Di dalam taksi Lea terus berpikir sambil menatap jalanan di luar jendela. Hubungannya dengan Adrian baru berjalan empat bulan. Namun, tetap berjalan di tempat tak ada kemajuan.
“Ah, memangnya aku berharap apa?” gumamnya merutuki pikirannya yang kelewat batas. Mengenyahkan dan kembali meyakinkan dirinya bahwa semua memang harus berjalan dengan semestinya. Kembali membuang arah ke jendela dengan pikiran mengembara pada kejadian empat bulan yang lalu. Lea berjalan tergesa-gesa menyusuri koridor rumah sakit swasta. Ia baru pulang kerja pada dinihari. Ia baru bekerja di perusahaan Briliantoro Corp sejak tiga bulan yang lalu, selain itu ia juga mengambil pekerjaan part time di salah satu cafe. Semua ia lakukan demi mendapatkan pundi-pundi rupiah untuk mengobati Ayahnya yang saat ini tengah struk juga mengidap penyakit gejala jantung lemah. Ia juga harus membiayai adiknya — Leo yang saat ini masih menduduki kelas 3 SMA. Namun, saat baru tiba di rumah ia kejutkan dengan panggilan dari pihak kepolisian yang mengatakan adiknya mengalami kecelakaan yang diduga mendapatkan luka yang cukup parah. Kedatangannya sudah ditunggu oleh pihak kepolisian. Mereka menerangkan dugaan penyebab kecelakaan, karena adiknya tengah mabuk. Lebih mengejutkannya lagi Leo membawa mobil miliknya temannya, yang harganya teramat mahal, ia bisa tahu saat polisi memperlihatkan foto mobil yang kini telah rusak parah akibat ulah Leo. Kini bukan hanya merasa cemas akan kondisi adiknya, melainkan bagaimana jika orang yang memiliki mobil itu meminta ganti rugi padanya. “Ya Tuhan, Leo. Kamu bukan hanya membuat kakak kecewa karena berani meneguk minuman haram itu. Tetapi, kamu juga seakan membuat dunia kakak benar-benar hancur. Kakak hanya meminta kamu sekolah dengan yang benar. Kenapa kamu lakukan hal ini sama kakak, Leo. Ya Tuhan ... Aku harus bagaimana. Bagaimana aku bisa mendapatkan uang,” gumamnya suram. Pikirannya langsung kalut dalam seketika. Dalam kekalutannya tiba-tiba ada dua orang menghampiri dirinya. Ketakutannya menjadi nyata dalam seketika, orang yang di hadapannya adalah teman Leo yang memiliki mobil mewah tersebut. Kedatangannya bukan berniat menjenguk, dan mengetahui kondisi Leo, tetapi menuntut ganti rugi mobilnya. Lea benar-benar merasa bingung dalam seketika. Saat itu juga pintu UGD terbuka seorang dokter tampak keluar dari sana menjelaskan kondisi Leo. “Lukanya cukup parah. Ada benturan di kepalanya, ini harus dilakukan tindakan operasi. Jika dibiarkan akan terjadi komplikasi, dan itu bisa menyebabkan kematian.” Kematian? Hal yang tak pernah Lea pikirkan. Dalam dunia ini, ia hanya memiliki Leo dan juga ayahnya. Ia tidak boleh kehilangan adiknya, meski beberapa kali adiknya kerap menyusahkan dirinya. Namun, ia teramat menyayanginya, ia yakin seiring berjalannya waktu ia akan berubah. “Lakukan apapun untuk menyelamatkannya dokter.” Perkataan itu meluncur begitu saja dari bibir Lea. Namun, jawaban dokter mengejutkan dirinya. “Uruslah administrasinya lebih dulu, Nona. Setelah tanda tangan kamu akan segera melakukan tindakan.” Lea benar-benar marah mendengarnya. Apakah begini sikap seorang dokter? Apakah begini fungsinya rumah sakit? Kenapa dimana-mana semua memandang uang. Namun, sekeras apapun ia memberontak marah. Tidak akan ada yang peduli padanya. Dokter mengatakan itu di luar wewenangnya. Ya Tuhan Lea rasanya kepalanya ingin meledak saat itu juga. Belum lagi memikirkan biaya ganti rugi pada mobil milik teman Leo itu. Dengan lunglai, pikiran suram. Ia berlalu menuju ruang administrasi menanyakan biaya yang harus ia tanggung. Lea benar-benar syok mendengarnya. Bahkan seandainya rumah sederhana miliknya ia jual itu tidak akan cukup membuatnya lunas. Dengan berbekal nekat dan keyakinan yang kuat, ia mulai menghubungi teman-temannya meminjam uang. Namun, semua itu sia-sia. Tidak ada yang bisa menolongnya. Hanya Lily teman satu kompleks rumahnya yang mau meringankan sedikit bebannya. Namun, ia sendiri tidak mungkin mampu meminjam pada Lily, karena ia jelas tahu kondisi ekonomi sahabatnya itu yang juga begitu sulit. “Aku turut berdukacita atas musibah yang menimpa adikmu, Lea. Maafkan aku tidak bisa membantu apapun selain doa.” Lily mengusap pundak Lea, kemudian mengulurkan sebuah amplop berwarna putih. “Maaf, aku hanya bisa membantumu segini.” “Tidak, Ly. Aku tahu kamu bahkan lebih membutuhkan.” “Tolong ambilah. Jangan buat aku merasa menjadi sahabatmu yang tidak berguna,” desak Lily. Lea berjalan menyusuri jalanan dengan langkah letih dan lesu, dalam gelapnya malam. Ia meraup kesedihannya. Bersandar pada pilar lampu jalanan, ia menangis tergugu. Tak ada pilihan pada akhirnya ia ingin mencoba meminjam perusahaan. Pagi hari ia berangkat bekerja seperti biasanya, meski wajahnya terlihat lesu karena beban masalahnya. Sebelum memulai aktivitas Lea berlalu menuju pantry untuk membuat minuman, kepalanya terasa pusing ia membutuhkan minuman hangat. Saat ia tengah menunggu air mendidih dari dalam panci. Bu Hani — manager keuangan melangkah masuk mendekati dirinya. “Sedang apa, Lea?” Bu Hani bertanya seraya mengambil gelas untuk meracik minuman. “Buat teh, Bu.” Lea menoleh dan melihat aktivitas Bu Hani. “Ibu mau buat juga?” “Iya, Lea. Tapi aku mau kopi, semalam kurang tidur. Jadi merasa ngantuk, kayaknya butuh kopi.” “Biar nanti aku sekalian buatkan.” “Tidak merepotkan?” “Tidak sama sekali.” Usai mengucapkan terima kasih, Bu Hani hendak berlalu. Namun, Lea tiba-tiba teringat sesuatu, dan mencegahnya pergi. “Ada apa, Lea?” Lea mengigit bibir bawahnya. Tampak menimang-nimang keputusannya. “Saya ingin berbicara sebentar, Bu.” “Bicara apa, Lea?” “Kalau saya mengajukan pinjaman ke perusahaan kira-kira boleh gak ya, Bu?” tanyanya serius sambil menuangkan air panas ke dalam dua gelas setelah mematikan kompornya. “Berapa banyak, Lea?” “Tiga ratus juta,” sahutnya yang membuat Bu Hani terkejut, menatap ke arah Lea seolah tak percaya. “Banyak sekali, Lea.” Lea mengangguk dengan kedua mata berkaca-kaca. “Iya, Bu. Aku sungguh membutuhkannya. Adikku kecelakaan, kondisinya parah harus segera di operasi. Sementara aku juga harus mengganti kerugian mobil yang ia rasakan. Tolong, Bu... Bantu aku. Aku janji akan mencicilnya. Bila perlu aku akan mengabdi pada perusahaan ini seumur hidupku.” Terlihat Bu Hani tertunduk dengan wajah sendu. “Itu sangat banyak, Lea. Dan aku tidak yakin perusahaan akan memberikannya.” Lea menunduk meremas blouse bagian bawahnya, dengan pikiran berkecamuk. Mereka tidak sadar jika aktivitas dan obrolan keduanya tengah di awasi oleh sang atasan, yang berdiri di samping pintu, ujung lorong yang menuju ruang direksi. Bu Hani menghela napas berat, memandang ke arah Lea dengan berat. “Aku minta maaf, kali ini tidak bisa membantu.” Lea tersenyum seakan semua baik-baik saja. “Tidak apa-apa, Bu. Saya mengerti.” “Ya sudah aku permisi dulu. Ini ada sedikit uang dariku. Mungkin tidak bisa membantu, hanya untuk membeli segelas kopi saat menemani adikmu di rumah sakit. Maafkan aku, Lea.” Bu Hani memaksa tangan Lea untuk menerima beberapa lembar uang darinya. Lea memandang ke arah lembaran uang di tangannya dengan tersenyum getir. Kemudian berbalik ke arah wastafel. Dan di sana ia mula menumpahkan tangisnya dengan pikiran frustasi. “Maafkan kakak, Leo.” Tanpa ia sadari aktivitasnya masih di pantau oleh sang direktur — Adrian Briliantoro, tampak pria itu menyunggingkan senyumnya sebelum kemudian berbalik pergi. Dan kebetulan saat ia masuk ke dalam ruangannya di sana sudah ada Ben yang tengah menunggu dirinya untuk memberikan berkas. “Cari tahu soal karyawan yang bernama, Lea bagian divisi pemasaran. Aku mendengar ia ingin meminjam uang cukup banyak. Aku ingin laporannya dengan segera.” “Baik.” Ben keluar dari ruangan Adrian dengan kebingungannya.Siang hari menjelang jam istirahat tiba-tiba Lea dipanggil sang atasan. Ia langsung beranjak mengetuk pintu.Tok.. tok... Tok...“Masuk!”Ceklek!“Mohon maaf, Pak. Pak Adrian memanggil saya?” tanya Lea usai membuka pintu.Adrian menatap ke arahnya, mengangguk. “Hem.. duduklah,” pintanya menunjuk ke arah kursi yang berada di depannya.Dengan perasaan bingung, Lea pun melangkah dan duduk di kursi tepat di depan Adrian. “Apa apa ya, Pak?” tanyanya was-was. Ia tengah berpikir adakah kesalahan yang ia lakukan, ataukah sang atasan masih kurang puasa dengan kinerjanya, mengingat ia memang masih karyawan baru. “Ku dengar kamu mengajukan pinjaman ke perusahaan. Apakah itu benar?” tanya Adrian membuat Lea terkejut. Secepat itukah kabar itu terdengar sang atasan, bukankah ia baru bicara dengan Bu Hani. Apakah Bu Hani tengah mencoba mengusahakan untuk dirinya, pikirnya.“Iya, Pak. Tapi, kata Bu Hani tidak bisa karena uang yang mau saya pinjam itu terlalu banyak.”Adrian mengangguk sambil mengetu
“Lea!!” terguran keras membuat lamunan Lea seketika buyar. Gadis itu tersentak dan melangkah mendekat secara perlahan. Bulir bening mengalir dari kedua pelupuk matanya. Segera ia hapus dengan cepat. ‘Ya Tuhan maafkan aku. Aku tahu ini salah, ini berdosa. Tapi, aku tak punya pilihan lain. Aku tidak mau kehilangan adikku.’ Lea meremas kedua telapak tangannya, memberanikan diri menatap ke arah sang atasan. “Pak, apakah tawaran yang tadi siang masih berlaku?” tanya Lea memejamkan matanya sejenak. Adrian terperangah hampir tak percaya mendengarnya. Ia pikir Lea akan mempertahankan egonya. Nampaknya gadis itu memang sudah berada di ambang putus asa. “Kenapa? Kamu berubah pikiran?” tanyanya balik. Ia beranjak dari tempat duduknya menghampiri Lea.Dengusan kasar terdengar dari mulut Lea, entah kenapa ia masih merasa kesal dengan penawaran atasannya tersebut. “Tapi, anda punya tunangan, Pak. Bagaimana kalau dia tahu, ternyata calon suaminya punya perempuan lain?” tegurnya kasar.Adrian meng
“Lea...”Lea mengurungkan niatnya masuk ke dalam toko buku saat mendengar namanya di panggil. Menoleh ke samping ia melihat seorang lelaki muda melangkah ke arahnya. “Evan.”“Hai,...”“Hai..”“Mau beli buku ya,?” tanya Evan.“Iya ni.” Lea menjawab seraya masuk ke dalam toko diikuti Evan. Terlihat ia mulai menyusuri satu rak buku demi rak lainnya. “Kau cari buku apa?” tanya Evan yang saat itu tengah mengambil sebuah buku tuntutan bisnis.“Aku cuma cari novel, ini sudah mendapatkannya.” Lea menunjukkan buku di tangannya dengan cover bergambar senja, matanya menatap ke arah buku dalam genggaman tangan Evan. “Kamu suka bacaan bisnis ya? Wah keren, padahal itu bacaan yang berat.”Evan tersenyum tipis. “Iya, siapa tahu nanti berguna. Sekarang belajar dulu.” “Iya siapa tahu nanti kamu pengen buka perusahaan sendiri,” kata Lea yang diamini Evan sebelum berlalu menuju meja kasir. Evan memang hanyalah anak magang di kantor Adrian. Ia sebenarnya tipikal anak yang tak banyak bicara, entah kenap
“Masuk!” perintah Adrian ketika pintu mobil telah terbuka. Ia mendorong sedikit tubuh Lea, lalu mengikutinya masuk.Tanpa sebuah peringatan Adrian langsung mencium bibirnya dengan kasar. Lea tidak menyukai momen ini. Ia merasa Adrian seperti menganggap dirinya itu pelacur.Hah pe lacur? Mengapa harus ditanya. Bukankah sejatinya memang begitu anggapan Adrian padanya. Perempuan seperti apa yang rela memberikan keperawanannya hanya demi sejumlah uang. Lalu ia berharap apa? Dirinya bukan sebuah berlian yang berharga.Ingatan Lea kembali tertuju pada kejadian empat bulan yang lalu , usai operasi Leo berjalan dengan lancar namun adiknya dinyatakan koma. Sore harinya ia menepati janjinya dengan mendatangi apartemen Adrian. Di sana lelaki itu sudah menunggu dirinya dengan memberikan surat perjanjian.“Enam bulan?” tanya Lea usai membaca surat perjanjian di tangannya, di mana di sana dinyatakan kontrak itu akan berlangsung selama enam bulan, dan saat itu Lea tidak boleh terikat hubungan dengan
Belinda melirik arloji di tangannya, ini sudah tiga puluh menit yang lalu sejak Adrian pamit ke toilet. “Adrian kemana sih? Toilet doang masa bisa selama ini,” gerutunya yang tentu di dengar oleh Evan. ”Iya ini juga Lea mana ya? Apa toiletnya ngantri ya.” Belinda menghela napas kesal. Kembali melirik arloji di tangannya. Ia ingat lima belas menit lagi ia ada pemotretan. Seharusnya hari Minggu itu libur. Namun, karena memang jadwalnya padat sedang banyak penawaran, jadi terpaksa tetap ia ambil, demi melambungkan namanya semakin terkenal. Ia yakin Adrian akan merasa sangat bahagia dan beruntung jika bisa menikah dengan dirinya. Selain karena dia seorang publik figur ia merupakan anak seorang pengusaha sukses di kotanya, dengan digabungkan dua perusahaan raksasa milik keluarga Adrian dan juga keluarganya mereka akan semakin sukses. Ya, memang keduanya akan menikah karena perjodohan. “Aku akan menyusulnya.” Belinda beranjak dari tempat duduknya. Namun, belum sempat berlalu, ia melihat
[Sayang, aku pusing] Kalimat itu merupakan pesan dari Adrian yang ia terima setelah selesai membersihkan diri. [Kamu kira aku dokter, setelah mengeluh pusing sama aku bakalan langsung dikasih obat terus sembuh gitu] Lea membalas pesan Adrian dengan raut wajah kesal mengingat lagi momen percintaannya di mobil tadi. Meski lambat laun ia larut dan menikmati sentuhan Adrian, tak menutupi kemungkinan ia terasa cemas, rasanya seperti naik roller coaster, tidakkah Adrian berpikir seperti itu. Ah, dasar lelaki kalau sudah nafsu mana mungkin lihat-lihat tempat. Ia memasang wajah jutek, dengan bibir yang manyun seakan-akan Adrian akan melihatnya.[Dokter mah gak akan tahu obat yang aku butuhkan, sayang. Soalnya segala obat pada rasa sakitku ada di kamu. Kamu pasti tahu kan apa yang aku butuhkan.][Sinting!]Lea mendengus setelah melemparkan ponselnya ke atas kasur secara asal, setelah sebelumnya membalas pesan Adrian dengan kalimat umpatan tersebut. Beranjak dari tempat duduknya ke meja rias
Terdengar dengusan kasar dari bibir gadis itu, karena merasa ucapannya sama sekali tak mendapatkan respon apapun. Mereka hanya merespon dengan tatapan yang tak berarti. Apalagi pria di depannya itu hanya menatapnya dengan tatapan intens. Tanpa ia sadari, jika Adrian tengah terpesona padanya. Merasa risih, ia pun memutuskan pandangan Adrian, lalu mengusap pucuk kepala Zalina.”Lain kali hati-hati ya sayang. Jangan main eskalator sendirian, itu berbahaya.” Ia melirik ke arah Adrian dengan pandang jengkel.“Iya, Kak.”“Oh... Kak Lea ternyata di sini. Aku cari-cari juga tadi.” Seorang anak lelaki remaja tiba-tiba menghampiri dirinya.“Udah dapat?”“Udah ini. Yuk kita pulang.” Setelah remaja itu menunjukkan shoping bag di tangannya, ia pun berlalu pergi. “Paman... Paman...” Seketika panggilan Zalina membuat Adrian mengerjap. “Paman kok diam saja sih?” tanyanya dengan mimik wajah yang lucu.Adrian menghela napasnya, bayangan wajah Lea melintas. Mana mungkin ia katakan jika ia terpesona de
Lea mengusap dadanya sambil bersandar di dinding, begitu berhasil keluar dari ruangan Adrian. “Jadi, boss kok galak banget. Gak berperi karyawanan banget. Emang dia pikir kantor bisa berkembang sendiri tampak karyawan,” gerutunya jengkel.“Kenapa, Lea?” Kehadiran lelaki di depannya kembali mengejutkan dirinya.“Duh Pak Ben ngagetin saja sih. Kirain....” Lea melirik ke arah pintu ruangan Adrian yang masih tertutup rapat. Tampak lelaki itu terkekeh.“Kaget ya,” tebaknya membuat Lea spontan mengangguk. ”Pasti berpikir jika kekasihmu yang muncul.”Mendengarnya membuat wajah Lea bersemu. Ia jelas paham siapa yang dimaksud. Di antara semua orang hanya Ben yang mengetahui hubungannya dengan Adrian. “Sst... Diam, Pak. Jangan keras-keras, ini di kantor. Saya tidak mau reputasi Pak Adrian hancur. Saya permisi.”Ben menghela napas kasar sebelum kemudian tersenyum samar. “Sampai kapan, Lea?”Langkah Lea kembali terhenti mendengar pertanyaan asisten pribadi Adrian itu. “Apanya?” jawabnya polos.Be
“Lihatin aku ya,” tebak Adrian kemudian membuat Lea berdecak jengkel. Belum sempat ia mengelak, pria itu sudah mendaratkan tangannya untuk mengacak-acak rambutnya. “Ya sudah lanjutkan. Aku keluar dulu ya.”“Iya, Pak.”“Lea...” Di depan pintu Adrian kembali menoleh dan memanggil Lea.“Iya, Pak.”Adrian tersenyum mendengar panggilan, Lea. “Nanti malam aku ajak kamu makan di luar ya?”Lea tampak bingung karena belum jatuh weekend bukankah Adrian janjinya kalau sudah weekend. Namun, belum sempat ia bertanya Adrian kembali membuka suara untuk menjelaskannya.“Weekend nanti aku ada acara keluarga, jadi aku gak bisa ajak kamu keluar.”Lea mengangguk. “Baik.”“Dandan yang cantik,” kata Adrian mengakhiri obrolan pada pagi hari itu. Meninggalkan Lea yang masih tersenyum bak seorang gadis yang tengah kasmaran.Malam hari Lea telah bersiap dengan dress cantiknya. Untuk pertama kalinya ia akan dinner makan malam berdua dengan Lea. Entah kenapa ia merasa sangat senang. Sangking senangnya setelah pu
Tak ada yang bersuara masing-masing sibuk dengan pemikirannya, usai sesi pergumulan panas keduanya. Sampai napas keduanya menjadi normal, Adrian menarik Lea ke dalam dekapannya. Membuat perempuan itu merasa nyaman, dan sejenak lupa permasalahan yang terjadi. “Makasih banyak ya,” kata Adrian membuat Lea tersenyum mengusap lengan Adrian yang melingkar di perutnya. Sejenak mereka terdiam hingga akhirnya pria itu menarik tangannya. “Mandi dulu yuk, Le. Habis ini makan bareng, aku akan pesan makanan.”Lea menatap punggung Adrian yang menghilang di balik pintu kamar mandi. Beberapa menit setelah Adrian selesai ia bergantian masuk ke kamar mandi, membiarkan Adrian memesan makanan lebih dulu. Beberapa saat kemudian Lea sudah menata makanan. Lea berteriak memanggil Adrian, hingga pria itu datang. Keduanya makan bersama tanpa suara. “Oh ya, Le. Aku punya hadiah untukmu.” Adrian berlalu ke kamar meninggalkan Lea yang saat ini duduk di sofa setelah selesai makan. Tak berselang lama Adrian data
“Lea...” teguran seseorang membuat ia menoleh dan mendapati Evan duduk di atas motornya.“Evan.”“Udah mau pulang kan?” tanyanya lagi seraya menepuk jok motornya. “Bareng yuk. Aku anterin,” tawarnya kemudian.Lea terdiam sejenak lalu menggeleng. “Aku gak langsung pulang, Van.”“Terus mau kemana? Kebetulan hari ini aku free, tidak ada tugas kuliah juga. Ayo aku antar kemanapun kamu mau.”“Aku pengen ke makam ibu.” Ya, ia tidak sepenuhnya bohong entah kenapa saat suasana hatinya tidak baik, ia hanya ingin bertemu ibunya. “Ya udah ayo aku antar.”Lea terdiam meragu antara ingin menolak tapi terasa sungkan, mengingat beberapa kali saat ditawari tumpangan ia merasa enggan. Merasa ingin menjaga hati Adrian, tetapi untuk apa kini ia lakukan? Bukankah hubungannya akan berakhir. Pada akhirnya ia pun naik ke motor Evan dan meninggalkan kawasan kantor tersebut. Tak sadar dibelakangnya seorang pria mengepalkan kedua tangannya. “Cukup sampai di sini saja, Van. Kau langsung pulang saja. Aku lagi
Solo, Jawa Tengah“Kerjaanmu sudah beres kan?” tanya Maya pada adiknya.“Iya, sudah kelar dari kemarin.”“Tumben tidak buru-buru pulang?”“Pusing.” Adrian merebahkan kepalanya di pangkuan sang kakak. “Pijitin kepalaku sini, Kak.”“Makanya pulang minta pijitin saja sama calon istrimu.”“Jangan bahas dia lah, makin pusing saja.” Adrian memaksa tangan sang kakak untuk memijat kepalanya. Membuat Maya menghela napas panjang. “Begini kalau Mas Randy lihat kamu bisa-bisa ditarik ceburin ke kolam ikan kamu,” celetuk Maya meski begitu tangannya bergerak memijat kepala sang adik. Memang dari ketiga adiknya yang paling dekat dengannya hanya Adrian. “Dasar bucin!” cibir Adrian menarik diri dari pangkuan sang kakak, lalu memilih bersandar di sofa.“Bukan bucin tapi karena cinta. Kamu sih mana ngerti hal begituan. Tahunya cuma kerja sama menuruti kemauan orang tua. Kapan mikirin diri sendiri.” Randy yang baru dari kamar si kembar ikut menimpali. Pria yang kini menjabat sebagai Kepala Sekolah Das
Lea mengambil lembaran itu yang terisi fotonya saat memasuki mobil Adrian. Seketika jantungnya terasa berdetak lebih kencang. “Kau bahkan sudah berani memasuki mobil calon suamiku, Lea!”Tangan Lea gemetar, tapi sebisa mungkin ia harus bisa mengendalikan diri. “Maaf, Nona. Ini tidak seperti yang anda lihat. Saat itu Pak Adrian hanya memberi tumpangan tidak lebih, karena hari sudah terlalu larut.”“Lalu kenapa kau bisa duduk di depan? Seharusnya kau bahkan bisa menempatkan diri yang namanya orang menumpang!”“Maaf Nona, saat itu—”“Dengar!” Belinda memotong ucapan Lea dengan cepat. “Aku tidak ingin dengar apapun alasanmu. Tapi, kedatanganku kemari hanya ingin adalah bentuk peringatan pertama dan terakhir untukmu. Jangan pernah berpikir merebut Adrian dariku, ataupun mendekatinya. Jika, sampai hal itu ia lakukan. Kau akan wajahku sebenarnya!”Lea terdiam kaku tak bisa menyela ucapan perempuan di depannya. Ia berpikir apapun pembelaannya akan tetap salah. “Nona...”“Nyawa dan nama baikm
“Sesuai kesepakatan yang terjalin, jika perjodohan ini berjalan dengan sukses saya akan memberikan salah satu pabrik plastik saya pada anda, Pak. Dan mulai besok saya akan minta pengacara akan mengurusnya.” Adrian menatap wajah sang Papa yang tampak berbinar. Ia tahu otak sang Papa itu telah menghitung kepingan uang yang akan mereka dapatkan nanti. Tiba-tiba selera makannya lenyap begitu saja, ia mendorong piringnya ke tengah dan menyudahi makannya. Pembicaraan yang ia dengar hanya memicu kekesalan di hatinya. Ia memilih pamit undur diri menuju taman belakang. “Cie calon pengantin!” Evelyn datang menggoda dirinya, membuat Adrian bertambah kesal.“Bocil, mendingan kamu belajar.”“Enaknya ya, Kak. Dijodohkan?” tanya gadis itu polos.“Menurutmu?”Gadis itu menggeleng tanda tak mengerti, membuat Adrian mengacak-acak rambutnya gemas. “Gak usah pikirin. Nanti kalau sudah saatnya kamu juga bakalan dijodohkan, tenang saja,” kelakarnya membuat gadis itu cemberut.“Sorry ya. Aku tidak mau! Ak
Adrian tersenyum sinis melihat obsesi Belinda. Sebelum kemudian memilih berlalu meninggalkan Belinda. Tak memperdulikan sekalipun perempuan itu berteriak memanggil dirinya. Ia tetap berlalu meninggalkannya, melajukan mobilnya menuju apartemen di mana Lea berada. Sayangnya saat itu hujan begitu deras, tepat di jalanan yang cukup sepi ban mobilnya licin membuat ia mengerem secara mendadak. Dalam derasnya air hujan ia tetap keluar dari mobilnya, soalnya saat itu ada beberapa preman yang mau merampoknya. Adrian berusaha melawan, tapi di saat ia lengah salah satu dari menodongkan clu rit hingga, ia berhasil menghalanginya dengan cara menahan menggunakan tangannya, yang pada akhirnya membuat ia terluka. Sebelum kemudian bala bantuan akhirnya ia dapatkan. Adrian merasa sial sekali sore itu. Seandainya ia tidak menuruti Belinda akhirnya pasti tidak akan seperti ini, pikirnya.Tin... Tin...Klakson mobil yang terdengar membuat Adrian tersadar dari lamunannya. Segera ia pacu mobilnya menuju ked
Malam semakin larut, hujan mulai terhenti menyisakan rintik gerimis. Adrian mengerjap dalam tidurnya. Merasakan sesuatu barang menimpa keningnya, ia ambil ternyata handuk kecil. Ia menoleh ke samping mendapati Lea tertidur dalam posisi yang tak nyaman. Ia berusaha mengingat-ingat kejadian semalam, ketika ia datang menemui Lea dalam kondisi tangan yang terluka, hingga akhirnya keduanya menghabiskan malam penuh gairah. Tiba-tiba ia merasakan kepalanya berdentam menyakitkan. Setelahnya ia tak ingat apapun, dan kini bangun-bangun badannya terasa segar. Lea pasti merawatnya, melirik ke arah tubuhnya ia juga terkejut mendapati dirinya sudah berpakaian dengan lengkap. Turun dari ranjang, mendekati Lea. Ia tersenyum tipis, perempuan itu terlihat begitu nyenyak, sama sekali tak terusik ketika ia mencoba memindahkannya posisinya ke hal yang lebih nyaman. “Dia pasti kelelahan. Terima kasih, Le.”Adrian mendaratkan kecupan singkat di keningnya, ia ambil kunci mobil, dompet dan ponselnya di atas
Tuhan jika boleh diri ini meminta. Tanamkan sedikit saja rasa cinta di hatinya, sisanya biar aku yang berusaha.Lea Queenara_“Tidak ada.” Lea menjawab dengan kedua mata yang menatap Adrian dengan memindai. “Kau dari mana, Ian? Kenapa baru sampai, dan pakaianmu juga basah kuyup seperti ini,” lanjutnya mencecar Adrian.“Hei, kau ini kenapa? Aku baik-baik saja. Ini tadi hanya ada insiden kecil di jalanan.” Adrian menarik tangan Lea membawanya masuk. “Apanya yang baik-baik saja! Kau basah kuyup begini. Seperti anak kecil yang bermain air hujan!” Lea berdecak menepis tangan Adrian, membuat pria itu meringis, detik berikutnya mata Lea terbelalak saat melihat darah menetes dari tangan Adrian. “Darah!! Ian apa yang terjadi?” “Tidak apa-apa. Ini hanya luka kecil.”“Apanya yang tidak apa-apa. Kau terluka seperti ini.” Lea meminta Adrian untuk duduk di sofa, dengan tergesa-gesa ia mencari kotak p3k lalu membawanya kembali. “Kemarikan tanganmu, Ian.”“Le, aku itu...”“Buruan Adrian!!” teriak