Share

Izin Bos

   Entah apa yang membuatku lupa malam itu. Seharusnya lekas mencari bos untuk meminta cuti, malah tidak jadi. Della oh Della, meski memberi bahagia, namun malah menambah problematika.

Seperti yang sudah diketahui sebelumnya, tempat kerjaku agak sedikit unik daripada yang lain. Ketika hendak mengambil cuti, cukup memberi kabar via w******p saja. Itu sudah lebih dari kata cukup, tapi ketika tanpa kabar absen dan mengambil cuti seenaknya saja, siap-siap saja akan terjadi perang dunia yang ke lima.

"Etdah, gimana ini ... mana belum izin cuti lagi," batinku sembari menengok jam tangan yang menunjukkan pukul 06:30.

   Menambah gusar saja keadaan demikian, bergegas saja aku beranikan masuk kerja untuk meminta izin cuti. Seperti yang pernah aku ceritakan pada bab sebelumnya, rutinitas pagi, saling tegur sapa ketika melihat rekan kerja. Senyum pagi yang terpancar, dengan segala kemungkinan yang semoga lekas Tuhan jadikan sebuah kenyataan.

"Eh, Ad, mau kemana lu?" tanya Syahrul, salah satu rekan setia kerjaku.

"Mau ke kantor bos, bro. Mau minta izin cuti," ucapku memberi penjelasan.

"Llah, emang mau cuti ngapain coba?" tanya kembali Syahrul kepadaku.

"Kemarin dapat kabar dari Ibuk di desa, Mbah katanya sakit, dan sekarang rawat inap di puskesmas daerah desaku. Eh, bro, kalau mau minta izin cuti langsung ke kantor Pak Bos, nanti dimarahin kagak?" kini aku yang berbalik tanya kepada Syahrul. Karena juga Syahrul, adalah teman kerjaku yang sering ambil cuti tanpa alasan yang jelas. Tapi tidak heran juga, karena dia termasuk anak kesayangan Pak Bos, bagaimana tidak? Ketika aku berhasil memasarkan 1 desain buatanku, Syahrul temanku ini, sudah mampu memasarkan 5 desain sekaligus, emang gila pandainya ini orang.

"Oh ... tinggal masuk aja, bilang alasan yang jelas. Dan jangan berani-berani bohong!" tegas Syahrul dihadapanku.

"Kaya lu sok jelas aja bro ... bro!" aku menimpali.

"Eh, ni anak dibilangin. Hal seperti itu hanya dilakukan oleh orang-orang profesional." Dengan mempergerakan tangan, layaknya orang yang sedang maju untuk menjelaskan presentase.

"Llahh ... gitu ya? Ya udah, gue masuk dulu, bro," ucapku sembari berlalu dari hadapan Syahrul.

"Oh iya, bro. Nanti kalau lu masuk, usahakan dengan nada penuh harap, dan ekspresi yang meyakinkan, gue jamin! Nanti lu bakal dapat kejutan!" tutur Syahrul dengan nada penuh yakin.

Aku hanya tersenyum dan berlalu menuju kantor Pak Bos.

Tok ... tok ... tok

Aku mengetuk pintu kantor Pak Bos dengan penuh hati-hati.

"Ya, silahkan masuk!" suara Pak Bos dengan penuh wibawanya.

"Ada apa, Ad?" tanya Pak Bos menatapku dengan begitu tajam.

   Entah kenapa, sebenarnya juga Pak Bos ini sama sekali tidaklah keras seperti di film-film yang sering di pertontonkan. Beliau sangat ramah, dan murah senyum. Tapi, karisma serta wibawa dari pandangan mata dan suaranya, aku akui sangatlah luar biasa. Sampai aku tidak berani menatap wajahnya secara langsung. Aku hanya menundukkan kepala dihadapannya.

"Gini,Pak. Maaf sebelumnya, tadi malam mau minta izin lewat via w******p. Tapi, saya lupa, Pak. Lalu maksut saya kesini, mau meminta izin cuti dari Bapak untuk beberapa hari kedepan," ucapku dengan nada dan raut wajah seperti yang dianjurkan oleh Syahrul.

"Lha ini, Bapak yang suka malah, meski dalam aturan boleh meminta izin via w******p, tapi kamu malah milih izin langsung, semoga dapat dicontoh oleh teman-teman kerja lain," Pak Bos dengan penuh simpati menuturkan hal demikian. Aku hanya tersenyum dengan masih menundukkan kepala.

"Kalau boleh tahu, ada keperluan apa, Ad?" tanya Pak Bos melanjutkan.

"Itu, Pak, kemarin saya dapat telvon dari Ibuk di desa. Kalau mbah saya sedang sakit dan rawat inap di puskesmas," tuturku menjelaskan.

"Owalah ya ... ya. Sudah berapa hari, Ad?" tanya kembali Pak Bos.

"Kurang tahu, Pak. Yang jelas, kata Ibuk saya. Sudah beberapa hari itu juga, Mbah saya hanya mencari-cari saya. Padahal saya juga belum waktunya libur, Pak," ucapku kembali melanjutkan.

"Ya jangan gitu kamu. Itu menandakan, kalau kamu memang dibutuhkan kehadirannya. Mungkin bisa saja, Mbahmu sakit karena merindukanmu 'kan? Deket ya kamu sama Mbah?" kembali Pak Bos bertanya sembari menasihati.

"Ya begitulah, Pak. Dari kecil, memang lebih sering bercengkerama dengan Mbah saya," jelasku.

"Hmm ... ya ... ya. Ya udah, saya izinin kamu," Pak Bos mengijinkan.

Aku hanya mengangguk dengan penuh kegemberiaan. Belum saja aku pamit dan beranjak dari tempat duduk, Pak Bos menahanku.

"Bentar, Ad. Ini ada uang sedikit buat biaya kamu diperjalanan, sama salamin dari Bapak untuk keluarga kamu di desa. Kamu gak usah mikirin pekerjaan, biar nanti saya suruh si Syahrul untuk mengerjakan. Semua beres, keluarga nomer satu, dan kamu harus ingat itu!" tutur Pak Bos, sembari menyodorkan beberapa kertas uang 100 ribuan.

   Aku hanya diam, dan tidak menyangka akan terjadi hal demikian. Aku pamit, dan beranjak dari hadapan Pak Bos. Lega sekali rasanya, terlebih dapat uang jajan bila boleh dijelaskan.

Saat aku berlalu dari kantor Pak Bos, Syahrul sudah menungguku di luar.

"Gimana, bro? Dapat uang saku berapa elu?" tanya Syahrul dengan cengingisan.

"Kampret lu, ya? Pantes lebih suka izin cuti langsung ke kantor!" tuturku kepada Syahrul.

"Hehehe, jangan bilang teman-teman yang lain. Takutnya besok kagak ada yang berangkat kerja. Emang paling unik nih kantor!" ucap Syahrul sembari tertawa kecil.

"Oh iya, bro. Tadi Pak Bos bilang, besok kalau gue belum masuk. Lu yang bakal ngerjain pekerjaan gue, tolong ye!" Pintaku kepada Syahrul sembari menepuk pundaknya. Dan Syahrul ini adalah salah satu rekan kerja yang tergila-gila dengan Della. Namun, sama seperti dengan aku, hanya mampu memendam perasaan dalam diam. Tidak lebih dan tidak kurang, terkadang aku juga sering berbicara dengan diriku sendiri, seorang Syahrul yang mempunyai keistimewaan, juga memiliki wajah rupawan saja, dihadapan Della, tidak berani menyuarakan perasaan. Bagaimana dengan aku? Fuad? Anak magang?!

"Siap beres, bro. Pasti akan dapat gaji plus plus ini, hehehehe," ucap Syahrul menyanggupi.

"Makasih, bro. Gue pulang dulu ya,"

"Siap, hati-hati dijalan, salam buat keluarga lu di desa. Besok kalau udah liburan, bolehlah ajak gue menikmati panorama perdesaan," pinta Syahrul.

"Beres! Anak Pak Bos, wkwkwk," ucapku sembari berlalu memberi hormat kepada Syahrul. Yang memang dia terkenal menjadi anak Pak Bos, karena dia bisa dikatakan menjadi tangan kanan Pak Bos di kantor.

Syahrul hanya tersenyum dan mengepalkan tangan kepadaku.

   Sungguh, kekhawatiran yang sebelumnya dikhawatirkan, kini berbalik kenyataan. Menjadi rasa mantap kesenangan dalam perasaan.

Dari sini pula aku belajar,

Wibawa serta kharisma bukan didapat hanya dengan memperindah suara, tapi dengan perilaku serta akhlak dalam kehidupan nyata.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status