Pagi ini, Kantor Wishnutama dipenuhi kesibukan. Para karyawan bergerak bolak-balik, fokus menyelesaikan tugas-tugas mereka. Suasana penuh semangat dan kerjasama mengisi ruangan.Stella bergerak seperti bayangan di koridor-koridor kantor. Setiap kali Tristan muncul, dia menghindar dengan keahlian yang hampir seperti magic. Tristan, dengan dasi yang tergantung longgar di lehernya, menunggu di depan meja kerja Stella. “Tuan, Anda belum memasang dasi. Apa mau saya pasangkan?” tawar Dafina dengan sopan.Tristan menatapnya sebentar, lalu menolak dengan lembut. “Tidak perlu, nanti saja,” tolaknya.Beberapa saat kemudian, Stella kembali ke meja kerjanya dengan membawa dokumen-dokumen yang menumpuk di tangannya, tugas-tugas yang harus diurus hari ini. Stella melihat Tristan yang masih berdiri di sana seperti patung yang menunggu, wanita itu begitu bingung, kenapa Tristan masih berdiri di dekat meja kerjanya?Tristan tersenyum ketika melihat Stella telah kembali, tapi wanita itu tak menoleh kep
“Berani kamu menyentuh Stella, akan kupatahkan tanganmu!” sergah Tristan, kilatan mata apinya sudah tak terbendung lagi.Lelaki yang menggoda Stella itu terkejut, namun bukan tanpa reaksi. Dia memutar tangan Tristan, mencoba melepaskan diri. Namun Tristan tak mengenal ampun. Tristan memutar balik tangan pria itu. “Aduh, sakit!” rengek pria yang mengenakan jas biru itu. “Apa kamu akan menyentuhnya lagi?” ancam Tristan, matanya menembus lelaki tersebut.Lelaki itu menggeleng, napasnya terengah-engah. “Aku tidak akan menyentuhnya lagi,” jawabnya dengan cepat.Tristan melepaskan cengkramannya, tetapi tatapannya tetap tajam. “Kalau kamu berani menyentuhnya lagi, awas, akan kutambah rasa sakit ini dua kali lipat,” ancam Tristan tanpa ampun.Pria itu segera menggeleng dengan cepat, ketakutan jelas terlihat di matanya. “Tidak, aku tidak akan menyentuhnya lagi. Aku bersumpah,” ucapnya dengan suara gemetar.Tristan melepaskan tangan pria itu, namun tetap mempertahankan pandangan tajamnya. “Awa
Hembusan angin malam yang dingin merayap di kulit Stella yang terpaku dalam diam. Dia tak bergeming, meski Tristan berulang kali mendesaknya untuk mengubah sikapnya.“Maaf, namun aku benar-benar serius. Mulai saat ini, jangan lagi kau kenali aku sebagai Stella dari masa lalumu; aku kini hanyalah sekretarismu, tidak lebih,” bisik Stella dengan suara yang lembut, namun penuh tekad, berusaha menguatkan hatinya sendiri.“Pergilah!” desak Stella saat Tristan masih terpaku memandanginya.Ketika Stella menjauh, Tristan terpaku di tempatnya, membiarkan keheningan malam menelan kesedihannya. “Stella, mengapa kau terus melukai hatiku? Mengapa kau tak bisa merasakan apa yang kurasa untukmu? Mengapa aku begitu bodoh dalam mencintaimu?” gumam Tristan dalam hati, sambil menahan tangis yang ingin pecah.Butiran air mata mulai mengalir di pipi Tristan, menciptakan jejak-jejak yang menggurat di wajahnya. Tristan merasakan kekosongan yang menghantui, ruang hampa di dalam hatinya yang seolah-olah terkoy
Malam ini, langit begitu terang dengan dihiasi oleh bintang dan bulan yang bersinar cantik menghiasi langit malam, Imelda, ibunda Tristan, tak bisa menyembunyikan kegembiraannya saat melihat sosok anaknya yang telah lama tak makan malam bersama. “Akhirnya, kamu bisa bergabung dalam makan malam keluarga kita lagi, Tristan,” ucap Imelda penuh kasih.Tristan yang wajahnya terlihat lelah, namun berseri, membalas dengan nada bersalah, “Maafkan aku, Ma. Baru kali ini, aku bisa makan malam bersama kalian lagi.”Imelda dengan mata yang penuh pengertian, menepuk lembut tangan Tristan. “Tidak apa-apa, Nak. Mama mengerti betapa sibuknya pekerjaanmu, tapi jangan lupa untuk selalu menjaga dirimu,” katanya.Damian, sang ayah, yang selama ini mengamati percakapan itu dengan senyum bijaksana, akhirnya angkat bicara. “Ma, Tristan sudah dewasa. Dia pasti bisa menjaga dirinya sendiri,” ujarnya dengan suara yang tenang, menambahkan kehangatan dalam percakapan malam ini.Di ruang makan yang dipenuhi oleh
Dengan langkah yang terburu-buru, Tristan meninggalkan kediaman Wishnutama, hatinya dipenuhi urgensi untuk bertatap muka dengan Stella dan meleraikan benang kusut yang menggantung di antara mereka. Malam ini, udara terasa dingin menyentuh kulit, sementara bulan purnama menggantung di langit, memancarkan cahaya yang menyelimuti segalanya. Dia bergegas ke mobilnya, menyalakan mesin dengan cepat, dan tanpa ragu, Tristan memacu kendaraannya menuju tempat Stella berada.Kesunyian malam ini terasa begitu pekat, jalanan yang biasanya ramai kini hanya ditemani oleh cahaya lampu jalan yang samar. Dalam kesunyian tersebut, pikiran Tristan dipenuhi oleh berbagai pertanyaan dan kecemasan. Dia tahu ia harus segera menjernihkan segala kesalahpahaman dengan Stella, dan kegelisahan itu terus menggelayuti hatinya sepanjang perjalanan.Setelah menempuh perjalanan yang terasa berjam-jam, Tristan akhirnya sampai di depan kontrakan Stella. Bangunan itu tampak menyenangkan dalam rembulan yang terang bender
Hari ini, Stella dan Dafina bersiap untuk perjalanan bisnis yang penting. Stella telah menyiapkan kopernya dengan cermat, memastikan semua dokumen dan peralatan yang diperlukan berada di dalamnya. Ia mengenakan setelan blazer biru tua yang modis dengan celana panjang hitam yang serasi. Rambutnya dibiarkan tergerai dengan indah di sepanjang bahunya, memberikan kesan profesional dan anggun.Sementara itu, Dafina menunggu dengan sabar di depan kantor, menatap sisi jalan yang sibuk sambil mengecek ponselnya sekali-kali. Dia mengenakan setelan jas abu-abu yang elegan dengan blus putih yang simpel, namun berkelas. Rambutnya dikuncir rapi ke belakang, menambah kesan tegas dan percaya diri pada penampilannya.Di sekitar mereka, suasana di kantor terasa sibuk dan penuh antusiasme. Karyawan yang lain mulai datang, beberapa dari mereka tampak sibuk memeriksa email terakhir sebelum pertemuan penting. “Ck, lama sekali,” gerutu Stella ketika Tristan tak kunjung datang.10 menit kemudian, Tristan,
“Hai, siapa wanita cantik satu ini?” tanya Paman Dul ketika melihat ada wanita cantik lagi di samping Tristan.“Saya Dafina, Paman, sekretaris Tuan Tristan,” jawab Dafina dengan senyum ramah.Paman Dul sedikit khawatir saat bertanya, “Kalau kamu sekretarisnya, lalu bagaimana dengan posisi Stella?”Tristan menjawab dengan santai, “Stella juga menjadi sekretarisku, Paman.”Paman Dul tertawa. “Bagus, bagus kalau begitu. Begitulah hebatnya keponakanku ini,” puji Paman Dul dengan bangga.Tristan tersenyum bangga melihat Paman Dul mengakui kehebatannya. Suasana hangat keluarga pun semakin terasa di antara mereka.“Sudah, ayo masuk. Kalian pasti lelah setelah perjalanan jauh,” ajak Bibi Ani kepada mereka.Mereka pun langsung masuk ke dalam rumah Bibi Ani dan Paman Dul. Meskipun sederhana, rumah itu terbuat dari bambu dan kayu, namun dengan sentuhan cinta dan kehangatan, rumah tersebut terlihat sangat cantik.Suasana rumah itu menyambut mereka dengan kehangatan. Terdapat aroma wangi dari bung
“Stella, lihatlah bajumu basah. Hati-hati kalau minum,” ujar Bibi Ani sambil meraih sebuah tisu dari meja dan membantu Stella membersihkan pakaiannya. Stella tersenyum sambil mengangguk. “Terima kasih, Bibi.” “Kamu tidak perlu berterima kasih, pamanmu itu selalu bercanda, jangan dimasukin ke dalam hati, ya,” pesan Bibi Ani yang diangguki Stella.***Setelah membersihkan tubuhnya dan mengganti pakaian santai, Stella keluar dari kamarnya. Wangi harum dari dapur menusuk indra penciumannya. Wanita yang mengikat rambut asal itu berjalan ke dapur dan melihat Bibi Ani sedang sibuk memasak.“Bibi, masak apa?” tanya Stella.“Malam ini, bibi masak sup ayam sama beberapa sayuran lainnya lagi,” jawab Bibi Ani sambil tetap sibuk dengan kegiatannya.“Stella bantuin, ya?” Stella mencoba menawarkan diri, merasa kasihan melihat Bi Ani yang sedang memasak sendiri.“Boleh, kamu iris-iris bawang dan cabai,” perintah Bi Ani.Stella mengangguk. “Baiklah.”Stella segera mengambil bawang dan cabai dari meja