Mereka kini sampai di pusat desa dengan Ester yang sudah berdiri di tengah kerumunan, di atas sebuah panggung kecil yang terbuat dari campuran pasir dan batu bata. Ester memegang tongkat penyihir yang terbuat dari rotan ajaib yang memiliki banyak kekuatan sihir di dalamnya. Ester berdiri sambil memejamkan mata dan mulutnya merapalkan banyak mantra meminta berkah dari dewa alam, Elea melihatnya dari bawah, namun ia tampak tak senang. Segera naik ke atas dan menemui kakaknya. “Ester….” Ester membuka matanya seketika menoleh, gadis itu tersenyum menyambut kedatangan Elea. “Kau sudah datang, lihatlah.. aku sudah membuat persiapan perang, sebentar lagi kita akan menghabisi para monster yang mengancam kita di luar sana, dan kita semua akan hidup damai.” Elea menunjukkan ketidaksenangannya, dengan segera memprotes tindakan Ester ini yang menurutnya sanggatlah impulsif. “Ester… bukankah kita sudah cukup hidup damai selama ini? selama kita berada di dalam pelindung, kita semua akan aman.” U
Elea menahan nafas dengan gemetar melihat Leon memukuli Chester dengan brutal, ia bisa melihat kemarahan yang begitu besar dari matanya. Leon mengangkat kerah baju Chester membuatnya yang terbaring kini terangkat hampir ke posisi duduk. “Leon…!” Elea berteriak memanggil saat Leon mengangkat tangan ingin kembali memukul membuat Leon menengok ke arahnya, gadis yang terduduk berusaha menutupi bagian tubuhnya yang terbuka karena pakaiannya sudah robek dikoyak oleh Chester. Gadis itu menggeleng pelan meminta Leon untuk berhenti memukuli. Leon mendorong tubuh Chester membiarkannya jatuh ke tanah. Serigala yang kini sudah jatuh pingsan karena menerima pukulan bertubi darinya. Leon berjalan menghampiri Elea dan membuka mantelnya memberikannya pada gadis itu untuk menutupi tubuhnya. Leon duduk di sebelahnya sembari menghela nafas berat sementara Elea memegang erat mantel itu menutupi tubuhnya dengan malu. “Kau marah? Kalau iya kau bisa pukuli dia sekarang. Tenang saja, dia tidak akan mati
Saat ini tepat satu minggu setelah pengumuman perang di pusat desa diumumkan, Elea masih di hutan buangan bersembunyi di dalam gua yang gelap dan hanya ada sebuah obor untuk penerangannya. Dia tidak bisa kembali ke desa menemui Ester sementara ia telah kehilangan tanda di pergelangan tangannya, selain itu ia juga takut keluar Gua karena ada banyak Vampir dan Serigala di luar sana, jadilah Elea hanya menunggu di dalam Gua sembari memeluk lutut merasakan dinginnya sore karena matahari hampir sepenuhnya tenggelam. Elea yang membenamkan kepalanya di antara lutut mendongak saat mendengar suara keributan di luar. Terdengar suara cekcok Leon dan Chester berdebat dengan beberapa orang yang suaranya tak ia kenal. “Tolong biarkan kami masuk putra mahkota, sebentar lagi juga raja akan datang, dia telah mengetahui apa yang kalian berdua sembunyikan di tempat ini.” Elea berdiri dengan penasaran berjalan lebih dekat ke arah mulut Gua, di sana ia dapat melihat ada enam orang berdiri di depan pint
Hutan yang semula sepi kini ramai dengan para penduduk yang sudah berkumpul siap berperang. Memang pelatihan para prajurit sangatlah singkat, tapi Ester membantu meningkatkan stamina mereka dengan cepat menggunakan sihirnya. Selain itu, semua senjata yang mereka pakai juga sudah terselubung sihir dan juga racun yang sangat kuat. Para penduduk laki-laki berdiri dengan gagah berbaris menunggu arahan, sementara para anak kecil dan wanita bersembunyi di rumah mereka masing-masing, hanya ada beberapa yang ikut karena menawarkan diri. Para wanita yang tinggal menggunakan sihir yang mereka pelajari membuat ilusi seolah desa mereka menghilang dari sana, mereka semua telah menyiapkan pertahanan untuk dampak dan risiko terburuk dari perang ini. Ester menghela nafas berat, adiknya masih tak juga kunjung kembali ke desa, ia yakin para monster itu telah menculiknya dan menjadikannya sebagai tahanan. Adiknya yang begitu polos tidak tahu mana yang berbahaya dan tidak, selama ini ia biarkan karna
Perbatasan hutan buangan… Saat ini Ester berdiri di hadapan bangsa Vampir dan Serigala bersama para penduduk desa. Tampak tatapan kebencian yang sangat besar dari kedua belah pihak, perang ini tidak akan berakhir sampai ada yang mati salah satu di antara mereka. Ester tampak memejamkan mata dan merapalkan beberapa mantra, tumbuhan dan tanaman di sekitar mulai bergoyang dan lapisan pelindung yang melindungi hutan desa mulai menghilang perlahan-lahan. “...Hari ini biar dewa yang menentukan… kami akan membasmi kalian para monster, kami akan menghukum kalian sesuai hukum alam… peperangan ini akan menjadi pertemuan kita untuk yang terakhir….” Ester mengangkat tangannya ke atas mulai membuat pedang dengan mengumpulkan energinya. Sebuah pedang berwarna perak dengan cahaya hijau yang mengelilinginya muncul, kini pelindung telah benar-benar menghilang dan mereka semua dengan cepat memulai pertarungan. Saat ini kekuatan mereka seimbang, Bangsa Serigala yang bersatu dengan bangsa Vampir.
Saat ini mereka sedang berada dalam penjara kayu yang sangat kuat. Walau sudah di pukul, di tendang, bahkan sampai di bakar sekalipun penjara itu tak sedikit pun hancur. Liza duduk dengan lelah, melihat teman-temannya yang sudah berkeringat karena kelelahan juga berusaha membuka penjara. Seekor siluman Rubah besar lewat dan menatap mereka dengan sangar. “Percuma saja, kayu itu terbuat dari kayu Arhen yang telah mati, kayu itu bahkan lebih kuat dari baja. Kalau bukan karena cairan khusus, kami pun tidak bisa membentuknya hingga menjadi sangkar penjara. Rubah betina itu terlihat sangat kekar dan seram, berbeda dengan Rubah lain yang bertubuh ramping dan paras yang cantik. Yoona mendekati jeruji penjara dan mencoba mengajak berkomunikasi siluman Rubah besar itu. “Hai, aku ingin tahu sampai kapan kami disini? Kami bahkan belum makan.” Yoona berusaha terlihat ramah, tapi rubah besar itu malah menyipitkan mata ke arahnya kemudian berbalik pergi. “Huh, merepotkan! dia sangat mirip sek
Klak… Pintu kayu dibuka dan Viona memunculkan kepalanya di sana. “Ada apa ayah, ibu?” Viona melihat ibunya yang hampir sampai ke pintu dan ayahnya yang menunggu di bawah. “Sekarang kami akan berangkat berburu, kami ingin tanya kamu suka hewan apa?” Viona tersenyum dan berpikir. “Aku ingin seekor kelinci putih!” jawabnya. Orang tuanya tersenyum, namun tampaknya ibunya penasaran dan ingin mengintip karena Viona hanya membuka sedikit rumah pohonnya. “Ada apa, Bu?” Viona merapatkan pintunya hingga hanya satu matanya yang terlihat. “Bukan apa-apa, sekarang sedang musim berburu, kau terpaksa banyak menghabiskan waktu di rumah pohon, pasti membosankan, bukan. Dan berhati-hatilah, nak. Tahanan yang dikurung baru saja kabur, mungkin saja mereka sudah keluar desa, tapi tidak ada yang tahu mereka pergi ke mana.” Viona mengangguk mengerti, ibunya tersenyum kemudian pergi dengan tenang. Viona menutup pintu, kini tampak orang-orang yang merapatkan diri ke dinding takut ketahuan. Suku Rub
“Lukisan itu milik--” “Kau tidak punya saudara?” Andrew bertanya memotong ucapan Viona. “Tidak, dari kecil aku hanya sendiri.” Aldric yang sedari tadi mengawasi sekitar takut ada binatang tanah yang mendekatinya akhirnya pun berceletuk. “Aku kira suku Rubah sudah punah, tidak ada kabar tentang suku Rubah selama ratusan tahun bahkan saat aku masih hidup sebagai Serigala.” Viona tampak murung seperti mengingat sesuatu yang sedih. “Memang benar suku kami hampir punah, setelah kejadian yang membinasakan banyak suku Rubah, kami berusaha keras untuk tetap hidup. Hutan ini seolah mengulurkan tangan memberikan rumah dan rasa aman pada kami, tapi populasi Rubah yang tersisa menurun, penyakit aneh yang menyerang anak-anak membuat banyak anak yang meninggal karena sakit. Sampai saat ini kami tidak tahu bagaimana cara mengatasinya. Makanya, aku pun tidak punya teman. Mereka semua sakit, kalau ada yang sehat pun tidak boleh keluar rumah.” cerita Viona dengan murung. “Memangnya penyakit