“Lea...”
Lea mengurungkan niatnya masuk ke dalam toko buku saat mendengar namanya di panggil. Menoleh ke samping ia melihat seorang lelaki muda melangkah ke arahnya. “Evan.” “Hai,...” “Hai..” “Mau beli buku ya,?” tanya Evan. “Iya ni.” Lea menjawab seraya masuk ke dalam toko diikuti Evan. Terlihat ia mulai menyusuri satu rak buku demi rak lainnya. “Kau cari buku apa?” tanya Evan yang saat itu tengah mengambil sebuah buku tuntutan bisnis. “Aku cuma cari novel, ini sudah mendapatkannya.” Lea menunjukkan buku di tangannya dengan cover bergambar senja, matanya menatap ke arah buku dalam genggaman tangan Evan. “Kamu suka bacaan bisnis ya? Wah keren, padahal itu bacaan yang berat.” Evan tersenyum tipis. “Iya, siapa tahu nanti berguna. Sekarang belajar dulu.” “Iya siapa tahu nanti kamu pengen buka perusahaan sendiri,” kata Lea yang diamini Evan sebelum berlalu menuju meja kasir. Evan memang hanyalah anak magang di kantor Adrian. Ia sebenarnya tipikal anak yang tak banyak bicara, entah kenapa saat bersama Lea ia merasa nyaman di ajak bicara. “Biar aku sekalian yang bayar,” “Tidak perlu, Van. Aku bisa...” “Ayolah. Saat itu kamu kan udah bayarin makan aku di kantin, sekarang apa salahnya aku juga traktir kamu kan.” Evan mengambil dompet mendorong kedua buku di atas meja kasir. “Sekalian mba. Totalnya berapa?” Usai menyelesaikan transaksinya. Keduanya melangkah keluar dari toko. Evan mengajak Lea makan, sebelumnya Lea menolak dan ingin buru-buru pulang. Ia ingat di rumah ada Ayahnya yang menunggu, meski saat ini ada perawat khusus yang ia sewa tapi itu tak lantas membuat dirinya lepas. Namun, tiba-tiba perutnya berbunyi membuat Lea merasa malu, hingga pada akhirnya ia pun menerima ajakan Evan. Dan di sinilah keduanya berada di sebuah restoran cepat saji memesan makanan. Siang itu restoran itu cukup penuh, apalagi ini hari weekend tentu banyak anak muda yang menghabiskan waktunya di luar rumah. “Duh kursi penuh semua lagi.” Seorang perempuan cantik mengeluh, matanya mengedarkan pandangannya dan terhenti di meja Evan dan Lea. “Kami boleh gabung gak?” tanyanya tiba-tiba. Lea yang hendak menikmati makanannya tersentak langsung mengangkat wajahnya, detik berikutnya ia terbelalak melihat Belinda dan Adrian sudah berdiri di hadapannya. “Pak Adrian...” Evan menyapanya dengan hangat. “Kursi lain penuh. Boleh kan kamu gabung, aku udah lapar banget ni. Gak apa-apa kan sayang?” rengek Belinda pada Adrian. Sementara lelaki itu hanya bergeming menatap ke Lea dengan tajam. “Sayang, ayolah bicara. Gak apa-apa kan. Lagian mereka itu karyawan kamu kan.” Tepukan di pundak Belinda menyadarkan Adrian dari lamunannya. “Ah iya, terserah kamu.” Adrian menjawab dengan datar, matanya kembali menatap ke arah Lea yang tengah menunduk, tak sadar tangannya mengepal. “Boleh kan ya?” “Tentu saja boleh Nona.” Bukan Lea yang menjawab melainkan Evan. Perempuan itu hanya mengulas senyum tipisnya. Hingga pesanan Adrian dan Belinda datang, perempuan itu dengan antusias tak sabar ingin makan. Sementara Lea mendadak kehilangan selera makannya, apalagi mendengar rengekan dan panggilan manja Belinda pada Adrian. Entah kenapa ia merasa tak nyaman, ada sesuatu yang mengusik hatinya. Ia merasa tak suka, namun ia juga sadar ia tak ada hak apapun. Semakin merasa tak nyaman kala tak sengaja tatapannya bertemu dengan manik mata milik Adrian. “Kalian habis kencan ya?” tanya Belinda dengan senyum manisnya. Lea sedikit terperangah, perempuan di depannya sangat cantik, anggun, pintar tentunya berkelas bahkan tutur katanya ramah meski terlihat manja apalagi berkali-kali Belinda meminta disuapi makanan dalam piring Adrian. Apa yang salah dari Adrian, kenapa lelaki itu tidak setia padanya. Kenapa lelaki itu justru menjerat dirinya menjadi perempuan simpanan. Tentunya dibandingkan dirinya, ibarat langit dan bumi. Tiba-tiba Lea jadi berkecil hati, mengingat segala pergemulan terlarang, merebuk manisnya dosa, ia semakin merasa rendah diri. “Oh enggak kok, Nona. Kebetulan kami tadi ketemu di toko buku.” Sedari tadi Evan yang menjawab, sementara Adrian dan Lea hanya sibuk dengan pemikirannya masing-masing. “Oh...” Lea tersenyum getir merasakan kepahitan hidupnya. Ia bahkan tidak tahu bagaimana nasibnya setelah hubungannya dengan Adrian berakhir. Tak sadar ia mendesah secara kasar membuat semua orang menoleh ke arahnya. “Kenapa?” tanya Evan. “Em... Gak apa-apa. Aku cuma ngerasa pengen buang air kecil. Aku ke kamar mandi dulu ya, Van.” “Oh, oke.” Lea bergegas beranjak dari tempatnya, buru-buru ke kamar mandi. Sampai di kamar mandi ia tidak masuk ke dalam wc, melainkan hanya berdiri di depan wastafel memandang wajahnya dari balik kaca. Ada banyak hal yang ia pikirkan tak hanya tentang hubungan gelapnya dengan Adrian, ada nasib Leo dan Ayahnya. Ia bersyukur keduanya sudah sama-sama mulai menunjukkan adanya perubahan. Lelah berpikir, Lea membasahi tangannya dan membasuh wajahnya, mengeringkannya kemudian beranjak keluar dari kamar mandi. Saat ia tengah berjalan pelan menyusuri lorong kamar mandi, tiba-tiba tubuhnya tersentak saat tangannya di tarik paksa oleh seseorang. Ingin memberontak namun ia tidak bisa. Dirinya di bawa paksa menuju tangga darurat. “Ian, ada apa?” Lea bertanya seraya mencoba memberontak, mencoba melepaskan tangan Adrian dari pergelangannya. Namun, usahanya sia-sia, kekuatannya jelas tak sebanding dengan lelaki itu. Di tengah usahanya itu, ia kembali tersentak saat Adrian kembali menghimpit tubuhnya ke dinding, lalu tanpa aba-aba menciumnya dalam satu gerakan kasar. Kedua mata Lea terbelalak kaget, sekuat tenaga ia berusaha mengelak. Namun, alih-alih melepaskan Adrian justru memegang rahangnya menggerakkan bibirnya dengan gerakan kasar. Ia seperti merasakan gelora kemarahan dalam pangutan bibir lelaki itu. ”Please, Ian jangan seperti ini,” pinta Lea ketika Adrian telah melepaskan ciumannya, ia merasakan bibirnya berdarah. Betapa kuat dan kasarnya lelaki itu. “Ini ada apa?” lanjutnya. Bukan jawaban yang ia dapatkan. Adrian kembali mengikis jaraknya, berniat mencium bibir Lea. Sigap Lea menahan tubuh lelaki itu dengan sekuat tenaga. “Ian, tolonglah jangan seperti ini. Ada apa? Sadar tidak ini di mana?” “Aku tidak peduli, Lea. Aku ingin kamu.” Kedua matanya yang memerah itu masih terus menatap ke arah Lea. “Tapi...” “Kamu ingat perjanjiannya bukan. Jangan pernah dekat pria lain saat kamu masih menjadi milik aku.” Seketika Lea tersadar jika Adrian merasa marah lantaran melihat ia bersama Evan. “Aku tadi tidak sengaja bertemu dengan Evan di toko buku dan emm....” Lea kesulitan melanjutkan ucapannya saat Adrian langsung membungkam bibirnya dengan ciumannya. “Jangan sebut namanya,” bisiknya di sela-sela pangutan bibirnya. Satu tangannya bergerak mengunci tubuh Lea, sementara satu lainnya meraba tubuh Lea dari balik pakaiannya. Napas Lea tampak memburu, ia seperti tengah dibakar gairah oleh Adrian. Ia hampir saja meloloskan dress perempuan itu, jika saja Lea tak menahannya. “Ian... Tolonglah jangan seperti ini. Kamu harus sadar ini di mana.” Lea berteriak frustasi. Tubuhnya terasa panas menggelora akibat sen tuhan Adrian. Namun, otaknya berpikir jika ini tempat yang salah. “Ikut aku.” Lea kembali tersentak saat dengan cepat Adrian menarik tangannya turun ke lewat tangga menuju lantai basement. Keduanya berhenti tepat di sebuah mobil mewah. Mengambil kunci ia tekan tombol hingga otomatis pintu bagian belakang terbuka. “Masuk!”“Masuk!” perintah Adrian ketika pintu mobil telah terbuka. Ia mendorong sedikit tubuh Lea, lalu mengikutinya masuk.Tanpa sebuah peringatan Adrian langsung mencium bibirnya dengan kasar. Lea tidak menyukai momen ini. Ia merasa Adrian seperti menganggap dirinya itu pelacur.Hah pe lacur? Mengapa harus ditanya. Bukankah sejatinya memang begitu anggapan Adrian padanya. Perempuan seperti apa yang rela memberikan keperawanannya hanya demi sejumlah uang. Lalu ia berharap apa? Dirinya bukan sebuah berlian yang berharga.Ingatan Lea kembali tertuju pada kejadian empat bulan yang lalu , usai operasi Leo berjalan dengan lancar namun adiknya dinyatakan koma. Sore harinya ia menepati janjinya dengan mendatangi apartemen Adrian. Di sana lelaki itu sudah menunggu dirinya dengan memberikan surat perjanjian.“Enam bulan?” tanya Lea usai membaca surat perjanjian di tangannya, di mana di sana dinyatakan kontrak itu akan berlangsung selama enam bulan, dan saat itu Lea tidak boleh terikat hubungan dengan
Grand Buana Luxury Apartment Suara bell pintu yang terdengar berulang kali membuat Lea buru-buru beranjak dari tempatnya untuk membukakan pintu. Belum sempat ia menyapa dan mempersilahkan masuk. Adrian sudah mendorong tubuhnya masuk membawanya ke dalam dekapannya.“Ian..”“Aku kangen, Le.” Lelaki itu berbisik dengan suara berat sambil menghirup kuat-kuat aroma tubuh Lea. “Kangen?” ulang Lea seolah tak percaya dengan kalimat yang lelaki itu lontarkan. Tiba-tiba ada yang berdesir dalam dirinya.“Iya, kangen tubuh dan permainan kamu.” Perkataan Adrian selanjutnya membuat Lea tersentak, bahwa perasannya salah. Kenapa ia harus bingung, harus bertanya bukankah Adrian akan datang hanya jika membutuhkan kehangatannya. Segera ia rubah wajahnya menampilkan senyumnya, meski terasa sangat getir bagi dirinya. Adrian mengurai dekapannya, kepalanya langsung merunduk men cium bibir Lea dengan cepat.Apalagi yang bisa Lea lakukan selain mengikuti segala perintah Adrian. Selain menjadi penghangat ra
Di dalam taksi Lea terus berpikir sambil menatap jalanan di luar jendela. Hubungannya dengan Adrian baru berjalan empat bulan. Namun, tetap berjalan di tempat tak ada kemajuan. “Ah, memangnya aku berharap apa?” gumamnya merutuki pikirannya yang kelewat batas. Mengenyahkan dan kembali meyakinkan dirinya bahwa semua memang harus berjalan dengan semestinya. Kembali membuang arah ke jendela dengan pikiran mengembara pada kejadian empat bulan yang lalu.Lea berjalan tergesa-gesa menyusuri koridor rumah sakit swasta. Ia baru pulang kerja pada dinihari. Ia baru bekerja di perusahaan Briliantoro Corp sejak tiga bulan yang lalu, selain itu ia juga mengambil pekerjaan part time di salah satu cafe. Semua ia lakukan demi mendapatkan pundi-pundi rupiah untuk mengobati Ayahnya yang saat ini tengah struk juga mengidap penyakit gejala jantung lemah. Ia juga harus membiayai adiknya — Leo yang saat ini masih menduduki kelas 3 SMA. Namun, saat baru tiba di rumah ia kejutkan dengan panggilan dari pihak
Siang hari menjelang jam istirahat tiba-tiba Lea dipanggil sang atasan. Ia langsung beranjak mengetuk pintu.Tok.. tok... Tok...“Masuk!”Ceklek!“Mohon maaf, Pak. Pak Adrian memanggil saya?” tanya Lea usai membuka pintu.Adrian menatap ke arahnya, mengangguk. “Hem.. duduklah,” pintanya menunjuk ke arah kursi yang berada di depannya.Dengan perasaan bingung, Lea pun melangkah dan duduk di kursi tepat di depan Adrian. “Apa apa ya, Pak?” tanyanya was-was. Ia tengah berpikir adakah kesalahan yang ia lakukan, ataukah sang atasan masih kurang puasa dengan kinerjanya, mengingat ia memang masih karyawan baru. “Ku dengar kamu mengajukan pinjaman ke perusahaan. Apakah itu benar?” tanya Adrian membuat Lea terkejut. Secepat itukah kabar itu terdengar sang atasan, bukankah ia baru bicara dengan Bu Hani. Apakah Bu Hani tengah mencoba mengusahakan untuk dirinya, pikirnya.“Iya, Pak. Tapi, kata Bu Hani tidak bisa karena uang yang mau saya pinjam itu terlalu banyak.”Adrian mengangguk sambil mengetu
“Lea!!” terguran keras membuat lamunan Lea seketika buyar. Gadis itu tersentak dan melangkah mendekat secara perlahan. Bulir bening mengalir dari kedua pelupuk matanya. Segera ia hapus dengan cepat. ‘Ya Tuhan maafkan aku. Aku tahu ini salah, ini berdosa. Tapi, aku tak punya pilihan lain. Aku tidak mau kehilangan adikku.’ Lea meremas kedua telapak tangannya, memberanikan diri menatap ke arah sang atasan. “Pak, apakah tawaran yang tadi siang masih berlaku?” tanya Lea memejamkan matanya sejenak. Adrian terperangah hampir tak percaya mendengarnya. Ia pikir Lea akan mempertahankan egonya. Nampaknya gadis itu memang sudah berada di ambang putus asa. “Kenapa? Kamu berubah pikiran?” tanyanya balik. Ia beranjak dari tempat duduknya menghampiri Lea.Dengusan kasar terdengar dari mulut Lea, entah kenapa ia masih merasa kesal dengan penawaran atasannya tersebut. “Tapi, anda punya tunangan, Pak. Bagaimana kalau dia tahu, ternyata calon suaminya punya perempuan lain?” tegurnya kasar.Adrian meng
“Masuk!” perintah Adrian ketika pintu mobil telah terbuka. Ia mendorong sedikit tubuh Lea, lalu mengikutinya masuk.Tanpa sebuah peringatan Adrian langsung mencium bibirnya dengan kasar. Lea tidak menyukai momen ini. Ia merasa Adrian seperti menganggap dirinya itu pelacur.Hah pe lacur? Mengapa harus ditanya. Bukankah sejatinya memang begitu anggapan Adrian padanya. Perempuan seperti apa yang rela memberikan keperawanannya hanya demi sejumlah uang. Lalu ia berharap apa? Dirinya bukan sebuah berlian yang berharga.Ingatan Lea kembali tertuju pada kejadian empat bulan yang lalu , usai operasi Leo berjalan dengan lancar namun adiknya dinyatakan koma. Sore harinya ia menepati janjinya dengan mendatangi apartemen Adrian. Di sana lelaki itu sudah menunggu dirinya dengan memberikan surat perjanjian.“Enam bulan?” tanya Lea usai membaca surat perjanjian di tangannya, di mana di sana dinyatakan kontrak itu akan berlangsung selama enam bulan, dan saat itu Lea tidak boleh terikat hubungan dengan
“Lea...”Lea mengurungkan niatnya masuk ke dalam toko buku saat mendengar namanya di panggil. Menoleh ke samping ia melihat seorang lelaki muda melangkah ke arahnya. “Evan.”“Hai,...”“Hai..”“Mau beli buku ya,?” tanya Evan.“Iya ni.” Lea menjawab seraya masuk ke dalam toko diikuti Evan. Terlihat ia mulai menyusuri satu rak buku demi rak lainnya. “Kau cari buku apa?” tanya Evan yang saat itu tengah mengambil sebuah buku tuntutan bisnis.“Aku cuma cari novel, ini sudah mendapatkannya.” Lea menunjukkan buku di tangannya dengan cover bergambar senja, matanya menatap ke arah buku dalam genggaman tangan Evan. “Kamu suka bacaan bisnis ya? Wah keren, padahal itu bacaan yang berat.”Evan tersenyum tipis. “Iya, siapa tahu nanti berguna. Sekarang belajar dulu.” “Iya siapa tahu nanti kamu pengen buka perusahaan sendiri,” kata Lea yang diamini Evan sebelum berlalu menuju meja kasir. Evan memang hanyalah anak magang di kantor Adrian. Ia sebenarnya tipikal anak yang tak banyak bicara, entah kenap
“Lea!!” terguran keras membuat lamunan Lea seketika buyar. Gadis itu tersentak dan melangkah mendekat secara perlahan. Bulir bening mengalir dari kedua pelupuk matanya. Segera ia hapus dengan cepat. ‘Ya Tuhan maafkan aku. Aku tahu ini salah, ini berdosa. Tapi, aku tak punya pilihan lain. Aku tidak mau kehilangan adikku.’ Lea meremas kedua telapak tangannya, memberanikan diri menatap ke arah sang atasan. “Pak, apakah tawaran yang tadi siang masih berlaku?” tanya Lea memejamkan matanya sejenak. Adrian terperangah hampir tak percaya mendengarnya. Ia pikir Lea akan mempertahankan egonya. Nampaknya gadis itu memang sudah berada di ambang putus asa. “Kenapa? Kamu berubah pikiran?” tanyanya balik. Ia beranjak dari tempat duduknya menghampiri Lea.Dengusan kasar terdengar dari mulut Lea, entah kenapa ia masih merasa kesal dengan penawaran atasannya tersebut. “Tapi, anda punya tunangan, Pak. Bagaimana kalau dia tahu, ternyata calon suaminya punya perempuan lain?” tegurnya kasar.Adrian meng
Siang hari menjelang jam istirahat tiba-tiba Lea dipanggil sang atasan. Ia langsung beranjak mengetuk pintu.Tok.. tok... Tok...“Masuk!”Ceklek!“Mohon maaf, Pak. Pak Adrian memanggil saya?” tanya Lea usai membuka pintu.Adrian menatap ke arahnya, mengangguk. “Hem.. duduklah,” pintanya menunjuk ke arah kursi yang berada di depannya.Dengan perasaan bingung, Lea pun melangkah dan duduk di kursi tepat di depan Adrian. “Apa apa ya, Pak?” tanyanya was-was. Ia tengah berpikir adakah kesalahan yang ia lakukan, ataukah sang atasan masih kurang puasa dengan kinerjanya, mengingat ia memang masih karyawan baru. “Ku dengar kamu mengajukan pinjaman ke perusahaan. Apakah itu benar?” tanya Adrian membuat Lea terkejut. Secepat itukah kabar itu terdengar sang atasan, bukankah ia baru bicara dengan Bu Hani. Apakah Bu Hani tengah mencoba mengusahakan untuk dirinya, pikirnya.“Iya, Pak. Tapi, kata Bu Hani tidak bisa karena uang yang mau saya pinjam itu terlalu banyak.”Adrian mengangguk sambil mengetu
Di dalam taksi Lea terus berpikir sambil menatap jalanan di luar jendela. Hubungannya dengan Adrian baru berjalan empat bulan. Namun, tetap berjalan di tempat tak ada kemajuan. “Ah, memangnya aku berharap apa?” gumamnya merutuki pikirannya yang kelewat batas. Mengenyahkan dan kembali meyakinkan dirinya bahwa semua memang harus berjalan dengan semestinya. Kembali membuang arah ke jendela dengan pikiran mengembara pada kejadian empat bulan yang lalu.Lea berjalan tergesa-gesa menyusuri koridor rumah sakit swasta. Ia baru pulang kerja pada dinihari. Ia baru bekerja di perusahaan Briliantoro Corp sejak tiga bulan yang lalu, selain itu ia juga mengambil pekerjaan part time di salah satu cafe. Semua ia lakukan demi mendapatkan pundi-pundi rupiah untuk mengobati Ayahnya yang saat ini tengah struk juga mengidap penyakit gejala jantung lemah. Ia juga harus membiayai adiknya — Leo yang saat ini masih menduduki kelas 3 SMA. Namun, saat baru tiba di rumah ia kejutkan dengan panggilan dari pihak
Grand Buana Luxury Apartment Suara bell pintu yang terdengar berulang kali membuat Lea buru-buru beranjak dari tempatnya untuk membukakan pintu. Belum sempat ia menyapa dan mempersilahkan masuk. Adrian sudah mendorong tubuhnya masuk membawanya ke dalam dekapannya.“Ian..”“Aku kangen, Le.” Lelaki itu berbisik dengan suara berat sambil menghirup kuat-kuat aroma tubuh Lea. “Kangen?” ulang Lea seolah tak percaya dengan kalimat yang lelaki itu lontarkan. Tiba-tiba ada yang berdesir dalam dirinya.“Iya, kangen tubuh dan permainan kamu.” Perkataan Adrian selanjutnya membuat Lea tersentak, bahwa perasannya salah. Kenapa ia harus bingung, harus bertanya bukankah Adrian akan datang hanya jika membutuhkan kehangatannya. Segera ia rubah wajahnya menampilkan senyumnya, meski terasa sangat getir bagi dirinya. Adrian mengurai dekapannya, kepalanya langsung merunduk men cium bibir Lea dengan cepat.Apalagi yang bisa Lea lakukan selain mengikuti segala perintah Adrian. Selain menjadi penghangat ra