Dafina, yang sedang mengikat dasi Tristan, merasa kesal ketika Stella tiba-tiba datang ke ruangan tersebut tanpa mengetuk pintu. “Bisakah kamu lebih sopan lagi, Stella? Seharusnya kamu mengetuk pintu terlebih dahulu, bukannya langsung masuk saja,” omel Dafina.Stella hanya terdiam. Ia melangkah mundur lagi dan menutup pintu. Lalu, setelah itu, ia mengetuk pintu. Tok! Tok! Tok!Tristan menghela napas, merasa aneh ketika melihat tingkah Stella. “Masuklah, Stella,” titahnya.Setelah Tristan menyuruhnya untuk masuk, Stella pun masuk kembali dengan wajah yang masih tertekuk.Stella memasuki ruangan dengan wajah yang masih menunjukkan rasa tidak nyaman. “Tuan Tristan, saya minta maaf telah mengganggu Anda tadi,” ucapnya dengan suara yang rendah.Tristan mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Stella tidak perlu khawatir. “Tidak apa-apa, Stella. Sekarang, apa yang kamu bawa itu?” tanyanya, mengalihkan topik.Dengan semangat yang kembali, Stella menyerahkan surat perjanjian tersebut kepad
“Aduh, pantatku sakit sekali,” rengek Stella sambil menggosok-gosok pantatnya yang kesakitan.Tristan membantu Stella untuk bangkit. “Apa tidak apa-apa?” tanyanya dengan wajah khawatir.“Tidak apa-apa, apanya? Pantatku sakit sekali ...,” rengek Stella lagi. Ekspresi wajahnya berubah ketika ia menyadari bahwa Dafina ada di ruangan tersebut.“Oh, hahaha, tidak apa-apa, Tuan. Anda tidak perlu khawatir. Saya baik-baik saja kok,” ucap Stella sambil terkekeh. Setelah meyakinkan Tristan bahwa dia baik-baik saja meskipun dengan wajah yang terasa sedikit memerah karena malu, Stella merasa lega ketika Dafina tampaknya tidak mencurigai apa pun. Namun, kejadian tersebut membuatnya semakin ingin segera meninggalkan ruangan.“Tuan, ini tehnya,” kata Dafina sambil melangkah mendekati meja kerja Tristan.“Letakkan saja di meja,” tunjuk Tristan dengan matanya ke arah meja.“Baik, Tuan,” ujar Dafina, wanita yang memiliki lesung pipi itu langsung meletakkan secangkir teh hangat di atas meja kerja Trist
Stella dan Dafina segera menoleh ke arah pintu ruang kerja Tristan yang telah terbuka lebar.“Kita harus segera ke pameran,” kata Tristan dengan suara yang mendesak, sambil melangkah keluar dari ruang kerjanya.Dafina segera bangkit dari kursinya dan mengangguk. “Baik, Tuan.”Setelah sampai di depan Stella, Tristan berkata, “Stella, kamu juga harus ikut.”Stella mengangguk lemah. “Baik.”Dengan langkah yang pasti, Tristan memimpin jalan, diikuti oleh Stella dan Dafina yang berjalan di belakangnya.Sesampainya di depan mobil mewah Tristan, sang sopir telah siap menunggu, ia membukakan pintu mobil untuk Tristan. Dafina memberi isyarat kepada Stella untuk mengambil tempat di kursi depan. Stella, dengan gerakan yang patuh, namun lembut, hanya mengangguk dan membuka pintu mobil dengan tangannya sendiri.Mobil itu meluncur perlahan meninggalkan gedung, membelah jalanan kota yang mulai dipenuhi lampu-lampu senja. Di dalamnya, Tristan terdiam, pikirannya melayang pada pameran yang akan segera
Tristan melangkahkan kakinya lebar, ia langsung memeluk Stella. “Aku mencarimu dari tadi,” ujar Tristan sambil memeluk Stella erat. Stella terdiam sejenak, tak mengerti dengan apa yang lelaki itu lakukan. Mereka tak bertemu baru beberapa menit saja, tapi sepertinya lelaki itu begitu merindukannya. Dengan perasaan yang masih kesal, Stella pun melepaskan pelukan Tristan. “Jangan seperti ini, nanti ada yang salah paham,” ujar Stella. “Aku dari tadi mencarimu, ternyata kamu ada di sini,” kata Tristan sambil memperhatikan wajah murung Stella. “Aku hanya mencari ketenangan saja. Apa acaranya sudah selesai?” tanya Stella ketika melihat beberapa orang yang sudah keluar dari gedung itu. “Sudah selesai,” kata Tristan. Stella mengangguk. Beberapa saat kemudian, Dafina datang menghampiri mereka. “Tuan, acaranya sudah selesai. Apa kita akan pulang sekarang?” Tristan mengangguk. “Baiklah, kita pulang sekarang saja.” Mereka pun langsung berjalan keluar dari gedung pameran tersebut. Sesampain
Pagi ini, Kantor Wishnutama dipenuhi kesibukan. Para karyawan bergerak bolak-balik, fokus menyelesaikan tugas-tugas mereka. Suasana penuh semangat dan kerjasama mengisi ruangan.Stella bergerak seperti bayangan di koridor-koridor kantor. Setiap kali Tristan muncul, dia menghindar dengan keahlian yang hampir seperti magic. Tristan, dengan dasi yang tergantung longgar di lehernya, menunggu di depan meja kerja Stella. “Tuan, Anda belum memasang dasi. Apa mau saya pasangkan?” tawar Dafina dengan sopan.Tristan menatapnya sebentar, lalu menolak dengan lembut. “Tidak perlu, nanti saja,” tolaknya.Beberapa saat kemudian, Stella kembali ke meja kerjanya dengan membawa dokumen-dokumen yang menumpuk di tangannya, tugas-tugas yang harus diurus hari ini. Stella melihat Tristan yang masih berdiri di sana seperti patung yang menunggu, wanita itu begitu bingung, kenapa Tristan masih berdiri di dekat meja kerjanya?Tristan tersenyum ketika melihat Stella telah kembali, tapi wanita itu tak menoleh kep
“Berani kamu menyentuh Stella, akan kupatahkan tanganmu!” sergah Tristan, kilatan mata apinya sudah tak terbendung lagi.Lelaki yang menggoda Stella itu terkejut, namun bukan tanpa reaksi. Dia memutar tangan Tristan, mencoba melepaskan diri. Namun Tristan tak mengenal ampun. Tristan memutar balik tangan pria itu. “Aduh, sakit!” rengek pria yang mengenakan jas biru itu. “Apa kamu akan menyentuhnya lagi?” ancam Tristan, matanya menembus lelaki tersebut.Lelaki itu menggeleng, napasnya terengah-engah. “Aku tidak akan menyentuhnya lagi,” jawabnya dengan cepat.Tristan melepaskan cengkramannya, tetapi tatapannya tetap tajam. “Kalau kamu berani menyentuhnya lagi, awas, akan kutambah rasa sakit ini dua kali lipat,” ancam Tristan tanpa ampun.Pria itu segera menggeleng dengan cepat, ketakutan jelas terlihat di matanya. “Tidak, aku tidak akan menyentuhnya lagi. Aku bersumpah,” ucapnya dengan suara gemetar.Tristan melepaskan tangan pria itu, namun tetap mempertahankan pandangan tajamnya. “Awa
Hembusan angin malam yang dingin merayap di kulit Stella yang terpaku dalam diam. Dia tak bergeming, meski Tristan berulang kali mendesaknya untuk mengubah sikapnya.“Maaf, namun aku benar-benar serius. Mulai saat ini, jangan lagi kau kenali aku sebagai Stella dari masa lalumu; aku kini hanyalah sekretarismu, tidak lebih,” bisik Stella dengan suara yang lembut, namun penuh tekad, berusaha menguatkan hatinya sendiri.“Pergilah!” desak Stella saat Tristan masih terpaku memandanginya.Ketika Stella menjauh, Tristan terpaku di tempatnya, membiarkan keheningan malam menelan kesedihannya. “Stella, mengapa kau terus melukai hatiku? Mengapa kau tak bisa merasakan apa yang kurasa untukmu? Mengapa aku begitu bodoh dalam mencintaimu?” gumam Tristan dalam hati, sambil menahan tangis yang ingin pecah.Butiran air mata mulai mengalir di pipi Tristan, menciptakan jejak-jejak yang menggurat di wajahnya. Tristan merasakan kekosongan yang menghantui, ruang hampa di dalam hatinya yang seolah-olah terkoy
Malam ini, langit begitu terang dengan dihiasi oleh bintang dan bulan yang bersinar cantik menghiasi langit malam, Imelda, ibunda Tristan, tak bisa menyembunyikan kegembiraannya saat melihat sosok anaknya yang telah lama tak makan malam bersama. “Akhirnya, kamu bisa bergabung dalam makan malam keluarga kita lagi, Tristan,” ucap Imelda penuh kasih.Tristan yang wajahnya terlihat lelah, namun berseri, membalas dengan nada bersalah, “Maafkan aku, Ma. Baru kali ini, aku bisa makan malam bersama kalian lagi.”Imelda dengan mata yang penuh pengertian, menepuk lembut tangan Tristan. “Tidak apa-apa, Nak. Mama mengerti betapa sibuknya pekerjaanmu, tapi jangan lupa untuk selalu menjaga dirimu,” katanya.Damian, sang ayah, yang selama ini mengamati percakapan itu dengan senyum bijaksana, akhirnya angkat bicara. “Ma, Tristan sudah dewasa. Dia pasti bisa menjaga dirinya sendiri,” ujarnya dengan suara yang tenang, menambahkan kehangatan dalam percakapan malam ini.Di ruang makan yang dipenuhi oleh