Happy Reading*****Menyadari sikap bingung dari sang sekretaris, Andrian mendekat. Bersama dengan ketiga buah hatinya, dia mengajak Tari duduk di sofa. "Kamu nggak bakal tinggal di sini. Ada rumah kosong di sebelah. Kamu bisa tinggal di sana."Tari mengerutkan kening. "Mas nyewain rumah supaya aku bisa tinggal berdekatan dengan kalian?""Bukan, Tan. Rumah sebelah juga milik Ayah. Kalau kata Bunda akan ditempati oleh siapa pun dari kami yang menikah terlebih dahulu. Ayah juga memiliki beberapa rumah lainnya yang sudah dipersiapkan untuk kami bertiga."Tanpa Andrian menjelaskan, si sulung sudah membeberkan semua. Lelaki itu cukup bangga dengan Febi. Gerakannya cepat walau tidak di suruh."Jadi, nggak ada alasan lagi untukmu menolak tinggal bersama kami," kata Andrian."Pa, Mama Lita kenapa marah-marah tadi?" tanya Shalwa mengingat kejadian sebelumnya.Bukannya menjawab, si ayah malah melirik Tari. Sorot matanya memerintah agar gadis itu menjelaskan pada buah hatinya. Sang sekretaris p
Happy Reading*****Baru merebahkan diri dari rasa lelah yang menyerang, suara anak-anak membuat mata Tari terbuka. "Tante ... Tante," panggil Akmal. Bocah lelaki itu masih berdiri di ambang pintu kamar si gadis yang tak tertutup sempurna. Saat itu, Andrian masih berada di rumah tersebut, duduk di ruang tengah sambil menikmati acara televisi yang jarang sekali ditontonnya selama ini."Adik sama siapa ke sini?" tanya Andrian melihat si bungsu sendirian di depan kamar sang sekretaris."Diantar Bibi, tapi langsung pulang tadi. Katanya masih ada yang mau dikerjain."Lelaki itu menganggukkan kepala, menoleh ke arah kamar sang gadis. Saat itu, Tari begitu terlihat menggemaskan dengan wajah yang terlihat masih mengantuk. Andrian tertawa dalam hati, setelah sekian lama. Dia bisa melihat kembali wajah sang pujaan pas bangun tidur seperti sekarang."Adik sama siapa ke sini?""Bibi, Tan," jawab Akmal."Sini, Sayang." Tanpa rasa canggung Tari duduk di sebelah Andrian. Lelaki itu bahkan tak dihi
Happy Reading*****Senang hati, Andrian merentangkan tangannya, menyambut pelukan orang-orang yang disayangi. Namun, kedua mata Tari mendelik membuat lelaki itu mengurungkan niatnya. Si bos, hanya memeluk ketiga buah hatinya saja."Nggak usah marah gitu kenapa. Aku nggak bakalan meluk kamu, Tar. Kecuali kamu yang minta," ucap Andrian disertai kerlingan mata. Tari membalas dengan dehaman saja. Malas sekali menanggapi sikap genit si bos. Bukan sekali ini, lelaki itu menggoda dirinya. "Ayo kalian harus makan sekarang. Setelah itu salat Magrib doakan Bunda." Ketiga buah hati Andrian mengurai pelukan dengan sang ayah. Mereka mengangguk patuh dan berlalu meninggalkan ayahnya berdua dengan sang sekretaris."Tunggu, Tar," pinta Andrian ketika si gadis hendak keluar juga. Tangan yang semula ingin memegang pergelangan Tari, terhenti saat sang gadis mendelik sadis."Saya tidak punya banyak waktu. Mas mau apa?" Walau wajah Tari terlihat jutek, tetapi kata-katanya masih sangat lembut."Ambilkan
Happy Reading*****Selesai menidurkan Akmal dan membantu Bibi beres-beres semua peralatan. Tari pamit untuk kembali ke rumah sebelah. Namun, Andrian bersikeras ingin mengantar si gadis. Terpaksa Tari menuruti permintaan si bos pemaksa.Sesampainya di rumah, lekas Tari membuka pintu dan berkata, "Sebaiknya, Mas pulang saja. Tidak enak jika terlihat tetangga karena sudah larut malam apalagi saya tinggal sendirian."Andrian membenarkan letak kopiah yang dikenakan. Rasa gugup mulai melanda. Sejak perkataan Ustaz Muhammad tadi, lelaki itu ingin kembali mengatakan maksud hatinya untuk melamar Tari."Sebentar saja, Tar. Ada sesuatu yang harus kamu tahu. Aku sama Lita sudah bercerai, pengacara sedang mengurus semua surat-surat gugatan. Tadi, Ustaz Muhammad sempat menegurku terkait hubungan kita," kata Andrian. Tanpa dipersilakan lelaki itu duduk di kursi yang berada di teras.Menyatukan kedua tangan dan meremasnya pelan, Tari begitu khawatir dengan perkataan Andrian. Takut jika sang Ustaz be
Happy Reading*****Andrian menjadi orang terakhir yang keluar dari rumah setelah anak-anak berangkat ke sekolah. Tari masih tak percaya jika si bos akan membuatnya seharian berada di rumah tanpa mengurus pekerjaan. Padahal semua berkas dan juga jadwal meeting menumpuk."Jaga rumah, Tar. Nanti siang, tolong jemput Akmal sebagaimana yang Nina lakukan," perintah Andrian. Walau merasa kesal di hati, Tari tetap menganggukkan kepala. Secara sadar, Andrian menyodorkan tangan kanannya. Gadis itu mendelik. "Rasanya, tidak ada kewajiban saya untuk mencium tangannya, Mas. Saya bukan istri hingga harus berbuat demikian," kata Tari menyadarkan lelaki yang sudah mengenakan jas serta kemeja dengan rapi.Tersenyum canggung, Andrian berkata, "Maaf, aku sudah nggak sabar sampai lupa kita belum menikah. Aku ke kantor dulu. Titip anak-anak, ya. Assalamualaikum," ucapnya."Waalaikumsalam." Tari segera masuk ke dapur. Di sana, Bibi sedang sibuk membereskan semua peralatan yang baru saja dipakai makan.
Happy Reading*****Tari terpaksa menuruti keinginan Andrian. Setelah menyiapkan makanan untuk si kecil juga makan siang si bos, gadis itu mengajak sopir menuju kantor. Akmal sendiri tidak keberatan ketika Tari mengajak ikut."Tante tidak malu ngajak adik ke kantornya Papa?" tanya si kecil di tengah perjalanan mereka menuju perusahaan."Kenapa mesti malu?""Hmm," jawab Akmal. Si bungsu tampak berpikir. "Tante masih muda, masak bawa anak ke kantor. Kalau digosipin yang tidak-tidak gimana?"Meledaklah tawa Tari dan juga sopir. Akmal lucu sekali. Kenapa sampai bisa berpikir jauh seperti itu. Sang sekretaris, lalu memencet hidung si kecil dengan gemas."Memangnya jika masih muda tidak boleh punya anak? Lagian semua karyawan di kantor kan tahu jika Akmal putranya ayah," jelas Tari.Si kecil tampak manggut-manggut tanda mengerti apa yang dijelaskan oleh gadis berjilbab di sampingnya. Walau Akmal jarang mendatangi kantor Andrian, tetapi semua karyawan yang ada di sana cukup familiar dengan w
Happy Reading *****Riuh suara dari semua karyawan Andrian mulai menggaung di telinga Tari. Sungguh, sikap si bos makin membuatnya malu. Semua orang pasti semakin mencibirnya hari ini."Kalian bisa diam, nggak?" bentak Andrian keras. Semua orang terdiam dan mulai mendengarkan suara si bos kembali."Saya tahu kalian menggosipkan hubungan kami. Perlu kalian ketahui, Tari nggak pernah mencoba menggoda saya. Justru sayalah yang tergoda dengan semua sikap dan ketakwaan yang dimiliki olehnya. Selama ini, tentu kalian semua tahu reputasi buruk saya sebagai bos. Lalu, mengapa kalian menuduh Tari dengan begitu buruk. Untuk itu, saya ingin menegaskan bahwa saat ini saya sudah sendiri. Istri pertama saya sudah meninggal dan saya juga sudah bercerai dengan istri kedua. Jadi, nggak ada istilah pelakor dalam hubungan saya dan Tari. Pengumuman ini juga sekaligus menegaskan bahwa Tari adalah calon istri saya, jadi siapa pun yang berani menghina atau mengatakan hal buruk lagi seperti yang saya dengar
Happy Reading*****Tari dan si bungsu menjerit histeris ketika sebuah boneka yang bersimbah darah keluar dari dalam kotak. Kepala boneka hampir putus dengan pisau yang menancap pada perut. Sang pengirim mengibaratkan boneka tersebut adalah Tari.Si gadis tanpa sadar memeluk Andrian erat termasuk Akmal. Sungguh kado yang dikirimkan itu sangat menyeramkan. Mendengar suara teriakan yang menggema, Febi dan Shalwa berlari pada Ayah mereka."Ayah, Tante Tari kenapa?" tanya Febi.Matanya melotot saat melihat boneka itu. "Boneka siapa ini?"Andrian tak lagi peduli dengan pertanyaan putrinya. "Kak, panggilkan satpam!" perintahnya. Dia terlalu takut dengan reaksi sang pujaan dan juga si bungsu."Tenanglah, Tar. Aku pasti akan mencari tahu siapa pengirim kado itu. Berani sekali dia melakukannya." Andrian mengusap punggung gadis itu. Tak ada niat lain kecuali ingin menenangkan sang pujaan.Tergopoh penjaga rumah Andrian menghadap. Lelaki paruh baya itu tidak tahu-menahu dengan hadiah yang diteri