu yakin?" Stella mengangguk, menunjukkan hasil tes kehamilan yang masih tergeletak di meja. "Aku sudah memeriksanya beberapa kali. Semua hasilnya sama." Elsa mengambil beberapa test pack yang tergeletak di meja, sepasang matanya membulat sempurna ketika melihat dua garis pada setiap test pack tersebut. "Astaga, Stella, kenapa kamu bisa hamil? Anak siapa yang ada di dalam rahimmu? Apa anak Tristan?" Elsa menatap lekat ke arah Stella, mencari jawaban di mata sahabatnya. Stella tidak bisa menahan tangisnya lagi. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, air mata mengalir deras di pipinya. "Hiks! Aku ... aku tidak tahu harus berkata apa, Elsa," isaknya. Elsa menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sebelum berbicara lagi. Ia kemudian duduk di samping Stella, menggenggam tangan sahabatnya dengan erat. "Stella, kamu harus tenang. Ceritakan semuanya dari a
"Apa kamu tidak tahu bahwa Pak Samsul memutuskan kontrak kerja dengan perusahaan kita?" tanya Dafina. "Apa? Kenapa bisa Pak Samsul memutuskan kontrak kerja?" Stella bertanya dengan bingung. "Pak Samsul sudah tahu bahwa perusahaan kita sedang ada dalam masalah karena tidak bisa memenuhi tenggat waktu proyek. Begitu juga dengan para investor lainnya, mereka menarik saham mereka," jelas Dafina. Stella terdiam, mencoba mencerna informasi yang baru saja didengarnya. Masalah perusahaan ini tentu akan menambah beban pikiran Tristan, dan kabar tentang kehamilannya mungkin hanya akan memperkeruh suasana. "Bantu aku mengurus beberapa dokumen," pinta Dafina. Stella hanya mengangguk. Ketika melihat Dafina sudah kembali ke meja kerjanya, Stella melihat ke arah ruang kerja Tristan lagi. Ia lalu memandangi test pack yang ada di genggamannya. Mungkin untuk sekarang, Stella belum bisa memberitahu Tristan. Ia tak ingin menambah beban yang dimiliki oleh kekasihnya itu. Dengan berat hati, Stella
Stella mengepalkan tangannya dan meremas test pack yang ada di genggamannya ketika mendengar ponsel Tristan berbunyi begitu nyaring. "Sebentar, aku angkat telepon dulu," kata Tristan sambil mengangkat panggilan tersebut. Stella menghela napas gusar, memasukkan kembali test pack yang dibawanya ke dalam tasnya. ‘Mungkin ini bukan waktu yang tepat,’ gumam Stella dalam hatinya. Sebenarnya ia ingin mengungkapkan kehamilannya pada Tristan sekarang juga, tetapi ia belum menemukan waktu yang tepat. Beberapa saat kemudian, Tristan telah selesai berbicara dengan orang yang menghubunginya. Lelaki yang masih mengenakan jas berwarna hitam itu menaruh ponselnya di atas meja dan kembali melihat ke arah Stella. "Om Abraham barusan menghubungiku, dia ingin bertemu denganku sekarang juga," kata Tristan. Stella menghela napas panjang ketika mendengar itu. Ia berusaha untuk tersenyum dan bangkit dari duduknya. "Pergilah, mungkin ini waktu yang tepat untukmu berbicara dengan Om Abraham," ujar Stella.
Keesokan paginya, Stella terbangun dengan sinar matahari yang menyelinap masuk melalui celah-celah tirai kamar. Dia merasa segar setelah tidur nyenyak semalam. Dia menoleh ke samping dan melihat Tristan masih tertidur pulas di sebelahnya. Wajahnya tampak damai dan bahagia. Stella bangkit perlahan dari tempat tidur, berusaha tidak membuat suara yang bisa membangunkan Tristan. Dia berjalan menuju kamar mandi untuk bersiap-siap menghadapi hari baru sebagai seorang istri. Ketika Stella selesai bersiap, dia keluar dari kamar mandi dan menemukan Tristan yang sudah bangun dan sedang duduk di tepi tempat tidur. "Selamat pagi," sapa Tristan dengan senyum lebar. "Selamat pagi," balas Stella sambil menghampiri Tristan dan duduk di sampingnya. "Apa kau tidur nyenyak?" tanya Tristan sambil mengusap lembut rambut Stella yang masih basah. "Ya, terima kasih. Kamu?" balas Stella sambil menatap mata Tristan dengan penuh cinta. "Aku juga. Ini hari pertama kita sebagai suami istri. Apa rencana
"Hay Stella," sapa Weni dengan senyum ramah. "Oh, iya, aku hanya kaget saja. Aku pikir kamu tidak akan datang," jawab Stella, yang juga tersenyum ke arah Weni. "Aku pasti datang, Stella. Selamat ya," ucap Weni dengan tulus. Stella dan Tristan memang sempat ragu untuk mengundang Weni ke pernikahan mereka, terutama dengan apa yang terjadi belakangan ini. Weni masih bersikukuh untuk mendapatkan hati Tristan kembali. Namun, Tristan tak goyah dengan pendiriannya untuk terus bersama Stella. Meskipun beberapa orang menentang pernikahan mereka, terutama karena sebelumnya Weni menginginkan pernikahan bisnis dengan Tristan untuk membantu perusahaan yang dikelola Tristan, tapi Tristan tetap menolaknya. Tristan lebih memilih cara lain. Ia bahkan pergi ke luar negeri untuk mengurus semuanya dan bekerja sama dengan perusahaan asing. Setelah kembali ke Indonesia, usaha keras Tristan membuahkan hasil. Ia akhirnya bisa membangun kembali perusahaan keluarganya tanpa harus bergantung pada perni
Stella memandangi dirinya dalam cermin, memperhatikan gaunnya yang terlihat begitu indah. Gaun itu berwarna putih gading dengan desain klasik yang elegan. Potongan A-line yang membentuk siluet tubuhnya dengan sempurna, sementara renda halus menghiasi bagian atas gaun, memberikan sentuhan romantis. Tali bahu yang tipis menambahkan kesan anggun, dan ekor gaun yang panjang menambah kemegahan penampilannya. Veil yang panjang menutupi punggungnya, melengkapi penampilan yang sempurna sebagai pengantin. Hari ini adalah hari pernikahannya dengan Tristan. Ia tak menyangka bila akhirnya bisa menikah dengan pria yang begitu dicintainya. Stella teringat kembali saat-saat ketika ia dan Tristan pertama kali bertemu kembali di kantor. Waktu itu, Tristan menggantikan Damian sebagai CEO, dan Stella menjadi sekretarisnya. Mereka tak sengaja bertemu di ruang rapat saat Tristan baru saja mengambil alih jabatan. Stella merasa canggung, tapi Tristan dengan senyum hangatnya membuat Stella merasa nyaman. Pe
"Tristan," gumam Stella lirih, matanya sudah berkaca-kaca ketika melihat Tristan yang ada di hadapannya kini. Tristan malam ini tampil begitu menawan dengan kemeja hitam yang pas di tubuhnya dan celana panjang berwarna senada. Rambutnya disisir rapi, dan ia membawa buket bunga mawar merah yang cantik di tangannya. Cahaya lilin yang redup membuat penampilannya terlihat semakin mempesona. "Stella," kata Tristan ketika melihat Stella yang hanya terdiam. "Ini beneran kamu?" tanya Stella, mencoba untuk memastikan bahwa yang dilihatnya bukan sekadar ilusi. Tristan mengangguk dan memberikan buket bunga mawar yang cantik kepada Stella. Stella meraih bunga tersebut dengan perasaan kesal. "Jahat," gumamnya. "Jahat?" tanya Tristan sambil mengerutkan keningnya, ia merasa bingung. "Kamu jahat," kata Stella dengan suara serak. "Aku sudah menghubungi bahkan mengirim banyak pesan kepadamu, tapi kamu tidak membalasnya." Tristan tersenyum, lalu mengusap air mata yang jatuh di pipi Stell
"Sayang, bangun, ini sudah jam 8 pagi. Apa kamu mau tidur terus?" Safira membangunkan anaknya, Stella, yang masih tidur begitu pulas. Ia mengelus rambut Stella dengan lembut, berharap putri kesayangannya itu bangun. Stella menggeliat ketika merasakan tangan hangat ibunya mengelus rambutnya. "Stella masih ngantuk," gumamnya, yang masih enggan untuk bangun. "Ini udah pagi, Sayang. Mama sudah siapin sarapan, kita sarapan bareng, ya." "Hm, Stella nggak laper," jawab Stella dengan suara serak. "Tadi malam kamu juga makannya cuma sedikit. Sekarang harus makan lagi, ya." "Tapi, Ma ...." "Hust, nurut sama mama, ya. Di luar juga ada seseorang yang ingin bertemu dengan kamu." Stella langsung membuka matanya lebar-lebar ketika ibunya berkata ada seseorang di luar. "Siapa, Ma?" "Temui dia, dia bilang sudah kangen sama kamu." "Mm, iya deh, Ma," ujar Stella sambil bangun dari tidurnya. Ia pun menyingkap selimut dan mulai merapikan rambutnya yang masih berantakan. Namun, ketika Stel
"Ya, tiba-tiba ada urusan keluarga yang harus aku selesaikan, dan aku juga mau menemui kamu. Aku nggak bisa tinggal lama di Jakarta," kata Elsa dengan nada menyesal. Stella menghela napas panjang. "Aku mengerti, tapi aku terkejut mendengar itu. Lalu bagaimana dengan pekerjaanmu di Jakarta?" Elsa tertawa kecil. "Tenang, Stella. Aku cuma sebentar di Jogja. Lagi pula, aku ingin memastikan kamu baik-baik saja. Aku sudah kangen sama kamu. Memangnya kamu gak kangen sama aku?" Stella tersenyum lemah. "Hm, ya, aku juga kangen sama kamu." Stella menghela napas lega. "Baiklah. Aku akan menunggumu di sini." "Aku akan segera menemui kamu, Stella. Kita bisa ngobrol banyak hal seperti biasa," ujar Elsa dengan nada meyakinkan. "Baiklah. Jaga diri di perjalanan, ya. Dan segera hubungi aku kalau sudah sampai Jogja," kata Stella dengan suara pelan. "Pasti, Stella. Kamu juga jaga diri baik-baik. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi aku. Aku selalu siap buat kamu," balas Elsa. "Terima kasih,
Safira terlihat sedikit terkejut dengan reaksi Stella, tetapi ia tetap tenang. "Mama hanya ingin yang terbaik untukmu, Sayang. Tristan tidak ada di sini sekarang, dan mama khawatir kamu akan sendirian mengurus semuanya." Stella menggelengkan kepalanya. "Aku tidak butuh orang lain, Ma. Aku bisa mengurus diriku sendiri dan bayiku." Emir yang sedari tadi diam, kini angkat bicara. "Stella, kami hanya ingin memastikan kamu tidak sendirian. Kami tahu ini berat, tapi coba beri kesempatan." Stella mendesah, ia merasa frustrasi, begitu bingung dengan sikap kedua orang tuanya. "Aku sudah bilang, aku tidak butuh orang lain. Aku hanya ingin fokus pada kesehatanku dan bayiku." Safira mencoba mendekati Stella dan memegang tangannya. "Sayang, mama mengerti perasaanmu. Tapi setidaknya, temuilah dia. Tidak ada salahnya berteman, 'kan?" Stella menarik tangannya dari genggaman Safira. "Ma, aku sudah punya Tristan. Meski dia tidak ada di sini sekarang, aku yakin dia akan kembali dan bertanggung jawa
Stella baru saja selesai mandi dan berjalan ke arah meja. Wanita yang masih mengenakan bathrobe itu segera meraih ponselnya yang ada di atas meja. Ia membuka layar ponselnya dan memeriksa pesan serta panggilan yang masuk. Namun, tak ada satu pun panggilan maupun pesan dari kekasihnya, Tristan. "Apa dia begitu sibuk sampai tak mengabariku?" gumam Stella sambil memandangi ponsel yang ada digenggamannya. Rasa cemas mulai menyelimuti hatinya. Stella pun mencoba untuk menghubungi Tristan, namun ponsel lelaki itu ternyata tidak aktif. Rasa kecewanya semakin bertambah. Akhirnya, Stella memutuskan untuk mencoba menghubungi Dafina, sekretaris Tristan yang ikut pergi ke luar negeri. Ia berharap mendapatkan kabar tentang Tristan dari Dafina. Stella menunggu beberapa saat hingga panggilannya terhubung. "Halo, Dafina?" sapa Stella dengan nada penuh harap. "Halo, Stella. Ada apa?" balas Dafina dari ujung telepon. "Dafina, aku khawatir karena tidak bisa menghubungi Tristan. Ponselnya tid
Stella sudah berulang kali menegaskan bahwa ia tidak ingin meninggalkan Jakarta, tapi ibunya tetap saja bersikeras. Safira terus melipat baju-baju Stella dan memasukkannya ke dalam koper dengan cepat. "Ma, aku sudah bilang aku gak mau," rengek Stella, suaranya terdengar putus asa ketika melihat ibunya yang tak berhenti memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Safira menghela napas panjang dan menatap Stella dengan mata penuh kasih sayang. "Sebentar saja, Stella. Memangnya kamu tidak mau melihat adik-adikmu dan papamu di kampung?" Stella menghela napas panjang, ia merasa terpojok. "Baiklah, tapi aku tidak mau Mama membawa semua baju-bajuku. Aku masih punya banyak urusan di sini." Safira tersenyum sedikit, ia merasa senang karena Stella mulai luluh. "Mama hanya membawa beberapa bajumu saja. Sekarang, bersiaplah. Kamu mandi dulu. Mama takut kita akan ketinggalan kereta." Stella mengangguk dengan enggan. "Hm, baiklah." Stella berjalan gontai menuju kamar mandi, merasa berat hati