Terlepas dari kisah asmara yang berhenti ditengah jalan dengan sia-sia. Setidaknya, masalah demikian menjadi sebuah pembelajaran yang sangat berharga dalam hidup. Tidak mudah terlena atas sikap nyaman yang diberikan, tak selamanya hal demikian merupakan wujud sebuah cinta, bisa jadi hal itu hanyalah pelarian semata.
Pagi-pagi sekali, aku kembali menyiapkan diri untuk mencari rezeki. Jika sebelumnya, ada satu motivasi besar untuk menyiapkan masa depan perihal mahar pernikahan. Untuk kali ini, rasa-rasanya begitu hambar jika boleh aku katakan. 1 tahun telah berlalu dengan semangat pernikahan, kini untuk apa? batinku kala itu.
"Berangkat kerja, Ad?" tanya Wak Edwin melintas didepan teras rumahku.
"Iya Wak, lari pagi Wak?" aku berbalik tanya kepada Wak Edwin yang terlihat sedang melakukan rutinitas setiap hari, lari pagi.
"Hehehe, iya Ad. Biar sehat, dalam rangka mengolah raga serta rasa, agar saat sedih kembali menghampiri, tidak lagi takut patah untuk beberapa kali!" ujar Wak Edwin sembari mengacungkan dua jari telunjuk dari sepasang tangannya. Dengan tawa lebar dari mulutnya, membuat seketika itu juga aku ikut tertawa.
"Wkwkwk, gak ada obat emang Wak Edwin," ujarku.
"Usia boleh tua, pikiran raga tetap harus lebih muda. Ya udah Ad, Wak lanjut lari dulu. Sambil nyari inspirasi lihat ibu-ibu komplek sebelah. Hehehe." Wak Edwin berlalu sembari melambaikan tangan kepadaku.
Aku hanya tersenyum mengiyakan saja.
"Etdah, udah tua masih aja nih orang!" batinku kala itu.Setelah memakai sepatu, dan segalanya siap. Aku berangkat. Menstater sepeda motor matic hasil keringatku sendiri. Dengan sedikit tak bersemangat, aku paksakan raga untuk tetap berjuang menggapai segala impian. Mengingat keluarga dari kampung yang semua kebutuhan bisa dikatakan pas-pasan. Aku harus berjuang, dan aku harus berjuang. Itulah yang harus aku tanamkan.
Kurang lebih pukul 7 lebih 15 menit, aku sampai ditempat kerja. Dalam pandangan mata, terlihat masih seperti pagi-pagi sebelumnya. Hingar bingar suasana kendaraan melintas mengisyratkan segala kesibukan pagi disuatu kota. Salah satu pemandangan yang tak asing. Lekas aku bergegas masuk ke kantor.
"Pagi, Ad!" Della menyapaku dengan nada yang agak kurang enak didengar. Malah berkesan seperti membentak.
"Eh, pagi juga, Del," aku yang sebenarnya juga sedang tidak baik-baik saja, mencoba tidak menampakan apa yang sebenarnya aku rasakan.
"Pupus, pupus, pu ... pus," ujar kembali Della."Hey, what happened?" aku bertanya berlagak memakai bahasa Inggris.
Della hanya melirikku dengan tatapan sinis.
"Heelllehh, sok-sokan Inggris Lu Ad!" ujar Della.
"Wkwkwk, biar gaul ah, katanya Bahasa Inggris adalah bahasa Internasional, tidak salahkan jika anak penggembala sapi dari kampung menggunakannya?" ujarku.
"Mulai lagi kan, mendeskripkan segala sesuatu yang dikatakan." Della berujar.
"Eh, ya gimana ya ... soalnya ... " belum sempat aku menyelesaikan perkataan. Della sudah meninggalkanku, sepanjang jalan menuju ruang kantornya, dia memaki siapa saja yang ditemui. Seperti orang yang sedang frustasi dalam suatu keadaan.
"Aneh emang ni orang" ucapku lirih.
Aku kembali melanjutkan langkaham kaki menuju ruang kerjaku. Satu persatu aku berpapasan dengan teman kerja, dan tidak lupa saling bertegur sapa dengan suasana hati yang berbeda.
"Yok bisa yok!" aku berkata kepada diriku sendiri didepan layar komputer yang sudah mulai aku hidupkan.
Deadline pekerjaan mulai aku kerjakan, dengan suasan hati yang sedang tidak baik-baik saja. Menjadi salah satu hal yang berat untuk memfokuskan pikiran. Untuk hari ini, serasa sangat sulit, sangat berat. Tanpa inspirasi, tanpa semangat, dan tidak ada lagi dia yang selalu menghubungi di kala aku meminta sebuah masukan atas permasalahan yang ada dalam pikiran.
Aku sandarkan pundak pada kursi, menatap atap yang seakan hanya berwarna putih tanpa ada warna lainnya. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan. Sembari kembali menutup mata berharap ada sesuatu menyenangkan yang bisa kuingat, namun malang sekali suasana pikiranku kala itu. Hanya mengingat kenangan-kenangan manis tentang Chelsi, kenangan manis yang begitu indah, layaknya sekuntum bunga dihinggapi oleh kupu-kupu yang sudah dinanti setiap pagi. Sungguh indah kawan, tapi pahit sekali jika dirasakan. Semuanya hanyalah kenangan yang akan terus terkenang, tidak ada lagi harapan. Dia sudah memilih jalan yang terbaik menurutnya. Bukankah awal tujuanku bersamanya adalah membuatnya bahagia? Lalu kenapa aku harus bersedih ketika dia lebih memilih jalan lain untuk meraih sebuah kebahagiaan?Tok.. tok.. tok..
"Ya, silahkan masuk!" ujarku mendengar suara ketokan pintu ruang kerja.
Kulihat Della mengendap-endap masuk keruang kerjaku, sembari menoleh kekanan kekiri memastikan tidak ada yang melihat dia masuk tempat ruang kerjaku.
"Eh, tumben lu kesini," ujarku.
"Ssttt, diem lu!" Della mengisyaratkan jari telunjuk dimulutnya agar aku tidak terlalu keras bersuara.
"Nanti malam ada waktu kosong nggak?" tanya Della.
"Iya ada, gimana?" jawabku.
"Temenin gue keluar ya, nanti gue hubungi, jemput didepan rumah." Belum saja aku menyanggupi ajakannya, Della sudah bergegas keluar.
Della, adalah salah satu wanita di tempat kerja yang memiliki paras cantik. Terkenal sebagai Playgirl, gonta ganti pasangan seenak jidatnya. Wajar saja, kecantikan serta kepintarannya membuat setiap kaum Adam yang mengenalnya, pasti akan jatuh hati padanya. Termasuk aku, jika boleh jujur.
Sebelumnya, suatu keistimewaan tersendiri bila bisa jalan bareng Della, tidak setiap laki-laki mampu melakukannya. Boleh jadi punya banyak harta, memiliki wajah tampan, tapi jika Della tidak merasa nyaman, sia-sia sudah apa yang dimiliki oleh sang laki-laki.Seistimewanya seorang Della, walau aku juga diam-diam menaruh rasa. Rasanya tetap hambar saja. Mengingat aku sedang dalam posisi berat yang sedang aku perankan.
Tak terasa saja, jam ditangan menunjukkan pukul 4 lebih 30, menandakan jam kerja sudah selesai. Meski tidak bisa semaksimal hari-hari sebelumnya, tapi aku tetap harus berterima kasih kepada diriku sendiri yang sudah mau menemani sampai selelah ini.
Aku bergegas dari tempat kerja, kembali berpapas dengan teman kerja dengan suasana raut wajah yang berbeda, ada yang masih terlihat semangat, atau malah ada yang terlihat lebih lelah daripada aku. Aku belajar dari hal demikian, mereka semua mempunyai masalah dalam hidup yang dijalani. Tapi ada yang pandai untuk melalui, dan ada pula yang malah menjadi pembunuh semangat diri."Oiy Ad, cepet jemput gue!" Notif pesanku dari Della."Eh, maaf Del, lelah banget gue hari ini, besok malam aja ya? Lagi gak enak nih suasana hatinya. Hehehe, maaf ya," balasku meminta maaf kepada Della.
Belum semenit saja dia lekas buru-buru menelfon.
"Oiy, Ad!"
"Oiy juga," balasku dengan suara lemas.
"Suasana hati apaan coba! Bilang aja malas jemput!" Della mengomel.
"Ya nggak gitu,"
"Gue jemput lu sekarang, pokoknya harus jalan malam ini! Temaenin gue!"
Belum sempat aku kembali menjawab, Della juga langsung menutup telvonnya.
"Etdah nih orang kalau punya mau mesti harus terlaksana dalam satu waktu. Tapi, kapan lagi sih bisa jalan sama Della, mana dijemput lagi. Hehehe," batinku seakan lelah hilang seketika.
Aku yang tahu ketika Della mempunyai suatu keinginan tidak bisa tidak, cepat-cepat saja bergegas menyiapkan diri sembari menunggu di depan rumah. Benar saja, tak berselang lama dia sudah sampai. Dengan vespa matic putih miliknya, menambah karisma tersendiri bagi seorang wanita. Baju flanel layaknya anak muda, sangat pantas sekali dikenakan oleh badannya."Welleh welleh ... cantiknya," ujarku sembari menghampirinya.
"Emang dari dulu gue cantikkan!" Masih dengan nada seolah membentak, raut wajahnya sedang tidak menggambarkan suasana yang baik.
"Wkwkwk, asli kalau ini mah, kayak ada sesuatu berat dalam hidup." ujarku.
Yang juga sebenarnya tidak tahu apa maksut yang aku katakan.
"Heh, buruan naik! Lu yang depan" Della kemudian turun dari sepeda motor dan beralih duduk di jok bagian belakang. Bergegas aku naik dan memacu sepeda motor dengan penuh perasaan.
Sepanjang perjalanan rasa kaku begitu dirasakan, hingga aku memberanikan diri membuka kembali pembicaraan.
"Mau kemana Del?"
"Terserah lu aja!" Masih sama seperti sebelum-sebelumnya dengan nada yang tak enak jika didengar. Untung saja aku masih sabar, bayangkan saja, aku yang tidak tahu menahu duduk permasalahan, dan aku sendiri pula yang dijadikan pelampiasan. Disisi lain, aku sendiri sedang dirundung duka karena sebuah janji yang berkahir dikhianati.
Tanpa berpikir panjang, aku belokkan saja diangkringan.
"Eh Ad, gile lu, ya?" Della kaget ketika aku membelokkan sepeda motornya disebuah angkringan pinggir jalan.
"Tadi katanya terserah, udah turun aja!" perintahku padanya.
"Ya terserah sih terserah, tapi kan masih ada tempat lain, starbuck atau apalah!" Della yang masih angkuh tidak mau turun dari sepeda.
"Belum pernah nyoba makanan angkringan'kan?" tanyaku.
Della hanya menggelengkan kepala, aku tinggal saja dia.
"Bang, susu jahe satu!" aku memesan kepada Abang yang jualan.
"Oh ya mas, minum sini atau bungkus?" Tanya abang penjual.
"Sini aja bang"
Sembari menyiapkan susu jahe, aku santap saja sate usus beserta saudara-saudaranya, sesekali aku tatap Della dari kejauhan. Dia sibuk memainkan ponsel miliknya, dan sesekali pula menatapku dengan penuh wajah kesal. Aku cuek saja sembari menikmati sate dengan penuh nikmatnya. Setelah beberapa saat, akhirnya Della luluh, dan datang menghampiriku."Emang gile lu ya!" Della dengan nada kesal,
"Minuman apa ini?" Della melanjutkan.
"Coba saja dulu, belum aku minum itu, nanti kalau suka langsung pesan aja." ujarku menyuruh Della.
Tanpa banyak kata lagi, dia mencicipi minuman susu jahe yang aku pesan. Dari raut wajahnya, awalnya seperti biasa saja. Namun selanjutnya langsung saja Della memesan.
"Bang saya juga pesan satu!" Della ikut memesan minuman susu jahe.
"Wkwkwk, lucu ya lihat kamu. Hehehe" ujarku meledek.
"Diem lu!"
Beberapa saat kami diam, Della sendiri yang tak tahan."Ad ... " dengan nada memelas.
"Apa?" Aku memandangnya, yang kulihat dari raut wajahnya penuh penyesalan.
"Gimana ini?" Kulihat air matanya menetes satu persatu.
Kali ini aku tidak bisa menganggap sebagai sebuah pencitraan, seorang Della sosok periang meneteskan air mata. Pasti sedang berjalan hal yang tidak baik-baik saja."Eh, ngapain lu?" aku yang malah berbalik tanya kepada dirinya.
"Soni Ad!" Della menyebut nama kekasihnya.
"Iya kenapa Soni? Sehat kan?" Aku yang malah dibuat bingung melihat keadaan demikian.
Della tidak menjawab hanya sibuk menscroll kembali ponsel miliknya.
"Hei, Del !! Ada apa coba?" tanyaku kembali dengan penuh keseriusan.
Tetap saja, Della hanya diam tidak menjawab. Untuk beberapa kali, dia kemudian meneteskan air mata kembali. Tanpa banyak kata, dia memperlihatkan undangan yang sudah tersimpan pada ponsel miliknya.
Kurang lebih pula seperti kisahku, sebuah undangan pernikahan dari orang yang tersayang.
Wedding
Soni & LutviaSungguh, aku paham apa yang dirasakan Della kala itu. Bagaimana tidak? Aku juga sedang dalam keadaan demikian. Tapi rasanya tidak pantas jika aku juga ikut menceritakan, bukankah Della mengajakku agar dia bisa lebih sedikit tenang? Bukan juga untuk mendengar apa yang aku rasakan? Aku coba menenangkan Della dengan merangkulkan tangan kepundaknya. Della semakin keras saja suara isak tangisnya. Dalam keadaan sama-sama meratap, meski aku tidak menampakkan, suara Abang Angkringan mengubah keheningan.
"Ini mbak susu jahenya," sembari menyodorkan susu jahe yang sudah siap untuk diminum.
"Gak jadi Bang!" Della menolak pesanan, dan kembali melanjutkan tangisnya dengan memelukku. Abang angkringan hanya cengingisan.
Aku menahan tawa dan mengisyaratkan kepada Abang angkringan untuk tetap tenang. Untung saja abangnya juga memaklumi. Emang gila nih orang, semua seakan harus tahu keadaan suasana milik dirinya.
Setelah reda tangisnya, aku coba menenangkan dengan sedikit kata.
"Gimana? Udah enakan?" tanyaku.
Della yang ternyata dari tadi tidak sadar memelukku saking emosionalnya, sontak kaget dan melepaskan pelukan.
"Eh, m-maaf Ad," ujar Della merasa bersalah.
"Iya iya gak papa, santai saja," ujarku, padahal dalam hati kecil berkata.
"Duh ... Tuhan, begitu hangatnya dalam dekap peluknya, itupun dalam keadaan duka, bagaimana kalau sebaliknya?" mungkin demikian suaranya jika mampu didengar oleh telinga.
"Diminum Del!" ucapku.
Dia kembali tidak menjawab, dan langsung meminum menikmati susu jahe yang tadi dia batalkan.
Abang angkringan tidak tinggal diam,"Katanya tadi tidak jadi?" sembari mengelap gelas yang habis dicuci.
Della hanya menatap abang angkringan dengan tatapan tajam.
"Del, udah lah. Lekas dihabisin minumannya, udah malam juga," aku mengajak Della, mengingat jam sudah menunjukkan pukul 11 malam.
Untuk kali ini, Della mengiyakan dan lekas menghabiskan. Setelah Della selesai, bergegas aku membayar.
"Ini aja Ad uangnya." Sembari menyodorkan uang 100ribu.
"Kebanyakan ini Del, udah pakai uangku aja." ucapku.
Langsung saja Della memberikan uang kepada abang angkringan.
"Nih bang, kurang nggak?"
"Waduh, gak ada uang kembalinya Mbak," tutur abang angkringan.
"Udah ambil kembaliannya!" Sembari Della bergegas meninggalkan angkringan.
"Ya udah bang, makasih ya." ucapku.
"Ya ya mas, bilangin ke mbaknya. Makasih banyak gitu ya Mas," tutur abang angkringan dengan senyum lebar.
Aku hanya membalas senyum, dan bergegas menyusul Della menuju sepeda motor.
Bukan karena apa aku tidak memberi masukkan kepada Della. Pertama, aku juga dalam keadaan demikian, takutnya nanti malah keblabasan ikut bercerita. Kedua, ketika dalam keadaan demikian pula, sebenarnya seseorang hanya butuh ketenangan. Menenangkan pikiran perasaan, terlebih peluk penuh kasih sayang."Langsung pulang Del?" tanyaku.
"Iya Ad, makasih aja udah mau nememin keluar. Maaf ya Ad, gak bermanfaat banget ini keluarnya," ujar Della sembari memakai helm bogo miliknya.
"Kata siapa gak bermanfaat? Ini buktinya perutku kenyang Del. Hehehehe," ucapku dengan sedikit tawa.
Della ikut tertawa,
"Bisa aja kamu ya." Kudengar nadanya kini sudah tidak seperti tadi, kini lebih halus dan nampak raut wajah lebih lega setelah melampiaskan kekecewaan dirinya dengan air mata.Belum sempat aku memacu sepeda motor, ponselku bergetar. Dan buru-buru aku melepaskan helm dan mengambil ponsel dari saku celanaku.
Ibuk..
Terpampang nama kontak Ibu menelvonku."Malam, Ad," Ibu membuka pembicaraan.
"Malam juga Bu, tumben jam segini nelvon. Ibu dan Bapak di rumah semua sehat kan?" ucapku.
"Alhamdulillah sehat, Ad, kamu besok bisa pulang?"
Sebuah pertanyaan yang tiba-tiba saja terdengar.
"Eh ya nggak bisa Bu, soalnya ini hari kerja. Hari Sabtu sore mungkin bisa. Emang ada apa Bu?" balik aku bertanya.
"Kakek rawat inap di rumah sakit, Ad, udah 3 hari ini. Dari kemarin nanyain kamu mulu kapan pulang."
"Kakek rawat inap Bu? Llah, ya ... ya, besok Fuad usahakan pulang,"
"Iya, Ad, pulang ya. Gak tega Ibu lihat kakekmu, dari kemarin nanyain kamu mulu,"
"Ya, Bu, besok Fuad minta ijin dulu ke kantor,"
"Ya udah gitu aja, Ad, hati hati besok dijalan. Assalamualaikum." Ibu menutup televon.
"Iya Bu, Fuad usahakan. Waalaikumsalam."
"Dari siapa, Ad?" tanya Della.
"Ini ... dari Ibu, ngabarin kalau kakek rawat inap di rumah sakit."
"Terus lu mau pulang kampung gitu?" Della dengan penuh simpati kembali bertanya.
"Lhah ... iya mungkin, soalnya kakek nyari aku terus gitu kata Ibu. Semoga aja besok bisa ijin kerja satu minggu kedepan," ucapku.
"Eh, Ad, aku boleh ikut?" pinta Della.
Aku hanya menatapnya, ingin menolak rasanya tidak enak. Kalau mengiyakan takut di kampung nanti jadi bahan omongan.
"Ya ... boleh sih, tapi aku kagak enak sama Ayah Bunda lu, Del," aku mencari alasan.
"Udah, masalah itu nanti bisa aku bicarakan. Hitung-hitung juga kan nyari ketenangan disuasana kampung. Belum pernah aku soalnya," Della menjelaskan.
"Ya bolehlah kalau gitu," ucapku menyerah takut mengecewakan.
Bergegas aku memacu sepeda motor pelan-pelan. Disepanjang jalan rasa pikiran kembali melayang tak karuan, problematika pertama yang belum sirna, tiba-tiba muncul kembali problematika kedua."Arrrghh, semoga aku kuat Tuhan," ucapku lirih."M-maaf ya, Ad." Della mulai kembali memelukku dengan penuh kasih sayang.
Aku tak menjawab, hanya saja semakin merasa deg-degan tidak karuan.
"Ah nih orang, emang tidak tahu keadaan."
batinku kembali.Seperti yang telah direncanakan sebelummlnya. Aku segera mungkin mencari bos di tempat kerjanya. Meminta izin cuti kerja, karena Aku tahu, aku masih membutuhkan pekerjaan itu. Malamnya, aku mengemas pakaian serta keperluan yang memang dia perlukan untuk dibawa pulang ke kampung halaman."Banyak juga ternyata," ujarku setelah selesai memasukkan segala keperluan yang dibutuhkan. Aku masih ragu malam itu. Apakah benar-benar akan mengajak Della atau tidak, mungkin jika posisi Della adalah laki-laki akan berbeda cerita. Dia perempuan, dan Aku tahu batas antara laki-laki dan perempuan. Wajar saja, aku memanglah terkenal sebagai laki-laki pendiam, dan awam dalam hal pergaulan.Bergegas aju mengambil gadget milikku,"Malam, Del," tulisku mengirim pesan via whattsapp. Lama sekali Della menjawab, sesekali aku menghidup matikan gadget canggih milikku. Mengharap balasan dari Della. 30 menit telah berlalu, namun tidak ada
Entah apa yang membuatku lupa malam itu. Seharusnya lekas mencari bos untuk meminta cuti, malah tidak jadi. Della oh Della, meski memberi bahagia, namun malah menambah problematika. Seperti yang sudah diketahui sebelumnya, tempat kerjaku agak sedikit unik daripada yang lain. Ketika hendak mengambil cuti, cukup memberi kabar via whatsapp saja. Itu sudah lebih dari kata cukup, tapi ketika tanpa kabar absen dan mengambil cuti seenaknya saja, siap-siap saja akan terjadi perang dunia yang ke lima."Etdah, gimana ini ... mana belum izin cuti lagi," batinku sembari menengok jam tangan yang menunjukkan pukul 06:30. Menambah gusar saja keadaan demikian, bergegas saja aku beranikan masuk kerja untuk meminta izin cuti. Seperti yang pernah aku ceritakan pada bab sebelumnya, rutinitas pagi, saling tegur sapa ketika melihat rekan kerja. Senyum pagi yang terpancar, dengan segala kemungkinan yang semoga lekas Tuhan jadikan sebuah kenyataan
"Oiy, bangun Lu!" Notif pesan masuk pagi-pagi sekali pada layar ponsel milikku.Sayu-sayu aku menatap dan membalas pesan dari Della."Bentar ... belum selesai packing, nanti gue samperin Lu, sambil minta izin," balasku sembari bergegas untuk cuci muka. Kulihat jam yang tertempel di dinding menunjukkan 05:15, masih terlalu pagi pikirku saat itu."Etdah, semangat banget nih anak," gumamku setelah sekejap membayangkan semangatnya Della. Tidak berselang lama, semua sudah siap. Dari barang bawaan, sampai kewajiban kepada Tuhan yang sudah dilaksanakan. Dalam hal demikian, aku selalu mempunyai prinsip yang tidak bisa terbantahkan.Bagaimana pantas aku menginginkan akan segala keinginan yang aku harap menjadi kenyataan, sedang kewajibanku kepada Tuhan saja masih aku lalaikan? Setidaknya, sedikit banyak selogan itu mampu menjadi cambuk semangat dalam melangkah. Lebih mantap dalam memijakkan langkah diata
Dua jam perjalanan telah dilalui, udara segar tanah kelahiran mulai tercium. Suasana damai mulai dirasakan. Belum lama juga aku meninggalkan kampung halaman yang dari lahir menjadi tempat tinggal, rasa rindu itu hadir bak bunga yang hendak mekar, menjadi tempat dimana aku mulai mengenal dunia, menjadi tempat menaruh suka serta duka, serta menjadi awal dari segala impian yang tertanam. Pohon-pohon sepanjang jalan seakan menyambutku dengan melambaikan dedaunan penuh senyuman. Kicau burung liar masih begitu khas didengar. Kabut tipis juga ikut menyambut dengan penuh kelarasan."Gimana, Del?" tanyaku sembari memperlambat kecepatan sepeda motor."Wwiiiih ... asli ini mah, keren, Ad!" ujar Della menyatakan sebuah kekaguman.Aku hanya tersenyum, dan juga tidak henti-hentinya menikmati segala kealamian yang ada."Pelan-pelan aja, Ad," ucap Della."Weh ... iya iya beres," tuturku sembari semakin memperlambat kecepatan.
Sebelum lanjut ke cerita selanjutnya, sedikit aku ingin jelaskan kisah tentang wanita satu ini. Adinda, seorang wanita yang menjadi bunga desa di kampungku. Mempunyai paras yang dimiliki oleh Della, juga mantanku Chelsi. Malah menurutku, dia juga mempunyai kelebihan diantara mereka berdua. Tentang akhlak yang dimiliki, sederhana saja terlihat dari etika ketika dia bicara. Entahlah, aku juga tidak tahu, aku yang hanya bermodal nekad, selalu saja bertepatan menaruh perasaan kepada para wanita yang juga di incar oleh Kaum Adam. Dari sekian banyak wanita yang aku incar, hanya satu saja yang mampu aku miliki, ya, itu adalah Chelsi. Itupun harus berakhir dengan sebuah kisah yang menyakitkan. Ada satu kejadian yang berhasil membuat aku jatuh hati kepada Adinda. Ketika itu, saat ada acara pentas seni sewaktu aku duduk kelas 10, aku sedang bersandar menyaksikan teman-teman berjoget ria dengan penuh bahagia didepan panggung. Aku tidak ikut,
Dari kota sampai desa merupakan salah satu perjalanan yang cukup melelahkan. Tetapi bagaimanapun, hal demikian tidak bisa dijadikan alasan. Seperti niat awal mengambil cuti pekerjaan untuk menjenguk kakek, dan itupula langkah awal yang harus dilakukan."Buk, nanti Fuad sendiri aja, Ibuk di rumah nemenin Della, kasihan dia, mungkin kelelahan," ucapku kepada Ibuk, setelah melihat keadaan Della yang memang terlihat sangat lelah."Nggak kok, Buk. Della sehat-sehat aja," ujar Della menangkis permintaanku kepada Ibuk."Sudah nak Della, nak Della di rumah aja sama Ibuk, biar nanti Fuad sama bapaknya yang jenguk," ujar Ibuk."Kamu istirahat aja dulu," lanjut Ibuk meminta agar Della tetap di rumah.Della mengalah,Tidak berselang lama, Bapak pulang. Dan terlihat raut wajah tidak menyenangkan diperlihatkan."Assalamualaikum," salam Bapak ketika masuk kedalam rumah."Waalaikumsalam," ujar kami bertiga serentak.Aku bergegas men
Sesampai di rumah sakit, secara tidak terduga pula, aku bertemu dengan salah satu sahabat kecilku. Ikmal, seorang laki-laki berparas sangat tampan, terlihat terbaring di rumah sakit tidak berdaya."Oiy, bro!" sapaku kepada Ikmal yang masih setengah sadar.Ikmal hanya tersenyum, sama sekali tidak menjawab sapaan dariku. Wajar saja, sekujur tubuhnya penuh dengan perban. Begitu pula bagian di wajahnya."Ada apa, Pak, dengan Ikmal?" tanyaku kepada Bapaknya Ikmal yang duduk tepat di sampingnya."Tadi kecelakaan, dek. Untung aja masih selamat, nakal emang nih anak!" ucap Bapak Ikmal kepadaku.Memang, aku dan Ikmal sudah seperti saudara kandung saja. Sangat akrab, dari teman masa kecil, sampai harus di pisahkan oleh tujuan hidup masing-masing. Aku bekerja ke luar kota, dan dia melanjutkan kuliah mengambil jurusan kedokteran. Kami memang dari kampung jauh dari keramaian kota, tapi kami mempunyai sebuah cita-cita besar yang tidak semua orang memilikinya. Se
"Ad, jalan-jalan yuk," ajak Della pagi-pagi sekali."Jalan-jalan kemana, masih terlalu pagi juga," jawabku seakan ingin menolak ajakan dari Della."Healah, kapan lagi juga ... bisa jalan-jalan pagi dengan suasana perdesaan yang menentramkan," Della kembali merayuku.Disaat waktu yang tepat pula, terlihat Adinda datang membawa piring dengan bubur manis khas perdesaan, sebagai suatu tanda ada slametan dari sanak keluarga atau sebagainya.Memang, tradisi seperti ini masih sangat hangat berlaku di desaku. Ada yang menggunakan bubur manis plus juroh (gula Jawa yang dicairkan) atau bubur manis merah dengan beras ketan putih di tengah. Sebagai suatu tanda perayaan ulang tahun yang di rayakan dengan cara sederhana, ataupun acara hajatan seperti pondasi rumah, pernikahan, dan lain sebagainya."Assalamualaikum," sapa Adinda."Waalaikumsalam," jawab kami serentak."Ibuk ada, Ad?" tanya Adinda."Oh ... ada, di dalam, bentar ... bentar, aku