“Lea!!” terguran keras membuat lamunan Lea seketika buyar. Gadis itu tersentak dan melangkah mendekat secara perlahan. Bulir bening mengalir dari kedua pelupuk matanya. Segera ia hapus dengan cepat.
‘Ya Tuhan maafkan aku. Aku tahu ini salah, ini berdosa. Tapi, aku tak punya pilihan lain. Aku tidak mau kehilangan adikku.’ Lea meremas kedua telapak tangannya, memberanikan diri menatap ke arah sang atasan. “Pak, apakah tawaran yang tadi siang masih berlaku?” tanya Lea memejamkan matanya sejenak. Adrian terperangah hampir tak percaya mendengarnya. Ia pikir Lea akan mempertahankan egonya. Nampaknya gadis itu memang sudah berada di ambang putus asa. “Kenapa? Kamu berubah pikiran?” tanyanya balik. Ia beranjak dari tempat duduknya menghampiri Lea. Dengusan kasar terdengar dari mulut Lea, entah kenapa ia masih merasa kesal dengan penawaran atasannya tersebut. “Tapi, anda punya tunangan, Pak. Bagaimana kalau dia tahu, ternyata calon suaminya punya perempuan lain?” tegurnya kasar. Adrian mengangkat sebelah bahunya tak acuh, matanya terus menatap wajah dan bibir Lea. “Dia tidak akan tahu, jika kamu tidak bicara. Jadilah simpananku, dan aku pasti akan membantumu. Berapapun uang yang kau pinta akan aku berikan.” Lea tersenyum getir, membuang pandangannya ke arah dinding. “Ada begitu banyak wanita. Kenapa harus saya? Apakah Anda memang....” Ia tak dapat melanjutkan ucapannya melainkan hanya tersenyum miris, entah kenapa ia menduga jika Adrian memang seorang cassonava. Hingga mungkin dengan Belinda pun tidak akan cukup. Lama tidak ada jawaban, Adrian asyik menelusuri tiap lekuk wajah Lea dengan matanya. Lea terlihat begitu cantik, hingga ia tidak bisa melawan keinginannya. “Karena aku hanya menginginkanmu, bukan wanita lain.” Lea menghela napas kasar, kembali menoleh, membalas tatapan Adrian. Kepalanya mengangguk dan membuat senyum tipis terukir di bibir Adrian. Perlahan Adrian bergerak maju untuk menempelkan bibirnya pada Lea. Menciumnya lembut. Lagi, Lea menarik napas sebelum membalas ciuman mereka. Menyegel kesepakatan keduanya. Tiba-tiba ia tersentak menyadari apa yang ia lakukan. Lea mendorong pelan tubuh Adrian. “Ada apa?” “Saya sudah menyetujui persyaratan dari Anda, Pak. Sekarang saya minta uangnya, karena saya membutuhkannya dengan segera.” Adrian menarik tubuhnya menjauh. Mengambil kertas polos di atas meja dan juga bolpoin. “Kita buat kesepakatan lebih dulu supaya di antara kita tidak ada yang ingkar janji.” “Saya tidak akan mungkin melakukan itu Pak,” sergah Lea kesal. “Ayolah, Pak. Saya benar-benar membutuhkan uangnya. Adik saya harus segera di operasi, saya tidak ingin dia kenapa-kenapa. Jika tidak ada uangnya, dokternya tidak akan segera menanganinya.” “Di rumah sakit mana adikmu dirawat?” “Rumah Sakit Internasional.” “Bubuhkan tanda tanganmu di sini dan aku akan hubungi pihak rumah sakit agar adikmu segera di tangani. Siapa nama adikmu?” “Leo Prasetyo.” Lea mengambil kertas yang diberikan Adrian. Keningnya mengerut mendapati kertas itu kosong, sementara Adrian terlihat tengah terlibat percakapan di balik telpon. Sampai Adrian selesai menelpon ia masih menatapnya. “Mana tanda tanganmu?” “Kenapa kosong?” “Ya memang belum aku isi. Kamu cukup bubuhkan tanda tanganmu saja.” Lea mengangkat wajahnya menatap Adrian penuh selidik. “Apa yang akan anda isi. Apakah isinya akan ...” “Tenang saja isinya akan menguntungkan kedua belah pihak. Aku sudah menghubungi rumah sakit, adikmu akan segera di tangani beres kan? Bubuhkan tanda tanganmu di sana. Aku juga akan transfer ke rekeningmu. Soal kesepakatan kita. Akan kita lakukan nanti aku akan menghubungimu.” Lea menghela napas kasar karena tak ada pilihan lain. Namun, mendengar adiknya segera ditangani ia merasa lega. Segera ia bubuhkan tanda tangannya di sana. “Kalau begitu saya permisi, Pak. Saya harus ke rumah sakit.” “Pergilah.” Sore itu Lea keluar dari gedung perkantoran dengan pikiran berkecamuk. Ada rasa takut menyergap, ia akan bermain api dengan Adrian. Lalu, bagaimana kalau sosok itu perlahan mulai membakar dirinya. Masuk ke dalam taksi ia masih seperti orang yang linglung. Hingga suara notifikasi di ponselnya menyadarkannya. Tak ada gunanya ia memikirkan masa depan. Biarlah semua berjalan sesuai garis takdirnya. Ia buka ponselnya matanya membeliak menatap nominal uang yang masuk ke dalam m.bankingnya di susul notifikasi pesan dari sang direktur. [Aku tahu kau membutuhkan uang itu dengan segera untuk mengganti rugi kerusakan mobil yang dipakai adikmu, untuk itu aku transfer dengan segera. Tapi, ingat Lea aku tidak ingin kamu kabur. Aku percaya kamu tidak akan melakukan hal itu. Besok setelah pulang kerja datanglah ke Luxury Apartment lantai 41 no 7. Kita bertemu dan lakukan kesepakatan kita di sana] *** “Nona kita sudah sampai.” Perkataan sopir taksi membuyarkan lamunannya Lea tentang masa lalunya. Ia tersentak memandang ke arah luar lewat jendela, ternyata sudah tiba di lobi rumah sakit. Segera ia buka tas miliknya, mengambil uang untuk membayar argo. Setelah mengucapkan terima kasih, ia membuka pintu melangkah masuk ke dalam rumah sakit dengan harapan yang besar. Ia berharap akan adanya perubahan kondisi adiknya. Empat bulan pasca operasi itu berlangsung, Leo dinyatakan koma. “Ayolah Leo. Kakak mohon bangun. Jangan biarkan apa yang kakak lakukan untukmu ini terlihat sia-sia.” Lea menatap tubuh pucat adiknya yang berbaring dengan getir. Kontrak perjanjiannya dengan Adrian hanya akan berlangsung enam bulan. Sementara empat bulan sudah berlalu, artinya tinggal dua bulan lagi. Sekarang situasinya masih aman. Namun, setelah perjanjian itu berakhir apakah ia masih sanggup bekerja dalam satu perusahaan dengan lelaki itu. Lea tak yakin. Ia pasti akan merasa hina setelahnya. Apalagi saat melihat Adrian bersama perempuan lain. Meski ia tahu, ini bukan bagian haknya. Empat bulan bukan cuma waktu yang sebentar bukan. Itu cukup bagi dirinya mengenal sosok Adrian. Lelaki itu meski terlihat dingin saat di kantor, namun saat bersamanya terlihat manis dan lembut. Ia bagai melihat dua kepribadian dalam diri Adrian. Lea hanya merasa takut jika lama-lama ia akan jatuh hati pada lelaki itu. Ia genggam jari Leo lalu ia letakkan di pipinya, perlahan hingga tiba-tiba ia merasakan jemari Leo bergerak. Terkejut sangking bahagianya, ia langsung menekan tombol samping, tak lama dokter dan perawat masuk. Ia langsung mengatakan perubahan Leo, sigap dokter memeriksa. Lagi, ia tersenyum lega mendengar ada kemajuan. “Kakak akan datang lagi kesini besok, Leo. Sekarang kakak harus segera pergi. Kakak juga harus segera pulang.” Lea meninggalkan rumah sakit, setelah sebelumnya hanya memandang malas ke arah dokter spesialis kandungan. Rasanya memang malas melangkahkan kakinya di sana. Jadi, ia akan memilih opsi untuk membeli pil kontrasepsi di apotik saja. Taksi yang di tumpangi Lea, membawanya ke suatu pusat perbelanjaan terbesar di kota. Sesuai dengan perintah Adrian, ia hari ini bebas berbelanja. Rasanya ia juga butuh membeli kebutuhan keluarga, dan memanjakan diri. Masuk ke supermarket, ia mengambil apa saja yang ia butuhkan. Setelahnya, ia berlalu ke toko pakaian. ‘Ah, dalam sekejap aku merasa seperti pelacur.’ gumam Lea memandang lingerie merah menyala yang tersemat di manekin. ‘Tapi, bukankah memang kenyataannya begitu. Aku melayani hasrat Adrian, hanya demi mendapatkan uang bukan?” Memanggil pelayan toko, ia meminta lingerie itu di bungkus. Setelah dibayar, ia berlalu ke toko buku. Ada satu novel terbaru yang ingin ia beli. “Lea...”“Lea...”Lea mengurungkan niatnya masuk ke dalam toko buku saat mendengar namanya di panggil. Menoleh ke samping ia melihat seorang lelaki muda melangkah ke arahnya. “Evan.”“Hai,...”“Hai..”“Mau beli buku ya,?” tanya Evan.“Iya ni.” Lea menjawab seraya masuk ke dalam toko diikuti Evan. Terlihat ia mulai menyusuri satu rak buku demi rak lainnya. “Kau cari buku apa?” tanya Evan yang saat itu tengah mengambil sebuah buku tuntutan bisnis.“Aku cuma cari novel, ini sudah mendapatkannya.” Lea menunjukkan buku di tangannya dengan cover bergambar senja, matanya menatap ke arah buku dalam genggaman tangan Evan. “Kamu suka bacaan bisnis ya? Wah keren, padahal itu bacaan yang berat.”Evan tersenyum tipis. “Iya, siapa tahu nanti berguna. Sekarang belajar dulu.” “Iya siapa tahu nanti kamu pengen buka perusahaan sendiri,” kata Lea yang diamini Evan sebelum berlalu menuju meja kasir. Evan memang hanyalah anak magang di kantor Adrian. Ia sebenarnya tipikal anak yang tak banyak bicara, entah kenap
“Masuk!” perintah Adrian ketika pintu mobil telah terbuka. Ia mendorong sedikit tubuh Lea, lalu mengikutinya masuk.Tanpa sebuah peringatan Adrian langsung mencium bibirnya dengan kasar. Lea tidak menyukai momen ini. Ia merasa Adrian seperti menganggap dirinya itu pelacur.Hah pe lacur? Mengapa harus ditanya. Bukankah sejatinya memang begitu anggapan Adrian padanya. Perempuan seperti apa yang rela memberikan keperawanannya hanya demi sejumlah uang. Lalu ia berharap apa? Dirinya bukan sebuah berlian yang berharga.Ingatan Lea kembali tertuju pada kejadian empat bulan yang lalu , usai operasi Leo berjalan dengan lancar namun adiknya dinyatakan koma. Sore harinya ia menepati janjinya dengan mendatangi apartemen Adrian. Di sana lelaki itu sudah menunggu dirinya dengan memberikan surat perjanjian.“Enam bulan?” tanya Lea usai membaca surat perjanjian di tangannya, di mana di sana dinyatakan kontrak itu akan berlangsung selama enam bulan, dan saat itu Lea tidak boleh terikat hubungan dengan
Belinda melirik arloji di tangannya, ini sudah tiga puluh menit yang lalu sejak Adrian pamit ke toilet. “Adrian kemana sih? Toilet doang masa bisa selama ini,” gerutunya yang tentu di dengar oleh Evan. ”Iya ini juga Lea mana ya? Apa toiletnya ngantri ya.” Belinda menghela napas kesal. Kembali melirik arloji di tangannya. Ia ingat lima belas menit lagi ia ada pemotretan. Seharusnya hari Minggu itu libur. Namun, karena memang jadwalnya padat sedang banyak penawaran, jadi terpaksa tetap ia ambil, demi melambungkan namanya semakin terkenal. Ia yakin Adrian akan merasa sangat bahagia dan beruntung jika bisa menikah dengan dirinya. Selain karena dia seorang publik figur ia merupakan anak seorang pengusaha sukses di kotanya, dengan digabungkan dua perusahaan raksasa milik keluarga Adrian dan juga keluarganya mereka akan semakin sukses. Ya, memang keduanya akan menikah karena perjodohan. “Aku akan menyusulnya.” Belinda beranjak dari tempat duduknya. Namun, belum sempat berlalu, ia melihat
[Sayang, aku pusing] Kalimat itu merupakan pesan dari Adrian yang ia terima setelah selesai membersihkan diri. [Kamu kira aku dokter, setelah mengeluh pusing sama aku bakalan langsung dikasih obat terus sembuh gitu] Lea membalas pesan Adrian dengan raut wajah kesal mengingat lagi momen percintaannya di mobil tadi. Meski lambat laun ia larut dan menikmati sentuhan Adrian, tak menutupi kemungkinan ia terasa cemas, rasanya seperti naik roller coaster, tidakkah Adrian berpikir seperti itu. Ah, dasar lelaki kalau sudah nafsu mana mungkin lihat-lihat tempat. Ia memasang wajah jutek, dengan bibir yang manyun seakan-akan Adrian akan melihatnya.[Dokter mah gak akan tahu obat yang aku butuhkan, sayang. Soalnya segala obat pada rasa sakitku ada di kamu. Kamu pasti tahu kan apa yang aku butuhkan.][Sinting!]Lea mendengus setelah melemparkan ponselnya ke atas kasur secara asal, setelah sebelumnya membalas pesan Adrian dengan kalimat umpatan tersebut. Beranjak dari tempat duduknya ke meja rias
Terdengar dengusan kasar dari bibir gadis itu, karena merasa ucapannya sama sekali tak mendapatkan respon apapun. Mereka hanya merespon dengan tatapan yang tak berarti. Apalagi pria di depannya itu hanya menatapnya dengan tatapan intens. Tanpa ia sadari, jika Adrian tengah terpesona padanya. Merasa risih, ia pun memutuskan pandangan Adrian, lalu mengusap pucuk kepala Zalina.”Lain kali hati-hati ya sayang. Jangan main eskalator sendirian, itu berbahaya.” Ia melirik ke arah Adrian dengan pandang jengkel.“Iya, Kak.”“Oh... Kak Lea ternyata di sini. Aku cari-cari juga tadi.” Seorang anak lelaki remaja tiba-tiba menghampiri dirinya.“Udah dapat?”“Udah ini. Yuk kita pulang.” Setelah remaja itu menunjukkan shoping bag di tangannya, ia pun berlalu pergi. “Paman... Paman...” Seketika panggilan Zalina membuat Adrian mengerjap. “Paman kok diam saja sih?” tanyanya dengan mimik wajah yang lucu.Adrian menghela napasnya, bayangan wajah Lea melintas. Mana mungkin ia katakan jika ia terpesona de
Lea mengusap dadanya sambil bersandar di dinding, begitu berhasil keluar dari ruangan Adrian. “Jadi, boss kok galak banget. Gak berperi karyawanan banget. Emang dia pikir kantor bisa berkembang sendiri tampak karyawan,” gerutunya jengkel.“Kenapa, Lea?” Kehadiran lelaki di depannya kembali mengejutkan dirinya.“Duh Pak Ben ngagetin saja sih. Kirain....” Lea melirik ke arah pintu ruangan Adrian yang masih tertutup rapat. Tampak lelaki itu terkekeh.“Kaget ya,” tebaknya membuat Lea spontan mengangguk. ”Pasti berpikir jika kekasihmu yang muncul.”Mendengarnya membuat wajah Lea bersemu. Ia jelas paham siapa yang dimaksud. Di antara semua orang hanya Ben yang mengetahui hubungannya dengan Adrian. “Sst... Diam, Pak. Jangan keras-keras, ini di kantor. Saya tidak mau reputasi Pak Adrian hancur. Saya permisi.”Ben menghela napas kasar sebelum kemudian tersenyum samar. “Sampai kapan, Lea?”Langkah Lea kembali terhenti mendengar pertanyaan asisten pribadi Adrian itu. “Apanya?” jawabnya polos.Be
”Shittt... Ini gila!!” Prang!!Serentak semua menoleh ke arahnya. Lea menjatuhkan gelas yang berisi air mineral hingga terjatuh, bahkan pakaiannya dan sepatunya sampai basah terkena minumannya.”Kenapa Lea?” Belum sempat Adrian bertanya Ben lebih dulu mengeluarkan suaranya.“Em... Maaf-maaf semua. Saya tidak sengaja menyenggol gelasnya,” cicitnya tak enak hati. “Saya akan bertanggung jawab membersihkannya.”“Rapat kita sampai sini. Kalian semua boleh keluar.” Adrian berakata seraya memandang tajam ke arah Lea. “Kecuali Lea..”Mereka semua keluar, dan mengira Lea akan mendapatkan hukuman. Sementara Ben menggelengkan kepalanya, menepuk pundak Adrian. “Ingat ini di kantor, jangan melakukan apapun. Kalian harus profesional.”“Aku mengerti bawel. Pergilah sana.”Sepeninggal Ben, Lea merasa aura ruangan ini terasa mencekam. Apalagi saat merasa tatapan Adrian kian lebih intens, seakan-akan ia telah melakukan kesalahan yang fatal. Juga suara langkah kaki lelaki itu yang kian mendekat. “Saya
Seperti apa yang telah dikatakan Adrian jika Lea harus menerima hukuman, akibat tidak mematuhi aturan perusahaan. Tentu saja sebagai karyawan yang teladan, Lea mematuhi perintah sang atasan. Lea melirik arloji di tangannya di mana waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, suasana kantor juga terasa sepi. Bahkan kopi di cangkirnya telah habis tak tersisa. Namun, kerjaannya belum selesai juga. Adrian benar-benar seperti tengah memanfaatkan dirinya. Bisa-bisanya ia diberi pekerjaan yang membludak. Susunan data iklan harus segera ia selesaikan, selain itu ada beberapa data statistik yang harus benar-benar ia teliti. Jika sampai salah sedikit saja, Adrian pasti tidak akan terima.“Pokoknya ini harus selesai. Kalau tidak bisa-bisa si boss killer itu akan terus menindasku dengan cara lembur terus.” Lea menyemangati diri meski sambil menggerutu jengkel akan sikap Adrian, ia tetap berusaha konsentrasi menyelesaikan kerjaannya.“Ehem, siapa bos killermu!” Suara dingin itu membuat Lea terke
“Lihatin aku ya,” tebak Adrian kemudian membuat Lea berdecak jengkel. Belum sempat ia mengelak, pria itu sudah mendaratkan tangannya untuk mengacak-acak rambutnya. “Ya sudah lanjutkan. Aku keluar dulu ya.”“Iya, Pak.”“Lea...” Di depan pintu Adrian kembali menoleh dan memanggil Lea.“Iya, Pak.”Adrian tersenyum mendengar panggilan, Lea. “Nanti malam aku ajak kamu makan di luar ya?”Lea tampak bingung karena belum jatuh weekend bukankah Adrian janjinya kalau sudah weekend. Namun, belum sempat ia bertanya Adrian kembali membuka suara untuk menjelaskannya.“Weekend nanti aku ada acara keluarga, jadi aku gak bisa ajak kamu keluar.”Lea mengangguk. “Baik.”“Dandan yang cantik,” kata Adrian mengakhiri obrolan pada pagi hari itu. Meninggalkan Lea yang masih tersenyum bak seorang gadis yang tengah kasmaran.Malam hari Lea telah bersiap dengan dress cantiknya. Untuk pertama kalinya ia akan dinner makan malam berdua dengan Lea. Entah kenapa ia merasa sangat senang. Sangking senangnya setelah pu
Tak ada yang bersuara masing-masing sibuk dengan pemikirannya, usai sesi pergumulan panas keduanya. Sampai napas keduanya menjadi normal, Adrian menarik Lea ke dalam dekapannya. Membuat perempuan itu merasa nyaman, dan sejenak lupa permasalahan yang terjadi. “Makasih banyak ya,” kata Adrian membuat Lea tersenyum mengusap lengan Adrian yang melingkar di perutnya. Sejenak mereka terdiam hingga akhirnya pria itu menarik tangannya. “Mandi dulu yuk, Le. Habis ini makan bareng, aku akan pesan makanan.”Lea menatap punggung Adrian yang menghilang di balik pintu kamar mandi. Beberapa menit setelah Adrian selesai ia bergantian masuk ke kamar mandi, membiarkan Adrian memesan makanan lebih dulu. Beberapa saat kemudian Lea sudah menata makanan. Lea berteriak memanggil Adrian, hingga pria itu datang. Keduanya makan bersama tanpa suara. “Oh ya, Le. Aku punya hadiah untukmu.” Adrian berlalu ke kamar meninggalkan Lea yang saat ini duduk di sofa setelah selesai makan. Tak berselang lama Adrian data
“Lea...” teguran seseorang membuat ia menoleh dan mendapati Evan duduk di atas motornya.“Evan.”“Udah mau pulang kan?” tanyanya lagi seraya menepuk jok motornya. “Bareng yuk. Aku anterin,” tawarnya kemudian.Lea terdiam sejenak lalu menggeleng. “Aku gak langsung pulang, Van.”“Terus mau kemana? Kebetulan hari ini aku free, tidak ada tugas kuliah juga. Ayo aku antar kemanapun kamu mau.”“Aku pengen ke makam ibu.” Ya, ia tidak sepenuhnya bohong entah kenapa saat suasana hatinya tidak baik, ia hanya ingin bertemu ibunya. “Ya udah ayo aku antar.”Lea terdiam meragu antara ingin menolak tapi terasa sungkan, mengingat beberapa kali saat ditawari tumpangan ia merasa enggan. Merasa ingin menjaga hati Adrian, tetapi untuk apa kini ia lakukan? Bukankah hubungannya akan berakhir. Pada akhirnya ia pun naik ke motor Evan dan meninggalkan kawasan kantor tersebut. Tak sadar dibelakangnya seorang pria mengepalkan kedua tangannya. “Cukup sampai di sini saja, Van. Kau langsung pulang saja. Aku lagi
Solo, Jawa Tengah“Kerjaanmu sudah beres kan?” tanya Maya pada adiknya.“Iya, sudah kelar dari kemarin.”“Tumben tidak buru-buru pulang?”“Pusing.” Adrian merebahkan kepalanya di pangkuan sang kakak. “Pijitin kepalaku sini, Kak.”“Makanya pulang minta pijitin saja sama calon istrimu.”“Jangan bahas dia lah, makin pusing saja.” Adrian memaksa tangan sang kakak untuk memijat kepalanya. Membuat Maya menghela napas panjang. “Begini kalau Mas Randy lihat kamu bisa-bisa ditarik ceburin ke kolam ikan kamu,” celetuk Maya meski begitu tangannya bergerak memijat kepala sang adik. Memang dari ketiga adiknya yang paling dekat dengannya hanya Adrian. “Dasar bucin!” cibir Adrian menarik diri dari pangkuan sang kakak, lalu memilih bersandar di sofa.“Bukan bucin tapi karena cinta. Kamu sih mana ngerti hal begituan. Tahunya cuma kerja sama menuruti kemauan orang tua. Kapan mikirin diri sendiri.” Randy yang baru dari kamar si kembar ikut menimpali. Pria yang kini menjabat sebagai Kepala Sekolah Das
Lea mengambil lembaran itu yang terisi fotonya saat memasuki mobil Adrian. Seketika jantungnya terasa berdetak lebih kencang. “Kau bahkan sudah berani memasuki mobil calon suamiku, Lea!”Tangan Lea gemetar, tapi sebisa mungkin ia harus bisa mengendalikan diri. “Maaf, Nona. Ini tidak seperti yang anda lihat. Saat itu Pak Adrian hanya memberi tumpangan tidak lebih, karena hari sudah terlalu larut.”“Lalu kenapa kau bisa duduk di depan? Seharusnya kau bahkan bisa menempatkan diri yang namanya orang menumpang!”“Maaf Nona, saat itu—”“Dengar!” Belinda memotong ucapan Lea dengan cepat. “Aku tidak ingin dengar apapun alasanmu. Tapi, kedatanganku kemari hanya ingin adalah bentuk peringatan pertama dan terakhir untukmu. Jangan pernah berpikir merebut Adrian dariku, ataupun mendekatinya. Jika, sampai hal itu ia lakukan. Kau akan wajahku sebenarnya!”Lea terdiam kaku tak bisa menyela ucapan perempuan di depannya. Ia berpikir apapun pembelaannya akan tetap salah. “Nona...”“Nyawa dan nama baikm
“Sesuai kesepakatan yang terjalin, jika perjodohan ini berjalan dengan sukses saya akan memberikan salah satu pabrik plastik saya pada anda, Pak. Dan mulai besok saya akan minta pengacara akan mengurusnya.” Adrian menatap wajah sang Papa yang tampak berbinar. Ia tahu otak sang Papa itu telah menghitung kepingan uang yang akan mereka dapatkan nanti. Tiba-tiba selera makannya lenyap begitu saja, ia mendorong piringnya ke tengah dan menyudahi makannya. Pembicaraan yang ia dengar hanya memicu kekesalan di hatinya. Ia memilih pamit undur diri menuju taman belakang. “Cie calon pengantin!” Evelyn datang menggoda dirinya, membuat Adrian bertambah kesal.“Bocil, mendingan kamu belajar.”“Enaknya ya, Kak. Dijodohkan?” tanya gadis itu polos.“Menurutmu?”Gadis itu menggeleng tanda tak mengerti, membuat Adrian mengacak-acak rambutnya gemas. “Gak usah pikirin. Nanti kalau sudah saatnya kamu juga bakalan dijodohkan, tenang saja,” kelakarnya membuat gadis itu cemberut.“Sorry ya. Aku tidak mau! Ak
Adrian tersenyum sinis melihat obsesi Belinda. Sebelum kemudian memilih berlalu meninggalkan Belinda. Tak memperdulikan sekalipun perempuan itu berteriak memanggil dirinya. Ia tetap berlalu meninggalkannya, melajukan mobilnya menuju apartemen di mana Lea berada. Sayangnya saat itu hujan begitu deras, tepat di jalanan yang cukup sepi ban mobilnya licin membuat ia mengerem secara mendadak. Dalam derasnya air hujan ia tetap keluar dari mobilnya, soalnya saat itu ada beberapa preman yang mau merampoknya. Adrian berusaha melawan, tapi di saat ia lengah salah satu dari menodongkan clu rit hingga, ia berhasil menghalanginya dengan cara menahan menggunakan tangannya, yang pada akhirnya membuat ia terluka. Sebelum kemudian bala bantuan akhirnya ia dapatkan. Adrian merasa sial sekali sore itu. Seandainya ia tidak menuruti Belinda akhirnya pasti tidak akan seperti ini, pikirnya.Tin... Tin...Klakson mobil yang terdengar membuat Adrian tersadar dari lamunannya. Segera ia pacu mobilnya menuju ked
Malam semakin larut, hujan mulai terhenti menyisakan rintik gerimis. Adrian mengerjap dalam tidurnya. Merasakan sesuatu barang menimpa keningnya, ia ambil ternyata handuk kecil. Ia menoleh ke samping mendapati Lea tertidur dalam posisi yang tak nyaman. Ia berusaha mengingat-ingat kejadian semalam, ketika ia datang menemui Lea dalam kondisi tangan yang terluka, hingga akhirnya keduanya menghabiskan malam penuh gairah. Tiba-tiba ia merasakan kepalanya berdentam menyakitkan. Setelahnya ia tak ingat apapun, dan kini bangun-bangun badannya terasa segar. Lea pasti merawatnya, melirik ke arah tubuhnya ia juga terkejut mendapati dirinya sudah berpakaian dengan lengkap. Turun dari ranjang, mendekati Lea. Ia tersenyum tipis, perempuan itu terlihat begitu nyenyak, sama sekali tak terusik ketika ia mencoba memindahkannya posisinya ke hal yang lebih nyaman. “Dia pasti kelelahan. Terima kasih, Le.”Adrian mendaratkan kecupan singkat di keningnya, ia ambil kunci mobil, dompet dan ponselnya di atas
Tuhan jika boleh diri ini meminta. Tanamkan sedikit saja rasa cinta di hatinya, sisanya biar aku yang berusaha.Lea Queenara_“Tidak ada.” Lea menjawab dengan kedua mata yang menatap Adrian dengan memindai. “Kau dari mana, Ian? Kenapa baru sampai, dan pakaianmu juga basah kuyup seperti ini,” lanjutnya mencecar Adrian.“Hei, kau ini kenapa? Aku baik-baik saja. Ini tadi hanya ada insiden kecil di jalanan.” Adrian menarik tangan Lea membawanya masuk. “Apanya yang baik-baik saja! Kau basah kuyup begini. Seperti anak kecil yang bermain air hujan!” Lea berdecak menepis tangan Adrian, membuat pria itu meringis, detik berikutnya mata Lea terbelalak saat melihat darah menetes dari tangan Adrian. “Darah!! Ian apa yang terjadi?” “Tidak apa-apa. Ini hanya luka kecil.”“Apanya yang tidak apa-apa. Kau terluka seperti ini.” Lea meminta Adrian untuk duduk di sofa, dengan tergesa-gesa ia mencari kotak p3k lalu membawanya kembali. “Kemarikan tanganmu, Ian.”“Le, aku itu...”“Buruan Adrian!!” teriak