Rencana untuk kembali ke kota sudah tiba. Pagi yang cukup cerah, serta harapan yang di inginkan sekadar mencari uang rasanya harus kembali benar-benar diperjuangkan.
"Ini beneran balik ke kota?" tanya Della.
"Lhah iya, emang mau tinggal berapa lama lagi? Kakek juga nanti udah bisa dibawa pulang." Fuad memberi pernyataan serta penjelasan.
"Hmm, kalau boleh jujur sih, rasanya nyaman banget sini, sudah seperti rumah sendiri," terang Della yang merasa masih berat hati untuk kembali ke kota.
Bagaimana dia tidak merasa nyaman? Kala keramahan serta penuh perhatian setiap hari diperlihatkan oleh Ibu Fuad. Sebenarnya, hal demikian yang membuat Della merasa iri hati.
"Ad, apalagi yang belum dibawa?" tanya Ibu sembari mengecek barang bawaan.
"Oh, itu Bu, masih ada ransel di kamar satu," ujar Fuad.
Tanpa banyak kata, Ibu langsung pergi ke kamar bermaksud untuk mengambilkan. Ha
Bagaimana? Masih mau mengeluh atas wujud perhatian orang tua yang diberikan?
Namanya juga mendung. Tak selamanya ia mampu mengundang hujan. Hadirnya hanya memberi isyarat kepada makhluk bumi agar lebih siap ketika hujan turun kembali membasahi. Sedia payung sebelum hujan, mungkin suatu selogan yang tidak asing lagi terdengar pada sepasang telinga kita. Perihal mendung dan hubungan, seakan menjadi sebuah kalimat yang berbeda, namun hampir mirip dalam pemberian makna. Bagaimana tidak? Ketika mendung mampu hadir tanpa memberi hujan, begitupula sebuah hubungan. Ia mampu hadir memberi kenyamanan, datang dengan sebongkah kata kepalsuan. I love you, I Miss You, dan lain sebagainya. Namun tanpa berdasarkan sebuah rasa sayang yang timbul dari perasaan. Aku menamainya sebagai sebuah tabir dari kepalsuan. Dan hal demikian adalah salah satu hal yang paling aku takutkan dalam sebuah hubungan. Bagaimana tidak? Ketika kita sudah merasa nyaman dengan suatu hubungan, kita hanyut dalam asmara perasaan, terlebih kita mendengar kata I Love You,
Terlepas dari kisah asmara yang berhenti ditengah jalan dengan sia-sia. Setidaknya, masalah demikian menjadi sebuah pembelajaran yang sangat berharga dalam hidup. Tidak mudah terlena atas sikap nyaman yang diberikan, tak selamanya hal demikian merupakan wujud sebuah cinta, bisa jadi hal itu hanyalah pelarian semata.Pagi-pagi sekali, aku kembali menyiapkan diri untuk mencari rezeki. Jika sebelumnya, ada satu motivasi besar untuk menyiapkan masa depan perihal mahar pernikahan. Untuk kali ini, rasa-rasanya begitu hambar jika boleh aku katakan. 1 tahun telah berlalu dengan semangat pernikahan, kini untuk apa? batinku kala itu."Berangkat kerja, Ad?" tanya Wak Edwin melintas didepan teras rumahku."Iya Wak, lari pagi Wak?" aku berbalik tanya kepada Wak Edwin yang terlihat sedang melakukan rutinitas setiap hari, lari pagi."Hehehe, iya Ad. Biar sehat, dalam rangka mengolah raga serta rasa, agar saat sedih kembali menghampiri, tidak lagi taku
Seperti yang telah direncanakan sebelummlnya. Aku segera mungkin mencari bos di tempat kerjanya. Meminta izin cuti kerja, karena Aku tahu, aku masih membutuhkan pekerjaan itu. Malamnya, aku mengemas pakaian serta keperluan yang memang dia perlukan untuk dibawa pulang ke kampung halaman."Banyak juga ternyata," ujarku setelah selesai memasukkan segala keperluan yang dibutuhkan. Aku masih ragu malam itu. Apakah benar-benar akan mengajak Della atau tidak, mungkin jika posisi Della adalah laki-laki akan berbeda cerita. Dia perempuan, dan Aku tahu batas antara laki-laki dan perempuan. Wajar saja, aku memanglah terkenal sebagai laki-laki pendiam, dan awam dalam hal pergaulan.Bergegas aju mengambil gadget milikku,"Malam, Del," tulisku mengirim pesan via whattsapp. Lama sekali Della menjawab, sesekali aku menghidup matikan gadget canggih milikku. Mengharap balasan dari Della. 30 menit telah berlalu, namun tidak ada
Entah apa yang membuatku lupa malam itu. Seharusnya lekas mencari bos untuk meminta cuti, malah tidak jadi. Della oh Della, meski memberi bahagia, namun malah menambah problematika. Seperti yang sudah diketahui sebelumnya, tempat kerjaku agak sedikit unik daripada yang lain. Ketika hendak mengambil cuti, cukup memberi kabar via whatsapp saja. Itu sudah lebih dari kata cukup, tapi ketika tanpa kabar absen dan mengambil cuti seenaknya saja, siap-siap saja akan terjadi perang dunia yang ke lima."Etdah, gimana ini ... mana belum izin cuti lagi," batinku sembari menengok jam tangan yang menunjukkan pukul 06:30. Menambah gusar saja keadaan demikian, bergegas saja aku beranikan masuk kerja untuk meminta izin cuti. Seperti yang pernah aku ceritakan pada bab sebelumnya, rutinitas pagi, saling tegur sapa ketika melihat rekan kerja. Senyum pagi yang terpancar, dengan segala kemungkinan yang semoga lekas Tuhan jadikan sebuah kenyataan
"Oiy, bangun Lu!" Notif pesan masuk pagi-pagi sekali pada layar ponsel milikku.Sayu-sayu aku menatap dan membalas pesan dari Della."Bentar ... belum selesai packing, nanti gue samperin Lu, sambil minta izin," balasku sembari bergegas untuk cuci muka. Kulihat jam yang tertempel di dinding menunjukkan 05:15, masih terlalu pagi pikirku saat itu."Etdah, semangat banget nih anak," gumamku setelah sekejap membayangkan semangatnya Della. Tidak berselang lama, semua sudah siap. Dari barang bawaan, sampai kewajiban kepada Tuhan yang sudah dilaksanakan. Dalam hal demikian, aku selalu mempunyai prinsip yang tidak bisa terbantahkan.Bagaimana pantas aku menginginkan akan segala keinginan yang aku harap menjadi kenyataan, sedang kewajibanku kepada Tuhan saja masih aku lalaikan? Setidaknya, sedikit banyak selogan itu mampu menjadi cambuk semangat dalam melangkah. Lebih mantap dalam memijakkan langkah diata
Dua jam perjalanan telah dilalui, udara segar tanah kelahiran mulai tercium. Suasana damai mulai dirasakan. Belum lama juga aku meninggalkan kampung halaman yang dari lahir menjadi tempat tinggal, rasa rindu itu hadir bak bunga yang hendak mekar, menjadi tempat dimana aku mulai mengenal dunia, menjadi tempat menaruh suka serta duka, serta menjadi awal dari segala impian yang tertanam. Pohon-pohon sepanjang jalan seakan menyambutku dengan melambaikan dedaunan penuh senyuman. Kicau burung liar masih begitu khas didengar. Kabut tipis juga ikut menyambut dengan penuh kelarasan."Gimana, Del?" tanyaku sembari memperlambat kecepatan sepeda motor."Wwiiiih ... asli ini mah, keren, Ad!" ujar Della menyatakan sebuah kekaguman.Aku hanya tersenyum, dan juga tidak henti-hentinya menikmati segala kealamian yang ada."Pelan-pelan aja, Ad," ucap Della."Weh ... iya iya beres," tuturku sembari semakin memperlambat kecepatan.
Sebelum lanjut ke cerita selanjutnya, sedikit aku ingin jelaskan kisah tentang wanita satu ini. Adinda, seorang wanita yang menjadi bunga desa di kampungku. Mempunyai paras yang dimiliki oleh Della, juga mantanku Chelsi. Malah menurutku, dia juga mempunyai kelebihan diantara mereka berdua. Tentang akhlak yang dimiliki, sederhana saja terlihat dari etika ketika dia bicara. Entahlah, aku juga tidak tahu, aku yang hanya bermodal nekad, selalu saja bertepatan menaruh perasaan kepada para wanita yang juga di incar oleh Kaum Adam. Dari sekian banyak wanita yang aku incar, hanya satu saja yang mampu aku miliki, ya, itu adalah Chelsi. Itupun harus berakhir dengan sebuah kisah yang menyakitkan. Ada satu kejadian yang berhasil membuat aku jatuh hati kepada Adinda. Ketika itu, saat ada acara pentas seni sewaktu aku duduk kelas 10, aku sedang bersandar menyaksikan teman-teman berjoget ria dengan penuh bahagia didepan panggung. Aku tidak ikut,
Dari kota sampai desa merupakan salah satu perjalanan yang cukup melelahkan. Tetapi bagaimanapun, hal demikian tidak bisa dijadikan alasan. Seperti niat awal mengambil cuti pekerjaan untuk menjenguk kakek, dan itupula langkah awal yang harus dilakukan."Buk, nanti Fuad sendiri aja, Ibuk di rumah nemenin Della, kasihan dia, mungkin kelelahan," ucapku kepada Ibuk, setelah melihat keadaan Della yang memang terlihat sangat lelah."Nggak kok, Buk. Della sehat-sehat aja," ujar Della menangkis permintaanku kepada Ibuk."Sudah nak Della, nak Della di rumah aja sama Ibuk, biar nanti Fuad sama bapaknya yang jenguk," ujar Ibuk."Kamu istirahat aja dulu," lanjut Ibuk meminta agar Della tetap di rumah.Della mengalah,Tidak berselang lama, Bapak pulang. Dan terlihat raut wajah tidak menyenangkan diperlihatkan."Assalamualaikum," salam Bapak ketika masuk kedalam rumah."Waalaikumsalam," ujar kami bertiga serentak.Aku bergegas men