Malam telah larut, dan jarum pendek jam menunjukkan pukul sebelas. Di dalam kantor yang sepi begitu hening, Tristan masih terperangkap di balik pintu ruang kerjanya yang tertutup. Stella, yang telah lama menanti di luar, mulai diliputi kekhawatiran. Sejak rapat sore tadi, Tristan tak kunjung menampakkan diri. “Pak Mimin, apakah makanan yang saya pesan sudah tiba?” tanya Stella, mencoba menyembunyikan kegelisahannya ketika Pak Mimin mulai menghampirinya dengan membawa beberapa kantong kresek berwarna putih. “Ya, Nona Stella. Ini, makanan Anda,” sahut Pak Mimin, penjaga keamanan kantor, sambil menyerahkan beberapa kantong plastik. “Oh, baik, terima kasih, Pak Mimin,” kata Stella bangkit dari kursinya sambil mengambil kresek tersebut. “Sama-sama Nona Stella,” ujar Pak Mimin yang langsung pergi dari hadapan Stella. Dengan langkah yang berat, Stella mendekati pintu ruang kerja Tristan, tangannya penuh dengan kantong plastik berisi makanan. Begitu pintu terbuka, sosok Stella yang anggu
Stella memandangi pintu ruang kerja Tristan yang terbuka lebar. Ia bergidik melihat kedatangan Evan, yang membawa Almira bersamanya. Stella merasa sulit untuk menahan amarahnya saat melihat Almira berada di kantor. Wanita itu sudah merebut Ramon darinya, dan kini ia bahkan sudah berani muncul di kantor. Stella teringat pertikaiannya dengan Almira beberapa hari lalu, yang bermula dari kesalah pahamannya. Stella mengira Almira merebut Tristan darinya seperti yang dilakukan gadis itu saat mengambil Ramon darinya juga. Namun, Stella tidak menyangka bahwa wanita itu ternyata adalah adik dari kekasihnya, Tristan. Sepasang mata mereka bertubrukan. Seakan ada energi negatif yang tersimpan di antara dua wanita itu. Perasaan benci yang mendalam terus mengikis hati keduanya sejak kejadian itu. Namun, sesaat setelah itu, Stella menyadari bahwa ia harus mengubah sikapnya. Ia tidak bisa terus menyimpan kebencian karena kesalahpahaman yang terjadi. Ada hal yang perlu ia ketahui dari Almira, ali
Suara deru mesin kendaraan terdengar memasuki pekarangan rumah. Tristan menghentikan laju mobilnya ketika sudah sampai di kontrakan Stella. “Kamu gak mampir dulu?” tanya Stella sambil melepaskan sabuk pengamannya. Tristan melihat arloji di tangan kirinya. Jarum pendeknya menunjuk ke angka delapan. “Tidak, aku langsung pulang saja,” jawabnya. “Baiklah, hati-hati di jalan,” ujar Stella sambil membuka pintu mobil, membawa kresek berisi makanan. Setelah menutup pintu mobil, Stella mengingatkan Tristan. “Nanti kalau sudah sampai rumah, jangan lupa ngabarin.” Tristan mengangguk. “Ok, bye,” pamitnya sambil melambaikan tangan. “Bye,” balas Stella. Setelah melihat mobil Tristan meninggalkan pandangannya, Stella melanjutkan langkahnya untuk masuk ke dalam rumah. Tepat ketika Stella membuka pintu, Elsa keluar dari kamarnya. “Stell, kamu pulang sama Tristan?” tanya Elsa. “Iya, kamu gak kerja?” Stella merasa heran ketika sahabatnya itu sudah berada di rumah, padahal biasanya Elsa sering pu
Tok! Tok! Tok! Tristan meletakkan ponselnya di meja dan mengalihkan perhatiannya ke arah pintu ketika mendengar ada yang mengetuknya. “Aku ingin bicara,” ucap Almira dengan suara lirih. “Masuklah,” sahut Tristan, mempersilakan adiknya masuk. Almira melangkah masuk dan duduk di kursi berlapis kulit di depan meja Tristan. “Apa yang ingin kamu bicarakan?” tanya Tristan. Almira menggigit bibirnya sejenak sebelum akhirnya berbicara. “Kak, aku rasa kamu tidak perlu memiliki dua sekretaris. Bukankah selama ini Dafina sudah menjadi sekretarismu? Dia bahkan sudah bekerja denganmu selama dua tahun. Aku rasa ... Dafina orangnya cerdas, dia bisa menyeimbangkan dirimu.” Tristan mengangkat alisnya, menatap Almira dengan bingung. “Apa maksudmu?” tanyanya. Almira menjawab tanpa ragu. “Aku rasa keadaan Stella di kantor sudah tidak diharapkan. Kenapa tidak memecatnya saja?” Tristan menghela napas gusar. Dia masih ingat betul pertikaian antara adiknya dan Stella di kantor. “Dengar, Alm
Ketika Stella berada di butik baju, tiba-tiba saja ada seorang lelaki yang menghampirinya. Lelaki itu memiliki wajah kotak dan terlihat tampan. “Kamu ...?” “Kamu juga ada di sini?” tanya lelaki tersebut sambil menatap Stella dengan tatapan yang manis. Stella mengangguk dan menjawab, “Iya, aku sedang mencari dasi. Kamu sejak kapan ada di Jakarta?” “Sudah beberapa hari, ada pekerjaan yang harus aku urus di sini,” jawab lelaki itu dengan sopan. “Oh, begitu,” gumam Stella. Lelaki tersebut melihat ke arah dasi yang telah ia pilih. “Apa kamu juga menyukai dasi ini?” tanya Daniel. Stella tersenyum sambil mengangguk. “Iya, aku sangat menyukainya,” ujarnya. “Selera kita sama,” timpal Daniel. Lelaki tampan itu lalu memanggil karyawan butik. “Pelayan, apa ada model dasi yang sama seperti ini?” tanyanya pada karyawan butik yang terdekat. “I'm sorry, Pak. Stok dasi ini hanya tersisa satu,” jawab karyawan tersebut dengan cepat. Daniel begitu kecewa ketika mendapatkan jawaban bahwa stok das
Tok! Tok! Tok! Stella langsung mendorong tubuh Tristan agar menjauh darinya ketika wanita itu mendengar ada yang mengetuk pintu. Wanita cantik itu pun langsung turun dari atas meja. “Maaf, permisi, saya mau mengambil jam tangan Pak Damian, beliau bilang jam tangannya ada di ruang ganti,” ucap karyawan hotel tersebut sambil masuk ke dalam kamar. Tristan mengangguk sambil menunjukkan ke arah sofa di mana jam tersebut berada. “Jam tangannya ada di sana.” “Baik, terima kasih!” Karyawan hotel itu pun segera mengambil jam tangan Damian dan pamit untuk pergi. Stella merasa lega ketika orang itu sudah pergi, namun Tristan langsung menatapnya dan berkata, “Kita lanjutkan lagi.” Stella langsung menggeleng cepat. “Tidak, kita sudah terlambat, apalagi kamu yang belum siap dari tadi. Aku tidak ingin ada yang memergoki kita lagi,” tolak Stella dengan tegas. Tristan merasa sedikit gusar, namun akhirnya mengalah dan memutuskan untuk tidak melanjutkan lagi. Stella lalu mengambil dasi yang masih
Weni melangkah perlahan mendekati Tristan, senyum manis terus terukir di wajahnya. Ia memakai gaun ungu yang menjadikannya semakin menawan. Semua mata yang melihatnya begitu terpesona. “Selamat malam, Om Damian. Tristan,” sapa Weni seraya memberikan senyuman terbaiknya. “Selamat ulang tahun untuk perusahaan Wishnutama. Dan Tristan, selamat karena kamu yang akan menggantikan Om Damian sebagai CEO.” Damian tersenyum melihat kedatangan Weni. “Terima kasih, Weni. Terima kasih juga karena sudah datang malam ini,” jawab Damian dengan lirih. Tristan merasa canggung dengan kedatangan Weni. Namun, ia berusaha tersenyum ramah sambil memberikan jawaban pada ucapan Weni. “Terima kasih, Weni. Sangat senang melihatmu kembali.” Weni tak menghiraukan kecanggungan Tristan. Ia terus tersenyum sambil memperhatikan wajah tampan Tristan. “Wah, ini tempat yang sangat nyaman, ya? Om Damian, Anda begitu hebat karena telah memilih tempat ini,” puji Weni. Damian tersenyum ramah mendengar pujian dari Weni
Stella yang merasa terasingkan lebih memilih pergi meninggalkan mereka. Wanita cantik itu pun berjalan ke arah Damian yang sedang berdiri bersama rekan-rekan kerjanya. Ia berusaha tetap tenang, meskipun hatinya terasa berat dengan suasana yang terjadi. Dengan langkah tegas, Stella meraih segelas jus jeruk dari pelayan yang membawa nampan. Ia berniat memberikan jus jeruk itu kepada Damian, terlebih ia tahu mantan CEO-nya itu suka sekali dengan es jeruk. “Pak Damian, sedari tadi Anda terus menyapa para tamu, minumlah dulu. Anda pasti haus,” kata Stella sambil memberikan es jeruk itu kepada Damian. Damian tersenyum hangat saat menerima gelas dari Stella. “Terima kasih, Stella. Kamu selalu tahu apa yang aku butuhkan,” ujarnya sambil mengangkat gelasnya dan meminum jus jeruk itu. Rekan-rekan kerja Damian yang berdiri di sekelilingnya mengangguk menyapa Stella dengan ramah. Mereka tampak terkesan dengan sikap perhatian Stella. “Stella, apa kabar? Kami mendengar kamu sedang sibuk men
Keesokan paginya, Stella terbangun dengan sinar matahari yang menyelinap masuk melalui celah-celah tirai kamar. Dia merasa segar setelah tidur nyenyak semalam. Dia menoleh ke samping dan melihat Tristan masih tertidur pulas di sebelahnya. Wajahnya tampak damai dan bahagia. Stella bangkit perlahan dari tempat tidur, berusaha tidak membuat suara yang bisa membangunkan Tristan. Dia berjalan menuju kamar mandi untuk bersiap-siap menghadapi hari baru sebagai seorang istri. Ketika Stella selesai bersiap, dia keluar dari kamar mandi dan menemukan Tristan yang sudah bangun dan sedang duduk di tepi tempat tidur. "Selamat pagi," sapa Tristan dengan senyum lebar. "Selamat pagi," balas Stella sambil menghampiri Tristan dan duduk di sampingnya. "Apa kau tidur nyenyak?" tanya Tristan sambil mengusap lembut rambut Stella yang masih basah. "Ya, terima kasih. Kamu?" balas Stella sambil menatap mata Tristan dengan penuh cinta. "Aku juga. Ini hari pertama kita sebagai suami istri. Apa rencana
"Hay Stella," sapa Weni dengan senyum ramah. "Oh, iya, aku hanya kaget saja. Aku pikir kamu tidak akan datang," jawab Stella, yang juga tersenyum ke arah Weni. "Aku pasti datang, Stella. Selamat ya," ucap Weni dengan tulus. Stella dan Tristan memang sempat ragu untuk mengundang Weni ke pernikahan mereka, terutama dengan apa yang terjadi belakangan ini. Weni masih bersikukuh untuk mendapatkan hati Tristan kembali. Namun, Tristan tak goyah dengan pendiriannya untuk terus bersama Stella. Meskipun beberapa orang menentang pernikahan mereka, terutama karena sebelumnya Weni menginginkan pernikahan bisnis dengan Tristan untuk membantu perusahaan yang dikelola Tristan, tapi Tristan tetap menolaknya. Tristan lebih memilih cara lain. Ia bahkan pergi ke luar negeri untuk mengurus semuanya dan bekerja sama dengan perusahaan asing. Setelah kembali ke Indonesia, usaha keras Tristan membuahkan hasil. Ia akhirnya bisa membangun kembali perusahaan keluarganya tanpa harus bergantung pada perni
Stella memandangi dirinya dalam cermin, memperhatikan gaunnya yang terlihat begitu indah. Gaun itu berwarna putih gading dengan desain klasik yang elegan. Potongan A-line yang membentuk siluet tubuhnya dengan sempurna, sementara renda halus menghiasi bagian atas gaun, memberikan sentuhan romantis. Tali bahu yang tipis menambahkan kesan anggun, dan ekor gaun yang panjang menambah kemegahan penampilannya. Veil yang panjang menutupi punggungnya, melengkapi penampilan yang sempurna sebagai pengantin. Hari ini adalah hari pernikahannya dengan Tristan. Ia tak menyangka bila akhirnya bisa menikah dengan pria yang begitu dicintainya. Stella teringat kembali saat-saat ketika ia dan Tristan pertama kali bertemu kembali di kantor. Waktu itu, Tristan menggantikan Damian sebagai CEO, dan Stella menjadi sekretarisnya. Mereka tak sengaja bertemu di ruang rapat saat Tristan baru saja mengambil alih jabatan. Stella merasa canggung, tapi Tristan dengan senyum hangatnya membuat Stella merasa nyaman. Pe
"Tristan," gumam Stella lirih, matanya sudah berkaca-kaca ketika melihat Tristan yang ada di hadapannya kini. Tristan malam ini tampil begitu menawan dengan kemeja hitam yang pas di tubuhnya dan celana panjang berwarna senada. Rambutnya disisir rapi, dan ia membawa buket bunga mawar merah yang cantik di tangannya. Cahaya lilin yang redup membuat penampilannya terlihat semakin mempesona. "Stella," kata Tristan ketika melihat Stella yang hanya terdiam. "Ini beneran kamu?" tanya Stella, mencoba untuk memastikan bahwa yang dilihatnya bukan sekadar ilusi. Tristan mengangguk dan memberikan buket bunga mawar yang cantik kepada Stella. Stella meraih bunga tersebut dengan perasaan kesal. "Jahat," gumamnya. "Jahat?" tanya Tristan sambil mengerutkan keningnya, ia merasa bingung. "Kamu jahat," kata Stella dengan suara serak. "Aku sudah menghubungi bahkan mengirim banyak pesan kepadamu, tapi kamu tidak membalasnya." Tristan tersenyum, lalu mengusap air mata yang jatuh di pipi Stell
"Sayang, bangun, ini sudah jam 8 pagi. Apa kamu mau tidur terus?" Safira membangunkan anaknya, Stella, yang masih tidur begitu pulas. Ia mengelus rambut Stella dengan lembut, berharap putri kesayangannya itu bangun. Stella menggeliat ketika merasakan tangan hangat ibunya mengelus rambutnya. "Stella masih ngantuk," gumamnya, yang masih enggan untuk bangun. "Ini udah pagi, Sayang. Mama sudah siapin sarapan, kita sarapan bareng, ya." "Hm, Stella nggak laper," jawab Stella dengan suara serak. "Tadi malam kamu juga makannya cuma sedikit. Sekarang harus makan lagi, ya." "Tapi, Ma ...." "Hust, nurut sama mama, ya. Di luar juga ada seseorang yang ingin bertemu dengan kamu." Stella langsung membuka matanya lebar-lebar ketika ibunya berkata ada seseorang di luar. "Siapa, Ma?" "Temui dia, dia bilang sudah kangen sama kamu." "Mm, iya deh, Ma," ujar Stella sambil bangun dari tidurnya. Ia pun menyingkap selimut dan mulai merapikan rambutnya yang masih berantakan. Namun, ketika Stel
"Ya, tiba-tiba ada urusan keluarga yang harus aku selesaikan, dan aku juga mau menemui kamu. Aku nggak bisa tinggal lama di Jakarta," kata Elsa dengan nada menyesal. Stella menghela napas panjang. "Aku mengerti, tapi aku terkejut mendengar itu. Lalu bagaimana dengan pekerjaanmu di Jakarta?" Elsa tertawa kecil. "Tenang, Stella. Aku cuma sebentar di Jogja. Lagi pula, aku ingin memastikan kamu baik-baik saja. Aku sudah kangen sama kamu. Memangnya kamu gak kangen sama aku?" Stella tersenyum lemah. "Hm, ya, aku juga kangen sama kamu." Stella menghela napas lega. "Baiklah. Aku akan menunggumu di sini." "Aku akan segera menemui kamu, Stella. Kita bisa ngobrol banyak hal seperti biasa," ujar Elsa dengan nada meyakinkan. "Baiklah. Jaga diri di perjalanan, ya. Dan segera hubungi aku kalau sudah sampai Jogja," kata Stella dengan suara pelan. "Pasti, Stella. Kamu juga jaga diri baik-baik. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi aku. Aku selalu siap buat kamu," balas Elsa. "Terima kasih,
Safira terlihat sedikit terkejut dengan reaksi Stella, tetapi ia tetap tenang. "Mama hanya ingin yang terbaik untukmu, Sayang. Tristan tidak ada di sini sekarang, dan mama khawatir kamu akan sendirian mengurus semuanya." Stella menggelengkan kepalanya. "Aku tidak butuh orang lain, Ma. Aku bisa mengurus diriku sendiri dan bayiku." Emir yang sedari tadi diam, kini angkat bicara. "Stella, kami hanya ingin memastikan kamu tidak sendirian. Kami tahu ini berat, tapi coba beri kesempatan." Stella mendesah, ia merasa frustrasi, begitu bingung dengan sikap kedua orang tuanya. "Aku sudah bilang, aku tidak butuh orang lain. Aku hanya ingin fokus pada kesehatanku dan bayiku." Safira mencoba mendekati Stella dan memegang tangannya. "Sayang, mama mengerti perasaanmu. Tapi setidaknya, temuilah dia. Tidak ada salahnya berteman, 'kan?" Stella menarik tangannya dari genggaman Safira. "Ma, aku sudah punya Tristan. Meski dia tidak ada di sini sekarang, aku yakin dia akan kembali dan bertanggung jawa
Stella baru saja selesai mandi dan berjalan ke arah meja. Wanita yang masih mengenakan bathrobe itu segera meraih ponselnya yang ada di atas meja. Ia membuka layar ponselnya dan memeriksa pesan serta panggilan yang masuk. Namun, tak ada satu pun panggilan maupun pesan dari kekasihnya, Tristan. "Apa dia begitu sibuk sampai tak mengabariku?" gumam Stella sambil memandangi ponsel yang ada digenggamannya. Rasa cemas mulai menyelimuti hatinya. Stella pun mencoba untuk menghubungi Tristan, namun ponsel lelaki itu ternyata tidak aktif. Rasa kecewanya semakin bertambah. Akhirnya, Stella memutuskan untuk mencoba menghubungi Dafina, sekretaris Tristan yang ikut pergi ke luar negeri. Ia berharap mendapatkan kabar tentang Tristan dari Dafina. Stella menunggu beberapa saat hingga panggilannya terhubung. "Halo, Dafina?" sapa Stella dengan nada penuh harap. "Halo, Stella. Ada apa?" balas Dafina dari ujung telepon. "Dafina, aku khawatir karena tidak bisa menghubungi Tristan. Ponselnya tid
Stella sudah berulang kali menegaskan bahwa ia tidak ingin meninggalkan Jakarta, tapi ibunya tetap saja bersikeras. Safira terus melipat baju-baju Stella dan memasukkannya ke dalam koper dengan cepat. "Ma, aku sudah bilang aku gak mau," rengek Stella, suaranya terdengar putus asa ketika melihat ibunya yang tak berhenti memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Safira menghela napas panjang dan menatap Stella dengan mata penuh kasih sayang. "Sebentar saja, Stella. Memangnya kamu tidak mau melihat adik-adikmu dan papamu di kampung?" Stella menghela napas panjang, ia merasa terpojok. "Baiklah, tapi aku tidak mau Mama membawa semua baju-bajuku. Aku masih punya banyak urusan di sini." Safira tersenyum sedikit, ia merasa senang karena Stella mulai luluh. "Mama hanya membawa beberapa bajumu saja. Sekarang, bersiaplah. Kamu mandi dulu. Mama takut kita akan ketinggalan kereta." Stella mengangguk dengan enggan. "Hm, baiklah." Stella berjalan gontai menuju kamar mandi, merasa berat hati