Happy Reading*****Usai sarapan, Tari segera membereskan semua peralatan memasaknya. Hendak mencuci piring, Andrian mendekati gadis itu dan berkata. "Nggak perlu kamu cuci peralatannya. Ada Bibi yang akan membereskan semua. Temani anak-anak saja di ruang tengah. Aku mau minta ijin pada guru mereka. Mungkin sampai seminggu ke depan mereka nggak bisa masuk sekolah." Andrian melangkah pergi sebelum mendengar jawaban Tari."Tapi, Mas. Kasihan Bibi jika semua pekerjaan dilimpahkan padanya," kata Tari sedikit keras."Jangan membantah, Tar. Aku sedang nggak punya tenaga untuk berdebat denganku sekarang. Sesekali, turuti perintahku tanpa bantahan, ya?" Andrian melembutkan suara. Kedua inderanya menatap Tari penuh permohonan."Baiklah, Mas," ucap Tari. Lalu, di menaruh mangkok dan peralatan lain di wastafel. "Untuk masalah kerjaan bagaimana, Mas. Ada beberapa meeting hari ini. Salah satunya dengan Pak Rico. Beliau hari ini menyempatkan diri untuk datang ke kantor pusat.""Biar aku telpon unt
Happy Reading*****Tari tak lagi menghiraukan perkataan Andrian. Dia segera keluar tanpa melihat wajah lelaki itu. Berapa kali, dia harus menolak untuk memperkenalkan si bos pada orang tuanya. Sungguh, Tari sangat takut dan tak mungkin bisa bersama dengan lelaki itu. Pernah berada di posisi sebagai korban dari ketidakadilan ayahnya membuat gadis itu benar-benar menjauhi kata pelakor dalam rumah tangga seseorang.Melihat tingkah si gadis yang terlihat marah saat ini, Andrian melajukan kendaraan dengan kecepatan di atas rata-rata. Niat di dalam hatinya harus segera terealisasi, tetapi dia butuh pendapat seseorang untuk memastikan bahwa apa yang dilakukannya nanti tidak bertentangan dengan syariat Islam.Andrian banyak mendengar bahwa seorang lelaki itu tidak bisa menceraikan istrinya yang sedang hamil. Jadi, dia ingin mengetahui hukum yang sebenarnya pada Ustaz yang beberapa minggu ini secara rutin mengajarinya memperdalam ilmu agama. Kurang dari tiga puluh menit, Andrian sudah sampai
Happy Reading*****Belum sehari Andrian berpisah dengan Nina, dia sudah sangat merindukan sang istri. Di saat hatinya galau seperti ini biasanya Ibu dari anak-anaknya itu akan selalu bisa menenangkan. Seperti laju angin, dia membelah jalanan kota terbesar kedua di tanah air agar segera sampai di rumah.Dari agenda milik Nina semalam yang sempat dibaca, Andrian menemukan sebuah curhatan sang istri beberapa hari sebelum kepergiannya. Sekilas lelaki itu melihat nama Tari dan Lita, sayangnya Andrian belum sempat membaca seutuhnya agenda tersebut. Hari ini, Andrian sudah berjanji dalam dirinya sendiri akan menyelesaikan membaca semua yang tertulis di buka agenda Nina.Sesampainya di rumah, Andrian melihat anak-anaknya tengah terduduk lesu di kamar si sulung. "Asalamualaikum," salam lelaki itu."Waalaikumussalam. Ayah lama sekali nganter Tante Nina," ujar Shalwa. Si tengah yang menginjak kelas empat itu memang paling manja di antara ketiga buah hatinya. "Terus tantenya mana sekarang, Yah?
Happy Reading*****"Jangan berteriak di rumahku. Kamu nggak tahu kami masih berkabung. Apa kamu nggak punya otak hingga berteriak-teriak di rumah ini? Keterlaluan sekali," bentak Andrian. Setelah keluar dari ruang kerja dan mengetahui jika yang berteriak tadi adalah Lita.Lelaki itu tak dapat lagi menahan emosinya. Suasana hati yang tak karuan setelah membaca agenda milik almarhumah Nina kini bertambah dengan kedatangan Lita yang tak diinginkan. Berani sekali perempuan hamil itu menampakkan diri di depannya setelah semua kesalahan yang dilakukan."Kamu yang keterlaluan, Pa. Mengapa rumah digembok dan aku tidak boleh masuk? Semua baju-baju juga dikeluarkan. Papa ngusir aku?" Bukannya merendah, tetapi suara perempuan itu makin meninggi. Mungkin akan terdengar sampai ke kamar anak-anak. Buktinya, si bibi yang tengah beristirahat juga tergopoh mendekati ruang tengah. Sepertinya mendengar keributan yang dibuat oleh Lita."Kamu lupa jika rumah itu milikku? Lagian kamu sudah berselingkuh,
Happy Reading*****Menyadari sikap bingung dari sang sekretaris, Andrian mendekat. Bersama dengan ketiga buah hatinya, dia mengajak Tari duduk di sofa. "Kamu nggak bakal tinggal di sini. Ada rumah kosong di sebelah. Kamu bisa tinggal di sana."Tari mengerutkan kening. "Mas nyewain rumah supaya aku bisa tinggal berdekatan dengan kalian?""Bukan, Tan. Rumah sebelah juga milik Ayah. Kalau kata Bunda akan ditempati oleh siapa pun dari kami yang menikah terlebih dahulu. Ayah juga memiliki beberapa rumah lainnya yang sudah dipersiapkan untuk kami bertiga."Tanpa Andrian menjelaskan, si sulung sudah membeberkan semua. Lelaki itu cukup bangga dengan Febi. Gerakannya cepat walau tidak di suruh."Jadi, nggak ada alasan lagi untukmu menolak tinggal bersama kami," kata Andrian."Pa, Mama Lita kenapa marah-marah tadi?" tanya Shalwa mengingat kejadian sebelumnya.Bukannya menjawab, si ayah malah melirik Tari. Sorot matanya memerintah agar gadis itu menjelaskan pada buah hatinya. Sang sekretaris p
Happy Reading*****Baru merebahkan diri dari rasa lelah yang menyerang, suara anak-anak membuat mata Tari terbuka. "Tante ... Tante," panggil Akmal. Bocah lelaki itu masih berdiri di ambang pintu kamar si gadis yang tak tertutup sempurna. Saat itu, Andrian masih berada di rumah tersebut, duduk di ruang tengah sambil menikmati acara televisi yang jarang sekali ditontonnya selama ini."Adik sama siapa ke sini?" tanya Andrian melihat si bungsu sendirian di depan kamar sang sekretaris."Diantar Bibi, tapi langsung pulang tadi. Katanya masih ada yang mau dikerjain."Lelaki itu menganggukkan kepala, menoleh ke arah kamar sang gadis. Saat itu, Tari begitu terlihat menggemaskan dengan wajah yang terlihat masih mengantuk. Andrian tertawa dalam hati, setelah sekian lama. Dia bisa melihat kembali wajah sang pujaan pas bangun tidur seperti sekarang."Adik sama siapa ke sini?""Bibi, Tan," jawab Akmal."Sini, Sayang." Tanpa rasa canggung Tari duduk di sebelah Andrian. Lelaki itu bahkan tak dihi
Happy Reading*****Senang hati, Andrian merentangkan tangannya, menyambut pelukan orang-orang yang disayangi. Namun, kedua mata Tari mendelik membuat lelaki itu mengurungkan niatnya. Si bos, hanya memeluk ketiga buah hatinya saja."Nggak usah marah gitu kenapa. Aku nggak bakalan meluk kamu, Tar. Kecuali kamu yang minta," ucap Andrian disertai kerlingan mata. Tari membalas dengan dehaman saja. Malas sekali menanggapi sikap genit si bos. Bukan sekali ini, lelaki itu menggoda dirinya. "Ayo kalian harus makan sekarang. Setelah itu salat Magrib doakan Bunda." Ketiga buah hati Andrian mengurai pelukan dengan sang ayah. Mereka mengangguk patuh dan berlalu meninggalkan ayahnya berdua dengan sang sekretaris."Tunggu, Tar," pinta Andrian ketika si gadis hendak keluar juga. Tangan yang semula ingin memegang pergelangan Tari, terhenti saat sang gadis mendelik sadis."Saya tidak punya banyak waktu. Mas mau apa?" Walau wajah Tari terlihat jutek, tetapi kata-katanya masih sangat lembut."Ambilkan
Happy Reading*****Selesai menidurkan Akmal dan membantu Bibi beres-beres semua peralatan. Tari pamit untuk kembali ke rumah sebelah. Namun, Andrian bersikeras ingin mengantar si gadis. Terpaksa Tari menuruti permintaan si bos pemaksa.Sesampainya di rumah, lekas Tari membuka pintu dan berkata, "Sebaiknya, Mas pulang saja. Tidak enak jika terlihat tetangga karena sudah larut malam apalagi saya tinggal sendirian."Andrian membenarkan letak kopiah yang dikenakan. Rasa gugup mulai melanda. Sejak perkataan Ustaz Muhammad tadi, lelaki itu ingin kembali mengatakan maksud hatinya untuk melamar Tari."Sebentar saja, Tar. Ada sesuatu yang harus kamu tahu. Aku sama Lita sudah bercerai, pengacara sedang mengurus semua surat-surat gugatan. Tadi, Ustaz Muhammad sempat menegurku terkait hubungan kita," kata Andrian. Tanpa dipersilakan lelaki itu duduk di kursi yang berada di teras.Menyatukan kedua tangan dan meremasnya pelan, Tari begitu khawatir dengan perkataan Andrian. Takut jika sang Ustaz be