Di kediaman keluarga Rayn. Semua sedang menikmati makan malam, kecuali Kiano yang masih di kantor sedang berkutak dengan beberapa pekerjaannya. Ia pun merasa lehernya terasa sangat tegang. Karena ia harus beradu menatap layar pada laptopnya yang berisi beberapa laporan perusahaan. Kedua matanya pun sudah memanas.
“Lebih baik lembur, daripada harus dengerin ocehan dari mama sama papa soal keturunan,” dengus kesal Kiano sambil melonggarkan dasi pada kra bajunya. Ia sebenarnya muak dengan aturan yang ada di keluarganya. “Kapan aku bisa bebas memilih apa yang aku mau. Tanpa ada campur tangan dari mereka,” gumamnya.
Di meja kerjanya Celline terlihat mukanya sangat muram. Karena, ia harus lembur bagaikan kuda. Ia bahkan tidak sempat berkencan dengan kekasihnya. Ia merasa bete sebenarnya akan sikap bosnya. Sialnya dia masih terikat kontrak kerja dengan perusahaan Rayn Konstruksi.
“Bu Celline nggak pulang?”
“Mana mungkin saya bisa pulang, Pak. Ini kerjaan mau bagaimana?”
Karen pun ingin sekali tertawa. Ia hanya bersyukur nasibnya hanya sebagai staf admin penjulannya yang nggak pernah berhubungan langsung dengan atasan. Meskipun, gajinya nggak sebesar Celline.
“La, ayo balik.”
“Bentar lagi, Ren. Ini nanggung banget.”
“La, buruan. Nanti kerjaan kamu mau ditambah lagi sama si bos gimana?”
Danilla menghela napas singkat. “Iya, sih. Kadang kamu agak pinteran!”
“Sialan. Emang aku sebego itu kah?” tanya Karen.
“Ya, bisa dibilang begitu sih,” kekeh Danilla.
“Sialan banget kamu!” umpat Karen dengan hati dongkol.
“Kan, kamu emang agak bego. Apalagi kalau soal cinta yang bisa membunuhmu.”
“Heem. Nggak usah sok ceramahin aku masalah cinta. Bagaimana kabarnya mas Akbar yang tidak kunjung datang? Mungkin aja sudah punya wanita lain. Yang pastinya lebih cantik dan bohay. Ketimbang kamu, La,” Karen pun tertawa kering.
“Bukan urusan kamu, Karen. Aku yakin, kalau mas Akbar bakalan balik,” ucap Danilla dengan mengangkat kepalanya tegak.
“Yakin? Bakalan balik lagi mas Akbarnya? Ingat ini udah hampir ratusan purnama loh,” ujar Karen.
“Tunggu saja tanggal mainnya,” ujar Danilla. “Walau raga aku dan mas Akbar terpisah di antara dua samudra, tapi aku yakin rasa cinta masih sama,” imbuhnya.
“Masa? Aku kok nggak yakin ya?” Karen berusaha membuat Danilla berprasangka buruk ke Akbar.
“Aku yakin seribu persen! Mas Akbar bakalan setia,” cetus Danilla dengan tersenyum tipis. “Ya, aku yakin. Mas Akbar bakalan pulang,” batinnya.
“Setiap tikungan mungkin pasti ada!” kekeh Karen.
“Sembarangan aja, kalau ngomong!” cetus Danilla menjitak kepala Karen.
“Auw!” ringis Karen dengan merasa kesakitan sekali.
*
“Mana suami kamu, Vir?” Rayn pun bertanya terhadap menantu kesayangannya yang duduk bersama di meja makan.
“Mas Kiano sedang di kantor lembur, Pa,” jawab Vira.
“Bagaimana bisa dia berikan saya cucu, kalau dia lembur terus?” ujar Rayn.
“Sayang, mungkin Kiano sedang ada proyek khusus,” sahut Joana dengan menuangkan air mineral ke dalam gelas suaminya.
“Mana bisa dia begini terus?” omel Rayn. “Dia punya istri di rumah, seharusnya dia itu lebih cepat pulang. Apa dia nggak sadar kalau sudah beristri, Ma?”
Vira pun hanya terdiam. Ia tidak tahu lagi menghadapi suaminya.
“Vir, bilang ke suamimu. Dia harus pulang sekarang, kalau enggak. Saya akan mencoretnya dari data ahli waris keluarga Rayn.”
“Baik, Pa.”
Vira seorang perempuan cantik yang dulu tinggal di sebuah panti asuhan, ia pun terpaksa menerima perjodohannya dengan Kiano. Ia sudah terlanjur berjanji terhadap keluarga Kiano yang memberikan bantuan untuk bersekolah.
Berulang kali Vira menelpon Kiano, namun panggilannya selalu diabaikan. Ia pun hanya terdiam dalam bisunya malam.
“Apa aku hanya istri yang ada di atas kertas, Mas,” satu tarikan napas Vira sambil menahan rasa sakitnya. Bahkan, pria itu tidak pernah tidur satu ranjang bersamanya.
Vira pun kembali ke meja makan, ia pun terdiam membeku.
“Bagaimana suami kamu sudah bisa dihubungi?” Rayn pun bertanya kembali ke menantu kesayangannya.
Vira hanya mengelengkan kepalanya.
“Keterlaluan anak itu!” geram Rayn mengepalkan tangan kanannya di atas meja makan. Ia pun merasa kasihan dengan Vira yang selalu diabaikan Kiano.
“Pa, Vira baik-baik saja. Mungkin, mas Kiano sedang ada banyak pekerjaan di kantor,” Vira pun tersenyum kaku, ia pun tidak ingin ada pertengkaran antara bapak dengan anak. Ia berusaha memberikan alasan, agar situasi tidak bertambah panas.
“Biar papa yang hubungi dia! Masa kerjaan jadi prioritas, sedangkan punya istri malah dianggurin gitu saja,” omel Rayn dengan nada berat berselimut emosi.
-
Kiano semalaman tidak pulang sama sekali. Ia memilih bermalam di kantor hingga ketiduran di dalam ruangannya.
“Mas?”
Suara samar-samar terdengar di telinga kanan Kiano.
“Vira?”
“Mas, ini sarapan pagi untuk mas,” ujar Vira membawakan satu rantang bersusun dua berisi makanan.
Kiano pun bangun. Ia merasa tidurnya terganggu dengan kedatangan istrinya.
“Taruh saja di sana,” Kiano menunjuk ke arah meja dekat sofa. “Dan, kamu sebaiknya pulang saja. Karena saya tidak butuh kamu!”
Vira hanya diam. Ia pun mencoba menahan rasa perih di hatinya.
“Aku memang bukan istri idaman kamu, mas. Tapi, apa salahnya aku melakukan tugas sebagai seorang istri untukmu,” Vira mengucap dalam batinnya, lalu ia pun pergi keluar dari ruangan Kiano tanpa menjawab atau berkata sepatah kata pun.
“Dasar istri sialan!” desis Kiano.
Kiano pun menelpon seorang office boy untuk ke ruangannya. Lalu, dalam lima menit office boy pun datang.
TOK! TOK! TOK!
“Masuk!” perintah Kiano.
“Ada apa bapak memanggil saya ke sini?” tanya office boy itu dengan nada gemetar. Karena sikap Kiano yang buat banyak karyawan ketakutan.
“Itu kamu bawa dan makan,” Kiano menunjuk ke sebuah rantang yang tadi dibawakan oleh Vira.
“Baik, Pak.”
“Jangan lupa cuci kalau sudah kamu habiskan,” ujar Kiano dengan nada dingin.
“Terima kasih, Pak.”
“Heem.”
Office boy itu pun keluar dengan membawa rantang susun itu. Di ujung sana Vira merasa sangat kecewa. Karena sang suami tidak pernah menghargai usahanya sama sekali. Ia hanya mampu menahan rasa sesak di dadanya.
“Apa aku harus bertahan dengan pernikahan ini?” pikir Vira dengan menahan tangisnya di sebuah toilet kantor.
*
Di kantor ada kabar heboh sekali. Danilla terlihat penasaran, tapi enggan mencari tahu.
“Emang ada berita apaan sih?” tanya Karen.
“Mana aku tahu, Ren. Aku bukan anggota lambe turah!” Danilla mengangkat kedua bahunya. Ia memang tidak tahu kalau masalah gosip apapun. Ia tidak ingin hidup ngurusin hidup orang. Karena hidupnya saja udah serumit itu.
“Dasar kamu nggak pernah update!” cicit Karen dengan bibir manyun.
“Halah. Paling gosip murahan. Kok peduli amat!” Danilla malah menguyah permen karetnya.
“Tapi, emang kamu nggak penasaran dengan apa yang digosipin sama yang lain?” Karen menatap Danilla.
“Penasaran sih, tapi enggak ah. Ntar nambah-nambahin dosa kalau dengerin berita yang belum tentu sumber kebenarannya,” Danilla pun mengambil permen karet dari tasnya lalu mengunyahnya perlahan-lahan.
“Terus aja makan permen karet, kalau keselek baru tahu rasa!” sindir Karen.
“Sialan! Kamu pakai nyumpahin aku segala!” dengus Danilla sambil mengembungkan permen karetnya.
Tawa kecil Karen melihat bibir kerucut Danilla.
“Udah donk jangan ngunyah permen karetnya, kalau ketahuan bos kamu bakalan…”
“Emang ada pasalnya buat nggak boleh makan permen karet di kantor?”
“Enggak sich.”
“Yaudah nggak usah bawa-bawa bos!”
“Danilla.”
Danilla tersentak, ketika ia membuat gelembung balon pada permen karetnya. Ia pun tidak sadar di hadapannya ada Kiano. Sedangkan, kerumunan itu sudah berhamburan pergi melihat kedatangan Kiano.
“Kamu habis ini ke ruangan saya. Ada yang perlu saya sampaikan.”
Danilla hanya mengangguk dan memasukan kembali gelembung balon permen karet ke dalam mulutnya.
“Siap Bos!” cengir Danilla sambil mengacungkan tangannya.
“Satu hal lagi.”
“Apa, Pak?”
“Saya tidak melarang karyawan saya makan permen karet. Asal kerjaan kamu bagus,” Kiano mengucapnya dengan nada dingin, lalu membalikkan badan menuju ke ruangan singasananya.
“La, kamu jangan selengekan begitu di depan bos,” bisik Karen.
“Udah woles aja!” balas Danilla.
“Buang dulu permen karet kamu,” ujar Karen sedikit berbisik. “Jangan lupa sampai salam ke Pak Kiano!” cengir Karen sambil mengedip-kedipkan kedua kelopak matanya.
“ISH!” desis Danilla yang enek dengerin kata-kata dari Karen. “Kenapa mata kamu? Kumat?”
Karen malah nyengir tanpa menjawab pertanyaan Danilla.
Danilla pun mengikat rambutnya yang ikal sebahu membentuk kuncir kuda sehingga menonjolkan tengkuk lehernya. Lalu, mengambil beberapa berkas di meja kerjanya.
“Semangat, La! Kamu pasti bisa!” Karen mengangkat tangan kanan yang dikepalkan sambil melengkungkan senyuman bulan sabit di bibirnya.
TOK TOK TOK.
“Masuk!” perintah Kiano dari dalam ruangan.
Danilla pun masuk ke dalam ruang Kiano Rayn. Ia pun menarik napas pendek, lalu menghembuskan. Ia merasa sangat gugup sekali memasuki gerbang neraka.
“Bismillah,” ucap Danilla sebelum masuk ke dalam ruangan panas beraura neraka.
*
Di luar seperti biasa. Celline menguping di balik pintu ruang bosnya.
EHEM.
“Apaan?” Celline menatap sinis, ketika Karen yang memergokinya sedang menguping pembicaraan bosnya dengan Danilla di dalam.
“Bu Celline, kuping kamu nggak panas?” sindir Karen.
“Bukan urusan kamu Karen,” sungut Celline dengan menatap tajam Karen. Hidungnya kembang kempis.
“Astaga, biasa aja Bu Celline. Nggak usah pakai otot,” kekeh Karen.
Celline menaikkan alis sebelah matanya, ia terlihat sangat dongkol dengan sikap Karen.
Lima belas menit kemudian Danilla keluar dari ruangan. Hingga membuat Celline terkejut, karena ia takut ketahuan sedang menguping pembicaraan di dalam ruangan bosnya.
“Pasti dia nggak lama lagi,” gumam Celline sambil pura-pura bekerja di depan komputernya.
Danilla pun merasa sebal. Karena, ia harus lembur malam ini juga. Padahal dia sudah membeli tiket konser BTS di Senayan.
“Sial banget! Aku nggak jadi lihat bias nanti malam!” gumam Danila. “Semua ini karena bos sialan itu!” imbuhnya mengetuk-ketuk jari jemari kukunya di atas meja kerjanya.
“Kamu kenapa, La?” tanya Karen memincingkan kedua matanya. “Apa kamu ada masalah sama si bos?”
Danilla pun duduk di meja kerjanya dengan wajah murung. Ia melipat kedua tangannya, lalu menyembunyikan wajahnya di sana.
“Kenapa kamu? Masa keluar dari ruang bos muka kamu kayak zombie hidup?” tanya kembali Danilla.
“Aku gagal lihat BTS!” rengek Danilla.
Karen hanya mampu tertawa hingga perutnya kram. Ia tidak menyangka kalau sahabatnya yang rela antri hingga dua hari dua malam di Senayan buat belain lihat konser BTS. Ternyata harus mengagalkannya.
Danilla merasa lemas dan ingin berkata kasar terhadap bosnya.
*
Selamat membaca ya. Tunggu episode selanjutnya.
“La, aku pulang dulu ya!" pamit Karen. “Ya!” sahut Danilla dengan mengerucutkan bibirnya. “Selamat bekerja! Thank’s juga buat tiket gratisnya,” ejek Karen dengan menunjukkan sebuah tiket BTS. Hingga membuat Danilla mendengus kesal. “Sial banget nasib gue YA TUHAN!” gerutu Danilla sambil memperhatikan layar pada laptopnya. Ia merasa sebal dan nggak bisa mikir sama sekali. “Danilla.” “Iya, Pak?” sahut Danilla“Kamu kerja di ruangan saya saja,”
Sejak dituduh memiliki hubungan gelap dengan bosnya.Danilla memilih untuk mengundurkan diri hari itu dan detik itu juga. Ia merasa kalau harga dirinya terinjak-injak oleh pemilik utama perusahaan Rayn Konstruksi Grup. “La, sampai kapan kamu bakalan kayak gini?” tanya Karen menatap sahabatnya yang sibuk dengan ponselnya. Danilla hanya terdiam, ia tidak peduli dengan ucapan sahabatnya. Karen pun tidak bisa lagi berkata-kata.Ia sudah hafal benar watak Danilla yang sangat keras kepala sekali. “La, kalau kamu nggak mau nyari kerja sekarang. Lebih baik kamu pulang kampung aja!” cetus Karen dengan kesal. 
Sejak semalam Danilla merasa asam lambungnya naik. Ia tidak bisa tidur sama sekali. Ia pun merasakan seperti hampir mati saja. Ia pun merasa sangat sesak hingga uluh hatinya. Makan atau minum sedikit pun rasanya tidak bisa. Semua makanan dan minuman itu keluar. Ia sangat mual sekali Wajah Danilla pun mendadak terlihat sangat pucat pasi sekali. Ia hanya mampu tidur lemas di atas ranjang kamarnya. Ia memang memiliki pola makan buruk sejak dia tidak bekerja. Ia bahkan kadang sehari makan sekali. Sejak kemarin malam Danilla susah tidur. Bahkan, ia merubah posisinya juga tetap saja terasa tidak enak sekali. Keringat dingin itu pun keluar dari ujung kepala hingga ke telapak kakinya. Dia juga mengalami demam sangat tinggi “La, kamu
Danilla merasa sangat lapar. Padahal dia itu selalu malas makan. Ia merasakan nafsu makannya sangat bertambah. “La, hati-hati kamu makin subur!” “Ah, bodoh amat!” “Kalau kamu gendut kayak raksasa gimana?” “Nggak mungkin, Ren,” tepis Danilla. “Aku nggak bakalan gendut.” “Lihat kamu itu kok aneh banget. Masa makan kayak orang kesurupan saja.” “Emang kamu nggak begah sama perutmu?” “Enggak
Sebuah rumah mewah milik keluarga Rayn. Bangunan klasik ala italia dengan batu marmer hingga ukiran. Terdiam hingga terpaku. Tangan kanan Danilla digenggam erat oleh Kiano dari turun dari mobil hingga kedua kakinya menapaki area halaman rumah. “Kenapa bapak ajak saya ke sini?” Danilla mengendus ada sesuatu yang janggal. Senyuman pria di hadapan terlihat sangat licik sekali. “Apa yang dia rencanakan? Apa Pak Kiano salah satu mafia yang memperjual belikan wanita?” pikirnya. Kiano hanya menyungingkan yang membuat Danilla merinding. Senyuman yang terlihat sangat dingin dan mencekam. “Sial! Apa aku akan dijebak sebagai wanita penghibur pria-pria hidung belang?” Danilla menaik
Sudah hampir dua hari Vira menunggu di depan pintu rumahnya. Suami yang dia idamkan belum juga datang. Hatinya terasa begitu sangat pedih. Ia hanya bisa berdoa semoga suatu saat nanti Tuhan akan melembutkan hati pria yang menjadi suaminya. Vira hanya mampu membatin, bahkan ia juga tidak pernah disentuh sama sekali oleh suaminya. Ia hanya dapat mengadu kepada Tuhan, agar memberikan keadilan atas ketulusan cintanya. Ia sudah bersabar tanpa batas waktu. Cintanya tidak bisa terbalaskan sama sekali. Sikap dingin suaminya selalu ia terima dan telan mentah - mentah. Dia tidak pernah mengeluh sama sekali. Ia terima, meskipun ada banyak luka-luka yang ia sembunyikan setiap waktu yang bergulir. “Ra, apa kamu yakin akan bertahan dengan pria seperti suamimu itu?” &
Di sebuah ranjang empuk. Danilla tidak sadarkan diri, setelah melihat sebuah garis biru pada alat tes kehamilannya. Ia merasa sangat terkejut. Padahal seingatnya dia belum pernah melakukan hal itu. Ia berjanji hanya melakukannya setelah menikah. “Apa aku hamil? Ini nggak mungkin. Pasti alat testpack nya sudah kadaluwarsa. Ini terjadi kesalahan,” Danilla berpikir keras, ketika itu sebelum dia benar-benar terlihat semu. Ia pun jatuh pingsan. Dokter Anita sudah memeriksa Danilla yang kondisinya baik-baik saja. “Pak Kiano tolong dijaga istrinya. Karena, kehamilan muda rawan untuk keguguran.” “Iya, Dok.”&nb
Danilla masih merasa terkejut, apalagi ia dinyatakan hamil. Ia juga dia ajak menikah dengan bosnya. Tapi, ia menolaknya. “Kita harus menikah besok!” “Mau nggak mau kamu harus menikah dengan saya! Karena, itu calon anak saya ada di rahim kamu.” Semua kata-kata yang diucapkan oleh Kiano menari-nari dalam ingatannya. Ia pun merasakan kalau mantan bosnya itu keterlaluan. Sepanjang perjalanan Danilla merasa diikuti oleh seseorang. Saat dia menengok, tapi tidak ada satu pun. Sepanjang jalan suasana malam terasa sangat dingin dan mencekam. Ia pun mendengar suara-suara yang mampu menaikan bulu kuduknya.&n
Tubuh Vira mulai kejang-kejang. Seorang perawat pun langsung berlari meminta bantuan. Dokter pun datang langsung melakukan tindakan terhadap Vira.Detak jantung Vira berhenti seketika. Tekanan darahnya pun sudah menurun. Terlihat beberapa kali dokter melakukan tindakan untuk menstabilkan kondisi Vira."Pukul 05.00 sore. Tolong dicatat suster!” Ucap seorang dokter itu yang hanya bisa menghela nafas begitu berat. Bahkan dia berulang kali melakukan tindakan terhadap Vira.Perawat pun segera menutup dari kepala hingga ujung kaki menggunakan kain putih. Salah satu perawat pun keluar dari ruang ICU.“Bagaimana kondisi pasien?”Beberapa saat kemudian dokter pun datang. Wajahnya yang tampak begitu sangat kusam. Dokter itu mulai melepas kacamatanya sejenak. Dokter hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan tatapan yang begitu nanar.“Dok, apa yang terjadi dengan Vira?” Reihan menatap kedua sorot mata dokter yang menangani Vira.Dokter pun langsung memegang p
Pelukan hangat dari Kiano membuat Danilla semakin tenang. Dia merasakan kenyamanan dari sosok pria seperti Kiano.“Ya Allah. Kenapa hatiku terasa begitu sangat tenang ketika di dekatnya? Tapi aku tidak akan pernah mungkin untuk menyakiti wanita lain demi egoku kali ini. Ya Allah aku harus bagaimana? Apakah aku harus kembali pergi meninggalkan sosok pria seperti dia?” Danilla menggumam dalam hatinya."Aku tidak akan pernah bisa untuk melepaskan kamu kembali dalam kehidupanku. Bagiku kamu adalah bagian dari hidupku yang tidak akan pernah bisa mampu tergantikan oleh waktu.” Kiano menelan salivanya sendiri. Dia menggumam dalam hatinya sambil menepuk-nepuk punggung belakang Danilla. Dia juga sudah tidak mendengar isak tangis dari wanita itu.Danilla tertidur dalam pelukan kiano. Lalu Kiano membawa Danilla keranjang tempat tidur.Kiano langsung mengecup kening Danilla.“Selamat tidur bidadari hatiku. Aku akan terus mencintaimu setiap detik dan embusan nafasku. Bahkan aku tidak akan pernah m
Unit apartemen Kalibata pukul 05.00 sore, Kiano datang dengan wajah yang cukup lelah. Dia seharian mencari lowongan pekerjaan. Bahkan dia meminjam ke beberapa temannya sebagai modal membangun usaha.Kiano masuk ke dalam unit apartemennya. Lalu dia segera duduk di sofa ruang tamu. Dia menyandarkan punggungnya yang sedikit lelah. Kedua matanya yang terlihat begitu sangat redup. Dia mulai mengerutkan dahinya. Wajahnya yang terlihat begitu sangat masam.“Ternyata benar apa kata orang. Kalau lagi kere kayak gini, nggak ada temen pun yang mau minjemin duit sekalipun. Mereka bahkan pura-pura budek sekalipun!” Kesal Kiano dalam hati.Suara isak tangis yang terdengar samar-samar di telinga Kiano. Lalu dia segera untuk mencari sumber suara itu. Dia melangkahkan kedua kakinya ke ruang kamar. Dia melihat Danilla yang sedang menangis tersedu-sedu di balik pintu kamarnya.“Danilla?!”Kiano begitu sangat sigap sekali langsung memeluk Danilla begitu sangat erat. Lalu dia berusaha untuk menenangk
Mobil melesat begitu sangat cepat sekali menyapu jalanan Kota Jakarta. Wanita paruh baya itu yang terlihat begitu sangat bengis. Wajahnya yang terlihat penuh dengan amarah dan dendam.“Aku tidak akan pernah membiarkan cucuku jatuh ke tangan wanita murahan itu! Walaupun dia terlahir dari wanita murahan itu, tapi aku tidak akan pernah rela jika cucuku harus dididik dengan wanita seperti dia!”Di samping wanita itu terlihat bocah laki-laki yang sedang tertidur pulas. Semuanya itu berkat efek dari obat bius yang diberikan oleh beberapa bodyguard-nya.“Kamu tidak akan pernah bisa masuk ke keluargaku! Sampai kapanpun! Kamu bukan level dari keluarga Rayn!”Suasana yang terlihat begitu sangat tegang sekali. Wajah simetris dan tegang terlihat di wajah wanita itu. Dia mulai mengepalkan kedua tangannya. Kedua matanya mulai merah menyala.*Di unit apartemen, Danilla yang merasa sangat bersalah sekali. Dia tidak bisa mencegah kepergian dari putranya sendiri. Dia hanya bisa meratapi nasibnya
Danilla pun berjalan menuju ke ruang tamu. Lalu dia mulai menghampiri Kiano.“Mas, Aku mau ngobrol sama kamu.”“Soal?”“Mas, aku cuma mau ponselku kembali. Karena sudah dua hari ini aku tidak pulang ke apartemen Karen. Dia pasti khawatir dengan keadaanku. Aku janji nggak akan pergi lagi dari kamu.”Kedua mata Kiano membenci ke Danilla."Aku janji nggak bakalan pergi. Aku cuman ingin memberikan kabar kepada sahabatku. Mau bagaimanapun juga aku harus kasih tahu tentang keberadaanku. Aku mohon kali ini aja,” lanjut Danilla.Wajah datar Kiano. Lalu dia segera untuk menyodorkan ponsel milik Danilla. Dia mengambilnya dari laci dekat ruang tamu.“Makasih,” ucap Danilla.Danilla pun langsung pergi menuju ke kamarnya. Dia langsung segera menghubungi Karen.*Di unit apartemen, Karen yang merasa cemas dan sangat gelisah sekali. Dia bahkan belum mendapatkan balasan pesan dari Danilla.Drrrt...Ponsel Karen pun mulai berdering. Dia segera bergegas untuk mengambil ponselnya di atas mej
Vira tumbuhnya mulai kejang-kejang di rumah sakit. Dokter mulai melakukan pertolongan. Dibantu oleh tim medis lainnya.Di ruang tunggu terlihat Reihan yang cukup gelisah melihat kondisi Vira.“Kamu harus bertahan, Vir,” ucap Reihan.“Kamu harus bisa bertahan Vira. Karena aku yakin kamu bisa." Reihan mengucap kalimat itu sekali lagi. Dia berulang kali meyakinkan dirinya bahwa Vira akan baik-baik saja.Dokter di ruang ICU mulai melakukan tindakan terhadap Vira. Bahkan kedua mata Vira yang terlihat melotot ke atas. Tubuhnya yang masih kejang-kejang. Bahkan suhu tubuhnya demam tinggi. Detak jantungnya semakin melemah. Tekanan darahnya semakin menurun.Kegelisahan menyelimuti hati Reihan di luar. "Aku tidak akan pernah bisa diam saja begini. Dan aku akan membuat kalian membayarnya dengan tuntas!”*BRAK!Rayn terlihat begitu sangat marah sekali. Kedua matanya melotot ketika mengetahui nilai sahamnya merosot turun. Bahkan beberapa proyek-proyek dibatalkan oleh klien.“Dasar anak du
Danilla hanya bisa menatap cahaya senja di sore hari. Dia masih teringat tentang kisah masa lalunya. Senyuman itu masih membekas Di hatinya. Namun seberkas cahaya itu menjadi luka. Terdengar suara pintu yang terbuka. Kemudian Danilla memalingkan pandangannya ke arah pintu. Dia melihat dua orang pria yang berbeda generasi. “Apa itu mama?” Senyuman bocah laki-laki itu terlihat begitu sangat jelas. Bagaikan bunga kuncup yang mekar. Bahkan Danilla fokus ke arah bocah laki-laki itu. “Apakah dia anakku?” Gumam Danilla. Kedua mata Kiano berkaca-kaca, ketika menatap bocah laki-laki itu. Dia hanya mengagukan kepalanya. Kemudian bocah laki-laki itu pun bergegas berlari menghampiri Danilla. “Mama aku merindukanmu!” Seru bocah laki-laki itu sambil memeluk kaki kanan Danilla. Danilla hanya dia mematung. Bibirnya seakan bergetar. Kedua matanya berkaca-kaca. Lalu dia pun menekuk kedua lututnya agar tingginya sejajar. Dia memeluk bocah laki-laki itu dengan perasaan kerinduan yang mendalam berta
PLAK! Sebuah tamparan itu pun melesat begitu sangat kencang sekali hingga membuat pipi kanan Kiano merah dan panas. “Mama nggak nyangka kalau kamu bisa berbuat seperti ini kepada istrimu sendiri! Mama sudah peringatkan ke kamu, jauhi wanita jalang itu! Karena Mama nggak mau harga diri dari keluarga ini hancur gara-gara sikap kamu!” “Ma, tapi aku sangat mencintainya. Aku nggak bisa hidup tanpa dia. Karena dia juga Ibu dari anakku!” Joanna tersenyum kecut. “Mama nggak pernah peduli sama sekali, walaupun dia adalah ibu dari anakmu. Karena Mama tidak akan pernah sudi memiliki menantu wanita murahan seperti dia!” Joanna menekankan setiap kalimat yang keluar dari mulutnya. “Mama benar-benar sangat egois! Kenapa Mama ngebelain Vira terus dibandingkan dengan aku yang merupakan anak kandung mama?” Kiano tersenyum miris. "Kurang ajar kamu! Apa ini cara kamu berbicara dengan orang tua? Aku adalah ibumu yang mengandung selama 9 bulan dan melahirkanmu! Tapi kamu bersikap seolah-olah tidak me
Perasaan gelisah yang telah dihadapi oleh Danilla selama berada di Unit apartemen Kiano. Mendadak perutnya terasa begitu sangat lapar. Seketika Danilla pun pergi ke dapur. Dia mencari beberapa bahan-bahan yang bisa diolah menjadi makanan. Dia membuka lemari es. Dia langsung mengambil daging yang disimpan di freezer dan beberapa bahan bumbu sebagai pelengkap lainnya. “Nasib!” Gumam Danilla. Danilla segera untuk memotong daging tipis-tipis. Dia membuat olahan serundeng daging. Dia ingat masakan buatan dari ibunya di kampung halaman. Kerinduan itu terasa begitu sangat dalam. “Kangen ibu,” kedua mata Danilla mulai berkaca-kaca, ketika dia mengiris tipis-tipis daging itu. Seketika air mata itu pun berlinang jatuh membasahi kedua pipinya. Setelah selesai membuat serundeng daging. Dia segera untuk menanak nasi di Magic Jar. Setelah semuanya matang, lalu Danilla menyajikannya di atas meja makan. Danilla langsung menikmati masakannya sendiri. Dia menghabiskan hampir dua piring karena dia