Belinda melirik arloji di tangannya, ini sudah tiga puluh menit yang lalu sejak Adrian pamit ke toilet.
“Adrian kemana sih? Toilet doang masa bisa selama ini,” gerutunya yang tentu di dengar oleh Evan. ”Iya ini juga Lea mana ya? Apa toiletnya ngantri ya.” Belinda menghela napas kesal. Kembali melirik arloji di tangannya. Ia ingat lima belas menit lagi ia ada pemotretan. Seharusnya hari Minggu itu libur. Namun, karena memang jadwalnya padat sedang banyak penawaran, jadi terpaksa tetap ia ambil, demi melambungkan namanya semakin terkenal. Ia yakin Adrian akan merasa sangat bahagia dan beruntung jika bisa menikah dengan dirinya. Selain karena dia seorang publik figur ia merupakan anak seorang pengusaha sukses di kotanya, dengan digabungkan dua perusahaan raksasa milik keluarga Adrian dan juga keluarganya mereka akan semakin sukses. Ya, memang keduanya akan menikah karena perjodohan. “Aku akan menyusulnya.” Belinda beranjak dari tempat duduknya. Namun, belum sempat berlalu, ia melihat sosok yang sejak tadi ia cari sudah melangkah masuk. “Kok lama banget sih, Adrian!” protesnya kemudian. “Macet,” jawab Adrian asal. “Ck!” terdengar decakan sebal dari bibir Belinda. “Apanya yang macet sih Adrian? Orang cuma ke toilet doang. Kamu sebenarnya ke toilet mana? Ke Arab apa kemana,” cerocosnya kian membuat Adrian malas. Sementara Evan meringis merasa tak enak mendengar percekcokan pasangan itu. “Maksudku ngantri,” ralat Adrian kemudian. “Awas saja kalau itu kamu berbohong. Aku bisa melakukan apapun loh Adrian,” ancam Belinda yang terdengar tak main-main. “Kamu itu kenapa sih bawaannya curiga terus sama aku. Namanya ini tempat umum jelas saja ngantri. Gitu saja masih gak percaya.” Adrian memandang Belinda dengan rasa malas penuh kesal. Namun, kekesalannya sirna saat melihat Lea melangkah ke arahnya. Seketika hatinya berdesir, seakan lupa dengan apa yang barusan terjadi. Diam-diam ia tersenyum mengingat kejadian di parkiran mobil tadi. “Evan sorry ya lama.” “Iya gak apa-apa kok, toiletnya antri kan?” balas Evan balik. Lea menoleh ke arah ketiganya secara bergantian. “Kok...” “Oh itu cuma nebak saja. Soalnya kata Pak Adrian juga kan gitu.” Lea langsung menoleh ke arah Adrian yang saat ini tengah tersenyum samar, ia bisa menangkap senyum kemenangan penuh kepuasan di sana. Sementara Belinda tengah bergelayut manja di lengannya. Memutuskan kontak pandangannya, Lea langsung membereskan barang-barang bawaannya. Entahlah setiap melihat kemesraan keduanya ada yang menggelitik dalam dadanya, hingga ia merasa sesak, tapi ia sadar diri siapa dirinya. “Evan, aku pulang dulu ya. Ayahku menunggu di rumah.” “Kamu mau pulang?” Itu suara Belinda yang bertanya. “Em iya Nona.” “Tapi, makanan kamu belum habis.” Belinda menunjuk ke arah makanan Lea yang tentunya sudah terasa dingin. Kemudian beralih ke arah Evan. “Kasihan juga cowok kamu udah nungguin. Eh malah ditinggal pulang.” Raut wajah Lea seketika berubah, wajah terasa pias. Sementara Adrian memandangnya tak suka, namun sebisa mungkin ia mampu menguasai sikapnya. “Dia bukan...” “Calon maksudnya.” Belinda meralat ucapannya cepat tanpa membiarkan Lea melanjutkan ucapannya lebih dulu. “Kalian berdua itu cocok kok.” Perasaan Lea semakin terasa tak nyaman. Ia membereskan kantong belanjanya. “Aku duluan ya, Van.” “Aku antar.” “Gak perlu, Van. Aku mau pake taksi saja.” Cepat-cepat Lea ingin berlalu dari sana. Sesekali melemparkan tatapan pada Adrian penuh kekesalan. Melihat wajahnya ia merasa ingin mencabik-cabik wajahnya. Bisa-bisanya Adrian mengajaknya ber cinta di dalam mobil. Selain itu Adrian juga melakukannya sangat kasar, hingga menimbulkan rasa sakit, bahkan kini masih terasa saat ia bawa berjalan. Benar-benar tak tahu aturan bukan? Lea benar-benar kesal mengingatnya. Padahal baru tadi pagi keduanya menghabiskan waktu bersama di apartemen, bisa-bisanya di tempat seperti itupun Adrian memanfaatkan kesempatan. “Ayolah, Lea. Aku kasihan.” “Dasar cowok pemaksa.” Evan langsung terdiam mendengarnya. Padahal yang dimaksud oleh Lea itu umpatan untuk Adrian, namun Evan salah tanggap. “Lea sorry, aku hanya...” “Maaf Evan. Aku cuma lagi kesal sama seseorang bukan sama kamu kok. Dan soal tumpangan tidak perlu. Aku sudah pesan taksi online di depan kok. Terima kasih untuk traktirannya ya.” Lea langsung berbalik pergi di susul oleh Evan. Semua tak lepas dari pandangan Adrian. “Kenapa natap Lea seperti itu?” tanya Belinda dengan bau-bau curiga. “Bukannya mata itu untuk melihat ya.” Adrian berkata dengan santai, mengambil minuman di depannya meneguknya hingga tandas. Gara-gara meneguk manisnya madu, berbagi peluh keringat di mobil bersama Lea, tenggorokannya terasa kering, ia hampir merasa kehilangan cairan. Belinda tengah memainkan ponselnya, sesekali menatap ke arah Adrian yang tengah memasang wajah datar. “Heran cuma baru dari toilet bisa sehaus itu?” Mendengarnya, Adrian sontak menoleh ke arahnya. Lalu menghela nafasnya dengan kasar. “Kamu itu sebenarnya kenapa sih? Sejak tadi bawaannya curiga terus.” “Kalau pernikahan kita dipercepat saja gimana ya Adrian?” Pertanyaan Belinda selanjutnya membuat kedua mata Adrian terbelalak. **** Taksi yang ditumpangi Lea tiba di rumah. Setelah membayar argo ia segera keluar tak lupa membawa barang belanjaannya. Kedatangannya sudah di sambut oleh Ayahnya tercinta yang saat ini tengah berada di teras, seketika rasa kesal pada Adrian sirna. “Baru pulang, Nak?” “Iya Ayah.” Lea membungkuk menyalami sang telapak tangan Ferdinan dengan takzim. Setiap kali ia mengecup telapak tangannya, ia merasa ada yang berdesir, rasa bersalah itu kian menyergap dalam dirinya. Tak dapat membayangkan akan sekecewa apa lelaki itu jika mengetahui perbuatannya selama empat bulan ini. Ferdinan selalu mewanti-wanti untuk tak menjadi perempuan murahan apalagi sampai menyerahkan mahkota berharganya pada lelaki yang bukan suaminya. Tapi, kini ia telah menghancurkan semuanya. Lea bahkan merasa takut untuk membayangkan masa depannya kelak, ia merasa semuanya terasa suram. “Kamu kenapa nak? Kok melamun. Pekerjaan hari ini melelahkan ya? Maafkan Ayah ya yang justru merepotkanmu.” Perkataan Ferdinan membuat lamunannya tersentak. Lea merubah mimik wajahnya mengulas senyum tipisnya. “Tidak apa-apa, Ayah. Aku hanya merasa sedikit lelah, nanti dibawa istirahat juga baikan.” Lea mengamati tubuh Ayahnya yang masih berada di kursi roda. “Dan ayah harus tahu. Ayah sama sekali tidak membuat aku repot. Karena kesembuhan Ayah itu semangatku. Aku merasa senang sekarang sudah bisa bicara, lambat lain Ayah pasti bisa berjalan.” Ferdinan tersenyum mengusap wajah Lea. “Terima kasih, Nak. Kamu memang anak yang sangat luar biasa. Ayah yakin kelak laki-laki yang mendapatkan kamu sangat beruntung.” Lea terhenyak, rasanya jantungnya bagai ditikam belati yang tajam. Doa tulus ayahnya seperti sebuah tikaman yang tajam. Tak salah, sejatinya setiap orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya. Tapi, kepercayaan itu ia sendiri yang merusaknya. “Amin, Yah. Kebahagiaanku hanya terletak dalam diri Ayah dan Leo. Aku merasa tidak perlu menikah.” Lea merasa setelah kejadian malam di mana ia menyerahkan mahkotanya pada Adrian, ia seakan tidak punya mimpi untuk menikah. “Jangan seperti itu. Ayah sudah tua, dan kelak kalau Leo sudah sadar dan kembali sehat. Dia pasti juga ingin melihat Kakaknya menikah. Ayah juga ingin melihat kamu menikah, Nak.” Lea hanya tersenyum getir mendengarnya. “Ayah sudah makan?” Lea berusaha mengalihkan pembahasan tentang pernikahan. “Sudah tadi, sama Sus Rini.” Ferdinan tersenyum menunjuk suster pribadi yang dipekerjakan oleh dirinya. Ya, berkat uang dari Adrian ia bisa memperkerjakan suster pribadi untuk merawat ayahnya, hingga ketika ia tinggal di luar ia tak perlu merasa khawatir. “Syukurlah. Aku masuk dulu ya ayah. Mau bersih-bersih.” “Iya nak.” Lea beranjak masuk, dan di ambang pintu ia kembali menoleh ke arah ayahnya ‘Maafkan aku ayah,’ gumamnya. Lea beranjak masuk ke dapur meletakkan barang belanjaannya yang berisi buah-buahan serta makanan sehat lainnya. Setelahnya kembali masuk ke kamar meletakkan tas miliknya. Baru saja ia ingin mengambil handuknya ia dikejutkan dengan notifikasi dari m..banking. Segera ia ambil dan baca, seketika ia mendesah resah. Belum selesai ia dikejutkan lagi dengan pesan dari Adrian. [Aku sudah transfer lagi ya. Terima kasih untuk hari ini, sayang. Kamu memang terbaik.] Ia memegang dadanya saat membaca panggilan lelaki itu padanya, ada yang berdesir. Namun, secepat itu ia menepisnya menggantikan dengan rasa pedih. “Ah, aku memang pelacur,” gumamnya pelan sebelum kemudian memilih beranjak ke kamar mandi. Bagaimanapun sisa percintaannya dengan Adrian tadi membuat tubuhnya lengket. Selain tempatnya yang memang tidak leluasa, cara Adrian juga yang terlalu kasar.[Sayang, aku pusing] Kalimat itu merupakan pesan dari Adrian yang ia terima setelah selesai membersihkan diri. [Kamu kira aku dokter, setelah mengeluh pusing sama aku bakalan langsung dikasih obat terus sembuh gitu] Lea membalas pesan Adrian dengan raut wajah kesal mengingat lagi momen percintaannya di mobil tadi. Meski lambat laun ia larut dan menikmati sentuhan Adrian, tak menutupi kemungkinan ia terasa cemas, rasanya seperti naik roller coaster, tidakkah Adrian berpikir seperti itu. Ah, dasar lelaki kalau sudah nafsu mana mungkin lihat-lihat tempat. Ia memasang wajah jutek, dengan bibir yang manyun seakan-akan Adrian akan melihatnya.[Dokter mah gak akan tahu obat yang aku butuhkan, sayang. Soalnya segala obat pada rasa sakitku ada di kamu. Kamu pasti tahu kan apa yang aku butuhkan.][Sinting!]Lea mendengus setelah melemparkan ponselnya ke atas kasur secara asal, setelah sebelumnya membalas pesan Adrian dengan kalimat umpatan tersebut. Beranjak dari tempat duduknya ke meja rias
Terdengar dengusan kasar dari bibir gadis itu, karena merasa ucapannya sama sekali tak mendapatkan respon apapun. Mereka hanya merespon dengan tatapan yang tak berarti. Apalagi pria di depannya itu hanya menatapnya dengan tatapan intens. Tanpa ia sadari, jika Adrian tengah terpesona padanya. Merasa risih, ia pun memutuskan pandangan Adrian, lalu mengusap pucuk kepala Zalina.”Lain kali hati-hati ya sayang. Jangan main eskalator sendirian, itu berbahaya.” Ia melirik ke arah Adrian dengan pandang jengkel.“Iya, Kak.”“Oh... Kak Lea ternyata di sini. Aku cari-cari juga tadi.” Seorang anak lelaki remaja tiba-tiba menghampiri dirinya.“Udah dapat?”“Udah ini. Yuk kita pulang.” Setelah remaja itu menunjukkan shoping bag di tangannya, ia pun berlalu pergi. “Paman... Paman...” Seketika panggilan Zalina membuat Adrian mengerjap. “Paman kok diam saja sih?” tanyanya dengan mimik wajah yang lucu.Adrian menghela napasnya, bayangan wajah Lea melintas. Mana mungkin ia katakan jika ia terpesona de
Lea mengusap dadanya sambil bersandar di dinding, begitu berhasil keluar dari ruangan Adrian. “Jadi, boss kok galak banget. Gak berperi karyawanan banget. Emang dia pikir kantor bisa berkembang sendiri tampak karyawan,” gerutunya jengkel.“Kenapa, Lea?” Kehadiran lelaki di depannya kembali mengejutkan dirinya.“Duh Pak Ben ngagetin saja sih. Kirain....” Lea melirik ke arah pintu ruangan Adrian yang masih tertutup rapat. Tampak lelaki itu terkekeh.“Kaget ya,” tebaknya membuat Lea spontan mengangguk. ”Pasti berpikir jika kekasihmu yang muncul.”Mendengarnya membuat wajah Lea bersemu. Ia jelas paham siapa yang dimaksud. Di antara semua orang hanya Ben yang mengetahui hubungannya dengan Adrian. “Sst... Diam, Pak. Jangan keras-keras, ini di kantor. Saya tidak mau reputasi Pak Adrian hancur. Saya permisi.”Ben menghela napas kasar sebelum kemudian tersenyum samar. “Sampai kapan, Lea?”Langkah Lea kembali terhenti mendengar pertanyaan asisten pribadi Adrian itu. “Apanya?” jawabnya polos.Be
”Shittt... Ini gila!!” Prang!!Serentak semua menoleh ke arahnya. Lea menjatuhkan gelas yang berisi air mineral hingga terjatuh, bahkan pakaiannya dan sepatunya sampai basah terkena minumannya.”Kenapa Lea?” Belum sempat Adrian bertanya Ben lebih dulu mengeluarkan suaranya.“Em... Maaf-maaf semua. Saya tidak sengaja menyenggol gelasnya,” cicitnya tak enak hati. “Saya akan bertanggung jawab membersihkannya.”“Rapat kita sampai sini. Kalian semua boleh keluar.” Adrian berakata seraya memandang tajam ke arah Lea. “Kecuali Lea..”Mereka semua keluar, dan mengira Lea akan mendapatkan hukuman. Sementara Ben menggelengkan kepalanya, menepuk pundak Adrian. “Ingat ini di kantor, jangan melakukan apapun. Kalian harus profesional.”“Aku mengerti bawel. Pergilah sana.”Sepeninggal Ben, Lea merasa aura ruangan ini terasa mencekam. Apalagi saat merasa tatapan Adrian kian lebih intens, seakan-akan ia telah melakukan kesalahan yang fatal. Juga suara langkah kaki lelaki itu yang kian mendekat. “Saya
Seperti apa yang telah dikatakan Adrian jika Lea harus menerima hukuman, akibat tidak mematuhi aturan perusahaan. Tentu saja sebagai karyawan yang teladan, Lea mematuhi perintah sang atasan. Lea melirik arloji di tangannya di mana waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, suasana kantor juga terasa sepi. Bahkan kopi di cangkirnya telah habis tak tersisa. Namun, kerjaannya belum selesai juga. Adrian benar-benar seperti tengah memanfaatkan dirinya. Bisa-bisanya ia diberi pekerjaan yang membludak. Susunan data iklan harus segera ia selesaikan, selain itu ada beberapa data statistik yang harus benar-benar ia teliti. Jika sampai salah sedikit saja, Adrian pasti tidak akan terima.“Pokoknya ini harus selesai. Kalau tidak bisa-bisa si boss killer itu akan terus menindasku dengan cara lembur terus.” Lea menyemangati diri meski sambil menggerutu jengkel akan sikap Adrian, ia tetap berusaha konsentrasi menyelesaikan kerjaannya.“Ehem, siapa bos killermu!” Suara dingin itu membuat Lea terke
“Aku tidak mau bangun.” “Bangun.” “Tidak mau.” “Bangun, Ian!” ”Tidak, sayang.” Lea mengerjap saat mendengar panggilan Adrian padanya, bahkan bibirnya sampai terbuka secelah. Detik berikutnya ia terkejut, saat Adrian mengecup bibirnya singkat. “Ian, apa-apaan sih kamu.” “Bibirmu terbuka tanpa suara, ku pikir itu suatu persetujuan untukku mencium dirimu.” “Ck! Menyebalkan sekali dirimu.” Lea memukul dan mendorong dada Adrian pelan. “Tak usah banyak merayu,” imbuhnya. Ia memutar kursinya berniat melanjutkan pekerjaannya. Namun, tiba-tiba ia tersentak saat tangannya ditarik oleh Adrian, membuatnya spontan berdiri menabrak dada bidang lelaki itu. Matanya terbelalak kala dengan cepat pria itu membungkam bibirnya dengan ciumannya. Sigap salah satu tangan Adrian menahan pinggangnya, seiring dengan lumatan yang terasa intens. Lea merasa tubuhnya lemas, hampir terdorong ke belakang, jika saja Adrian tak menahan pinggangnya. Darahnya berdesir, jantungnya berdetak lebih kencang dan
“Jangan aneh-aneh, Ian.” “Apa sih yang aneh-aneh. Kakiku kram makanya minta tanganmu, biar ditarik.”Mendecak sebal, Lea pun mengulurkan tangannya. Namun, bukannya ia yang menarik Adrian, justru dirinya yang ditarik, membuatnya jatuh dan ikut masuk ke dalam kolong meja. Adrian sigap menendang kursi yang menghalanginya. “Ian, apa-apaan sih kamu!” protes Lea yang tak juga didengarkan, tubuhnya justru dibalik membuatnya terkunci di bawah lingkungan Adrian. Tampak lelaki itu menyeringai senang. “Lepasin. Ayo bangun.”“Gak.”“Ih, Ian. Kamu itu mau apa sih!”“Mau kamu.” Jawaban Adrian selanjutnya membuatnya terperangah. ”Jangan macam-macam.” Lea menepuk Adrian, mencoba mendorong dada lelaki itu. “Gak macam-macam. Cuma semacam aja,” katanya menggoda. Nadanya terdengar serak seperti menginginkan sesuatu.“Apaan sih, Ian.”Adrian mengangkat sebelah alisnya menggoda. “Kayaknya kalau kita lakukan di sini menantang Lea. Ganti suasana baru. Kamu mau gak?”Lea melotot mendengarnya. “Kamu mau ca
Mobil yang dikemudikan Adrian baru tiba di rumah usai sebelumnya mengantarkan Lea pulang. Memang hanya sampai gang tempat tinggal Lea. Perempuan itu selalu menolak ketika dirinya ingin mampir ke rumahnya, sejauh ini bahkan ia tidak tahu seperti apa dan bagaimana rumah Lea. Membuka pintu rumahnya, melangkah masuk sampai di ruang keluarga ia terkejut melihat ibunya masih terjaga. “Mama belum tidur?” tanyanya mencoba mengingat mobil di garasi. “Nunggu siapa? Perasaan Papa sudah pulang.”“Nunggu kamu.” Dea meletakkan majalah yang tengah ia baca, beralih menatap sang putra. “Aku.” Adrian menunjuk ke arah dirinya. “Tumben.”“Tadi siang Belinda ke kantor mengajakmu makan siang. Kenapa kamu menolaknya. Bahkan terang-terangan mengusirnya. Iya kan, Adrian?” cecar Dea tanpa jeda. Membuat Adrian berdecak sebal.“Dasar kang ngadu.”“Belinda itu bukan mengadu Adrian. Tapi, ia hanya memberi tahu.”Adrian menarik sudut bibirnya, membentuk seringai kecil. “Itu sama saja. Karena intinya ingin membua
“Lihatin aku ya,” tebak Adrian kemudian membuat Lea berdecak jengkel. Belum sempat ia mengelak, pria itu sudah mendaratkan tangannya untuk mengacak-acak rambutnya. “Ya sudah lanjutkan. Aku keluar dulu ya.”“Iya, Pak.”“Lea...” Di depan pintu Adrian kembali menoleh dan memanggil Lea.“Iya, Pak.”Adrian tersenyum mendengar panggilan, Lea. “Nanti malam aku ajak kamu makan di luar ya?”Lea tampak bingung karena belum jatuh weekend bukankah Adrian janjinya kalau sudah weekend. Namun, belum sempat ia bertanya Adrian kembali membuka suara untuk menjelaskannya.“Weekend nanti aku ada acara keluarga, jadi aku gak bisa ajak kamu keluar.”Lea mengangguk. “Baik.”“Dandan yang cantik,” kata Adrian mengakhiri obrolan pada pagi hari itu. Meninggalkan Lea yang masih tersenyum bak seorang gadis yang tengah kasmaran.Malam hari Lea telah bersiap dengan dress cantiknya. Untuk pertama kalinya ia akan dinner makan malam berdua dengan Lea. Entah kenapa ia merasa sangat senang. Sangking senangnya setelah pu
Tak ada yang bersuara masing-masing sibuk dengan pemikirannya, usai sesi pergumulan panas keduanya. Sampai napas keduanya menjadi normal, Adrian menarik Lea ke dalam dekapannya. Membuat perempuan itu merasa nyaman, dan sejenak lupa permasalahan yang terjadi. “Makasih banyak ya,” kata Adrian membuat Lea tersenyum mengusap lengan Adrian yang melingkar di perutnya. Sejenak mereka terdiam hingga akhirnya pria itu menarik tangannya. “Mandi dulu yuk, Le. Habis ini makan bareng, aku akan pesan makanan.”Lea menatap punggung Adrian yang menghilang di balik pintu kamar mandi. Beberapa menit setelah Adrian selesai ia bergantian masuk ke kamar mandi, membiarkan Adrian memesan makanan lebih dulu. Beberapa saat kemudian Lea sudah menata makanan. Lea berteriak memanggil Adrian, hingga pria itu datang. Keduanya makan bersama tanpa suara. “Oh ya, Le. Aku punya hadiah untukmu.” Adrian berlalu ke kamar meninggalkan Lea yang saat ini duduk di sofa setelah selesai makan. Tak berselang lama Adrian data
“Lea...” teguran seseorang membuat ia menoleh dan mendapati Evan duduk di atas motornya.“Evan.”“Udah mau pulang kan?” tanyanya lagi seraya menepuk jok motornya. “Bareng yuk. Aku anterin,” tawarnya kemudian.Lea terdiam sejenak lalu menggeleng. “Aku gak langsung pulang, Van.”“Terus mau kemana? Kebetulan hari ini aku free, tidak ada tugas kuliah juga. Ayo aku antar kemanapun kamu mau.”“Aku pengen ke makam ibu.” Ya, ia tidak sepenuhnya bohong entah kenapa saat suasana hatinya tidak baik, ia hanya ingin bertemu ibunya. “Ya udah ayo aku antar.”Lea terdiam meragu antara ingin menolak tapi terasa sungkan, mengingat beberapa kali saat ditawari tumpangan ia merasa enggan. Merasa ingin menjaga hati Adrian, tetapi untuk apa kini ia lakukan? Bukankah hubungannya akan berakhir. Pada akhirnya ia pun naik ke motor Evan dan meninggalkan kawasan kantor tersebut. Tak sadar dibelakangnya seorang pria mengepalkan kedua tangannya. “Cukup sampai di sini saja, Van. Kau langsung pulang saja. Aku lagi
Solo, Jawa Tengah“Kerjaanmu sudah beres kan?” tanya Maya pada adiknya.“Iya, sudah kelar dari kemarin.”“Tumben tidak buru-buru pulang?”“Pusing.” Adrian merebahkan kepalanya di pangkuan sang kakak. “Pijitin kepalaku sini, Kak.”“Makanya pulang minta pijitin saja sama calon istrimu.”“Jangan bahas dia lah, makin pusing saja.” Adrian memaksa tangan sang kakak untuk memijat kepalanya. Membuat Maya menghela napas panjang. “Begini kalau Mas Randy lihat kamu bisa-bisa ditarik ceburin ke kolam ikan kamu,” celetuk Maya meski begitu tangannya bergerak memijat kepala sang adik. Memang dari ketiga adiknya yang paling dekat dengannya hanya Adrian. “Dasar bucin!” cibir Adrian menarik diri dari pangkuan sang kakak, lalu memilih bersandar di sofa.“Bukan bucin tapi karena cinta. Kamu sih mana ngerti hal begituan. Tahunya cuma kerja sama menuruti kemauan orang tua. Kapan mikirin diri sendiri.” Randy yang baru dari kamar si kembar ikut menimpali. Pria yang kini menjabat sebagai Kepala Sekolah Das
Lea mengambil lembaran itu yang terisi fotonya saat memasuki mobil Adrian. Seketika jantungnya terasa berdetak lebih kencang. “Kau bahkan sudah berani memasuki mobil calon suamiku, Lea!”Tangan Lea gemetar, tapi sebisa mungkin ia harus bisa mengendalikan diri. “Maaf, Nona. Ini tidak seperti yang anda lihat. Saat itu Pak Adrian hanya memberi tumpangan tidak lebih, karena hari sudah terlalu larut.”“Lalu kenapa kau bisa duduk di depan? Seharusnya kau bahkan bisa menempatkan diri yang namanya orang menumpang!”“Maaf Nona, saat itu—”“Dengar!” Belinda memotong ucapan Lea dengan cepat. “Aku tidak ingin dengar apapun alasanmu. Tapi, kedatanganku kemari hanya ingin adalah bentuk peringatan pertama dan terakhir untukmu. Jangan pernah berpikir merebut Adrian dariku, ataupun mendekatinya. Jika, sampai hal itu ia lakukan. Kau akan wajahku sebenarnya!”Lea terdiam kaku tak bisa menyela ucapan perempuan di depannya. Ia berpikir apapun pembelaannya akan tetap salah. “Nona...”“Nyawa dan nama baikm
“Sesuai kesepakatan yang terjalin, jika perjodohan ini berjalan dengan sukses saya akan memberikan salah satu pabrik plastik saya pada anda, Pak. Dan mulai besok saya akan minta pengacara akan mengurusnya.” Adrian menatap wajah sang Papa yang tampak berbinar. Ia tahu otak sang Papa itu telah menghitung kepingan uang yang akan mereka dapatkan nanti. Tiba-tiba selera makannya lenyap begitu saja, ia mendorong piringnya ke tengah dan menyudahi makannya. Pembicaraan yang ia dengar hanya memicu kekesalan di hatinya. Ia memilih pamit undur diri menuju taman belakang. “Cie calon pengantin!” Evelyn datang menggoda dirinya, membuat Adrian bertambah kesal.“Bocil, mendingan kamu belajar.”“Enaknya ya, Kak. Dijodohkan?” tanya gadis itu polos.“Menurutmu?”Gadis itu menggeleng tanda tak mengerti, membuat Adrian mengacak-acak rambutnya gemas. “Gak usah pikirin. Nanti kalau sudah saatnya kamu juga bakalan dijodohkan, tenang saja,” kelakarnya membuat gadis itu cemberut.“Sorry ya. Aku tidak mau! Ak
Adrian tersenyum sinis melihat obsesi Belinda. Sebelum kemudian memilih berlalu meninggalkan Belinda. Tak memperdulikan sekalipun perempuan itu berteriak memanggil dirinya. Ia tetap berlalu meninggalkannya, melajukan mobilnya menuju apartemen di mana Lea berada. Sayangnya saat itu hujan begitu deras, tepat di jalanan yang cukup sepi ban mobilnya licin membuat ia mengerem secara mendadak. Dalam derasnya air hujan ia tetap keluar dari mobilnya, soalnya saat itu ada beberapa preman yang mau merampoknya. Adrian berusaha melawan, tapi di saat ia lengah salah satu dari menodongkan clu rit hingga, ia berhasil menghalanginya dengan cara menahan menggunakan tangannya, yang pada akhirnya membuat ia terluka. Sebelum kemudian bala bantuan akhirnya ia dapatkan. Adrian merasa sial sekali sore itu. Seandainya ia tidak menuruti Belinda akhirnya pasti tidak akan seperti ini, pikirnya.Tin... Tin...Klakson mobil yang terdengar membuat Adrian tersadar dari lamunannya. Segera ia pacu mobilnya menuju ked
Malam semakin larut, hujan mulai terhenti menyisakan rintik gerimis. Adrian mengerjap dalam tidurnya. Merasakan sesuatu barang menimpa keningnya, ia ambil ternyata handuk kecil. Ia menoleh ke samping mendapati Lea tertidur dalam posisi yang tak nyaman. Ia berusaha mengingat-ingat kejadian semalam, ketika ia datang menemui Lea dalam kondisi tangan yang terluka, hingga akhirnya keduanya menghabiskan malam penuh gairah. Tiba-tiba ia merasakan kepalanya berdentam menyakitkan. Setelahnya ia tak ingat apapun, dan kini bangun-bangun badannya terasa segar. Lea pasti merawatnya, melirik ke arah tubuhnya ia juga terkejut mendapati dirinya sudah berpakaian dengan lengkap. Turun dari ranjang, mendekati Lea. Ia tersenyum tipis, perempuan itu terlihat begitu nyenyak, sama sekali tak terusik ketika ia mencoba memindahkannya posisinya ke hal yang lebih nyaman. “Dia pasti kelelahan. Terima kasih, Le.”Adrian mendaratkan kecupan singkat di keningnya, ia ambil kunci mobil, dompet dan ponselnya di atas
Tuhan jika boleh diri ini meminta. Tanamkan sedikit saja rasa cinta di hatinya, sisanya biar aku yang berusaha.Lea Queenara_“Tidak ada.” Lea menjawab dengan kedua mata yang menatap Adrian dengan memindai. “Kau dari mana, Ian? Kenapa baru sampai, dan pakaianmu juga basah kuyup seperti ini,” lanjutnya mencecar Adrian.“Hei, kau ini kenapa? Aku baik-baik saja. Ini tadi hanya ada insiden kecil di jalanan.” Adrian menarik tangan Lea membawanya masuk. “Apanya yang baik-baik saja! Kau basah kuyup begini. Seperti anak kecil yang bermain air hujan!” Lea berdecak menepis tangan Adrian, membuat pria itu meringis, detik berikutnya mata Lea terbelalak saat melihat darah menetes dari tangan Adrian. “Darah!! Ian apa yang terjadi?” “Tidak apa-apa. Ini hanya luka kecil.”“Apanya yang tidak apa-apa. Kau terluka seperti ini.” Lea meminta Adrian untuk duduk di sofa, dengan tergesa-gesa ia mencari kotak p3k lalu membawanya kembali. “Kemarikan tanganmu, Ian.”“Le, aku itu...”“Buruan Adrian!!” teriak