Gemericik hujan terdengar syahdu dari dalam cafe kecil yang terasa hangat. Ara terlihat duduk menikmati secangkir coklat panas yang tersaji di depannya. Setengah jam yang lalu, wanita itu baru saja bertemu dengan salah satu klien, dan memutuskan untuk meneduh karena hujan turun sangat deras."Carol, apa kamu sudah punya pasangan?" Carol yang sedang menambahkan gula ke dalam kopinya seketika tersenyum tipis."Belum, Nyonya. Salah satu syarat bekerja dengan Tuan adalah tidak memiliki pasangan, dan tidak boleh berhubungan dengan siapapun termasuk keluarga." sahutnya."Loh? Aturan macam apa itu? Bukankah itu berarti kebebasan kalian telah dibeli?" tanya Ara tak habis pikir. Sungguh ia nya baru tahu kalau Ghazi menetapkan sebuah aturan yang menurutnya terlalu berlebihan. Ara sendiri juga punya banyak pekerja, tetapi ia tak pernah memberi aturan sekejam itu. Carol menggeleng. Matanya masih fokus menatap gelas kopi miliknya. "Itu hanya berlaku selama kami terikat dengan Tuan, Nyonya. Kalau k
Tik, tok, tik, tok.Suara detak jarum jam terus menggema mengisi keheningan yang melingkupi sebuah ruangan temaram. Di dalamnya, terlihat seorang wanita yang tengah duduk di kursi tunggal berwarna merah, sembari menikmati segelas koktail ditangannya. Menyesap sedikit demi sedikit, membiarkan minuman penggugah hasrat itu perlahan membasahi kerongkongannya. Menghadirkan rasa nikmat disetiap teguknya."Bawa dia kemari."Suara wanita itu mengalun rendah memecah keheningan. Membuat salah satu pria yang sedari tadi berdiri di belakangnya, seketika mengangguk dan melangkah keluar.Hanya sepersekian detik, pria itu kembali diikuti oleh dua orang lain yang memapah seorang pria yang terlihat tak berdaya. Wajah pria itu babak belur, dengan banyak sayatan pisau di tubuhnya."Lepaskan dia." Bruk! Kaki yang tak siap menopang tubuhnya sendiri, membuat pria itu terjatuh berlutut tak jauh dari si wanita. "Bagaimana kabarmu hari ini? Apa menyenangkan?" Pria yang sedari tadi menunduk, perlahan mendonga
"Nyonya, apa Anda sudah sarapan?" Ara hanya diam mengabaikan seruan Carol. Wanita itu tampak berdiri di balkon kamarnya, sembari memandang langit biru yang kini dipenuhi gumpalan kapas putih. Ini adalah hari kedua setelah Ara mengetahui kebohongan Ghazi, dan selama itu pula, dirinya hanya berdiam diri di dalam kamar. Ghazi yang sedang bekerja di luar kota pun membuat Ara tak perlu memikirkan cara untuk menghindari pria itu. "Saya sudah sarapan Carol." sahut Ara. Ia bisa melihat Carol yang kini menghela napas lega, dari balik ponsel miliknya yang ia sambungan dengan CCTV di bagian luar."Syukurlah kalau begitu, Nyonya. Saya juga ingin memberitahu Anda kalau Tuan akan pulang hari ini." Mendengar ucapan Carol, wajah Ara langsung berubah cemas. Wanita itu bergegas masuk ke dalam kamar, dan mulai mengemasi barang-barang miliknya. Ia benar-benar belum siap kalau harus bertemu kembali dengan Ghazi. Sebab Ara masih sangat merasa kesal sekaligus kecewa pada pria itu."Anda ingin pergi keman
"Saya mau tidur di luar."Ghazi yang baru saja selesai mandi sontak mendelik. Pria itu melempar handuknya asal, dan beranjak duduk di samping Ara."Saya nggak setuju. Saya nggak mau tidur sendirian Ra." sahutnya menolak.Sejak pertengkaran mereka kemarin, Ara memang menjaga jarak dari Ghazi dan mendiami pria itu. Sebenarnya Ara sendiri tak tega bersikap demikian kepada sang suami. Karena ia bisa memahami, kalau tindakan Ghazi itu adalah hal yang cukup wajar dilakukan. Pria itu hanya tak mau dibenci oleh istrinya sendiri. Dan Ara juga tidak bisa menyalahkan Ghazi atas kematian sang papa. Sebab Dany menyelidiki kasus itu, murni atas tuntunan pekerjaan, dan kemauannya sendiri. Bahkan kalau dipikir-pikir, Ara seharusnya membantu pria itu untuk segera menemukan pelakunya, agar ia juga bisa tahu siapa dalang dibalik kecelakaan sang papa.Namun, Ara tetap tidak bisa memaafkan Ghazi begitu saja. Hatinya sudah terlanjur kecewa, karena pria itu tak bisa menepati ucapannya sendiri. Ara masih san
"Motor siapa ini Ra?"Ara yang sedang berkaca disalah satu spion sepeda motor pun menoleh. Senyum manis seketika mengembang di bibirnya, saat melihat Ghazi yang sudah rapi dengan pakaian yang sebelumnya telah ia siapkan. "Ayo kita ke pasar pakai ini Mas." ucap Ara menepuk pelan jok motor matic yang ada di sampingnya.Hari ini Ara ingin menghabiskan waktunya bersama Ghazi. Pagi-pagi sekali wanita itu meminta Carol untuk mencarikannya sebuah sepeda motor, dan hanya butuh sepuluh menit, Carol sudah kembali membawa apa yang Ara minta."Kamu serius? Saya sudah lama nggak naik motor loh Ra," sahut Ghazi terlihat ragu.Ara mengibaskan tangannya ke udara. "Ah, pasti bisa kok. Kamu naik sepeda saja bisa, masa naik motor nggak bisa?" Ghazi nampak menggaruk pelipisnya pelan. Keraguan tercetak jelas di wajahnya yang tampan. "Naik mobil saja ya Ra?" Ara menggeleng. "Saya maunya pakai ini Mas. Ayolah sekali-kali ... " Wanita itu mengatupkan kedua tangannya di depan dada.Kalau sudah melihat sang
"Menurutmu apa arti mahkota di sini?"Willy meraih pin kecil yang ada ditangan Ghazi. Maniknya menelisik setiap bagian yang ada di sana. "Mahkota itu lambang kekuasaan, legitimasi, keabadian, kejayaan, kemakmuran dan kehidupan setelah kematian bagi pemakainya. Dan biasanya mahkota itu dipakai oleh seorang Raja atau Ratu." ucap Willy. Pria itu nampak terpegun dengan kalimatnya sendiri. "Bukankah ini berarti ... ""Belum tentu." sahut Ghazi. Melihat ekspresi Willy, Ghazi langsung tahu apa yang pria itu pikirkan. Willy pasti beranggapan, kalau pin itu milik sang ratu atau si pelaku utama yang memimpin para anak buahnya. "Itu memang berlaku dalam sebuah aturan kerajaan. Tapi di dalam dunia hitam, seorang Tuan hanya akan memberi tanda pada anjingnya. Bukan dirinya sendiri."Willy tercenung. Pria itu terdiam memikirkan fakta yang baru saja Ghazi sebutkan. "Jadi maksudmu, pin itu milik antek-anteknya?" Ghazi mengangguk. "Ya, anak buah yang memiliki kuasa besar, sesuai dengan arti mahkota y
"Ayo cepat sembuh Ra, saya nggak suka lihat kamu sakit begini."Ara tersenyum mendengar rengekan Ghazi. Wanita itu mengelus pelan surai sang suami yang berada tepat di atas perutnya. "Saya sudah lebih baik kok Mas." sahut Ara. Saat ini ia sedang duduk bersandar di atas tempat tidur, dengan Ghazi yang berbaring memeluknya. Sudah hampir satu minggu, kondisi kesehatan Ara memang menurun. Memori ingatan yang kembali, membuat wanita itu sempat tertekan dan berimbas pada kesehatan fisiknya. "Saya hari ini bolos saja ya Ra? Saya mau nemenin kamu di rumah." lirih Ghazi. Ia merasa menjadi suami yang tak berguna. Sebab selama Ara sakit, Ghazi belum pernah merawat wanita itu. Badai masalah yang sedang menerjang bisnisnya, membuat Ghazi sangat sibuk dan selalu pulang larut malam.Setiap pagi, Ghazi selalu seperti ini. Memeluk sang istri, sembari memohon agar ia diperbolehkan untuk menemani wanita itu. Tetapi Ara yang mengetahui masalah yang tengah terjadi pun tentu tak membiarkan Ghazi melapas t
Seorang wanita terlihat berjalan menyusuri liuk jalan setapak yang ada di halaman belakang. Setelan hitam yang ia kenakan, seperti membaur dengan gelapnya suasana malam yang tenang. Cahaya bulan yang menawan, turut mengiringi langkahnya yang ringan. "Mau kemana?" Seorang pria bertanya ketika wanita itu telah sampai di dekat gerbang bagian belakang yang menjadi pembatas dunia luar. "Bukan urusanmu." sahutnya tanpa ekspresi. Si pria menghela napas mencoba sabar. Sikap dingin wanita di depannya ini memang terkadang terasa menyebalkan. "Sudah meminta izin?" Wanita itu mengangguk. Ia mengeluarkan tanda pengenal yang kini telah berubah warna menjadi hijau di bagian logonya. Itu berarti, salah satu tuan mereka telah memberi izin untuk bisa keluar dari rumah."Kembalilah sebelum satu jam." ucap si pria membukakan pintu gerbang. Wanita itu hanya diam berlalu keluar, dan masuk ke dalam sebuah taxi yang sudah menunggunya. Kendaraan itu pun melaju pelan, menjauhi rumah besar tempatnya bekerja