Happy Reading*****"Sebentar saja, Tar!" ucap Andrian. Dia mengatupkan kedua tangan dan menatap sang sekretaris penuh permohonan.Tari menaikkan sedikit garis bibirnya. Tak mampu menjawab karena merasa semua ini salah. Namun, melihat kedua indera Andrian yang begitu penuh permohonan sekaligus kesedihan. Gadis itu membiarkan bosnya tetap berada pada posisi semula. Sang sekretaris beristighfar dalam hati dan memohon ampunan untuk kejadian malam ini.Mendapat persetujuan dari si gadis, Andrian tersenyum dan melanjutkan perkataannya yang sempat terjeda."Aku sama Nina itu bersahabat sejak SMP. Dia teman yang selalu mengerti melebihi diriku sendiri. Nggak pernah menyangka jika akhirnya menyimpan rasa cinta untukku. Padahal aku menganggapnya, hanya sebatas sahabat nggak lebih. Prinsip hidupku nggak akan pernah bisa jatuh cinta jika perempuan itu sudah menjadi teman, tapi Nina lain. Dia terus membersamai sampai aku pada keadaan paling terpuruk saat itu. Seperti yang aku ceritakan padamu. Ma
Happy Reading*****Tari melangkah ke kamar si bungsu. Dia begitu khawatir dengan keadaan lelaki kecil itu. Perkataan Andrian tadi, telah menyadarkan posisinya sekarang. Si bos tidak mencintai, tetapi dia menginginkannya karena dorongan syahwat.Sesampainya di kamar Akmal, Tari tidur di samping bocah itu dengan pakaian yang lengkap. Tanpa melepaskan hijabnya. Perlahan, matanya pun mulai menutup. Tari terlelap kembali dalam buaian mimpi.*****Suara kokok ayam membangunkan si gadis. Tari merenggangkan ke dua tangannya ke atas, menggerakkan kedua bola mata sebelum membukanya dengan sempurna. Tatkala akan turun dari ranjang, inderanya membulat sempurna. Tepat di bawah kakinya ada Andrian yang tertidur di lantai beralaskan selimut tebal. Tari mengucap istighfar karena terkejut.'Kapan dia masuk ke kamar ini? Semalam aku sudah mengunci pintunya, lalu bagaimana dia melakukannya?' pertanyaan itu muncul dalam hati si gadis.Tari mencoba membangunkan Andrian, tetapi lelaki itu sepertinya terla
Happy Reading*****Usai sarapan, Tari segera membereskan semua peralatan memasaknya. Hendak mencuci piring, Andrian mendekati gadis itu dan berkata. "Nggak perlu kamu cuci peralatannya. Ada Bibi yang akan membereskan semua. Temani anak-anak saja di ruang tengah. Aku mau minta ijin pada guru mereka. Mungkin sampai seminggu ke depan mereka nggak bisa masuk sekolah." Andrian melangkah pergi sebelum mendengar jawaban Tari."Tapi, Mas. Kasihan Bibi jika semua pekerjaan dilimpahkan padanya," kata Tari sedikit keras."Jangan membantah, Tar. Aku sedang nggak punya tenaga untuk berdebat denganku sekarang. Sesekali, turuti perintahku tanpa bantahan, ya?" Andrian melembutkan suara. Kedua inderanya menatap Tari penuh permohonan."Baiklah, Mas," ucap Tari. Lalu, di menaruh mangkok dan peralatan lain di wastafel. "Untuk masalah kerjaan bagaimana, Mas. Ada beberapa meeting hari ini. Salah satunya dengan Pak Rico. Beliau hari ini menyempatkan diri untuk datang ke kantor pusat.""Biar aku telpon unt
Happy Reading*****Tari tak lagi menghiraukan perkataan Andrian. Dia segera keluar tanpa melihat wajah lelaki itu. Berapa kali, dia harus menolak untuk memperkenalkan si bos pada orang tuanya. Sungguh, Tari sangat takut dan tak mungkin bisa bersama dengan lelaki itu. Pernah berada di posisi sebagai korban dari ketidakadilan ayahnya membuat gadis itu benar-benar menjauhi kata pelakor dalam rumah tangga seseorang.Melihat tingkah si gadis yang terlihat marah saat ini, Andrian melajukan kendaraan dengan kecepatan di atas rata-rata. Niat di dalam hatinya harus segera terealisasi, tetapi dia butuh pendapat seseorang untuk memastikan bahwa apa yang dilakukannya nanti tidak bertentangan dengan syariat Islam.Andrian banyak mendengar bahwa seorang lelaki itu tidak bisa menceraikan istrinya yang sedang hamil. Jadi, dia ingin mengetahui hukum yang sebenarnya pada Ustaz yang beberapa minggu ini secara rutin mengajarinya memperdalam ilmu agama. Kurang dari tiga puluh menit, Andrian sudah sampai
Happy Reading*****Belum sehari Andrian berpisah dengan Nina, dia sudah sangat merindukan sang istri. Di saat hatinya galau seperti ini biasanya Ibu dari anak-anaknya itu akan selalu bisa menenangkan. Seperti laju angin, dia membelah jalanan kota terbesar kedua di tanah air agar segera sampai di rumah.Dari agenda milik Nina semalam yang sempat dibaca, Andrian menemukan sebuah curhatan sang istri beberapa hari sebelum kepergiannya. Sekilas lelaki itu melihat nama Tari dan Lita, sayangnya Andrian belum sempat membaca seutuhnya agenda tersebut. Hari ini, Andrian sudah berjanji dalam dirinya sendiri akan menyelesaikan membaca semua yang tertulis di buka agenda Nina.Sesampainya di rumah, Andrian melihat anak-anaknya tengah terduduk lesu di kamar si sulung. "Asalamualaikum," salam lelaki itu."Waalaikumussalam. Ayah lama sekali nganter Tante Nina," ujar Shalwa. Si tengah yang menginjak kelas empat itu memang paling manja di antara ketiga buah hatinya. "Terus tantenya mana sekarang, Yah?
Happy Reading*****"Jangan berteriak di rumahku. Kamu nggak tahu kami masih berkabung. Apa kamu nggak punya otak hingga berteriak-teriak di rumah ini? Keterlaluan sekali," bentak Andrian. Setelah keluar dari ruang kerja dan mengetahui jika yang berteriak tadi adalah Lita.Lelaki itu tak dapat lagi menahan emosinya. Suasana hati yang tak karuan setelah membaca agenda milik almarhumah Nina kini bertambah dengan kedatangan Lita yang tak diinginkan. Berani sekali perempuan hamil itu menampakkan diri di depannya setelah semua kesalahan yang dilakukan."Kamu yang keterlaluan, Pa. Mengapa rumah digembok dan aku tidak boleh masuk? Semua baju-baju juga dikeluarkan. Papa ngusir aku?" Bukannya merendah, tetapi suara perempuan itu makin meninggi. Mungkin akan terdengar sampai ke kamar anak-anak. Buktinya, si bibi yang tengah beristirahat juga tergopoh mendekati ruang tengah. Sepertinya mendengar keributan yang dibuat oleh Lita."Kamu lupa jika rumah itu milikku? Lagian kamu sudah berselingkuh,
Happy Reading*****Menyadari sikap bingung dari sang sekretaris, Andrian mendekat. Bersama dengan ketiga buah hatinya, dia mengajak Tari duduk di sofa. "Kamu nggak bakal tinggal di sini. Ada rumah kosong di sebelah. Kamu bisa tinggal di sana."Tari mengerutkan kening. "Mas nyewain rumah supaya aku bisa tinggal berdekatan dengan kalian?""Bukan, Tan. Rumah sebelah juga milik Ayah. Kalau kata Bunda akan ditempati oleh siapa pun dari kami yang menikah terlebih dahulu. Ayah juga memiliki beberapa rumah lainnya yang sudah dipersiapkan untuk kami bertiga."Tanpa Andrian menjelaskan, si sulung sudah membeberkan semua. Lelaki itu cukup bangga dengan Febi. Gerakannya cepat walau tidak di suruh."Jadi, nggak ada alasan lagi untukmu menolak tinggal bersama kami," kata Andrian."Pa, Mama Lita kenapa marah-marah tadi?" tanya Shalwa mengingat kejadian sebelumnya.Bukannya menjawab, si ayah malah melirik Tari. Sorot matanya memerintah agar gadis itu menjelaskan pada buah hatinya. Sang sekretaris p
Happy Reading*****Baru merebahkan diri dari rasa lelah yang menyerang, suara anak-anak membuat mata Tari terbuka. "Tante ... Tante," panggil Akmal. Bocah lelaki itu masih berdiri di ambang pintu kamar si gadis yang tak tertutup sempurna. Saat itu, Andrian masih berada di rumah tersebut, duduk di ruang tengah sambil menikmati acara televisi yang jarang sekali ditontonnya selama ini."Adik sama siapa ke sini?" tanya Andrian melihat si bungsu sendirian di depan kamar sang sekretaris."Diantar Bibi, tapi langsung pulang tadi. Katanya masih ada yang mau dikerjain."Lelaki itu menganggukkan kepala, menoleh ke arah kamar sang gadis. Saat itu, Tari begitu terlihat menggemaskan dengan wajah yang terlihat masih mengantuk. Andrian tertawa dalam hati, setelah sekian lama. Dia bisa melihat kembali wajah sang pujaan pas bangun tidur seperti sekarang."Adik sama siapa ke sini?""Bibi, Tan," jawab Akmal."Sini, Sayang." Tanpa rasa canggung Tari duduk di sebelah Andrian. Lelaki itu bahkan tak dihi
Happy Reading*****Sebelum menjawab salam dari perempuan di hadapannya, Tari meneliti tampilan orang tersebut dari atas ke bawah. Rentang waktu setahun telah mengubah perempuan itu menjadi jauh lebih baik. Pakaian yang semuanya tertutup serta tutur kata lembut saat menyapa. Mencerminkan adanya perubahan dalam dirinya."Waalaikumsalam. Apa kabar, Bu?" sapa Tari berusaha menghormati perempuan itu."Jangan panggil aku ibu. Saya bukan suami atasan kamu lagi," ucap perempuan itu yang tak lain adalah Lita. Tari sama sekali tidak mengetahui apa yang terjadi pada Lita hingga merubahnya seperti sekarang. Walau jelas tahu bahwa perempuan itu sudah tidak bersama Andrian, tetapi Tari tetap berusaha menghormatinya. Terlepas dari segala ancaman dan teror yang pernah dilakukan, istri Andrian sudah memaafkan semua kesalahan itu.Baru akan menjawab perkataan Lita, dari arah belakang Andrian memanggil nama Tari. "Sayang, belanjanya sudah selesai belum." Lita dengan cepat menundukkan pandangan dari l
Happy Reading*****Ingin rasanya Tari menghilang saat ini juga. Bagaimana bisa dia sebrutal itu. Sungguh, si perempuan tidak menyadari aksinya sudah meninggalkan begitu banyak jejak pada suaminya.Andrian yang tahu jika istrinya terkejut dengan hasil perbuatannya sendiri, hanya bisa mengulas senyum. Hatinya berbunga-bunga, ternyata Tari juga bisa seganas tadi. Sebelum sang istri menjawab perkataan putranya, lelaki itu berbisik."Kamu hebat, Sayang. Mas ketagihan dengan yang tadi." Lalu, lelaki itu membuka selimutnya dan menjejakkan kaki ke lantai.Tari menghela napas panjang. Benar-benar jahil suaminya itu. Tidak tahukah Andrian jika dirinya malu setengah mati dengan kebrutalan itu. Melihat begitu banyak jejak di bagian tubuh sang suami yang lain, Tari menggelengkan kepala. Dia kemudian fokus pada Akmal sebelum si kecil bertanya macam-macam."Iya, Sayang. Nanti, Mama pasti obati bekas gigitan serangga di leher Ayah," jawab Tari pada akhirnya.Perempuan itu merutuki dirinya sendiri ya
Happy Reading*****Sesampainya di kamar, Tari membuka pintu dengan tergesa. Takut juga jika sang suami sampai salah paham dengan perkataannya tadi. "Mas, jangan salah paham, dong," ucapnya.Sekarang, Andrian sedang mengganti pakaiannya dengan kaos serta celana pendek. Dia melirik sang istri sebentar. "Gimana nggak salah paham. Kamu membandingkan lelaki lain di depan suamimu. Aku itu cemburuan, Sayang. Bukankah kamu sudah tahu sejak dulu?" Sang suami melanjutkan aktifitasnya melipat sarung dan menggantung baju koko, tiba-tiba saja suasana hati Andrian berubah jelek."Membandingkan gimana, Mas?" Sepertinya, Tari memang salah memilih kata. Padahal maksudnya tadi bukan membandingkan Andrian dengan Pamungkas. "Kalau nggak membandingkan terus apa? Bukankah kamu mengatakan kasus kami berbeda. Maksudmu pasti si Pamungkas pasti jauh lebih baik dari Mas, kan?" Andrian duduk di tepi ranjang dan memajukan bibir. Setelah menjadi suami Tari, lelaki itu makin manja saja. Tidak ingat sama umur.Sek
Happy Reading *****Andrian tidak pernah bosan dengan ibadah menyenangkan bersama sang istri. Sekali lagi, mereka melakukannya dan setelahnya tertidur hingga suara azan Zuhur membangunkan. Tari melenguh dan meregangkan tangan. Kemudian menatap lelaki di sebelahnya yang masih menutup mata."Mas, bangun. Sudah Zuhur," kata Tari pelan disertai guncangan pelan pada lengan Andrian."Hmm," jawab Andrian, tetapi matanya masih tertutup. "Boleh nggak kalau Mas salatnya di rumah saja?""Tidak boleh. Memangnya Mas Andri mau disebut salihah?" kata Tari cepat.Seketika Andrian membuka mata dan menatap sang istri. "Kok bisa salihah, Yang?"Memutar bola mata dan tersenyum, Tari berkata, "Ya, kan. Seorang perempuan itu lebih baik salat di rumah. Nah, jika seorang lelaki tidak salat di masjid tanpa uzur yang jelas, kan, namanya salihah." "Ih, jadi kamu ngatain Mas, ya?" Andrian gemas sendiri melihat wajah sang istri. Dia menggelitik pinggang perempuan itu sampai minta ampun setelahnya."Sudah ... su
Happy Reading*****Tari menengok pada suaminya. Indera Andrian sudah dipenuhi kabur gairah. Tak akan bisa lagi perempuan itu beralasan lain apalagi anak-anak tidak berada di kamar lagi. "Mas mau sarapan apa? Biar aku siapkan dulu," katanya berusaha lepas dari pelukan Andrian yang makin erat dan menggebu."Sarapan kamu boleh, Sayang?" Andrian semakin berani. Mulai menciumi leher dan juga pundak sang istri."Jangan dulu, masih ada anak-anak di rumah. Jika mereka tiba-tiba ketuk pintu kayak kemarin, malah tidak nyaman. Lebih baik, biarkan aku masak supaya cepat sarapan dan meminta bantuan Bapak sama Ibu untuk menjaga anak-anak," kata Tari mencoba bernegosiasi. Dia, hanya perlu sedikit waktu untuk melayani suaminya. Menata jantung yang terus saja bertalu."Anak-anak sudah dibawa ngungsi sama Mas Radit. Di rumah ini tinggal kita berdua, Sayang. Mas sudah nggak sabar menantikan hari ini, apalagi melihat wajah cantikmu. Mas semakin nggak kuat menahannya." Andrian mulai melancarkan rayuan ke
Happy Reading*****Siang berlalu dan berganti sore. Sudah tidak ada tamu lagi di rumah Radit. Namun, ketiga buah hati Andrian dan juga ponakannya Tari tidak mau beranjak dari kamar pengantin. Mereka memonopoli perempuan yang baru saja menjadi istri Andrian.Sekarang, keempat anak-anak itu malah tidur di ranjang dengan Tari di tengah. Andrian yang duduk di sofa depan tempat tidur menatap malas pada anak-anak tersebut."Kenapa selalu saja ada gangguan saat aku ingin berduaan dengan istriku. Radit sama Haura memangnya nggak nyariin anaknya? Enak sekali mereka berdua. Bukan mereka yang jadi pengantin, tapi malah mereka yang berduaan," gerutu Andrian.Matanya mengawasi anak-anak dengan sangat iri karena mereka bisa tidur dipeluk oleh Tari. Jengkel dengan keadaan di kamarnya, Andrian keluar tanpa pamit pada sang istri. Turun, di ruang keluarga, terlihat Radit dan juga Ibrahim tengah berbincang, entah membahas apa. Andrian pun berniat untuk bergabung daripada suntuk memikirkan malam pertama
Happy Reading*****Ingin rasanya Andrian menghilang saat ini juga. Kenapa obrolan yang harusnya cuma untuknya dan sang istri harus didengar oleh ibu mertua. Jadi, tidak bisa menjalankan misi. "Saya nggak modus, Bu. Tari memang terlihat capek. Kasihan kalau sampai siang harus berdiri sampai sore," alibi Andrian."Tidak mungkin sampai sore. Sebelum Zuhur saja sudah habis. Lebay banget kamu."Ibrahim menatap istri dan menantunya bergantian. "Kalian berdua ini, kok, tidak pernah akur," katanya, "kalau Nak Andri mau istirahat duluan saja sana, tapi jangan lama-lama."Lelaki yang baru saja menjadi suami Tari itu memutar bola mata malas. Mana ada istirahat sendiri. Lebih baik di sini menemani sang istri. Tujuan utama istirahat Andrian adalah untuk melepas kerinduan jika sendirian mana bisa. Seketika, wajah gadis yang sudah dihalalkannya tersenyum. Tari seperti mengerti kekecewaan sang suami. "Lagian, Mas itu kenapa tidak sabaran banget.""Rinduku itu sudah seperti puncak Himalaya, Sayang
Happy Reading*****Selesai salat berjemaah di masjid, Andrian bersiap-siap. Keluarga Ustaz Muhammad diminta menginap di rumahnya karena lelaki itu memang sudah tak memiliki keluarga di kota tersebut. Semua adiknya tinggal di pulau seberang bahkan si bungsu tinggal di negara sebelah sehingga mereka tidak bisa datang pada pernikahan ketiga Andrian.Anak-anak beserta istri sang Ustaz sedang dirias oleh MUA yang disewa terpisah oleh Andrian dari WO yang digunakan. Lelaki itu sudah siap dengan setelan jas serta kopiah. Dia duduk di ruang keluarga bersama Ustaz Muhammad menunggu yang lain untuk berangkat ke rumah Tari."Sudah siap Pak Andri?" tanya sang Ustaz."Insya Allah, sudah. Lahir batin sudah siap, Taz. Rasanya, pernikahan kali ini sangat menegangkan. Semalam hampir nggak tidur mikirin hari ini," jujur Andrian mengakui semua kegundahan hatinya.Sang ustaz tertawa. "Mungkin karena gadis yang Pak Andri nikahi sangat spesial. Makanya, mikirin terus.""Sepertinya begitu, Taz. Entahlah."
Happy Reading*****Kembali dengan wajah ditekuk-tekuk, suasana hati Andrian memburuk. Pertemuan dengan WO yang dia sewa untuk pesta pernikahannya pun kurang bersemangat seperti hari sebelumnya. Semua karena kejujurannya yang menceritakan kejadian kemarin pada sang pujaan."Atur semua dengan baik, Pak. Saya percaya pada WO yang Bapak pimpin. Lagian tamu yang saya undang juga tidak banyak," kata Andrian pada pemilik organizer."Baik, Pak. Kami sudah menyiapkan dengan baik dan persiapan sudah hampir 50%," ucap sang organizer."Bagus, kita langsung ketemu di tempat acara saja karena mulai besok saya nggak bisa datang ke tempat tersebut.""Jadi, saya harus koordinasi dengan siapa, Pak?""Mungkin saudara kandung calon istri saya. Nanti, saya kirim nomor beliau. Tolong berikan yang terbaik dan turuti permintaan calon istri saya.""Baik, Pak. Saya bisa bergerak dari sekarang jika seperti itu.""Silakan." Andrian meninggalkan restoran cepat saji tempat janjian mereka. Dia kembali ke kantor de