Sebelum lanjut ke cerita selanjutnya, sedikit aku ingin jelaskan kisah tentang wanita satu ini. Adinda, seorang wanita yang menjadi bunga desa di kampungku. Mempunyai paras yang dimiliki oleh Della, juga mantanku Chelsi. Malah menurutku, dia juga mempunyai kelebihan diantara mereka berdua. Tentang akhlak yang dimiliki, sederhana saja terlihat dari etika ketika dia bicara.
Entahlah, aku juga tidak tahu, aku yang hanya bermodal nekad, selalu saja bertepatan menaruh perasaan kepada para wanita yang juga di incar oleh Kaum Adam. Dari sekian banyak wanita yang aku incar, hanya satu saja yang mampu aku miliki, ya, itu adalah Chelsi. Itupun harus berakhir dengan sebuah kisah yang menyakitkan.
Ada satu kejadian yang berhasil membuat aku jatuh hati kepada Adinda. Ketika itu, saat ada acara pentas seni sewaktu aku duduk kelas 10, aku sedang bersandar menyaksikan teman-teman berjoget ria dengan penuh bahagia didepan panggung. Aku tidak ikut, aku lebih memilih menikmati dengan cara menonton. Padahal, hampir setengah dari seluruh siswa ataupun siswi berjoget ria disana.
Aku melihat Adinda yang juga terlihat lebih memilih sepertiku, duduk menikmati acara dengan cara menonton. Aku curi pandang terhadapnya, dan sesekali dia juga balik memandangku, saat itu pula terjadi sebuah lempar senyum antara kami. Kulihat nampak sebuah lengkungan bibir yang terpancar, menjadikan sebuah kekaguman tersendiri dalam perasaan. Semudah itu aku menaruh perasaan terhadap seorang wanita.
"Ad, ayo ikut joget!" ajak Ragil kala itu.
Awalnya sebenarnya aku menolak, tapi ada suatu dorongan tersendiri kala itu. Mencuri perhatian Adinda, arrgghhh masa remaja yang begitu lucu jika boleh aku ingat. Padahal, ketika aku lebih memilih duduk dan sedikit memupuk keberanian untuk mendekatinya, bisa saja aku dapat perhatian dari Adinda atas sikap gentle yang aku perlihatkan. Namanya juga remaja, aku belum berpikiran seperti itu. Aku mengiyakan ajakan Ragil, dan mulai masuk dalam lapangan basket itu.
"Yok!" ucapku kepada Ragil.
"Widihh ... gitu dong!" Ragil kemudian berjalan bersamaku memasuki lapangan basket.
Selain bermaksut mencuri perhatian dari Adinda, maksut hati adalah biar lebih dekat ketika memandang wajah Adinda.
Aku terhanyut dalam suara kendang yang ditabuh, unik sekali memang. Ada salah satu grup yang menampilkan dangdut waktu itu.
"Ce ... ndol da ... wet ce ... ndol da ... wet seger !! Limangngatusan !!" teriak penyanyi yang semakin menambah meriah suasana.
"Gak pake ketan !! Tak gintang gintang ... tak gintang gintang !!" teriak semua siswa siswi yang juga terhanyut dalam teriakkan penyanyi.
Sesekali kembali aku tatap Adinda, dia juga terlihat menikmati alunan musik yang dimainkan.
"Sobat ambyar ternyata," batinku kala itu.
Ketika asik menikmati serta berjoget ria, tiba-tiba Ragil ingin mengangkatku, maksutnya agar naik diatas pundaknya.
"Udah gile lu, ya!" ucapku kepadanya.
"Naik aja! Cepetan! biar cewek-cewek pada kenal Lo!" Ragil mengingatkan.
Kalau sudah masalah wanita, aku tidak bisa lagi menolaknya. Bergegas aku naik kepundak Ragil yang sudah jongkok. Sontak saja, menambah ramai suasana, sorak sorai terdengar begitu riangnya. Membuatku semakin percaya diri. Adinda didepan kelas terlihat juga ikut tersenyum melihat tingkah konyolku. Membuat semakin semangat saja untuk berjoget ria.
Namun, ada sesuatu yang tidak terduga kala itu. Tiba-tiba badan Ragil ada yang menendang dari belakang dan hal itu membuatku jatuh. Suara jeritan sayu-sayu terdengar, dan aku jatuh terkapar sampai tidak sadarkan diri diatas lapangan.
Kurang tahu persis kejadiannya seperti apa. Ketika bangun, dikepalaku sudah ada perban dan aku berada disuatu klinik kecil sekitar sekolah.
"Syukurlah, dek. Kamu udah sadar," ungkap Ibu perawat disampingku.
"Ini kenapa saya, Buk?" tanyaku kepada Ibu perawat.
"Tidak apa-apa, cuma terjadi luka ringan di bagian jidat," terang Ibu perawat.
Aku hanya diam, dan melihat jam ditangan menunjukkan pukul 11.00 siang.
Belum ada 5 menit, Ragil datang dengan wajah babak belur.
"Ngapain kamu Gil?" tanyaku kepada Ragil.
"Gile, jadi salah sasarna gue, Ad!" terang Ragil.
"Lo gak papa'kan?" lanjut Ragil menanyaiku.
"Gak papa Gil, cuma agak pusing sedikit," ucapku.
"Parah banget emang si Andre, dikira gue deketin Adinda, langsung main nendang aja dari belakang," terang Ragil.
"Lha ada masalah apa emang, Gil?" tanyaku.
"Tuh Andre lagi PDKT sama Adinda ceritanya, tapi akhir-akhir ini sikap Adinda sama Andre agak berbeda, dan setahu dirinya itu semua gara-gara gue yang sering chattingan sama Adinda. Padahal kan gue juga udah dari SD satu sekolah sama Adinda, wajar juga'kan jika gue sama Adinda deket," terang Ragil.
Aku hanya diam, ternyata Adinda yang pendiam dan menawan itu sedang PDKT dengan Andre.
"Bentar, Ad. Gue urusin biaya administrasi dulu, nanti langsung pulang, gue anterin lo," ucap Ragil bergegas menuju ruang administrasi.
"Oke, Gil,"
Saat aku menunggu Ragil menyelasaikan biaya administrasi, kulihat tiba-tiba Adinda bersama satu temannya masuk keruangan yang sedang aku tempati."Ini Fuad yang tadi jatuh dari punggung Ragil?" tanya Adinda dengan suara lembutnya.
Sebenarnya, waktu itu antara kami tidak saling mengenal. Dan aku juga tidak tahu darimana Adinda bisa mengetahui namaku.
"Iya," jawabku lirih.
"Kamu gak papa'kan?" tanya Adinda.
"Enggak, gak papa aku, cuma agak pusing sedikit aja," ujarku.
"Dimana Ragil?" tanya Adinda mencari keberadaan Ragil.
"Itu katanya lagi diruang administrasi menyelesaikan pembayaran," terangku.
Aku mulai bangun dan mencoba melangkahkan kaki. Tapi na'asnya malah seperti orang yang bingung, seakan semua yang aku lihat bergerak seperti ada gempa.
"Ad .. Ad, udah jangan banyak gerak dulu," ujar Adinda sembari memegang badanku.
Amboi, halus serta hangat sekali tangan Adinda. Baru kali ini, rasanya dipegang oleh seorang wanita. Aku hanya nurut dan kembali ketempat perbaringanku.
Tidak lama kemudian, Ragil kembali datang.
"Eh ... ya ampun, Ragil, kamu gak papa'kan?" sontak Adinda langsung menghampiri Ragil. Kulihat begitu akrabnya mereka berdua.
"Udah gak papa gue, biar besok gue balas one by one tu si Andre, beraninya main belakang!" ujar Ragil yang masih tidak terima dengan keadaan demikian.
"Udahlah, Gil. Gue yang mewakili Andre meminta maaf kepada lo sama Fuad," ucap Adinda dengan halusnya.
Ragil sama sekali tidak menjawab, dia hanya menatap Adinda dan datang menghampiriku, malah dia seakan memendam amarah melihat sikap Adinda yang demikian.
"Udah beres biaya adminnya, sekarang ayok pulang," ucap Ragil kepadaku.
"Oh ya," aku kemudian kembali beranjak dengan dirangkul oleh Ragil.
"Pelan-pelan aja jalannya, kata Ibu perawat kamu butuh istirahat, ini ada surat ijin istirahat dari klinik buat minta izin besok," terang Ragil kepadaku.
"Oke, Gil," aku hanya mengiyakan saja.
Dari kejadian ini, aku melihat kehadiran Adinda yang sama sekali tidak dianggap ada, membuat aku kasihan melihat sikap Ragil yang demikian.
"Udah gak usah mikirin sikap gue pada Adinda," ucap Ragil yang seakan mengetahui apa yang aku pikirkan.
Singkat cerita saja, ketika malam telah tiba. Aku mendapat sebuah notif pesan tanpa nama. Entah dari siapa, karena nomor itu memang belum terdaftar dalam kontak buku teleponku.
"Selamat malam, Ad. Bagaimana keadaannya sekarang?"
Setelah sesaat aku buka, tersadar itu adalah pesan dari Adinda. Terlihat foto profil terpampang wajahnya.
Sungguh, hal yang tidak terduga sebelumnya, sesuatu hal yang mereda sakit seketika. Sederhana, namun indah. Sederhana, namun mampu menumbuhkan bunga-bunga cinta yang tidak diminta sebelumnya. Bukan masalah isi pesan yang sederhana, akan tetapi dari siapa yang mengirimkannya.
Aku terdiam, dan aku dibuat senyum-senyum sendiri kala itu. Wajar saja, seorang remaja yang belum mengenal sebuah hubungan lebih dalam, mendapat pesan dari orang yang dikagumi dalam diam.
indah sekali kawan,
Dari kota sampai desa merupakan salah satu perjalanan yang cukup melelahkan. Tetapi bagaimanapun, hal demikian tidak bisa dijadikan alasan. Seperti niat awal mengambil cuti pekerjaan untuk menjenguk kakek, dan itupula langkah awal yang harus dilakukan."Buk, nanti Fuad sendiri aja, Ibuk di rumah nemenin Della, kasihan dia, mungkin kelelahan," ucapku kepada Ibuk, setelah melihat keadaan Della yang memang terlihat sangat lelah."Nggak kok, Buk. Della sehat-sehat aja," ujar Della menangkis permintaanku kepada Ibuk."Sudah nak Della, nak Della di rumah aja sama Ibuk, biar nanti Fuad sama bapaknya yang jenguk," ujar Ibuk."Kamu istirahat aja dulu," lanjut Ibuk meminta agar Della tetap di rumah.Della mengalah,Tidak berselang lama, Bapak pulang. Dan terlihat raut wajah tidak menyenangkan diperlihatkan."Assalamualaikum," salam Bapak ketika masuk kedalam rumah."Waalaikumsalam," ujar kami bertiga serentak.Aku bergegas men
Sesampai di rumah sakit, secara tidak terduga pula, aku bertemu dengan salah satu sahabat kecilku. Ikmal, seorang laki-laki berparas sangat tampan, terlihat terbaring di rumah sakit tidak berdaya."Oiy, bro!" sapaku kepada Ikmal yang masih setengah sadar.Ikmal hanya tersenyum, sama sekali tidak menjawab sapaan dariku. Wajar saja, sekujur tubuhnya penuh dengan perban. Begitu pula bagian di wajahnya."Ada apa, Pak, dengan Ikmal?" tanyaku kepada Bapaknya Ikmal yang duduk tepat di sampingnya."Tadi kecelakaan, dek. Untung aja masih selamat, nakal emang nih anak!" ucap Bapak Ikmal kepadaku.Memang, aku dan Ikmal sudah seperti saudara kandung saja. Sangat akrab, dari teman masa kecil, sampai harus di pisahkan oleh tujuan hidup masing-masing. Aku bekerja ke luar kota, dan dia melanjutkan kuliah mengambil jurusan kedokteran. Kami memang dari kampung jauh dari keramaian kota, tapi kami mempunyai sebuah cita-cita besar yang tidak semua orang memilikinya. Se
"Ad, jalan-jalan yuk," ajak Della pagi-pagi sekali."Jalan-jalan kemana, masih terlalu pagi juga," jawabku seakan ingin menolak ajakan dari Della."Healah, kapan lagi juga ... bisa jalan-jalan pagi dengan suasana perdesaan yang menentramkan," Della kembali merayuku.Disaat waktu yang tepat pula, terlihat Adinda datang membawa piring dengan bubur manis khas perdesaan, sebagai suatu tanda ada slametan dari sanak keluarga atau sebagainya.Memang, tradisi seperti ini masih sangat hangat berlaku di desaku. Ada yang menggunakan bubur manis plus juroh (gula Jawa yang dicairkan) atau bubur manis merah dengan beras ketan putih di tengah. Sebagai suatu tanda perayaan ulang tahun yang di rayakan dengan cara sederhana, ataupun acara hajatan seperti pondasi rumah, pernikahan, dan lain sebagainya."Assalamualaikum," sapa Adinda."Waalaikumsalam," jawab kami serentak."Ibuk ada, Ad?" tanya Adinda."Oh ... ada, di dalam, bentar ... bentar, aku
Selang tiga hari, ternyata Syahrul, sang pengagum dalam diam Della baru sadar, kalau wanita pujaan hatinya itu tidak masuk kerja. Lekas saja dia menghubungiku lewat sebuah pesan, mungkin karena khawatir dengan keadaan Della dikira ada apa-apa."Oiy, Ad. Della kenapa ya kok udah 3 hari gak masuk kerja?" tanya Syahrul via whatsapp.Tidak langsung aku balas pesan itu, masih memikirkan cara bagaimana jawaban yang tepat untuk dirinya. Bukan karena apa, cuma mau ngetes aja, atas kesungguhan kekaguman Syahrul atas Della. Hingga lebih dari setengah jam baru aku balas."Lha emang kemana Della? Lu yang masuk kerja terus, malah nanya ama Gue yang lagi cuti, suka ngadi-ngadi ya, Lu!" balasku berlagak tidak tahu keberadaan Della, padahal jelas-jelas dia berada disampingku."Eh, bangs*t, Lu, Ad. Bukan gitu maksutnya, barangkali Lu tahu keberadaan Della!" balas kembali Syahrul tidak berselang lama."Llah, Lu ...tanya ama gue gitu?" kembali aku memutar balikkan is
Tidak terasa, sudah 5 hari aku berada di tanah dimana aku dilahirkan. Bertepatan dengan itu pula, kabar baik dari kondisi Kakek berangsur lebih membaik. Dan rencana selanjutnya, mungkin lusa aku bisa kembali bekerja."Del, lusa balik kota!" ajakku kepada Della yang sedang menikmati pemandangan di salah satu kebun teh di desaku."Hmm ... gue betah disini, Ad!" ujar Della.Wajar saja, suasana yang menentramkan di desa rasanya memang sangat sulit untuk meninggalkannya. Apalagi keramah tamahan warganya yang selalu membuat betah berlama didalamnya."Kondisi Kakek juga udah membaik, uang gue juga udah nipis banget ini!" ujarku kepada Della.Della menatapku, kemudian dia bertanya."Administrasi udah diselesaikan?""Udah kemaren, habis lumayan juga sih, gaji dua bulan!" ujarku."Kok gak bilang ke gue sih, padahal udah gue siapin biayanya!" ujar Della kembali menatapku."Llah, kenapa, Lu yang malah repot mau biayain administrasi,
Seperti biasa, suasana kantor berjalan semestinya. Meski tanpa ada aku disana, rasanya tidak ada masalah. Syahrul masih ada disana setidaknya, siap mewakili dan menuntaskan segala pekerjaanku. Salah satu keuntungan tersendiri bagi tempat kantorku bekerja. Kendati demikian, ketidak hadiran Della membuat salah satu topik menarik bagi Pak Bos. Karena tanpa izin pula dia tidak masuk kerja. Dan membuat Pak Bos yang sangat santai itu terhadap semua karyawan ataupun karyawati menjadi gundah gulana."Syahrul! Ke ruang saya sekarang juga!" telpon Pak Bos kepada Syahrul melalui via telpon khusus kantor."Siap, Pak!" sanggup Syahrul bergegas menuju ruangan Pak Bos.Tanpa banyak kata dan sangkaan, Syahrul langsung menuju ke ruangan Pak Bos. Seperti biasa mungkin pikirnya, mendapat pekerjaan tambahan dan juga gaji tambahan pula mestinya.Sebelum masuk keruangan Pak Bos. Tepat di depan pintu ruangan itu, Syahrul menata rapi kembali pakaian serta rambut miliknya. Setela
Salah satu moment kembali yang berhasil aku ingat sebelum aku kembali ke kota. Kala itu, kala dimana Della sudah mulai berhasil adaptasi dengan keluargaku, adaptasi dengan warga sekitar. Bahkan, tidak jarang tiba-tiba dia menghilang dari rumah dan singgah di rumah tetangga sebelah. Hal demikian tentu membuatku tambah mengagumi dirinya. Relatif singkat sekali dia mampu beradaptasi. Dan membuat Bapakku serta Ibukku juga ikut terkesan.Pernah, waktu itu. Sampai di isukan dalam tetangga, kalau Della memang benar-benar akan menjadi calon istriku. Ketika mendengar hal itu, Della hanya tersenyum dan mengiyakan apa yang menjadi rumor tetangga sekitar. Apalagi Pakdhe Irul yang sangat mendukung hal demikian. Sampai-sampai beliau berjanji, kalau besok waktu resepsi, beliau mau menyumbang dua ekor sapi untuk dijadikan syukuran. Mengesankan bukan? Nominal uang yang tidak sedikit dengan nilai dua ekor sapi.Namun, ada hal lain yang membuatku sedikit termenung akan hal demikian. Baga
Entah apa yang sebenarnya sedang aku rasakan. Ketika aku sudah mulai lupa dengan satu persatu orang yang pernah aku kagumi, atau bahkan orang yang pernah berhasil bersemayam dalam hati dan sempat untuk memiliki, kini tiba-tiba harus kembali membuat dilema dengan kembalinya mereka. Entah dengan alasan apa aku'pun tidak tahu persisnya.Kemarin Adinda, dan malam ini di tengah-tengah persiapan mengemas pakaian untuk dibawa kembali ke kota, Chelsi ... tiba-tiba menghubungiku via telepon."Eh, kenapa nih orang?" batinku melihat layar ponsel ada panggilan masuk dari Chelsi.Memanglah demikian, aku sama sekali tidak mempunyai rasa dendam kepada siapa saja walau berulang kali menaruh sebuah luka. Apalagi harus sampai memblokir nomer mereka. Aku yang sebenarnya tersakiti, aku pula yang malah merasa mengasihani.Buru-buru aku angkat telpon itu."Assalamualaikum, selamat malam, Chel!" sapaku pertama mengangkat telepon itu."Waalaikumsalam, Ad!" jawab Ch