Dari kota sampai desa merupakan salah satu perjalanan yang cukup melelahkan. Tetapi bagaimanapun, hal demikian tidak bisa dijadikan alasan. Seperti niat awal mengambil cuti pekerjaan untuk menjenguk kakek, dan itupula langkah awal yang harus dilakukan.
"Buk, nanti Fuad sendiri aja, Ibuk di rumah nemenin Della, kasihan dia, mungkin kelelahan," ucapku kepada Ibuk, setelah melihat keadaan Della yang memang terlihat sangat lelah.
"Nggak kok, Buk. Della sehat-sehat aja," ujar Della menangkis permintaanku kepada Ibuk.
"Sudah nak Della, nak Della di rumah aja sama Ibuk, biar nanti Fuad sama bapaknya yang jenguk," ujar Ibuk.
"Kamu istirahat aja dulu," lanjut Ibuk meminta agar Della tetap di rumah.
Della mengalah,
Tidak berselang lama, Bapak pulang. Dan terlihat raut wajah tidak menyenangkan diperlihatkan."Assalamualaikum," salam Bapak ketika masuk kedalam rumah.
"Waalaikumsalam," ujar kami bertiga serentak.
Aku bergegas menghampiri Bapak dan mencium tangan beliau.
"Nyampai rumah jam berapa, Ad?" tanya Bapak sembari seakan mencari sesuatu.
"Tadi, Pak. Sebelum Dhuzhur kurang lebihnya," Bapak hanya berlalu, dan tidak menghiraukan kehadiran Della.
Maklum saja, memang dalam keluargaku, ketika berani membawa seorang wanita pulang kerumah, sudah semestinya pasti akan berlanjut kejenjang keseriusan atau pernikahan. Mungkin, Bapak bersikap demikian karena aku yang tidak memberi kabar terlebih dahulu atas kepulanganku bersama seorang wanita.
Bergegas Ibuk menyusul Bapak kedalam. Aku mendekati Della.
"Jangan di ambil hati, Bapak emang demikian sikapnya kalau belum kenal." Ujarku kepada Della menenangkan.
Della tidak menjawab, dan hanya mengangguk pelan seperti masih bingung atas sikap Bapak yang diperlihatkan.
"Mau makan, Del?" tanyaku kepada Della.
"Udah, Ad. Masih kenyang juga aku," tutur Della.
Tidak berselang lama, Ibuk kembali keluar bersama Bapak. Langsung saja Bapak menghampiri Della dan menyalaminya.
"Temennya, Fuad?" tanya Bapak.
"Iya, Pak," Della mengiyakan apa yang ditanyakan oleh Bapak.
"Maaf, tadi Bapak ke bawa emosional aja ketika melihat wanita di rumah, apalagi yang belum muhrimnya," ujar Bapak meminta maaf.
"Iya, Pak. Gak papa," Della memaafkan dengan senyum tulus yang terpancar.
"Tadi kebawa omongan Wak Irul, katanya Fuad pulang dengan kekasihnya," Bapak melanjutkan.
Aku dan Della hanya tertawa mendengar pernyataan yang di lontarkan oleh Bapak."Ada yang aneh?" Bapak bertanya.
Lekas saja aku menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
"Owallah Pak, Pak ... jadi tadi tu gini, kan di tengah jalan tadi bertemu sama Wak Irul, lha Fuad berhenti, terus nyamperin Wak Irul, eh pas Wak Irul lihat Della, Della langsung saja mengenalkan diri kalau Della pacarnya Fuad," aku menjelaskan.
Bapak hanya mangut-mangut saja.
"Padahal tadi itu cuma bercanda," lanjut aku menjelaskan.
"Salah paham dong jadinya," Della menyela.
"Hahaha," kami tertawa bersama.
Bapak mendekat kepadaku,
"Tapi ini juga cuuuaannttik banget hlo, Ad!" bisik Bapak kepadaku.
"Huusshh, Bapak," aku menyangkal takut Della mendengarkan.
Benar saja, Della memang mendengarkan. Dia hanya tersenyum malu. Sudah bukanlah hal yang mengangumkan bagi Della jika mendengar hal demikian. Tidak ada orang yang melihatnya mengatakan tidak cantik. Sampai terkadang berpikir, terheran sama laki-laki yang dengan sengaja menyia-nyiakan dirinya.
"Tadi Wak Irul juga bilang begitu, calonnya Fuad canntiik banget gitu," ujar Bapak kembali melanjutkan.
Rasa tidak enak timbul dalam hatiku, tidak enak saja sama Della. Aku coba mengalihkan sebuah pembicaraan.
"Eh, Pak. Gimana keadaan Kakek?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Alhamdulillah, Ad. Udah mendingan baik Beliau, nanti malam njenguk kesana sama Bapak!" ajak Bapak kepadaku.
"Oh iya, Pak," aku mengiyakan ajakan dari Bapak.
"Ibumu tadi kemana, Ad?" tanya Bapak yang mencari keberadaan Ibuk.
"Tadi katanya ke warung, mau beli apa gitu," Della menjawab yang mengetahui keberadaan Ibuk.
"Oh ya, Bapak mau mandi dulu, ajak makan tuh Della," pinta Bapak kepadaku."Siap, Pak," aku kembali mengiyakan.
Inilah hidup, terkadang ketika kita menilai satu sisi dalam sebuah pola pandang. Maka akan memberikan sebuah kesan sesuai keinginan yang pikiran timbulkan. Alangkah baiknya, ketika kita belum mengetahui sebuah alasan atas sebuah kenyataan, cari dulu kebenaran sebelum malah menjadikan sebuah kesalahpahaman atau menjadi boomerang yang menakutkan dalam kehidupan.
Tetapi, setidaknya hal demikian mampu memberi sebuah pembelajaran. Mampu dijadikan sebagai salah satu cerita yang akan terus terkenang. Entah bagaimanapun suatu kejadian, asal kau mampu memetik sisi kebaikan dalam suatu permasalahan, maka akan menjadikan sebuah pembelajaran yang mengesankan.
Sesampai di rumah sakit, secara tidak terduga pula, aku bertemu dengan salah satu sahabat kecilku. Ikmal, seorang laki-laki berparas sangat tampan, terlihat terbaring di rumah sakit tidak berdaya."Oiy, bro!" sapaku kepada Ikmal yang masih setengah sadar.Ikmal hanya tersenyum, sama sekali tidak menjawab sapaan dariku. Wajar saja, sekujur tubuhnya penuh dengan perban. Begitu pula bagian di wajahnya."Ada apa, Pak, dengan Ikmal?" tanyaku kepada Bapaknya Ikmal yang duduk tepat di sampingnya."Tadi kecelakaan, dek. Untung aja masih selamat, nakal emang nih anak!" ucap Bapak Ikmal kepadaku.Memang, aku dan Ikmal sudah seperti saudara kandung saja. Sangat akrab, dari teman masa kecil, sampai harus di pisahkan oleh tujuan hidup masing-masing. Aku bekerja ke luar kota, dan dia melanjutkan kuliah mengambil jurusan kedokteran. Kami memang dari kampung jauh dari keramaian kota, tapi kami mempunyai sebuah cita-cita besar yang tidak semua orang memilikinya. Se
"Ad, jalan-jalan yuk," ajak Della pagi-pagi sekali."Jalan-jalan kemana, masih terlalu pagi juga," jawabku seakan ingin menolak ajakan dari Della."Healah, kapan lagi juga ... bisa jalan-jalan pagi dengan suasana perdesaan yang menentramkan," Della kembali merayuku.Disaat waktu yang tepat pula, terlihat Adinda datang membawa piring dengan bubur manis khas perdesaan, sebagai suatu tanda ada slametan dari sanak keluarga atau sebagainya.Memang, tradisi seperti ini masih sangat hangat berlaku di desaku. Ada yang menggunakan bubur manis plus juroh (gula Jawa yang dicairkan) atau bubur manis merah dengan beras ketan putih di tengah. Sebagai suatu tanda perayaan ulang tahun yang di rayakan dengan cara sederhana, ataupun acara hajatan seperti pondasi rumah, pernikahan, dan lain sebagainya."Assalamualaikum," sapa Adinda."Waalaikumsalam," jawab kami serentak."Ibuk ada, Ad?" tanya Adinda."Oh ... ada, di dalam, bentar ... bentar, aku
Selang tiga hari, ternyata Syahrul, sang pengagum dalam diam Della baru sadar, kalau wanita pujaan hatinya itu tidak masuk kerja. Lekas saja dia menghubungiku lewat sebuah pesan, mungkin karena khawatir dengan keadaan Della dikira ada apa-apa."Oiy, Ad. Della kenapa ya kok udah 3 hari gak masuk kerja?" tanya Syahrul via whatsapp.Tidak langsung aku balas pesan itu, masih memikirkan cara bagaimana jawaban yang tepat untuk dirinya. Bukan karena apa, cuma mau ngetes aja, atas kesungguhan kekaguman Syahrul atas Della. Hingga lebih dari setengah jam baru aku balas."Lha emang kemana Della? Lu yang masuk kerja terus, malah nanya ama Gue yang lagi cuti, suka ngadi-ngadi ya, Lu!" balasku berlagak tidak tahu keberadaan Della, padahal jelas-jelas dia berada disampingku."Eh, bangs*t, Lu, Ad. Bukan gitu maksutnya, barangkali Lu tahu keberadaan Della!" balas kembali Syahrul tidak berselang lama."Llah, Lu ...tanya ama gue gitu?" kembali aku memutar balikkan is
Tidak terasa, sudah 5 hari aku berada di tanah dimana aku dilahirkan. Bertepatan dengan itu pula, kabar baik dari kondisi Kakek berangsur lebih membaik. Dan rencana selanjutnya, mungkin lusa aku bisa kembali bekerja."Del, lusa balik kota!" ajakku kepada Della yang sedang menikmati pemandangan di salah satu kebun teh di desaku."Hmm ... gue betah disini, Ad!" ujar Della.Wajar saja, suasana yang menentramkan di desa rasanya memang sangat sulit untuk meninggalkannya. Apalagi keramah tamahan warganya yang selalu membuat betah berlama didalamnya."Kondisi Kakek juga udah membaik, uang gue juga udah nipis banget ini!" ujarku kepada Della.Della menatapku, kemudian dia bertanya."Administrasi udah diselesaikan?""Udah kemaren, habis lumayan juga sih, gaji dua bulan!" ujarku."Kok gak bilang ke gue sih, padahal udah gue siapin biayanya!" ujar Della kembali menatapku."Llah, kenapa, Lu yang malah repot mau biayain administrasi,
Seperti biasa, suasana kantor berjalan semestinya. Meski tanpa ada aku disana, rasanya tidak ada masalah. Syahrul masih ada disana setidaknya, siap mewakili dan menuntaskan segala pekerjaanku. Salah satu keuntungan tersendiri bagi tempat kantorku bekerja. Kendati demikian, ketidak hadiran Della membuat salah satu topik menarik bagi Pak Bos. Karena tanpa izin pula dia tidak masuk kerja. Dan membuat Pak Bos yang sangat santai itu terhadap semua karyawan ataupun karyawati menjadi gundah gulana."Syahrul! Ke ruang saya sekarang juga!" telpon Pak Bos kepada Syahrul melalui via telpon khusus kantor."Siap, Pak!" sanggup Syahrul bergegas menuju ruangan Pak Bos.Tanpa banyak kata dan sangkaan, Syahrul langsung menuju ke ruangan Pak Bos. Seperti biasa mungkin pikirnya, mendapat pekerjaan tambahan dan juga gaji tambahan pula mestinya.Sebelum masuk keruangan Pak Bos. Tepat di depan pintu ruangan itu, Syahrul menata rapi kembali pakaian serta rambut miliknya. Setela
Salah satu moment kembali yang berhasil aku ingat sebelum aku kembali ke kota. Kala itu, kala dimana Della sudah mulai berhasil adaptasi dengan keluargaku, adaptasi dengan warga sekitar. Bahkan, tidak jarang tiba-tiba dia menghilang dari rumah dan singgah di rumah tetangga sebelah. Hal demikian tentu membuatku tambah mengagumi dirinya. Relatif singkat sekali dia mampu beradaptasi. Dan membuat Bapakku serta Ibukku juga ikut terkesan.Pernah, waktu itu. Sampai di isukan dalam tetangga, kalau Della memang benar-benar akan menjadi calon istriku. Ketika mendengar hal itu, Della hanya tersenyum dan mengiyakan apa yang menjadi rumor tetangga sekitar. Apalagi Pakdhe Irul yang sangat mendukung hal demikian. Sampai-sampai beliau berjanji, kalau besok waktu resepsi, beliau mau menyumbang dua ekor sapi untuk dijadikan syukuran. Mengesankan bukan? Nominal uang yang tidak sedikit dengan nilai dua ekor sapi.Namun, ada hal lain yang membuatku sedikit termenung akan hal demikian. Baga
Entah apa yang sebenarnya sedang aku rasakan. Ketika aku sudah mulai lupa dengan satu persatu orang yang pernah aku kagumi, atau bahkan orang yang pernah berhasil bersemayam dalam hati dan sempat untuk memiliki, kini tiba-tiba harus kembali membuat dilema dengan kembalinya mereka. Entah dengan alasan apa aku'pun tidak tahu persisnya.Kemarin Adinda, dan malam ini di tengah-tengah persiapan mengemas pakaian untuk dibawa kembali ke kota, Chelsi ... tiba-tiba menghubungiku via telepon."Eh, kenapa nih orang?" batinku melihat layar ponsel ada panggilan masuk dari Chelsi.Memanglah demikian, aku sama sekali tidak mempunyai rasa dendam kepada siapa saja walau berulang kali menaruh sebuah luka. Apalagi harus sampai memblokir nomer mereka. Aku yang sebenarnya tersakiti, aku pula yang malah merasa mengasihani.Buru-buru aku angkat telpon itu."Assalamualaikum, selamat malam, Chel!" sapaku pertama mengangkat telepon itu."Waalaikumsalam, Ad!" jawab Ch
Sebelum kembali ke kota. Ada satu hal yang hampir lupa, mendatangi Wak Klasin."Oh iya, Del. Lu, di rumah aja ya, sama Bapak Ibu, lupa gue belum datang kerumah Wak Klasin!" pintaku kepada Della."Wak Klasin siapa, Ad?" tanya Della."Adiknya Bapak, tapi udah kaya Bapak sendiri!" ujarku memberi sedikit penjelasan."Hmm, gue gak ikut?" pinta Della.Aku diam sesaat, berpikir takut nanti kalau ajak Della malah jadi salah sangka."Bentar, gue pamit sama Bapak boleh nggak ngajak Lu, hehehe, takutnya nanti ada salah paham lagi!" ujarku lalu mencari Bapak berniat meminta ijin pergi ke rumah Wak Klasin dengan Della."Nyari siapa, Ad?" tanya Ibu yang melihatku mondar mandir mencari keberadaan Bapak."Bapak dimana ya, Bu?" tanyaku kepada Ibu yang sedang memotong kacang di ruang depan."Oh, coba cari di belakang, kaya'nya tadi bilang lagi mau nyantai di belakang!" terang Ibu menunjuk ke ruang belakang, tempat Bapak menyantai setelah