Sudah hampir dua hari Vira menunggu di depan pintu rumahnya. Suami yang dia idamkan belum juga datang. Hatinya terasa begitu sangat pedih. Ia hanya bisa berdoa semoga suatu saat nanti Tuhan akan melembutkan hati pria yang menjadi suaminya.
Vira hanya mampu membatin, bahkan ia juga tidak pernah disentuh sama sekali oleh suaminya. Ia hanya dapat mengadu kepada Tuhan, agar memberikan keadilan atas ketulusan cintanya. Ia sudah bersabar tanpa batas waktu. Cintanya tidak bisa terbalaskan sama sekali. Sikap dingin suaminya selalu ia terima dan telan mentah - mentah. Dia tidak pernah mengeluh sama sekali. Ia terima, meskipun ada banyak luka-luka yang ia sembunyikan setiap waktu yang bergulir.
“Ra, apa kamu yakin akan bertahan dengan pria seperti suamimu itu?”
“Mas Reihan. Aku akan tetap mempertahankan pernikahan ini. Bagiku, pernikahan antara aku dan mas Kiano adalah momen yang sangat sakral. Itu merupakan ikatan suci di mata Allah,” terang Vira.
“Percuma saja kamu bertahan, tapi dia nggak akan pernah menoleh atau melirik sekalipun kepadamu!” tutur Reihan. Sebenarnya ia merasa kalau Vira terlalu baik bagi sepupunya.
“Mas, mungkin saja Tuhan masih belum bisa membukakan hati buat mas Kiano, tapi Vira yakin, kalau suatu saat nanti dia bisa melihat dan peduli terhadap Vira.” Vira mengucap penuh keyakinan dalam hatinya, meskipun ia masih meragu akan kata-katan
Reihan pun merasa sangat kasihan, karena sikap dingin sepupunya itu. Padahal Vira selalu mencintai sepupunya, tapi dia malah terabaikan.
“Ra, apa kamu sudah makan?”
Vira hanya mengelengkan kepalanya.
“Aku sedang tidak bernafsu makan. Karena aku kepikiran sama suamiku yang belum juga pulan, Mas.”
Reihan menatap sendu sorot mata seorang perempuan baik yang tidak seharusnya sepupunya sia-siakan.
“Temenin aku buat makan malam di café seberang, Ra.”
“Maaf, Mas. Aku tidak bisa,” tolak Vira. “Aku tidak bisa pergi selain bersama mas Kiano.”
“Ra, aku ini sepupumu. Bukan, orang asing loh,” Reihan pun tersenyum. “Kiano nggak akan mungkin keberatan, jika sepupunya mengajak istrinya untuk menemani makan.”
“Tapi, aku nggak bisa, Mas. Karena, aku sudah bersuami. Apalah kata orang nanti melihat kita?”
“Ya ampun, Vir. Apa peduli kita apa kata orang yang nggak akan mungkin bikin kita kenyang, kalau kita masih mendengarkan apa kata orang,” ucap Vira dengan terkekeh.
“Udahlah, kalian berdua berangkat saja. Jaga Vira ya, Rei.”
“Siap tante. Rei akan jaga istri dari sepupu, Rei.”
“Ma.”
“Udah, kamu pergi sama Reihan. Lagian kamu butuh udara segar di luar,” ujar Joana.
--
Wajah cemas perempuan yang menggunakan baby dolls berwarna pink polkadot. Ia terlihat mondar – mandir tidak jelas. Ia terlihat sedang memikirkan sesuatu.
Pintu kamar tempat perempuan itu tinggal telah terbuka, lalu ia melihat seorang wanita memakai jas snelli lengan pendek, berserta stetoskop dan membawa sebuah tas jinjing.
“Silahkan, Dok. Periksa kandungan perempuan itu.”
Wanita itu pun datang bersama seorang pria tampan yang memiliki rahang begitu kokoh. Setelan pakaian yang begitu rapi.
“Astaga, ada drama apa lagi? Sumpah ini gila!” umpat perempuan itu dengan menaikan salah satu alisnya, ia menatap sinis ke pria berkemeja hitam.
“Danilla, kau harus diperiksa dengan dokter Yuanita.”
“Pak, saya sehat-sehat saja,” kilah Vira sambil menekan setiap kata-kata yang terucap dalam mulutnya.
“Tapi, kamu telah mengandung anakku,” cetus pria itu dengan penekanan tiap kata. Nadanya terlihat datar sekali, bahkan tidak ada senyuman yang terlukiskan.
“Apa saya mengandung anak anda?” ujar Danilla dengan tawa mengejek. “Nggak usah ngeprank atau bercanda, Pak. Mana mungkin saya hamil anak bapak?”
“Maaf, nyonya Danilla silahkan periksa dengan alat ini,” dokter Yuanita telah menyerahkan sebuah alat penguji kehamilan.
“Baiklah, aku akan buktikan, kalau aku nggak pernah mengandung anak anda,” Danilla mengucap dengan nada sangat sengak sekali. “Mana mungkin aku bisa mengandung anak dia, orang aku nggak pernah tidur sama dia. Aku masih perawan kali!” cicit Danilla dalam hati kecilnya.
Danilla pun meraih alat itu, lalu ia berjalan ke kamar mandi dengan pedenya.
Di Kamar mandi Danilla pun melakukan uji kehamilan dengan alat itu. Ia pun meneteskan air maninya ke dalam alat penguji itu. Ia mulai menarik napas perlahan-lahan, lalu mengembuskan perlahan-lahan lewat kedua rongga hidungnya.
“Halah, nggak akan mungkin terjadi,” gumam Danilla. “Aku yakin, kalau seumur hidup. Aku nggak pernah nyobain hal itu.”
-
Di Apartemen Akbar terlihat penasaran dengan kehidupan Danilla. Ia sangat kaget dengan pengakuan seorang pria yang mendadak datang dengan menyatakan kalau Danilla calon istrinya.
Sudah hampir tujuh tahun mereka berpisah, tapi sayangnya rasa cinta di hati Akbar masih ada. Ia bahkan berharap bisa meminang Danilla menjadi pendamping hidupnya.
Sebuah album kenangan tentang cinta mereka, bahkan sikap Danilla membuat Akbar sangat merindukannya. Dia harus berpisah, karena ia mendapatkan beasiswa di Sydney.
“Seandainya, saja kita masih bisa kembali.”
Akbar pun mulai mengingat kenangan manis di antara mereka.
(2011)
SMA Angkasa Jaya, terlihat begitu berhamburan siswa-siswa di kala bel sekolah berbunyi. Seorang siswi dengan bandana kain polkadot hitam putih berlari menerobos gerbang. Ia pun selamat dari gerbang.
Siswi itu nampak tersenyum, lalu melangkah masuk.
“Hai manis!”
Siswi itu menatap dengan sinis, ia merasa sebal dengan siswa-siswa yang nampak centil menatapnya. Siswi itu tetap berjalan menuju ke ruangan yang dia tuju.
“Eh, Bro ada yang seger!”
“Emang kamu kira adem sari bisa nyegerin!”
“Weh, Akbar Akbar, masa kamu itu nggak tertarik sama sekali dengan siswi di sini satu pun. Apa jangan-jangan…”
“Hey, aku masih normal. Cuman aku nggak minat aja buat jadi playboy kayak lu!”
“Ya, Kalau nggak manfaatin ketampanan. Rugi banget!”
“Tampan?” ulang Akbar sambil menatap sahabatnya yang mulai sok pedenya kumat.
“Aku emang tampan, mana ada cewek nolak sama gua!”
“aku pun nggak kaget, kalau nggak hanya cewek yang kamu modusin. Tapi, kucing betina pun pakai bedak kamu pasti tempelin.”
“Njirrr, sialan kamu, Bar.”
“Ya, bodoh amatlah. Pacaran doang nggak ada untungnya, lihat nilai ujian kamu pada kebakaran semua.”
“Ya Ya Ya. Aku sadar, otak kamu itu bagaikan Albert Einstein!”
“Kamu itu ya, sekolah yang bener. Masa hobi nggak berubah. Jadi tukang copy paste!”
“Nggak usah kamu perjelas dech, Bar. Aku emang bodoh masalah pelajaran, tapi menaklukan hati perempuan adalah aku ahlinya,” kekehnya.
“Hadeh, susah. Kalau punya temen otak kelinci, hobinya nggak berfaedah sama sekali.”
“Bodoh amat, Bar.”
Suara deheman membuat pembicaraan mereka berhenti.
“Astaga, bidadari aku melihat bidadari turun dari surga,” ucapnya.
“Kak, mau nanya. Kantor kepala sekolah di mana?” tanya siswi berparas imut.
“Aku Bima Arya Seno.”
“Nggak ada yang nanya nama kamu Bima.”
“Astaga, Akbar. Ini buat pembukaan aja.”
“Kamu kira mau upacara bendera pakai pembukaan baca undang – undang kemerdekaan?”
“Biasa aja kalee, nggak usah kayak gitu. Mangkannya kamu jadi jomblo lumutan. kamu sich sok jual mahal!”
“Kak?”
“Eh, lupa kalau bidadari ada di sini,” rayuan gombal akut Bima.
“Nggak usah kamu dengerin ucapan dia. Soalnya otaknya sudah agak kongsleting. Butuh diinstall ulang, Dek.”
“Sialan kamu, Bar. Awas kamu!” umpat Bima agak mendesis.
“Aku akan antar kamu ke ruang kepala sekolah. Supaya aman dan nggak dimodusin sama kelinci jantan ini!”
“Makasih, Kak.”
Ponsel pun berdering membuat lamunan tentang awal pertemuan itu telah semburat. Di layar ponselnya tertulis nomer yang tidak dikenal.
“Nomer siapa ini?” pikir Akbar. Karena, tidak ada orang yang tahu nomer dia sama sekali. Lalu, ia pun mengangkat panggilan telepon itu.
--
Di kamar mandi Danilla pun menutup kedua matanya, ia belum sempat melihat hasil tesnya. Ia memilih untuk mengurungkan niat melihat hasilnya. Karena, ia takut dengan hasilnya. Tapi, seingatnya dia tidak pernah melakukan kegiatan panas itu.
Danilla selalu menganut sebuah prinsip ‘No sex before married.’ Ia pun menatap bayangan wajahnya di cermin sambil melihat.
Di luar sana Kiano merasa sangat penasaran. Ia tidak sabaran untuk menunggu Danilla keluar dari pintu kamar mandinya. Ia pun berjalan menghampiri perempuan itu.
“Astaga, lama sekali dia,” omelnya dalam hati.
Kiano mengetuk-ketuk pintu kamar mandi.
“Ya, bentar kalee!” teriak lantang Danilla.
“Cepetan!”
“Ih, bawel banget!”
Danilla pun keluar, tapi ia merasa gugup sekali, meskipun pada awalnya ia pede sekali.
“Coba saya mau lihat!”
“NIH!” Danilla pun menyerahkan alat penguji kehamilan ke Kiano.
Kiano pun menunjukkan hasilnya, lalu Danilla pun pingsan seketika ke dalam pelukannya. Lalu, ia pun terpaksa mengendong Danilla ke atas ranjang kamar.
*
Selamat membaca. Jangan lupa baca episode kelanjutannya.
Di sebuah ranjang empuk. Danilla tidak sadarkan diri, setelah melihat sebuah garis biru pada alat tes kehamilannya. Ia merasa sangat terkejut. Padahal seingatnya dia belum pernah melakukan hal itu. Ia berjanji hanya melakukannya setelah menikah. “Apa aku hamil? Ini nggak mungkin. Pasti alat testpack nya sudah kadaluwarsa. Ini terjadi kesalahan,” Danilla berpikir keras, ketika itu sebelum dia benar-benar terlihat semu. Ia pun jatuh pingsan. Dokter Anita sudah memeriksa Danilla yang kondisinya baik-baik saja. “Pak Kiano tolong dijaga istrinya. Karena, kehamilan muda rawan untuk keguguran.” “Iya, Dok.”&nb
Danilla masih merasa terkejut, apalagi ia dinyatakan hamil. Ia juga dia ajak menikah dengan bosnya. Tapi, ia menolaknya. “Kita harus menikah besok!” “Mau nggak mau kamu harus menikah dengan saya! Karena, itu calon anak saya ada di rahim kamu.” Semua kata-kata yang diucapkan oleh Kiano menari-nari dalam ingatannya. Ia pun merasakan kalau mantan bosnya itu keterlaluan. Sepanjang perjalanan Danilla merasa diikuti oleh seseorang. Saat dia menengok, tapi tidak ada satu pun. Sepanjang jalan suasana malam terasa sangat dingin dan mencekam. Ia pun mendengar suara-suara yang mampu menaikan bulu kuduknya.&n
“Ke mana Danilla?Kenapa orang suruhan bos Kiano meminta dibawa semua seluruh perlengkapan milik Danilla?” Karen mulai berpikir dalam kepalanya hingga dia mondar-mandir tidak jelas di kamar kos an. Ia pun ingin mencari di mana Danilla dibawa oleh bosnya. “Apa aku akan menanyakan masalah Danilla ke Pak Kiano besok di kantor?” pikir Karen sekali lagi. Karena, bagaimana pun juga mereka adalah sahabat. Karen pun duduk di sebuah ranjangnya, lalu ia pun menyalakan televisi. “Sepi juga nggak ada yang diajak ribut,” batinnya. Channel sudah Karen ganti berulang kali. Ia merasa dalam sebuah kebosanan. Ia hanya bisa berdoa dan ber
Di Rumah keluarga Rayn, terlihat wajah gelisah Vira. Ia merasa kalau akan terjadi sesuatu dalam rumah tangganya. Padahal impiannya hanya ingin menikah sekali seumur hidup. Ia tidak peduli harus hidup bersama pria yang selalu menganggap dia tidak pernah ada. “Sampai kapanpun aku akan mencintaimu, Mas,” lirih Vira menatap sendu setiap sudut ruangan. Ia hanya mampu menatap sepiring nasi yang ada di atas meja. Sudah hampir seminggu kabar Kiano tidak ada sama sekali. “Menunggumu adalah hal yang biasa untukku, Mas. Meskipun, seminggu aku akan bertahan dan lakukan. Bagiku, kamu adalah suami yang ku rindukan.” Di meja makan Vira pun terlihat hatinya cukup gelisah. Ia tidak sadar kalau kedua mertuanya sedang memperhatikannya yang sedang melamun.
Pov Kiano. Sepulang dari kantor. Aku mampir dahulu ke rumah utama, agar tidak ada yang mencurigai tentang apa yang terjadi. Aku tidak ingin sepupuku yang kurang kerjaan bakalan memata-mataiku sesuai dengan perintah papa dan mama. Apalagi dengan Vira yang selalu sajaa mencari perhatian. Hal itu membuatku sungguh muak. Aku menikahinya bukan karena cinta, tapi itu semua atas kemauan papa dan mamaku. Bodohnya aku mengiyakan pernikahan tanpa cinta yang tidak akan mungkin berhasil. Lima tahun pernikahan hanya ada jarak antara aku dengan Vira. Dia berusaha membuatku jatuh cinta ke dalam pelukannya. Tapi, itu nggak akan mungkin berhasil. Bagiku dia hanyalah seekor kecoak. “Mas?” panggil dia yang memakai lingerie serba terawang yang bermaksud
Pernikahan itu berjalan dengan lancar. Terlihat beberapa tamu undangan menikmati makanan yang telah disediakan oleh Kiano. Memang hanya beberapa orang saja, tapi pernikahan itu berjalan lancar. Setelah semua tamu undangan sudah pulang semua. “Ingat saya nggak mau sekamar dengan bapak! No Sex!” Danilla memperingatkan dengan nada jutek. Ia pun melotot ke Kiano. “Meskipun, kamu adalah suami saya!” “Ya,” singkat Kiano dengan nada dingin. “Sial! Cuman ‘Ya’ doang! Apa lidahnya sudah tertelan? Atau dia emang manusia es! Eh lebih tepatnya zombie dalam jiwa manusia,” Danilla mengucap dalam hat
“La, apa kamu sudah selesai?” tanya Danilla.“Saya sudah siap Pak!” balas Danilla dengan anggukan.“Danilla, kamu sebaiknya jangan panggil saya, Pak. Emangnya saya bapak kamu?!” protes Kiano.Danilla pun nyengir,”Ya, enggak bisalah. Bapak itu lebih tua dari saya. Mana mungkin saya memanggil dengan sebutan selain, Pak?”“Panggil saya dengan sebutan mas saja. Lagian kita sudah menikah.”“Iya, tapi cuman sementara dan nggak akan menjadi selamanya,” ralat Danilla.“Baiklah, terserah kamu saja,” ujar Kiano dengan nada datar.“Pak, saya sudah lapar banget! Sepertinya anak bapak ini pengen cepet-cepet makan seblak di Bandung,” Danilla mengedip-kedipkan kedua matanya sambil mengusap-usap perutnya yang masih rata.“Okay, kita ke Bandung,” kata Kiano dengan ekspresi sangat datar sekali.
Cuaca kota Bandung begitu dingin. Bahkan sangat sepi dan sunyi. Akbar pun tetap melakukan perjalanan dari Bandung ke Jakarta. Ia pun menengok ke sebuah tempat, lalu ia mendapati sebuah mobil yang berhenti di tepi jalan. Di sana terlihat perkelahian.“Sepertinya dia butuh bantuan. Kasihan kalau harus melawan sendirian,” gumam Akbar yang memutarkan mobilnya dahulu. “Sepertinya aku mengenal nomor plat mobil itu? Tapi, di mana ya?”Akbar pun mulai menuju ke sana, lalu ia menepikan mobil sedan hitamnya. Ia pun keluar dan langsung melakukan sebuah tendangan bebas ke beberapa preman. Kebetulan Akbar dulu pernah mengikuti muangthai sewaktu masih duduk di bangku kuliah. Ia pun mulai melakukan ancang-ancang.“Kamu?” pekik mereka bersamaan.“Udah, kita sekarang nggak ada waktu untuk berdebat. Sebaiknya kita kerjasama melawan mereka,” ucap Akbar sedikit mengumam. Ia hanya ingin membuat beberapa preman itu menyerah.Kiano dan Akbar saling memungung
Tubuh Vira mulai kejang-kejang. Seorang perawat pun langsung berlari meminta bantuan. Dokter pun datang langsung melakukan tindakan terhadap Vira.Detak jantung Vira berhenti seketika. Tekanan darahnya pun sudah menurun. Terlihat beberapa kali dokter melakukan tindakan untuk menstabilkan kondisi Vira."Pukul 05.00 sore. Tolong dicatat suster!” Ucap seorang dokter itu yang hanya bisa menghela nafas begitu berat. Bahkan dia berulang kali melakukan tindakan terhadap Vira.Perawat pun segera menutup dari kepala hingga ujung kaki menggunakan kain putih. Salah satu perawat pun keluar dari ruang ICU.“Bagaimana kondisi pasien?”Beberapa saat kemudian dokter pun datang. Wajahnya yang tampak begitu sangat kusam. Dokter itu mulai melepas kacamatanya sejenak. Dokter hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan tatapan yang begitu nanar.“Dok, apa yang terjadi dengan Vira?” Reihan menatap kedua sorot mata dokter yang menangani Vira.Dokter pun langsung memegang p
Pelukan hangat dari Kiano membuat Danilla semakin tenang. Dia merasakan kenyamanan dari sosok pria seperti Kiano.“Ya Allah. Kenapa hatiku terasa begitu sangat tenang ketika di dekatnya? Tapi aku tidak akan pernah mungkin untuk menyakiti wanita lain demi egoku kali ini. Ya Allah aku harus bagaimana? Apakah aku harus kembali pergi meninggalkan sosok pria seperti dia?” Danilla menggumam dalam hatinya."Aku tidak akan pernah bisa untuk melepaskan kamu kembali dalam kehidupanku. Bagiku kamu adalah bagian dari hidupku yang tidak akan pernah bisa mampu tergantikan oleh waktu.” Kiano menelan salivanya sendiri. Dia menggumam dalam hatinya sambil menepuk-nepuk punggung belakang Danilla. Dia juga sudah tidak mendengar isak tangis dari wanita itu.Danilla tertidur dalam pelukan kiano. Lalu Kiano membawa Danilla keranjang tempat tidur.Kiano langsung mengecup kening Danilla.“Selamat tidur bidadari hatiku. Aku akan terus mencintaimu setiap detik dan embusan nafasku. Bahkan aku tidak akan pernah m
Unit apartemen Kalibata pukul 05.00 sore, Kiano datang dengan wajah yang cukup lelah. Dia seharian mencari lowongan pekerjaan. Bahkan dia meminjam ke beberapa temannya sebagai modal membangun usaha.Kiano masuk ke dalam unit apartemennya. Lalu dia segera duduk di sofa ruang tamu. Dia menyandarkan punggungnya yang sedikit lelah. Kedua matanya yang terlihat begitu sangat redup. Dia mulai mengerutkan dahinya. Wajahnya yang terlihat begitu sangat masam.“Ternyata benar apa kata orang. Kalau lagi kere kayak gini, nggak ada temen pun yang mau minjemin duit sekalipun. Mereka bahkan pura-pura budek sekalipun!” Kesal Kiano dalam hati.Suara isak tangis yang terdengar samar-samar di telinga Kiano. Lalu dia segera untuk mencari sumber suara itu. Dia melangkahkan kedua kakinya ke ruang kamar. Dia melihat Danilla yang sedang menangis tersedu-sedu di balik pintu kamarnya.“Danilla?!”Kiano begitu sangat sigap sekali langsung memeluk Danilla begitu sangat erat. Lalu dia berusaha untuk menenangk
Mobil melesat begitu sangat cepat sekali menyapu jalanan Kota Jakarta. Wanita paruh baya itu yang terlihat begitu sangat bengis. Wajahnya yang terlihat penuh dengan amarah dan dendam.“Aku tidak akan pernah membiarkan cucuku jatuh ke tangan wanita murahan itu! Walaupun dia terlahir dari wanita murahan itu, tapi aku tidak akan pernah rela jika cucuku harus dididik dengan wanita seperti dia!”Di samping wanita itu terlihat bocah laki-laki yang sedang tertidur pulas. Semuanya itu berkat efek dari obat bius yang diberikan oleh beberapa bodyguard-nya.“Kamu tidak akan pernah bisa masuk ke keluargaku! Sampai kapanpun! Kamu bukan level dari keluarga Rayn!”Suasana yang terlihat begitu sangat tegang sekali. Wajah simetris dan tegang terlihat di wajah wanita itu. Dia mulai mengepalkan kedua tangannya. Kedua matanya mulai merah menyala.*Di unit apartemen, Danilla yang merasa sangat bersalah sekali. Dia tidak bisa mencegah kepergian dari putranya sendiri. Dia hanya bisa meratapi nasibnya
Danilla pun berjalan menuju ke ruang tamu. Lalu dia mulai menghampiri Kiano.“Mas, Aku mau ngobrol sama kamu.”“Soal?”“Mas, aku cuma mau ponselku kembali. Karena sudah dua hari ini aku tidak pulang ke apartemen Karen. Dia pasti khawatir dengan keadaanku. Aku janji nggak akan pergi lagi dari kamu.”Kedua mata Kiano membenci ke Danilla."Aku janji nggak bakalan pergi. Aku cuman ingin memberikan kabar kepada sahabatku. Mau bagaimanapun juga aku harus kasih tahu tentang keberadaanku. Aku mohon kali ini aja,” lanjut Danilla.Wajah datar Kiano. Lalu dia segera untuk menyodorkan ponsel milik Danilla. Dia mengambilnya dari laci dekat ruang tamu.“Makasih,” ucap Danilla.Danilla pun langsung pergi menuju ke kamarnya. Dia langsung segera menghubungi Karen.*Di unit apartemen, Karen yang merasa cemas dan sangat gelisah sekali. Dia bahkan belum mendapatkan balasan pesan dari Danilla.Drrrt...Ponsel Karen pun mulai berdering. Dia segera bergegas untuk mengambil ponselnya di atas mej
Vira tumbuhnya mulai kejang-kejang di rumah sakit. Dokter mulai melakukan pertolongan. Dibantu oleh tim medis lainnya.Di ruang tunggu terlihat Reihan yang cukup gelisah melihat kondisi Vira.“Kamu harus bertahan, Vir,” ucap Reihan.“Kamu harus bisa bertahan Vira. Karena aku yakin kamu bisa." Reihan mengucap kalimat itu sekali lagi. Dia berulang kali meyakinkan dirinya bahwa Vira akan baik-baik saja.Dokter di ruang ICU mulai melakukan tindakan terhadap Vira. Bahkan kedua mata Vira yang terlihat melotot ke atas. Tubuhnya yang masih kejang-kejang. Bahkan suhu tubuhnya demam tinggi. Detak jantungnya semakin melemah. Tekanan darahnya semakin menurun.Kegelisahan menyelimuti hati Reihan di luar. "Aku tidak akan pernah bisa diam saja begini. Dan aku akan membuat kalian membayarnya dengan tuntas!”*BRAK!Rayn terlihat begitu sangat marah sekali. Kedua matanya melotot ketika mengetahui nilai sahamnya merosot turun. Bahkan beberapa proyek-proyek dibatalkan oleh klien.“Dasar anak du
Danilla hanya bisa menatap cahaya senja di sore hari. Dia masih teringat tentang kisah masa lalunya. Senyuman itu masih membekas Di hatinya. Namun seberkas cahaya itu menjadi luka. Terdengar suara pintu yang terbuka. Kemudian Danilla memalingkan pandangannya ke arah pintu. Dia melihat dua orang pria yang berbeda generasi. “Apa itu mama?” Senyuman bocah laki-laki itu terlihat begitu sangat jelas. Bagaikan bunga kuncup yang mekar. Bahkan Danilla fokus ke arah bocah laki-laki itu. “Apakah dia anakku?” Gumam Danilla. Kedua mata Kiano berkaca-kaca, ketika menatap bocah laki-laki itu. Dia hanya mengagukan kepalanya. Kemudian bocah laki-laki itu pun bergegas berlari menghampiri Danilla. “Mama aku merindukanmu!” Seru bocah laki-laki itu sambil memeluk kaki kanan Danilla. Danilla hanya dia mematung. Bibirnya seakan bergetar. Kedua matanya berkaca-kaca. Lalu dia pun menekuk kedua lututnya agar tingginya sejajar. Dia memeluk bocah laki-laki itu dengan perasaan kerinduan yang mendalam berta
PLAK! Sebuah tamparan itu pun melesat begitu sangat kencang sekali hingga membuat pipi kanan Kiano merah dan panas. “Mama nggak nyangka kalau kamu bisa berbuat seperti ini kepada istrimu sendiri! Mama sudah peringatkan ke kamu, jauhi wanita jalang itu! Karena Mama nggak mau harga diri dari keluarga ini hancur gara-gara sikap kamu!” “Ma, tapi aku sangat mencintainya. Aku nggak bisa hidup tanpa dia. Karena dia juga Ibu dari anakku!” Joanna tersenyum kecut. “Mama nggak pernah peduli sama sekali, walaupun dia adalah ibu dari anakmu. Karena Mama tidak akan pernah sudi memiliki menantu wanita murahan seperti dia!” Joanna menekankan setiap kalimat yang keluar dari mulutnya. “Mama benar-benar sangat egois! Kenapa Mama ngebelain Vira terus dibandingkan dengan aku yang merupakan anak kandung mama?” Kiano tersenyum miris. "Kurang ajar kamu! Apa ini cara kamu berbicara dengan orang tua? Aku adalah ibumu yang mengandung selama 9 bulan dan melahirkanmu! Tapi kamu bersikap seolah-olah tidak me
Perasaan gelisah yang telah dihadapi oleh Danilla selama berada di Unit apartemen Kiano. Mendadak perutnya terasa begitu sangat lapar. Seketika Danilla pun pergi ke dapur. Dia mencari beberapa bahan-bahan yang bisa diolah menjadi makanan. Dia membuka lemari es. Dia langsung mengambil daging yang disimpan di freezer dan beberapa bahan bumbu sebagai pelengkap lainnya. “Nasib!” Gumam Danilla. Danilla segera untuk memotong daging tipis-tipis. Dia membuat olahan serundeng daging. Dia ingat masakan buatan dari ibunya di kampung halaman. Kerinduan itu terasa begitu sangat dalam. “Kangen ibu,” kedua mata Danilla mulai berkaca-kaca, ketika dia mengiris tipis-tipis daging itu. Seketika air mata itu pun berlinang jatuh membasahi kedua pipinya. Setelah selesai membuat serundeng daging. Dia segera untuk menanak nasi di Magic Jar. Setelah semuanya matang, lalu Danilla menyajikannya di atas meja makan. Danilla langsung menikmati masakannya sendiri. Dia menghabiskan hampir dua piring karena dia