Entah apa yang sebenarnya sedang aku rasakan. Ketika aku sudah mulai lupa dengan satu persatu orang yang pernah aku kagumi, atau bahkan orang yang pernah berhasil bersemayam dalam hati dan sempat untuk memiliki, kini tiba-tiba harus kembali membuat dilema dengan kembalinya mereka. Entah dengan alasan apa aku'pun tidak tahu persisnya.
Kemarin Adinda, dan malam ini di tengah-tengah persiapan mengemas pakaian untuk dibawa kembali ke kota, Chelsi ... tiba-tiba menghubungiku via telepon.
"Eh, kenapa nih orang?" batinku melihat layar ponsel ada panggilan masuk dari Chelsi.
Memanglah demikian, aku sama sekali tidak mempunyai rasa dendam kepada siapa saja walau berulang kali menaruh sebuah luka. Apalagi harus sampai memblokir nomer mereka. Aku yang sebenarnya tersakiti, aku pula yang malah merasa mengasihani.
Buru-buru aku angkat telpon itu.
"Assalamualaikum, selamat malam, Chel!" sapaku pertama mengangkat telepon itu.
"Waalaikumsalam, Ad!" jawab Ch
Sebelum kembali ke kota. Ada satu hal yang hampir lupa, mendatangi Wak Klasin."Oh iya, Del. Lu, di rumah aja ya, sama Bapak Ibu, lupa gue belum datang kerumah Wak Klasin!" pintaku kepada Della."Wak Klasin siapa, Ad?" tanya Della."Adiknya Bapak, tapi udah kaya Bapak sendiri!" ujarku memberi sedikit penjelasan."Hmm, gue gak ikut?" pinta Della.Aku diam sesaat, berpikir takut nanti kalau ajak Della malah jadi salah sangka."Bentar, gue pamit sama Bapak boleh nggak ngajak Lu, hehehe, takutnya nanti ada salah paham lagi!" ujarku lalu mencari Bapak berniat meminta ijin pergi ke rumah Wak Klasin dengan Della."Nyari siapa, Ad?" tanya Ibu yang melihatku mondar mandir mencari keberadaan Bapak."Bapak dimana ya, Bu?" tanyaku kepada Ibu yang sedang memotong kacang di ruang depan."Oh, coba cari di belakang, kaya'nya tadi bilang lagi mau nyantai di belakang!" terang Ibu menunjuk ke ruang belakang, tempat Bapak menyantai setelah
Deru angin malam bertiup sepoi-sepoi yang menenangkan. Pohon-pohon melambai dengan penuh penghayatan menemani perjalananku dengan Della menuju kerumah.Setengah sepuluh malam, kulihat arlojiku menunjukan pukul demikian. Dengan penuh ketidakpastian serta kenyamanan yang diberikan oleh kampungku, rasanya Della enggan untuk beranjak, dan ingin hati lebih berlama untuk tinggal."Ad, kita mau balik ke kota besok beneran?" tanya Della menyela."Lah, iya, gimana emang?" tanyaku menanggapinya pertanyaannya."Ya, nggak papa, masih nyaman aja gue disini," ujar Della dengan sedikit nada pasrah."Hmm, lain kali masih ada waktu, besok gue ajak lagi kesini," ujarku menenangkan Della.Dingin sekali rasanya angin malam itu, masih tidak terpikirkan sebelumnya. Sudah lebih lima hari aku bersama Della dalam satu atap rumah. Dan menjadi salah satu cerita peringan luka sebelumnya yang sempat singgah, dan merekah untuk beberapa saat.Sesampai di depan ruma
Rencana untuk kembali ke kota sudah tiba. Pagi yang cukup cerah, serta harapan yang di inginkan sekadar mencari uang rasanya harus kembali benar-benar diperjuangkan. "Ini beneran balik ke kota?" tanya Della. "Lhah iya, emang mau tinggal berapa lama lagi? Kakek juga nanti udah bisa dibawa pulang." Fuad memberi pernyataan serta penjelasan. "Hmm, kalau boleh jujur sih, rasanya nyaman banget sini, sudah seperti rumah sendiri," terang Della yang merasa masih berat hati untuk kembali ke kota. Bagaimana dia tidak merasa nyaman? Kala keramahan serta penuh perhatian setiap hari diperlihatkan oleh Ibu Fuad. Sebenarnya, hal demikian yang membuat Della merasa iri hati. "Ad, apalagi yang belum dibawa?" tanya Ibu sembari mengecek barang bawaan. "Oh, itu Bu, masih ada ransel di kamar satu," ujar Fuad. Tanpa banyak kata, Ibu langsung pergi ke kamar bermaksud untuk mengambilkan. Ha
Namanya juga mendung. Tak selamanya ia mampu mengundang hujan. Hadirnya hanya memberi isyarat kepada makhluk bumi agar lebih siap ketika hujan turun kembali membasahi. Sedia payung sebelum hujan, mungkin suatu selogan yang tidak asing lagi terdengar pada sepasang telinga kita. Perihal mendung dan hubungan, seakan menjadi sebuah kalimat yang berbeda, namun hampir mirip dalam pemberian makna. Bagaimana tidak? Ketika mendung mampu hadir tanpa memberi hujan, begitupula sebuah hubungan. Ia mampu hadir memberi kenyamanan, datang dengan sebongkah kata kepalsuan. I love you, I Miss You, dan lain sebagainya. Namun tanpa berdasarkan sebuah rasa sayang yang timbul dari perasaan. Aku menamainya sebagai sebuah tabir dari kepalsuan. Dan hal demikian adalah salah satu hal yang paling aku takutkan dalam sebuah hubungan. Bagaimana tidak? Ketika kita sudah merasa nyaman dengan suatu hubungan, kita hanyut dalam asmara perasaan, terlebih kita mendengar kata I Love You,
Terlepas dari kisah asmara yang berhenti ditengah jalan dengan sia-sia. Setidaknya, masalah demikian menjadi sebuah pembelajaran yang sangat berharga dalam hidup. Tidak mudah terlena atas sikap nyaman yang diberikan, tak selamanya hal demikian merupakan wujud sebuah cinta, bisa jadi hal itu hanyalah pelarian semata.Pagi-pagi sekali, aku kembali menyiapkan diri untuk mencari rezeki. Jika sebelumnya, ada satu motivasi besar untuk menyiapkan masa depan perihal mahar pernikahan. Untuk kali ini, rasa-rasanya begitu hambar jika boleh aku katakan. 1 tahun telah berlalu dengan semangat pernikahan, kini untuk apa? batinku kala itu."Berangkat kerja, Ad?" tanya Wak Edwin melintas didepan teras rumahku."Iya Wak, lari pagi Wak?" aku berbalik tanya kepada Wak Edwin yang terlihat sedang melakukan rutinitas setiap hari, lari pagi."Hehehe, iya Ad. Biar sehat, dalam rangka mengolah raga serta rasa, agar saat sedih kembali menghampiri, tidak lagi taku
Seperti yang telah direncanakan sebelummlnya. Aku segera mungkin mencari bos di tempat kerjanya. Meminta izin cuti kerja, karena Aku tahu, aku masih membutuhkan pekerjaan itu. Malamnya, aku mengemas pakaian serta keperluan yang memang dia perlukan untuk dibawa pulang ke kampung halaman."Banyak juga ternyata," ujarku setelah selesai memasukkan segala keperluan yang dibutuhkan. Aku masih ragu malam itu. Apakah benar-benar akan mengajak Della atau tidak, mungkin jika posisi Della adalah laki-laki akan berbeda cerita. Dia perempuan, dan Aku tahu batas antara laki-laki dan perempuan. Wajar saja, aku memanglah terkenal sebagai laki-laki pendiam, dan awam dalam hal pergaulan.Bergegas aju mengambil gadget milikku,"Malam, Del," tulisku mengirim pesan via whattsapp. Lama sekali Della menjawab, sesekali aku menghidup matikan gadget canggih milikku. Mengharap balasan dari Della. 30 menit telah berlalu, namun tidak ada
Entah apa yang membuatku lupa malam itu. Seharusnya lekas mencari bos untuk meminta cuti, malah tidak jadi. Della oh Della, meski memberi bahagia, namun malah menambah problematika. Seperti yang sudah diketahui sebelumnya, tempat kerjaku agak sedikit unik daripada yang lain. Ketika hendak mengambil cuti, cukup memberi kabar via whatsapp saja. Itu sudah lebih dari kata cukup, tapi ketika tanpa kabar absen dan mengambil cuti seenaknya saja, siap-siap saja akan terjadi perang dunia yang ke lima."Etdah, gimana ini ... mana belum izin cuti lagi," batinku sembari menengok jam tangan yang menunjukkan pukul 06:30. Menambah gusar saja keadaan demikian, bergegas saja aku beranikan masuk kerja untuk meminta izin cuti. Seperti yang pernah aku ceritakan pada bab sebelumnya, rutinitas pagi, saling tegur sapa ketika melihat rekan kerja. Senyum pagi yang terpancar, dengan segala kemungkinan yang semoga lekas Tuhan jadikan sebuah kenyataan
"Oiy, bangun Lu!" Notif pesan masuk pagi-pagi sekali pada layar ponsel milikku.Sayu-sayu aku menatap dan membalas pesan dari Della."Bentar ... belum selesai packing, nanti gue samperin Lu, sambil minta izin," balasku sembari bergegas untuk cuci muka. Kulihat jam yang tertempel di dinding menunjukkan 05:15, masih terlalu pagi pikirku saat itu."Etdah, semangat banget nih anak," gumamku setelah sekejap membayangkan semangatnya Della. Tidak berselang lama, semua sudah siap. Dari barang bawaan, sampai kewajiban kepada Tuhan yang sudah dilaksanakan. Dalam hal demikian, aku selalu mempunyai prinsip yang tidak bisa terbantahkan.Bagaimana pantas aku menginginkan akan segala keinginan yang aku harap menjadi kenyataan, sedang kewajibanku kepada Tuhan saja masih aku lalaikan? Setidaknya, sedikit banyak selogan itu mampu menjadi cambuk semangat dalam melangkah. Lebih mantap dalam memijakkan langkah diata