Sejak semalam Danilla merasa asam lambungnya naik. Ia tidak bisa tidur sama sekali. Ia pun merasakan seperti hampir mati saja. Ia pun merasa sangat sesak hingga uluh hatinya. Makan atau minum sedikit pun rasanya tidak bisa. Semua makanan dan minuman itu keluar. Ia sangat mual sekali
Wajah Danilla pun mendadak terlihat sangat pucat pasi sekali. Ia hanya mampu tidur lemas di atas ranjang kamarnya. Ia memang memiliki pola makan buruk sejak dia tidak bekerja. Ia bahkan kadang sehari makan sekali.
Sejak kemarin malam Danilla susah tidur. Bahkan, ia merubah posisinya juga tetap saja terasa tidak enak sekali. Keringat dingin itu pun keluar dari ujung kepala hingga ke telapak kakinya. Dia juga mengalami demam sangat tinggi
“La, kamu kenapa?!” Karen terlihat panik melihat kondisi sahabatnya yang sangat pucat sekali.
“Lambung aku sakit banget, Ren,” rengek Danilla merasakan sesak hingga ke uluh hati.
“Kita ke klinik saja,” ujar Karen. “ Aku akan mengantarmu ke klinik naik motor.”
“Aku udah nggak kuat, Ren. Apa aku akan mati?” cetus Danilla dengan suara rintihannya menahan sakit di lambungnya.
“Husss! Ngawur banget kamu. Itu kalau sama ratu ngeyel. Dibilangin jangan telat makan. Ehh kamu malah nonton drakor hingga lupa makan dan minum. Itu rasain akibatnya!”
“Nggak usah banyak ceramah, Ren. Rasanya sakit banget mau meninggal!”
“Kamu itu masih muda. Masa mau meninggal dengan cepat! Emang kamu nggak pengen menikah dengan mas Akbar?” celetuk Karen.
“Aduh bawel banget kamu Ren. Kamu nggak pernah ngerasain rasanya sakit lambung akut!”
Karen pun mendengus kesal, ia melihat kalau sahabatnya memang sangat keras kepala dan ratunya ngeyel sejagad.
“Mangkannya kamu kalau punya kepala jangan kayak batu! Untung ada aku di sini, kalau enggak kamu bener-bener mati di sini!” omel Karen yang sangat kesal.
“Nggak usah nyumpahin, Ren!” sahut Danilla yang merasakan sakit hingga gulung-gulung di ranjangnya. “BURUAN!”
“Sabar aku masih pesan taksi online,” sungut Karen.
“Cepetan, Ren!” rengek Danilla yang masih gulung-gulung di atas ranjang kasurnya.
“Iya, bentar kali! Taksinya masih dalam perjalanan,” sahut Karen dengan sebal.
Sepuluh menit kemudian taksi online pun datang, Karen pun memapah Danilla menuju ke taksi online. Setelah itu, taksi segera melaju ke klinik terdekat. Dalam waktu lima belas menit, mereka sampai di depan klinik.
Danilla pun menuju ke ruang UGD, lalu ia pun dipindahkan ruang rawat inap. Ia pun hanya meringis kesakitan. Sedangkan, Karen pun mengurus administrasi untuk perawatannya.
“Karen?”
“Pak Kiano?” Karen tertegun, karena bertemu mantan bosnya yang mendadak menyapanya.
“Siapa yang sakit?” tanya Kiano.
“Danilla, Pak.”
“Oh.”
“Bapak?”
“Istri saya sedang melakukan operasi pengangkatan rahimnya.”
“Masyaallah.”
“Bagaimana kondisi Danilla sekarang?”
“Danilla ya sama kayak kemarin, Pak.”
“Apa dia sudah bekerja?”
Karen hanya mengelengkan kepalanya.
“Oh.”
Karen pun menatap wajah tegas Kiano yang benar-benar masculine. Bahkan wajahnya ditumbuhi bulu-bulu halus yang membuat dia semakit terlihat jantan sekali. Rahang kokohnya begitu mempesona. Kilah matanya masih sama.
“Aku nggak nyangka, kalau Pak Kiano kalau dilihat dari deket begitu tampan sekali. Rasanya ada sengatan listrik. Apa ini yang dinamakan jodoh pasti bertemu?” pikir Karen dalam lamunan.
“Apa dia ada di sini?” pikir Kiano yang mulai penasaran dengan Danilla. Ia sudah hampir tiga bulan tidak pernah menemui Danilla kembali. “Apa aku…” Kiano berpikir untuk meminta Danilla untuk menyewakan rahimnya. Ia pun menyeringai dengan rencananya. “Hanya dia yang akan cocok untuk mengandung anakku,” pikir Kiano sambil mangut-mangut mengusap-usap dagunya sendiri.
*
Vira masih terbaring lemah, setelah melakukan operasi pengangkatan rahimnya. Ia masih belum sadarkan diri akibat efek obat bius yang disuntikkan sewaktu operasi.
“Dok. Pasien bernama Savira Halim sudah sadar,” teriak perawat.
Dokter pun langsung memeriksa kondisi Vira yang masih lemah.
Vira mulai mencari di mana suaminya berada. Kedua matanya terus memeriksa setiap sudut.
“Maaf nyonya Vira. Tuan Kiano tadi berpesan, kalau dia harus ke kantor ada urusan yang urgent,” terang seorang perawat wanita yang mengurusnya.
“Iya, Sus. Tidak apa-apa,” balas Vira dalam rasa kecewa. “Apa aku lebih penting dari urusan perusahaan, Mas? Apa karena aku bukan wanita yang sempurna untuk bisa mengandung anakmu?” batin Vira dalam sebuah rasa kecewa.
_
Kiano masuk secara diam-diam di ruang rawat inap Danilla, lalu ia pun menyuntikkan cairan obat tidur. Ia membopong Danilla pergi dari ruang rawat inap. Ia akan membawa Danilla ke suatu tempat.
Kiano sudah mengurus semua administrasi rumah sakit, lalu ia membawa Danilla pergi dengan mobilnya menuju ke tempat klinik dokter Yuanita.
“Aku yakin kalau ini akan berhasil,” seringai Kiano dengan tatapan yang menyala, ia menyalakan mesin mobilnya. Lalu, melajukan dengan cepat.
Sepuluh menit kemudian.
Kiano pun telah sampai di depan parkiran klinik dokter Yuanita. Ia pun langsung mengendong Danilla ala bridal style. Wajah cantik dan natural Danilla membuatnya terpesona seketika.
“Kamu sangat mirip dengan dia, meskipun hanya sekedar mirip, La,” Kiano mengucap dalam batinnya. Ia merasa sosok perempuan di masa lalunya ada dalam diri Danilla Anatasya. Semenjak pertama kali ia melihat Danilla Anatasya dia sudah mulai jatuh hati.
Kiano pun sampai di depan ruang klinik dokter Yuanita. Ia pun masuk ke dalamnya dan membaringkan di ranjang.
“Siapa dia?” selidik dokter Yuanita.
“Dia adalah istri kedua saya,” ujar Kiano.
Dokter Yuanita tidak banyak bertanya, karena itu urusan pasiennya.
“Dia yang akan bersedia melakukan proses bayi tabung,” ujar Kiano.
Dokter Yuanita hanya tersenyum tanpa bertanya.
“Bagaimana dengan hasil lab saya, Dok?”
“Semuanya bagus dan kalau pun wanita itu dalam kondisi sehat. Kita bisa segera melakukannya,” ujar Dokter Yuanita.
Dokter Yuanita mulai melakukan pemeriksaan terhadap sel telur dalam rahim Danilla. Ia tidak menemukan kejanggalan apapun.
“Bagaimana, Dok?”
“Semuanya bagus. Kita bisa melakukannya,” ujar dokter Yuanita.
“Syukurlah,” Kiano merasa lega.
Dokter Yuanita membawa Danilla ke sebuah ruangan khusus yang berada di lantai tiga kliniknya. Kiano hanya menunggu di depan ruangan hingga proses pengambilan sel telur yang akan dibuahi oleh spermanya berhasil diambil.
Danilla diberikan suntikan untuk menghilangkan rasa sakit pada saat proses pembedahan keci pengambilan sel telur dengan teknik aspirasi folikel. Dokter Yuanita mulai memasukkan jarum tipis melalui vagina dan masuk ke dalam ovarium. Jarum tersebut dihubungkan dengan alat penghisap untuk menyedot sel telur. Ia mengulangi kembali hingga mendapatkan 15 sel telur dari ovarium Danilla.
Dokter Yuanita langsung melakukan injeksi sperma intrasitoplasma yaitu dengan cara menyuntikkan langsung sperma ke dalam sel telur. Setelah beberapa jam menunggu. Dokter Yuanita mengambil dua embrio terbaik untuk dipindahkan ke dalam rahim Danilla kembali.
Dokter Yuanita mulai memindahkan embrio yang dilakukan dengan menggunakan tabung tipis atau kateter untuk memasukkan ke dalam rahim melalui vagina. Ketika itu embrio menempel di lapisan rahim milik Danilla.
Setelah melakukan proses panjang. Dokter Yuanita memindahkan Danilla ke ruang rawat inap. Di sana Kiano sudah menunggu.
“Dok, bagaimana hasilnya?”
“Kita akan menunggu kurang lebih dua minggu. Dia harus beristhirahat total!” kata Dokter Yuanita, lalu meninggalkan mereka berdua.
Kiano sudah tidak sabar menantikan anak dalam kandungan Danilla, ia pun meminta seseorang untuk membantunya mengembalikan Danilla ke Rumah Sakit Medika utama. Ia juga sudah membayar biaya rumah sakit Danilla secara diam-diam.
*
Karen sangat cemas sekali. Ia tidak bisa konsentrasi dalam bekerja.
“Bagaimana kondisi Danilla sekarang?” pikir Karen.
Karen terpaksa meninggalkan Danilla sendiri di rumah sakit, karena ia sekarang sudah dipercaya untuk ikut andil proyek di Medan. Ia bersama Reihan wakil CEO Rayn Konstruksi grup.
“Karen!”
“Iya, Pak Rei!”
“Bisa kamu ke sini?”
Karen pun mengurungkan niatnya untuk menelpon Danilla. Ia pun harus segera mengahadap sesuai dengan perintah bosnya.
“Semoga kamu baik-baik saja, La.”
_
Dua minggu kemudian Danilla sudah boleh pulang, ia merasakan tubuhnya masih lemas, mungkin efek dari obat yang diberikan dokter kemarin. Ia pun tidur di atas ranjang kamarnya.
“Ren, Aku kok ngerasa makin lemes banget ya.”
“Ya, salah lu sich, Makan sembarang, terus nggak teratur,” omel Karen habis-habisan. “Gimana kalau nyokap dan bokap lu tahu keadaan lu sekarang. Pasti mereka bakalan sedih! Dasar bego!”
“Udah nggak usah ceramah, Ren,” gumam Danilla.
“Mangkannya, kalau dibilangin nggak usah ngeyel!” omel Karen.
“Tuh, makan bubur.”
“Kenapa cuman bubur sich?” protes Danilla. “Kenapa kamu nggak beliin aku nasi padang aja?”
“La, kamu itu masih sakit. Jangan minta makanan yang makin bikin kamu sakit!” omel Karen.
“Ih, biasa aja kali nggak usah ngegas,” balas Danilla.
“Cepet makan!” perintah Karen dengan melotot ke Danilla.
“Biasa saja. Nggak usah pakai otot, Ren. Kamu lama-lama galaknya sama kayak emak aku di kampung!” gumam Danilla sambil menyuap satu sendok bubur tanpa taburan apapun. Rasanya sangat hambar dan pengen muntah.
“Jangan samain aku dengan emak kamu di kampung!” kilah tajam mata Karen membuat merinding.
Danilla menghembuskan napas berat. Ia merasa nggak nafsu buat makan. Rasanya kalau cuman makan bubur polos yang lembek – lembek itu nggak enak banget pengen muntah malahan. Namun, sorot kedua mata Karen membuat mau nggak mau dia harus makan bubur tanpa apapun. Rasanya sangat hambar banget.
“Karen emang keterlaluan banget! Masa aku cuman dikasih makan bubur polosan! Rasanya mana bikin mual!” keluh Danilla dalam hatinya.
“Makan dong, La. Nggak usah kamu aduk-aduk. Kamu pengen sembuh apa pengen parah?” Karen mulai sewot membuat kedua telinga Danilla makin panas sekali.
“Sembuhlah!” Danilla mulai terlihat sangat sewot sekali. Buat makan saja susah. Ia merasa masih sedikit mual. Padahal cuman satu suapan sendok yang masuk ke dalam mulut.
“Kamu tinggal telan-telan aja. Nggak usah kamu rasain!” ujar Karen.
“Ngomong sih gampang, tapi bagaimana kamu berada di posisiku nggak bakalan bisa nelan sekalipun harus terpaksa,” gumam Danilla sambil berusaha menelan bubur polosan. “Iya, bawel,” dengus kesal Danilla.
-
Di kos an Danilla merasa makin mual-mual. Ia pun malah mencari mangga muda. Padahal dia punya lambung.
“Astaga, kenapa buah mangga sangat enak banget?” ujar Danilla.
Danilla merasa sering ngantuk, ia pun merasa tubuhnya jadi sangat lemas.
“La, kamu udah check up ke dokter lagi?”
“Belom.”
“Ayo.”
“Ren, tapi aku ngerasa udah baikan kalau makan buah mangga.”
“Astaga, kenapa kamu malah makan mangga muda. Kamu punya lambung loh?!”
“Aku tahu, tapi rasanya sakit itu hilang.”
“Apa kamu hamil?” cetus Karen.
“Aduh, Ren. Hamil sama siapa coba? Pacar aja aku nggak punya, gimana bisa hamil?”
“Iya-ya,” pikir Karen.
“Ya, mungkin lagi pengen aja aku makan buah mangga yang kecut-kecut seger,” kekeh Danilla yang mendadak aneh.
--
Danilla merasa sangat lapar. Padahal dia itu selalu malas makan. Ia merasakan nafsu makannya sangat bertambah. “La, hati-hati kamu makin subur!” “Ah, bodoh amat!” “Kalau kamu gendut kayak raksasa gimana?” “Nggak mungkin, Ren,” tepis Danilla. “Aku nggak bakalan gendut.” “Lihat kamu itu kok aneh banget. Masa makan kayak orang kesurupan saja.” “Emang kamu nggak begah sama perutmu?” “Enggak
Sebuah rumah mewah milik keluarga Rayn. Bangunan klasik ala italia dengan batu marmer hingga ukiran. Terdiam hingga terpaku. Tangan kanan Danilla digenggam erat oleh Kiano dari turun dari mobil hingga kedua kakinya menapaki area halaman rumah. “Kenapa bapak ajak saya ke sini?” Danilla mengendus ada sesuatu yang janggal. Senyuman pria di hadapan terlihat sangat licik sekali. “Apa yang dia rencanakan? Apa Pak Kiano salah satu mafia yang memperjual belikan wanita?” pikirnya. Kiano hanya menyungingkan yang membuat Danilla merinding. Senyuman yang terlihat sangat dingin dan mencekam. “Sial! Apa aku akan dijebak sebagai wanita penghibur pria-pria hidung belang?” Danilla menaik
Sudah hampir dua hari Vira menunggu di depan pintu rumahnya. Suami yang dia idamkan belum juga datang. Hatinya terasa begitu sangat pedih. Ia hanya bisa berdoa semoga suatu saat nanti Tuhan akan melembutkan hati pria yang menjadi suaminya. Vira hanya mampu membatin, bahkan ia juga tidak pernah disentuh sama sekali oleh suaminya. Ia hanya dapat mengadu kepada Tuhan, agar memberikan keadilan atas ketulusan cintanya. Ia sudah bersabar tanpa batas waktu. Cintanya tidak bisa terbalaskan sama sekali. Sikap dingin suaminya selalu ia terima dan telan mentah - mentah. Dia tidak pernah mengeluh sama sekali. Ia terima, meskipun ada banyak luka-luka yang ia sembunyikan setiap waktu yang bergulir. “Ra, apa kamu yakin akan bertahan dengan pria seperti suamimu itu?” &
Di sebuah ranjang empuk. Danilla tidak sadarkan diri, setelah melihat sebuah garis biru pada alat tes kehamilannya. Ia merasa sangat terkejut. Padahal seingatnya dia belum pernah melakukan hal itu. Ia berjanji hanya melakukannya setelah menikah. “Apa aku hamil? Ini nggak mungkin. Pasti alat testpack nya sudah kadaluwarsa. Ini terjadi kesalahan,” Danilla berpikir keras, ketika itu sebelum dia benar-benar terlihat semu. Ia pun jatuh pingsan. Dokter Anita sudah memeriksa Danilla yang kondisinya baik-baik saja. “Pak Kiano tolong dijaga istrinya. Karena, kehamilan muda rawan untuk keguguran.” “Iya, Dok.”&nb
Danilla masih merasa terkejut, apalagi ia dinyatakan hamil. Ia juga dia ajak menikah dengan bosnya. Tapi, ia menolaknya. “Kita harus menikah besok!” “Mau nggak mau kamu harus menikah dengan saya! Karena, itu calon anak saya ada di rahim kamu.” Semua kata-kata yang diucapkan oleh Kiano menari-nari dalam ingatannya. Ia pun merasakan kalau mantan bosnya itu keterlaluan. Sepanjang perjalanan Danilla merasa diikuti oleh seseorang. Saat dia menengok, tapi tidak ada satu pun. Sepanjang jalan suasana malam terasa sangat dingin dan mencekam. Ia pun mendengar suara-suara yang mampu menaikan bulu kuduknya.&n
“Ke mana Danilla?Kenapa orang suruhan bos Kiano meminta dibawa semua seluruh perlengkapan milik Danilla?” Karen mulai berpikir dalam kepalanya hingga dia mondar-mandir tidak jelas di kamar kos an. Ia pun ingin mencari di mana Danilla dibawa oleh bosnya. “Apa aku akan menanyakan masalah Danilla ke Pak Kiano besok di kantor?” pikir Karen sekali lagi. Karena, bagaimana pun juga mereka adalah sahabat. Karen pun duduk di sebuah ranjangnya, lalu ia pun menyalakan televisi. “Sepi juga nggak ada yang diajak ribut,” batinnya. Channel sudah Karen ganti berulang kali. Ia merasa dalam sebuah kebosanan. Ia hanya bisa berdoa dan ber
Di Rumah keluarga Rayn, terlihat wajah gelisah Vira. Ia merasa kalau akan terjadi sesuatu dalam rumah tangganya. Padahal impiannya hanya ingin menikah sekali seumur hidup. Ia tidak peduli harus hidup bersama pria yang selalu menganggap dia tidak pernah ada. “Sampai kapanpun aku akan mencintaimu, Mas,” lirih Vira menatap sendu setiap sudut ruangan. Ia hanya mampu menatap sepiring nasi yang ada di atas meja. Sudah hampir seminggu kabar Kiano tidak ada sama sekali. “Menunggumu adalah hal yang biasa untukku, Mas. Meskipun, seminggu aku akan bertahan dan lakukan. Bagiku, kamu adalah suami yang ku rindukan.” Di meja makan Vira pun terlihat hatinya cukup gelisah. Ia tidak sadar kalau kedua mertuanya sedang memperhatikannya yang sedang melamun.
Pov Kiano. Sepulang dari kantor. Aku mampir dahulu ke rumah utama, agar tidak ada yang mencurigai tentang apa yang terjadi. Aku tidak ingin sepupuku yang kurang kerjaan bakalan memata-mataiku sesuai dengan perintah papa dan mama. Apalagi dengan Vira yang selalu sajaa mencari perhatian. Hal itu membuatku sungguh muak. Aku menikahinya bukan karena cinta, tapi itu semua atas kemauan papa dan mamaku. Bodohnya aku mengiyakan pernikahan tanpa cinta yang tidak akan mungkin berhasil. Lima tahun pernikahan hanya ada jarak antara aku dengan Vira. Dia berusaha membuatku jatuh cinta ke dalam pelukannya. Tapi, itu nggak akan mungkin berhasil. Bagiku dia hanyalah seekor kecoak. “Mas?” panggil dia yang memakai lingerie serba terawang yang bermaksud
Tubuh Vira mulai kejang-kejang. Seorang perawat pun langsung berlari meminta bantuan. Dokter pun datang langsung melakukan tindakan terhadap Vira.Detak jantung Vira berhenti seketika. Tekanan darahnya pun sudah menurun. Terlihat beberapa kali dokter melakukan tindakan untuk menstabilkan kondisi Vira."Pukul 05.00 sore. Tolong dicatat suster!” Ucap seorang dokter itu yang hanya bisa menghela nafas begitu berat. Bahkan dia berulang kali melakukan tindakan terhadap Vira.Perawat pun segera menutup dari kepala hingga ujung kaki menggunakan kain putih. Salah satu perawat pun keluar dari ruang ICU.“Bagaimana kondisi pasien?”Beberapa saat kemudian dokter pun datang. Wajahnya yang tampak begitu sangat kusam. Dokter itu mulai melepas kacamatanya sejenak. Dokter hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan tatapan yang begitu nanar.“Dok, apa yang terjadi dengan Vira?” Reihan menatap kedua sorot mata dokter yang menangani Vira.Dokter pun langsung memegang p
Pelukan hangat dari Kiano membuat Danilla semakin tenang. Dia merasakan kenyamanan dari sosok pria seperti Kiano.“Ya Allah. Kenapa hatiku terasa begitu sangat tenang ketika di dekatnya? Tapi aku tidak akan pernah mungkin untuk menyakiti wanita lain demi egoku kali ini. Ya Allah aku harus bagaimana? Apakah aku harus kembali pergi meninggalkan sosok pria seperti dia?” Danilla menggumam dalam hatinya."Aku tidak akan pernah bisa untuk melepaskan kamu kembali dalam kehidupanku. Bagiku kamu adalah bagian dari hidupku yang tidak akan pernah bisa mampu tergantikan oleh waktu.” Kiano menelan salivanya sendiri. Dia menggumam dalam hatinya sambil menepuk-nepuk punggung belakang Danilla. Dia juga sudah tidak mendengar isak tangis dari wanita itu.Danilla tertidur dalam pelukan kiano. Lalu Kiano membawa Danilla keranjang tempat tidur.Kiano langsung mengecup kening Danilla.“Selamat tidur bidadari hatiku. Aku akan terus mencintaimu setiap detik dan embusan nafasku. Bahkan aku tidak akan pernah m
Unit apartemen Kalibata pukul 05.00 sore, Kiano datang dengan wajah yang cukup lelah. Dia seharian mencari lowongan pekerjaan. Bahkan dia meminjam ke beberapa temannya sebagai modal membangun usaha.Kiano masuk ke dalam unit apartemennya. Lalu dia segera duduk di sofa ruang tamu. Dia menyandarkan punggungnya yang sedikit lelah. Kedua matanya yang terlihat begitu sangat redup. Dia mulai mengerutkan dahinya. Wajahnya yang terlihat begitu sangat masam.“Ternyata benar apa kata orang. Kalau lagi kere kayak gini, nggak ada temen pun yang mau minjemin duit sekalipun. Mereka bahkan pura-pura budek sekalipun!” Kesal Kiano dalam hati.Suara isak tangis yang terdengar samar-samar di telinga Kiano. Lalu dia segera untuk mencari sumber suara itu. Dia melangkahkan kedua kakinya ke ruang kamar. Dia melihat Danilla yang sedang menangis tersedu-sedu di balik pintu kamarnya.“Danilla?!”Kiano begitu sangat sigap sekali langsung memeluk Danilla begitu sangat erat. Lalu dia berusaha untuk menenangk
Mobil melesat begitu sangat cepat sekali menyapu jalanan Kota Jakarta. Wanita paruh baya itu yang terlihat begitu sangat bengis. Wajahnya yang terlihat penuh dengan amarah dan dendam.“Aku tidak akan pernah membiarkan cucuku jatuh ke tangan wanita murahan itu! Walaupun dia terlahir dari wanita murahan itu, tapi aku tidak akan pernah rela jika cucuku harus dididik dengan wanita seperti dia!”Di samping wanita itu terlihat bocah laki-laki yang sedang tertidur pulas. Semuanya itu berkat efek dari obat bius yang diberikan oleh beberapa bodyguard-nya.“Kamu tidak akan pernah bisa masuk ke keluargaku! Sampai kapanpun! Kamu bukan level dari keluarga Rayn!”Suasana yang terlihat begitu sangat tegang sekali. Wajah simetris dan tegang terlihat di wajah wanita itu. Dia mulai mengepalkan kedua tangannya. Kedua matanya mulai merah menyala.*Di unit apartemen, Danilla yang merasa sangat bersalah sekali. Dia tidak bisa mencegah kepergian dari putranya sendiri. Dia hanya bisa meratapi nasibnya
Danilla pun berjalan menuju ke ruang tamu. Lalu dia mulai menghampiri Kiano.“Mas, Aku mau ngobrol sama kamu.”“Soal?”“Mas, aku cuma mau ponselku kembali. Karena sudah dua hari ini aku tidak pulang ke apartemen Karen. Dia pasti khawatir dengan keadaanku. Aku janji nggak akan pergi lagi dari kamu.”Kedua mata Kiano membenci ke Danilla."Aku janji nggak bakalan pergi. Aku cuman ingin memberikan kabar kepada sahabatku. Mau bagaimanapun juga aku harus kasih tahu tentang keberadaanku. Aku mohon kali ini aja,” lanjut Danilla.Wajah datar Kiano. Lalu dia segera untuk menyodorkan ponsel milik Danilla. Dia mengambilnya dari laci dekat ruang tamu.“Makasih,” ucap Danilla.Danilla pun langsung pergi menuju ke kamarnya. Dia langsung segera menghubungi Karen.*Di unit apartemen, Karen yang merasa cemas dan sangat gelisah sekali. Dia bahkan belum mendapatkan balasan pesan dari Danilla.Drrrt...Ponsel Karen pun mulai berdering. Dia segera bergegas untuk mengambil ponselnya di atas mej
Vira tumbuhnya mulai kejang-kejang di rumah sakit. Dokter mulai melakukan pertolongan. Dibantu oleh tim medis lainnya.Di ruang tunggu terlihat Reihan yang cukup gelisah melihat kondisi Vira.“Kamu harus bertahan, Vir,” ucap Reihan.“Kamu harus bisa bertahan Vira. Karena aku yakin kamu bisa." Reihan mengucap kalimat itu sekali lagi. Dia berulang kali meyakinkan dirinya bahwa Vira akan baik-baik saja.Dokter di ruang ICU mulai melakukan tindakan terhadap Vira. Bahkan kedua mata Vira yang terlihat melotot ke atas. Tubuhnya yang masih kejang-kejang. Bahkan suhu tubuhnya demam tinggi. Detak jantungnya semakin melemah. Tekanan darahnya semakin menurun.Kegelisahan menyelimuti hati Reihan di luar. "Aku tidak akan pernah bisa diam saja begini. Dan aku akan membuat kalian membayarnya dengan tuntas!”*BRAK!Rayn terlihat begitu sangat marah sekali. Kedua matanya melotot ketika mengetahui nilai sahamnya merosot turun. Bahkan beberapa proyek-proyek dibatalkan oleh klien.“Dasar anak du
Danilla hanya bisa menatap cahaya senja di sore hari. Dia masih teringat tentang kisah masa lalunya. Senyuman itu masih membekas Di hatinya. Namun seberkas cahaya itu menjadi luka. Terdengar suara pintu yang terbuka. Kemudian Danilla memalingkan pandangannya ke arah pintu. Dia melihat dua orang pria yang berbeda generasi. “Apa itu mama?” Senyuman bocah laki-laki itu terlihat begitu sangat jelas. Bagaikan bunga kuncup yang mekar. Bahkan Danilla fokus ke arah bocah laki-laki itu. “Apakah dia anakku?” Gumam Danilla. Kedua mata Kiano berkaca-kaca, ketika menatap bocah laki-laki itu. Dia hanya mengagukan kepalanya. Kemudian bocah laki-laki itu pun bergegas berlari menghampiri Danilla. “Mama aku merindukanmu!” Seru bocah laki-laki itu sambil memeluk kaki kanan Danilla. Danilla hanya dia mematung. Bibirnya seakan bergetar. Kedua matanya berkaca-kaca. Lalu dia pun menekuk kedua lututnya agar tingginya sejajar. Dia memeluk bocah laki-laki itu dengan perasaan kerinduan yang mendalam berta
PLAK! Sebuah tamparan itu pun melesat begitu sangat kencang sekali hingga membuat pipi kanan Kiano merah dan panas. “Mama nggak nyangka kalau kamu bisa berbuat seperti ini kepada istrimu sendiri! Mama sudah peringatkan ke kamu, jauhi wanita jalang itu! Karena Mama nggak mau harga diri dari keluarga ini hancur gara-gara sikap kamu!” “Ma, tapi aku sangat mencintainya. Aku nggak bisa hidup tanpa dia. Karena dia juga Ibu dari anakku!” Joanna tersenyum kecut. “Mama nggak pernah peduli sama sekali, walaupun dia adalah ibu dari anakmu. Karena Mama tidak akan pernah sudi memiliki menantu wanita murahan seperti dia!” Joanna menekankan setiap kalimat yang keluar dari mulutnya. “Mama benar-benar sangat egois! Kenapa Mama ngebelain Vira terus dibandingkan dengan aku yang merupakan anak kandung mama?” Kiano tersenyum miris. "Kurang ajar kamu! Apa ini cara kamu berbicara dengan orang tua? Aku adalah ibumu yang mengandung selama 9 bulan dan melahirkanmu! Tapi kamu bersikap seolah-olah tidak me
Perasaan gelisah yang telah dihadapi oleh Danilla selama berada di Unit apartemen Kiano. Mendadak perutnya terasa begitu sangat lapar. Seketika Danilla pun pergi ke dapur. Dia mencari beberapa bahan-bahan yang bisa diolah menjadi makanan. Dia membuka lemari es. Dia langsung mengambil daging yang disimpan di freezer dan beberapa bahan bumbu sebagai pelengkap lainnya. “Nasib!” Gumam Danilla. Danilla segera untuk memotong daging tipis-tipis. Dia membuat olahan serundeng daging. Dia ingat masakan buatan dari ibunya di kampung halaman. Kerinduan itu terasa begitu sangat dalam. “Kangen ibu,” kedua mata Danilla mulai berkaca-kaca, ketika dia mengiris tipis-tipis daging itu. Seketika air mata itu pun berlinang jatuh membasahi kedua pipinya. Setelah selesai membuat serundeng daging. Dia segera untuk menanak nasi di Magic Jar. Setelah semuanya matang, lalu Danilla menyajikannya di atas meja makan. Danilla langsung menikmati masakannya sendiri. Dia menghabiskan hampir dua piring karena dia