Hoeek! Hoeek!Stella mencoba menutup mulutnya, ketika semua orang yang ada di ruang rapat melihat ke arahnya.“Maaf semua, saya permisi dulu,” pamit wanita berkulit mulus itu, sambil berlari keluar dari ruang rapat. Semua orang menatap heran kepada Stella, tak biasanya wanita itu mual-mual di tempat kerja.Setelah masuk ke kamar mandi, Stella langsung menuju wastafel. Wajahnya pucat dan terlihat sedikit berkeringat. Dia mencuci mulutnya dengan air dingin, berharap bisa meredakan rasa mual yang mengganggu. Tetapi, mualnya tidak kunjung hilang.Hoeek! Hoeek!Setelah beberapa saat mencuci muka dan menghirup napas dalam-dalam, Stella menatap tampilan dirinya di cermin. Dia terlihat lelah dan gelisah. Pikirannya melayang ke belakang, mengingat apa yang telah terjadi beberapa hari belakangan. Stres di tempat kerja, pertemuan dengan Tristan, dan sekarang, mual yang tak kunjung mereda.“Kenapa aku jadi mual-mual seperti ini?” Dia mencoba mengingat apa yang mungkin menjadi penyebab mualnya. Ma
“Apa tidak ada pertanyaan lain yang kamu miliki? Kenapa bisa-bisanya kamu bertanya seperti itu? Kenapa bisa kamu mengira bahwa aku sedang hamil?” cecar Stella, sambil menatap kesal Tristan.“Gejala yang kamu miliki memang mirip seperti orang hamil, makanya aku bertanya seperti itu,” imbuh Tristan.Stella terlihat begitu kesal. “Memangnya kamu pikir aku wanita apaan yang bisa langsung hamil?”“Bukannya kamu sudah punya pacar, siapa tahu kamu hamil oleh pacarmu!” sergah Tristan dengan ekspresi yang ikut kesal juga.Bibir Stella terkatup mendengar perkataan Tristan. “Dari mana kamu tahu kalau aku sudah punya pacar? Kalau bicara, jangan ngaco deh!”Dengan wajah yang masih terlihat kesal, Stella langsung meninggalkan Tristan dan keluar dari ruangan tersebut. Langkahnya begitu cepat, menunjukkan betapa marahnya dia terhadap pertanyaan yang tidak sepatutnya dari Tristan.Tristan hanya terdiam, merasa menyesal atas kata-katanya yang terl
Tristan langsung meraih tangan Stella dan membawa wanita itu ke dekatnya. “Kalau mau lihat, lihat punyaku saja,” kata Tristan, tiba-tiba lelaki itu menarik tubuh Stella ke arahnya. Dan wajah Stella mendarat tepat di depan dada bidang Tristan yang begitu indah, sampai membuat mata Stella membelalak sempurna.Deg … deg … deg ….Stella terdiam menikmati irama detak jantung Tristan yang berbunyi begitu merdu di telinganya. Kedekatan mereka membuat Stella terdiam, sampai lupa akan segala hal. Wanita itu memandang dengan intensitas yang membuatnya merasakan getaran aneh di dalam dirinya.Stella tak bisa menahan tangannya untuk meraih dada bidang Tristan, ia mengelusnya begitu lembut sampai membuat tubuh Tristan berdesir. Sentuhan lembutnya menyebabkan gemetar tak terelakkan yang melintasi tubuh Tristan.Manik mata Tristan mengikuti dengan penuh perhatian ke arah mana jemari Stella bergerak. Dia merasakan getaran aneh yang melintasi kulitnya saat sentuhan lembut Stella menyentuhnya. Hatinya
Elsa menatap Tristan dan Stella, kebingungan terukir jelas di wajahnya. “Apa yang sedang terjadi di sini? Kalian berdua ...?”Elsa mengambil tempat duduk di depan kedua orang tersebut, tatapannya bergeser dari Tristan ke Stella, seolah mencari jawaban yang tak terucap. “Beritahu aku, mengapa kalian berdua di sini, di kamar ini?”Stella, dengan garpu masih tergenggam di tangan, memandang Elsa dengan raut tidak senang. “Tidakkah kau lihat? Kami sedang menikmati makan malam,” ujarnya, suara kesalnya beradu dengan gemerisik daun-daun di luar jendela.Elsa mendekat, tekadnya tak tergoyahkan. Wanita itu ingin mencari tahu lebih jauh kedekatan Stella dan Tristan. “Hanya makan malam, begitu? Aku yakin ada yang lebih dari itu,” katanya, menuntut kebenaran yang tersembunyi di balik pertemuan rahasia mereka.Tristan menarik napas dalam, menatap Elsa dengan tatapan yang sulit diartikan. “Elsa, kau tahu kita sudah lama berteman. Tidak ada yang perlu dirahasiakan di antara kita,” katanya dengan sua
Dafina, yang sedang mengikat dasi Tristan, merasa kesal ketika Stella tiba-tiba datang ke ruangan tersebut tanpa mengetuk pintu. “Bisakah kamu lebih sopan lagi, Stella? Seharusnya kamu mengetuk pintu terlebih dahulu, bukannya langsung masuk saja,” omel Dafina.Stella hanya terdiam. Ia melangkah mundur lagi dan menutup pintu. Lalu, setelah itu, ia mengetuk pintu. Tok! Tok! Tok!Tristan menghela napas, merasa aneh ketika melihat tingkah Stella. “Masuklah, Stella,” titahnya.Setelah Tristan menyuruhnya untuk masuk, Stella pun masuk kembali dengan wajah yang masih tertekuk.Stella memasuki ruangan dengan wajah yang masih menunjukkan rasa tidak nyaman. “Tuan Tristan, saya minta maaf telah mengganggu Anda tadi,” ucapnya dengan suara yang rendah.Tristan mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Stella tidak perlu khawatir. “Tidak apa-apa, Stella. Sekarang, apa yang kamu bawa itu?” tanyanya, mengalihkan topik.Dengan semangat yang kembali, Stella menyerahkan surat perjanjian tersebut kepad
“Aduh, pantatku sakit sekali,” rengek Stella sambil menggosok-gosok pantatnya yang kesakitan.Tristan membantu Stella untuk bangkit. “Apa tidak apa-apa?” tanyanya dengan wajah khawatir.“Tidak apa-apa, apanya? Pantatku sakit sekali ...,” rengek Stella lagi. Ekspresi wajahnya berubah ketika ia menyadari bahwa Dafina ada di ruangan tersebut.“Oh, hahaha, tidak apa-apa, Tuan. Anda tidak perlu khawatir. Saya baik-baik saja kok,” ucap Stella sambil terkekeh. Setelah meyakinkan Tristan bahwa dia baik-baik saja meskipun dengan wajah yang terasa sedikit memerah karena malu, Stella merasa lega ketika Dafina tampaknya tidak mencurigai apa pun. Namun, kejadian tersebut membuatnya semakin ingin segera meninggalkan ruangan.“Tuan, ini tehnya,” kata Dafina sambil melangkah mendekati meja kerja Tristan.“Letakkan saja di meja,” tunjuk Tristan dengan matanya ke arah meja.“Baik, Tuan,” ujar Dafina, wanita yang memiliki lesung pipi itu langsung meletakkan secangkir teh hangat di atas meja kerja Trist
Stella dan Dafina segera menoleh ke arah pintu ruang kerja Tristan yang telah terbuka lebar.“Kita harus segera ke pameran,” kata Tristan dengan suara yang mendesak, sambil melangkah keluar dari ruang kerjanya.Dafina segera bangkit dari kursinya dan mengangguk. “Baik, Tuan.”Setelah sampai di depan Stella, Tristan berkata, “Stella, kamu juga harus ikut.”Stella mengangguk lemah. “Baik.”Dengan langkah yang pasti, Tristan memimpin jalan, diikuti oleh Stella dan Dafina yang berjalan di belakangnya.Sesampainya di depan mobil mewah Tristan, sang sopir telah siap menunggu, ia membukakan pintu mobil untuk Tristan. Dafina memberi isyarat kepada Stella untuk mengambil tempat di kursi depan. Stella, dengan gerakan yang patuh, namun lembut, hanya mengangguk dan membuka pintu mobil dengan tangannya sendiri.Mobil itu meluncur perlahan meninggalkan gedung, membelah jalanan kota yang mulai dipenuhi lampu-lampu senja. Di dalamnya, Tristan terdiam, pikirannya melayang pada pameran yang akan segera
Tristan melangkahkan kakinya lebar, ia langsung memeluk Stella. “Aku mencarimu dari tadi,” ujar Tristan sambil memeluk Stella erat. Stella terdiam sejenak, tak mengerti dengan apa yang lelaki itu lakukan. Mereka tak bertemu baru beberapa menit saja, tapi sepertinya lelaki itu begitu merindukannya. Dengan perasaan yang masih kesal, Stella pun melepaskan pelukan Tristan. “Jangan seperti ini, nanti ada yang salah paham,” ujar Stella. “Aku dari tadi mencarimu, ternyata kamu ada di sini,” kata Tristan sambil memperhatikan wajah murung Stella. “Aku hanya mencari ketenangan saja. Apa acaranya sudah selesai?” tanya Stella ketika melihat beberapa orang yang sudah keluar dari gedung itu. “Sudah selesai,” kata Tristan. Stella mengangguk. Beberapa saat kemudian, Dafina datang menghampiri mereka. “Tuan, acaranya sudah selesai. Apa kita akan pulang sekarang?” Tristan mengangguk. “Baiklah, kita pulang sekarang saja.” Mereka pun langsung berjalan keluar dari gedung pameran tersebut. Sesampain