Tok! Tok! Tok! Tristan meletakkan ponselnya di meja dan mengalihkan perhatiannya ke arah pintu ketika mendengar ada yang mengetuknya. “Aku ingin bicara,” ucap Almira dengan suara lirih. “Masuklah,” sahut Tristan, mempersilakan adiknya masuk. Almira melangkah masuk dan duduk di kursi berlapis kulit di depan meja Tristan. “Apa yang ingin kamu bicarakan?” tanya Tristan. Almira menggigit bibirnya sejenak sebelum akhirnya berbicara. “Kak, aku rasa kamu tidak perlu memiliki dua sekretaris. Bukankah selama ini Dafina sudah menjadi sekretarismu? Dia bahkan sudah bekerja denganmu selama dua tahun. Aku rasa ... Dafina orangnya cerdas, dia bisa menyeimbangkan dirimu.” Tristan mengangkat alisnya, menatap Almira dengan bingung. “Apa maksudmu?” tanyanya. Almira menjawab tanpa ragu. “Aku rasa keadaan Stella di kantor sudah tidak diharapkan. Kenapa tidak memecatnya saja?” Tristan menghela napas gusar. Dia masih ingat betul pertikaian antara adiknya dan Stella di kantor. “Dengar, Alm
Ketika Stella berada di butik baju, tiba-tiba saja ada seorang lelaki yang menghampirinya. Lelaki itu memiliki wajah kotak dan terlihat tampan. “Kamu ...?” “Kamu juga ada di sini?” tanya lelaki tersebut sambil menatap Stella dengan tatapan yang manis. Stella mengangguk dan menjawab, “Iya, aku sedang mencari dasi. Kamu sejak kapan ada di Jakarta?” “Sudah beberapa hari, ada pekerjaan yang harus aku urus di sini,” jawab lelaki itu dengan sopan. “Oh, begitu,” gumam Stella. Lelaki tersebut melihat ke arah dasi yang telah ia pilih. “Apa kamu juga menyukai dasi ini?” tanya Daniel. Stella tersenyum sambil mengangguk. “Iya, aku sangat menyukainya,” ujarnya. “Selera kita sama,” timpal Daniel. Lelaki tampan itu lalu memanggil karyawan butik. “Pelayan, apa ada model dasi yang sama seperti ini?” tanyanya pada karyawan butik yang terdekat. “I'm sorry, Pak. Stok dasi ini hanya tersisa satu,” jawab karyawan tersebut dengan cepat. Daniel begitu kecewa ketika mendapatkan jawaban bahwa stok das
Tok! Tok! Tok! Stella langsung mendorong tubuh Tristan agar menjauh darinya ketika wanita itu mendengar ada yang mengetuk pintu. Wanita cantik itu pun langsung turun dari atas meja. “Maaf, permisi, saya mau mengambil jam tangan Pak Damian, beliau bilang jam tangannya ada di ruang ganti,” ucap karyawan hotel tersebut sambil masuk ke dalam kamar. Tristan mengangguk sambil menunjukkan ke arah sofa di mana jam tersebut berada. “Jam tangannya ada di sana.” “Baik, terima kasih!” Karyawan hotel itu pun segera mengambil jam tangan Damian dan pamit untuk pergi. Stella merasa lega ketika orang itu sudah pergi, namun Tristan langsung menatapnya dan berkata, “Kita lanjutkan lagi.” Stella langsung menggeleng cepat. “Tidak, kita sudah terlambat, apalagi kamu yang belum siap dari tadi. Aku tidak ingin ada yang memergoki kita lagi,” tolak Stella dengan tegas. Tristan merasa sedikit gusar, namun akhirnya mengalah dan memutuskan untuk tidak melanjutkan lagi. Stella lalu mengambil dasi yang masih
Weni melangkah perlahan mendekati Tristan, senyum manis terus terukir di wajahnya. Ia memakai gaun ungu yang menjadikannya semakin menawan. Semua mata yang melihatnya begitu terpesona. “Selamat malam, Om Damian. Tristan,” sapa Weni seraya memberikan senyuman terbaiknya. “Selamat ulang tahun untuk perusahaan Wishnutama. Dan Tristan, selamat karena kamu yang akan menggantikan Om Damian sebagai CEO.” Damian tersenyum melihat kedatangan Weni. “Terima kasih, Weni. Terima kasih juga karena sudah datang malam ini,” jawab Damian dengan lirih. Tristan merasa canggung dengan kedatangan Weni. Namun, ia berusaha tersenyum ramah sambil memberikan jawaban pada ucapan Weni. “Terima kasih, Weni. Sangat senang melihatmu kembali.” Weni tak menghiraukan kecanggungan Tristan. Ia terus tersenyum sambil memperhatikan wajah tampan Tristan. “Wah, ini tempat yang sangat nyaman, ya? Om Damian, Anda begitu hebat karena telah memilih tempat ini,” puji Weni. Damian tersenyum ramah mendengar pujian dari Weni
Stella yang merasa terasingkan lebih memilih pergi meninggalkan mereka. Wanita cantik itu pun berjalan ke arah Damian yang sedang berdiri bersama rekan-rekan kerjanya. Ia berusaha tetap tenang, meskipun hatinya terasa berat dengan suasana yang terjadi. Dengan langkah tegas, Stella meraih segelas jus jeruk dari pelayan yang membawa nampan. Ia berniat memberikan jus jeruk itu kepada Damian, terlebih ia tahu mantan CEO-nya itu suka sekali dengan es jeruk. “Pak Damian, sedari tadi Anda terus menyapa para tamu, minumlah dulu. Anda pasti haus,” kata Stella sambil memberikan es jeruk itu kepada Damian. Damian tersenyum hangat saat menerima gelas dari Stella. “Terima kasih, Stella. Kamu selalu tahu apa yang aku butuhkan,” ujarnya sambil mengangkat gelasnya dan meminum jus jeruk itu. Rekan-rekan kerja Damian yang berdiri di sekelilingnya mengangguk menyapa Stella dengan ramah. Mereka tampak terkesan dengan sikap perhatian Stella. “Stella, apa kabar? Kami mendengar kamu sedang sibuk men
Di tengah riuh rendah pesta ulang tahun perusahaan, Stella melangkah perlahan menuju meja prasmanan. Matanya terpaku pada pemandangan yang membuat jantungnya berdegup kencang. Di sampingnya, tiba-tiba seorang lelaki yang familiar berdiri dengan tenang, tersenyum kepadanya sambil menikmati makanan ringan. "Kenapa kamu begitu kaget melihatku seperti itu, ada yang salah?" tanya Daniel, memperhatikan ekspresi terkejut Stella. Ya, lelaki itu adalah Daniel, pria yang sering Stella temui akhir-akhir ini di berbagai tempat secara kebetulan. Stella merasa aneh melihatnya di sini, di pesta ulang tahun perusahaan tempatnya bekerja. Stella tersenyum tipis, berusaha menutupi kegelisahannya. "Aku hanya tidak percaya kamu ada di sini," jawabnya singkat, matanya masih menatap Daniel dengan penuh tanya. Daniel tertawa kecil, suaranya terdengar ramah dan hangat. "Kenapa? Bukannya pekerjaanku sebagai jurnalis memungkinkan aku untuk hadir di berbagai acara? Apa tidak boleh aku ikut berpesta kema
Stella terkejut dengan tuduhan itu. "Itu bukan seperti yang kamu pikirkan! Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku dan Daniel menyukai model dasi yang sama, dan itu stoknya tinggal satu. Jadi, sebagai gantinya aku terpaksa memilihkan dasi untuknya. Aku tidak tahu kalau dia itu kakakmu, Tristan." "Jadi kamu tidak tahu siapa dia? Kamu tidak tahu bahwa dia adalah kakakku? Apa kamu tidak sadar betapa dia mencoba mengganggu hidupku?" Tristan bertanya dengan nada penuh ketidakpercayaan. "Tristan, aku tidak tahu dia adalah bagian dari keluargamu sampai tadi malam ini! Bagaimana aku bisa tahu semua ini?" Stella merasa frustrasi, suaranya mulai bergetar. Tristan menggelengkan kepala, matanya penuh dengan kemarahan dan kekecewaan. "Kamu selalu punya alasan, Stella. Tapi kali ini, kamu sudah melampaui batas. Aku sudah memperingatkanmu untuk menjauh dari dia." "Aku tidak pernah bermaksud untuk melukai perasaanmu atau mengkhianati kepercayaanmu. Daniel hanya muncul begitu saja di hidupku, dan
Plak! Suara tamparan itu begitu keras memenuhi ruangan, membuat semua orang terdiam. Wajah Stella tertoleh ke samping, ruangan itu begitu hening, hanya terdengar suara tamparan menggema yang menyakitkan di antara mereka. Namun, Stella sama sekali tak merasakan sakit pada wajahnya. Stella begitu bingung, Tristan mengarahkan tangan kepadanya, tetapi dia tidak merasakan sakit akibat tamparan Tristan. Stella langsung membuka matanya yang sempat tertutup dan melihat ke arah Tristan kembali. Namun, yang dilihatnya membuatnya terkejut—pipi Tristan yang merah, dan ternyata Tristan menampar wajahnya sendiri. "Tristan, apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu menampar wajahmu sendiri?" tanya Stella dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca. Namun, Tristan hanya terdiam memandangnya. Almira, yang juga ikut kaget dengan tingkah kakaknya, berteriak, "Kak! Aku menyuruhmu untuk menampar wanita ini, bukan malah menampar dirimu sendiri!" Tristan lalu menatap ke arah adiknya, Almira. "Apa kamu suda