“Apa tidak ada pertanyaan lain yang kamu miliki? Kenapa bisa-bisanya kamu bertanya seperti itu? Kenapa bisa kamu mengira bahwa aku sedang hamil?” cecar Stella, sambil menatap kesal Tristan.“Gejala yang kamu miliki memang mirip seperti orang hamil, makanya aku bertanya seperti itu,” imbuh Tristan.Stella terlihat begitu kesal. “Memangnya kamu pikir aku wanita apaan yang bisa langsung hamil?”“Bukannya kamu sudah punya pacar, siapa tahu kamu hamil oleh pacarmu!” sergah Tristan dengan ekspresi yang ikut kesal juga.Bibir Stella terkatup mendengar perkataan Tristan. “Dari mana kamu tahu kalau aku sudah punya pacar? Kalau bicara, jangan ngaco deh!”Dengan wajah yang masih terlihat kesal, Stella langsung meninggalkan Tristan dan keluar dari ruangan tersebut. Langkahnya begitu cepat, menunjukkan betapa marahnya dia terhadap pertanyaan yang tidak sepatutnya dari Tristan.Tristan hanya terdiam, merasa menyesal atas kata-katanya yang terl
Tristan langsung meraih tangan Stella dan membawa wanita itu ke dekatnya. “Kalau mau lihat, lihat punyaku saja,” kata Tristan, tiba-tiba lelaki itu menarik tubuh Stella ke arahnya. Dan wajah Stella mendarat tepat di depan dada bidang Tristan yang begitu indah, sampai membuat mata Stella membelalak sempurna.Deg … deg … deg ….Stella terdiam menikmati irama detak jantung Tristan yang berbunyi begitu merdu di telinganya. Kedekatan mereka membuat Stella terdiam, sampai lupa akan segala hal. Wanita itu memandang dengan intensitas yang membuatnya merasakan getaran aneh di dalam dirinya.Stella tak bisa menahan tangannya untuk meraih dada bidang Tristan, ia mengelusnya begitu lembut sampai membuat tubuh Tristan berdesir. Sentuhan lembutnya menyebabkan gemetar tak terelakkan yang melintasi tubuh Tristan.Manik mata Tristan mengikuti dengan penuh perhatian ke arah mana jemari Stella bergerak. Dia merasakan getaran aneh yang melintasi kulitnya saat sentuhan lembut Stella menyentuhnya. Hatinya
Elsa menatap Tristan dan Stella, kebingungan terukir jelas di wajahnya. “Apa yang sedang terjadi di sini? Kalian berdua ...?”Elsa mengambil tempat duduk di depan kedua orang tersebut, tatapannya bergeser dari Tristan ke Stella, seolah mencari jawaban yang tak terucap. “Beritahu aku, mengapa kalian berdua di sini, di kamar ini?”Stella, dengan garpu masih tergenggam di tangan, memandang Elsa dengan raut tidak senang. “Tidakkah kau lihat? Kami sedang menikmati makan malam,” ujarnya, suara kesalnya beradu dengan gemerisik daun-daun di luar jendela.Elsa mendekat, tekadnya tak tergoyahkan. Wanita itu ingin mencari tahu lebih jauh kedekatan Stella dan Tristan. “Hanya makan malam, begitu? Aku yakin ada yang lebih dari itu,” katanya, menuntut kebenaran yang tersembunyi di balik pertemuan rahasia mereka.Tristan menarik napas dalam, menatap Elsa dengan tatapan yang sulit diartikan. “Elsa, kau tahu kita sudah lama berteman. Tidak ada yang perlu dirahasiakan di antara kita,” katanya dengan sua
Dafina, yang sedang mengikat dasi Tristan, merasa kesal ketika Stella tiba-tiba datang ke ruangan tersebut tanpa mengetuk pintu. “Bisakah kamu lebih sopan lagi, Stella? Seharusnya kamu mengetuk pintu terlebih dahulu, bukannya langsung masuk saja,” omel Dafina.Stella hanya terdiam. Ia melangkah mundur lagi dan menutup pintu. Lalu, setelah itu, ia mengetuk pintu. Tok! Tok! Tok!Tristan menghela napas, merasa aneh ketika melihat tingkah Stella. “Masuklah, Stella,” titahnya.Setelah Tristan menyuruhnya untuk masuk, Stella pun masuk kembali dengan wajah yang masih tertekuk.Stella memasuki ruangan dengan wajah yang masih menunjukkan rasa tidak nyaman. “Tuan Tristan, saya minta maaf telah mengganggu Anda tadi,” ucapnya dengan suara yang rendah.Tristan mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Stella tidak perlu khawatir. “Tidak apa-apa, Stella. Sekarang, apa yang kamu bawa itu?” tanyanya, mengalihkan topik.Dengan semangat yang kembali, Stella menyerahkan surat perjanjian tersebut kepad
“Aduh, pantatku sakit sekali,” rengek Stella sambil menggosok-gosok pantatnya yang kesakitan.Tristan membantu Stella untuk bangkit. “Apa tidak apa-apa?” tanyanya dengan wajah khawatir.“Tidak apa-apa, apanya? Pantatku sakit sekali ...,” rengek Stella lagi. Ekspresi wajahnya berubah ketika ia menyadari bahwa Dafina ada di ruangan tersebut.“Oh, hahaha, tidak apa-apa, Tuan. Anda tidak perlu khawatir. Saya baik-baik saja kok,” ucap Stella sambil terkekeh. Setelah meyakinkan Tristan bahwa dia baik-baik saja meskipun dengan wajah yang terasa sedikit memerah karena malu, Stella merasa lega ketika Dafina tampaknya tidak mencurigai apa pun. Namun, kejadian tersebut membuatnya semakin ingin segera meninggalkan ruangan.“Tuan, ini tehnya,” kata Dafina sambil melangkah mendekati meja kerja Tristan.“Letakkan saja di meja,” tunjuk Tristan dengan matanya ke arah meja.“Baik, Tuan,” ujar Dafina, wanita yang memiliki lesung pipi itu langsung meletakkan secangkir teh hangat di atas meja kerja Trist
Stella dan Dafina segera menoleh ke arah pintu ruang kerja Tristan yang telah terbuka lebar.“Kita harus segera ke pameran,” kata Tristan dengan suara yang mendesak, sambil melangkah keluar dari ruang kerjanya.Dafina segera bangkit dari kursinya dan mengangguk. “Baik, Tuan.”Setelah sampai di depan Stella, Tristan berkata, “Stella, kamu juga harus ikut.”Stella mengangguk lemah. “Baik.”Dengan langkah yang pasti, Tristan memimpin jalan, diikuti oleh Stella dan Dafina yang berjalan di belakangnya.Sesampainya di depan mobil mewah Tristan, sang sopir telah siap menunggu, ia membukakan pintu mobil untuk Tristan. Dafina memberi isyarat kepada Stella untuk mengambil tempat di kursi depan. Stella, dengan gerakan yang patuh, namun lembut, hanya mengangguk dan membuka pintu mobil dengan tangannya sendiri.Mobil itu meluncur perlahan meninggalkan gedung, membelah jalanan kota yang mulai dipenuhi lampu-lampu senja. Di dalamnya, Tristan terdiam, pikirannya melayang pada pameran yang akan segera
Tristan melangkahkan kakinya lebar, ia langsung memeluk Stella. “Aku mencarimu dari tadi,” ujar Tristan sambil memeluk Stella erat. Stella terdiam sejenak, tak mengerti dengan apa yang lelaki itu lakukan. Mereka tak bertemu baru beberapa menit saja, tapi sepertinya lelaki itu begitu merindukannya. Dengan perasaan yang masih kesal, Stella pun melepaskan pelukan Tristan. “Jangan seperti ini, nanti ada yang salah paham,” ujar Stella. “Aku dari tadi mencarimu, ternyata kamu ada di sini,” kata Tristan sambil memperhatikan wajah murung Stella. “Aku hanya mencari ketenangan saja. Apa acaranya sudah selesai?” tanya Stella ketika melihat beberapa orang yang sudah keluar dari gedung itu. “Sudah selesai,” kata Tristan. Stella mengangguk. Beberapa saat kemudian, Dafina datang menghampiri mereka. “Tuan, acaranya sudah selesai. Apa kita akan pulang sekarang?” Tristan mengangguk. “Baiklah, kita pulang sekarang saja.” Mereka pun langsung berjalan keluar dari gedung pameran tersebut. Sesampain
Pagi ini, Kantor Wishnutama dipenuhi kesibukan. Para karyawan bergerak bolak-balik, fokus menyelesaikan tugas-tugas mereka. Suasana penuh semangat dan kerjasama mengisi ruangan.Stella bergerak seperti bayangan di koridor-koridor kantor. Setiap kali Tristan muncul, dia menghindar dengan keahlian yang hampir seperti magic. Tristan, dengan dasi yang tergantung longgar di lehernya, menunggu di depan meja kerja Stella. “Tuan, Anda belum memasang dasi. Apa mau saya pasangkan?” tawar Dafina dengan sopan.Tristan menatapnya sebentar, lalu menolak dengan lembut. “Tidak perlu, nanti saja,” tolaknya.Beberapa saat kemudian, Stella kembali ke meja kerjanya dengan membawa dokumen-dokumen yang menumpuk di tangannya, tugas-tugas yang harus diurus hari ini. Stella melihat Tristan yang masih berdiri di sana seperti patung yang menunggu, wanita itu begitu bingung, kenapa Tristan masih berdiri di dekat meja kerjanya?Tristan tersenyum ketika melihat Stella telah kembali, tapi wanita itu tak menoleh kep
Keesokan paginya, Stella terbangun dengan sinar matahari yang menyelinap masuk melalui celah-celah tirai kamar. Dia merasa segar setelah tidur nyenyak semalam. Dia menoleh ke samping dan melihat Tristan masih tertidur pulas di sebelahnya. Wajahnya tampak damai dan bahagia. Stella bangkit perlahan dari tempat tidur, berusaha tidak membuat suara yang bisa membangunkan Tristan. Dia berjalan menuju kamar mandi untuk bersiap-siap menghadapi hari baru sebagai seorang istri. Ketika Stella selesai bersiap, dia keluar dari kamar mandi dan menemukan Tristan yang sudah bangun dan sedang duduk di tepi tempat tidur. "Selamat pagi," sapa Tristan dengan senyum lebar. "Selamat pagi," balas Stella sambil menghampiri Tristan dan duduk di sampingnya. "Apa kau tidur nyenyak?" tanya Tristan sambil mengusap lembut rambut Stella yang masih basah. "Ya, terima kasih. Kamu?" balas Stella sambil menatap mata Tristan dengan penuh cinta. "Aku juga. Ini hari pertama kita sebagai suami istri. Apa rencana
"Hay Stella," sapa Weni dengan senyum ramah. "Oh, iya, aku hanya kaget saja. Aku pikir kamu tidak akan datang," jawab Stella, yang juga tersenyum ke arah Weni. "Aku pasti datang, Stella. Selamat ya," ucap Weni dengan tulus. Stella dan Tristan memang sempat ragu untuk mengundang Weni ke pernikahan mereka, terutama dengan apa yang terjadi belakangan ini. Weni masih bersikukuh untuk mendapatkan hati Tristan kembali. Namun, Tristan tak goyah dengan pendiriannya untuk terus bersama Stella. Meskipun beberapa orang menentang pernikahan mereka, terutama karena sebelumnya Weni menginginkan pernikahan bisnis dengan Tristan untuk membantu perusahaan yang dikelola Tristan, tapi Tristan tetap menolaknya. Tristan lebih memilih cara lain. Ia bahkan pergi ke luar negeri untuk mengurus semuanya dan bekerja sama dengan perusahaan asing. Setelah kembali ke Indonesia, usaha keras Tristan membuahkan hasil. Ia akhirnya bisa membangun kembali perusahaan keluarganya tanpa harus bergantung pada perni
Stella memandangi dirinya dalam cermin, memperhatikan gaunnya yang terlihat begitu indah. Gaun itu berwarna putih gading dengan desain klasik yang elegan. Potongan A-line yang membentuk siluet tubuhnya dengan sempurna, sementara renda halus menghiasi bagian atas gaun, memberikan sentuhan romantis. Tali bahu yang tipis menambahkan kesan anggun, dan ekor gaun yang panjang menambah kemegahan penampilannya. Veil yang panjang menutupi punggungnya, melengkapi penampilan yang sempurna sebagai pengantin. Hari ini adalah hari pernikahannya dengan Tristan. Ia tak menyangka bila akhirnya bisa menikah dengan pria yang begitu dicintainya. Stella teringat kembali saat-saat ketika ia dan Tristan pertama kali bertemu kembali di kantor. Waktu itu, Tristan menggantikan Damian sebagai CEO, dan Stella menjadi sekretarisnya. Mereka tak sengaja bertemu di ruang rapat saat Tristan baru saja mengambil alih jabatan. Stella merasa canggung, tapi Tristan dengan senyum hangatnya membuat Stella merasa nyaman. Pe
"Tristan," gumam Stella lirih, matanya sudah berkaca-kaca ketika melihat Tristan yang ada di hadapannya kini. Tristan malam ini tampil begitu menawan dengan kemeja hitam yang pas di tubuhnya dan celana panjang berwarna senada. Rambutnya disisir rapi, dan ia membawa buket bunga mawar merah yang cantik di tangannya. Cahaya lilin yang redup membuat penampilannya terlihat semakin mempesona. "Stella," kata Tristan ketika melihat Stella yang hanya terdiam. "Ini beneran kamu?" tanya Stella, mencoba untuk memastikan bahwa yang dilihatnya bukan sekadar ilusi. Tristan mengangguk dan memberikan buket bunga mawar yang cantik kepada Stella. Stella meraih bunga tersebut dengan perasaan kesal. "Jahat," gumamnya. "Jahat?" tanya Tristan sambil mengerutkan keningnya, ia merasa bingung. "Kamu jahat," kata Stella dengan suara serak. "Aku sudah menghubungi bahkan mengirim banyak pesan kepadamu, tapi kamu tidak membalasnya." Tristan tersenyum, lalu mengusap air mata yang jatuh di pipi Stell
"Sayang, bangun, ini sudah jam 8 pagi. Apa kamu mau tidur terus?" Safira membangunkan anaknya, Stella, yang masih tidur begitu pulas. Ia mengelus rambut Stella dengan lembut, berharap putri kesayangannya itu bangun. Stella menggeliat ketika merasakan tangan hangat ibunya mengelus rambutnya. "Stella masih ngantuk," gumamnya, yang masih enggan untuk bangun. "Ini udah pagi, Sayang. Mama sudah siapin sarapan, kita sarapan bareng, ya." "Hm, Stella nggak laper," jawab Stella dengan suara serak. "Tadi malam kamu juga makannya cuma sedikit. Sekarang harus makan lagi, ya." "Tapi, Ma ...." "Hust, nurut sama mama, ya. Di luar juga ada seseorang yang ingin bertemu dengan kamu." Stella langsung membuka matanya lebar-lebar ketika ibunya berkata ada seseorang di luar. "Siapa, Ma?" "Temui dia, dia bilang sudah kangen sama kamu." "Mm, iya deh, Ma," ujar Stella sambil bangun dari tidurnya. Ia pun menyingkap selimut dan mulai merapikan rambutnya yang masih berantakan. Namun, ketika Stel
"Ya, tiba-tiba ada urusan keluarga yang harus aku selesaikan, dan aku juga mau menemui kamu. Aku nggak bisa tinggal lama di Jakarta," kata Elsa dengan nada menyesal. Stella menghela napas panjang. "Aku mengerti, tapi aku terkejut mendengar itu. Lalu bagaimana dengan pekerjaanmu di Jakarta?" Elsa tertawa kecil. "Tenang, Stella. Aku cuma sebentar di Jogja. Lagi pula, aku ingin memastikan kamu baik-baik saja. Aku sudah kangen sama kamu. Memangnya kamu gak kangen sama aku?" Stella tersenyum lemah. "Hm, ya, aku juga kangen sama kamu." Stella menghela napas lega. "Baiklah. Aku akan menunggumu di sini." "Aku akan segera menemui kamu, Stella. Kita bisa ngobrol banyak hal seperti biasa," ujar Elsa dengan nada meyakinkan. "Baiklah. Jaga diri di perjalanan, ya. Dan segera hubungi aku kalau sudah sampai Jogja," kata Stella dengan suara pelan. "Pasti, Stella. Kamu juga jaga diri baik-baik. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi aku. Aku selalu siap buat kamu," balas Elsa. "Terima kasih,
Safira terlihat sedikit terkejut dengan reaksi Stella, tetapi ia tetap tenang. "Mama hanya ingin yang terbaik untukmu, Sayang. Tristan tidak ada di sini sekarang, dan mama khawatir kamu akan sendirian mengurus semuanya." Stella menggelengkan kepalanya. "Aku tidak butuh orang lain, Ma. Aku bisa mengurus diriku sendiri dan bayiku." Emir yang sedari tadi diam, kini angkat bicara. "Stella, kami hanya ingin memastikan kamu tidak sendirian. Kami tahu ini berat, tapi coba beri kesempatan." Stella mendesah, ia merasa frustrasi, begitu bingung dengan sikap kedua orang tuanya. "Aku sudah bilang, aku tidak butuh orang lain. Aku hanya ingin fokus pada kesehatanku dan bayiku." Safira mencoba mendekati Stella dan memegang tangannya. "Sayang, mama mengerti perasaanmu. Tapi setidaknya, temuilah dia. Tidak ada salahnya berteman, 'kan?" Stella menarik tangannya dari genggaman Safira. "Ma, aku sudah punya Tristan. Meski dia tidak ada di sini sekarang, aku yakin dia akan kembali dan bertanggung jawa
Stella baru saja selesai mandi dan berjalan ke arah meja. Wanita yang masih mengenakan bathrobe itu segera meraih ponselnya yang ada di atas meja. Ia membuka layar ponselnya dan memeriksa pesan serta panggilan yang masuk. Namun, tak ada satu pun panggilan maupun pesan dari kekasihnya, Tristan. "Apa dia begitu sibuk sampai tak mengabariku?" gumam Stella sambil memandangi ponsel yang ada digenggamannya. Rasa cemas mulai menyelimuti hatinya. Stella pun mencoba untuk menghubungi Tristan, namun ponsel lelaki itu ternyata tidak aktif. Rasa kecewanya semakin bertambah. Akhirnya, Stella memutuskan untuk mencoba menghubungi Dafina, sekretaris Tristan yang ikut pergi ke luar negeri. Ia berharap mendapatkan kabar tentang Tristan dari Dafina. Stella menunggu beberapa saat hingga panggilannya terhubung. "Halo, Dafina?" sapa Stella dengan nada penuh harap. "Halo, Stella. Ada apa?" balas Dafina dari ujung telepon. "Dafina, aku khawatir karena tidak bisa menghubungi Tristan. Ponselnya tid
Stella sudah berulang kali menegaskan bahwa ia tidak ingin meninggalkan Jakarta, tapi ibunya tetap saja bersikeras. Safira terus melipat baju-baju Stella dan memasukkannya ke dalam koper dengan cepat. "Ma, aku sudah bilang aku gak mau," rengek Stella, suaranya terdengar putus asa ketika melihat ibunya yang tak berhenti memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Safira menghela napas panjang dan menatap Stella dengan mata penuh kasih sayang. "Sebentar saja, Stella. Memangnya kamu tidak mau melihat adik-adikmu dan papamu di kampung?" Stella menghela napas panjang, ia merasa terpojok. "Baiklah, tapi aku tidak mau Mama membawa semua baju-bajuku. Aku masih punya banyak urusan di sini." Safira tersenyum sedikit, ia merasa senang karena Stella mulai luluh. "Mama hanya membawa beberapa bajumu saja. Sekarang, bersiaplah. Kamu mandi dulu. Mama takut kita akan ketinggalan kereta." Stella mengangguk dengan enggan. "Hm, baiklah." Stella berjalan gontai menuju kamar mandi, merasa berat hati