”Shittt... Ini gila!!” Prang!!Serentak semua menoleh ke arahnya. Lea menjatuhkan gelas yang berisi air mineral hingga terjatuh, bahkan pakaiannya dan sepatunya sampai basah terkena minumannya.”Kenapa Lea?” Belum sempat Adrian bertanya Ben lebih dulu mengeluarkan suaranya.“Em... Maaf-maaf semua. Saya tidak sengaja menyenggol gelasnya,” cicitnya tak enak hati. “Saya akan bertanggung jawab membersihkannya.”“Rapat kita sampai sini. Kalian semua boleh keluar.” Adrian berakata seraya memandang tajam ke arah Lea. “Kecuali Lea..”Mereka semua keluar, dan mengira Lea akan mendapatkan hukuman. Sementara Ben menggelengkan kepalanya, menepuk pundak Adrian. “Ingat ini di kantor, jangan melakukan apapun. Kalian harus profesional.”“Aku mengerti bawel. Pergilah sana.”Sepeninggal Ben, Lea merasa aura ruangan ini terasa mencekam. Apalagi saat merasa tatapan Adrian kian lebih intens, seakan-akan ia telah melakukan kesalahan yang fatal. Juga suara langkah kaki lelaki itu yang kian mendekat. “Saya
Seperti apa yang telah dikatakan Adrian jika Lea harus menerima hukuman, akibat tidak mematuhi aturan perusahaan. Tentu saja sebagai karyawan yang teladan, Lea mematuhi perintah sang atasan. Lea melirik arloji di tangannya di mana waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, suasana kantor juga terasa sepi. Bahkan kopi di cangkirnya telah habis tak tersisa. Namun, kerjaannya belum selesai juga. Adrian benar-benar seperti tengah memanfaatkan dirinya. Bisa-bisanya ia diberi pekerjaan yang membludak. Susunan data iklan harus segera ia selesaikan, selain itu ada beberapa data statistik yang harus benar-benar ia teliti. Jika sampai salah sedikit saja, Adrian pasti tidak akan terima.“Pokoknya ini harus selesai. Kalau tidak bisa-bisa si boss killer itu akan terus menindasku dengan cara lembur terus.” Lea menyemangati diri meski sambil menggerutu jengkel akan sikap Adrian, ia tetap berusaha konsentrasi menyelesaikan kerjaannya.“Ehem, siapa bos killermu!” Suara dingin itu membuat Lea terke
“Aku tidak mau bangun.” “Bangun.” “Tidak mau.” “Bangun, Ian!” ”Tidak, sayang.” Lea mengerjap saat mendengar panggilan Adrian padanya, bahkan bibirnya sampai terbuka secelah. Detik berikutnya ia terkejut, saat Adrian mengecup bibirnya singkat. “Ian, apa-apaan sih kamu.” “Bibirmu terbuka tanpa suara, ku pikir itu suatu persetujuan untukku mencium dirimu.” “Ck! Menyebalkan sekali dirimu.” Lea memukul dan mendorong dada Adrian pelan. “Tak usah banyak merayu,” imbuhnya. Ia memutar kursinya berniat melanjutkan pekerjaannya. Namun, tiba-tiba ia tersentak saat tangannya ditarik oleh Adrian, membuatnya spontan berdiri menabrak dada bidang lelaki itu. Matanya terbelalak kala dengan cepat pria itu membungkam bibirnya dengan ciumannya. Sigap salah satu tangan Adrian menahan pinggangnya, seiring dengan lumatan yang terasa intens. Lea merasa tubuhnya lemas, hampir terdorong ke belakang, jika saja Adrian tak menahan pinggangnya. Darahnya berdesir, jantungnya berdetak lebih kencang dan
“Jangan aneh-aneh, Ian.” “Apa sih yang aneh-aneh. Kakiku kram makanya minta tanganmu, biar ditarik.”Mendecak sebal, Lea pun mengulurkan tangannya. Namun, bukannya ia yang menarik Adrian, justru dirinya yang ditarik, membuatnya jatuh dan ikut masuk ke dalam kolong meja. Adrian sigap menendang kursi yang menghalanginya. “Ian, apa-apaan sih kamu!” protes Lea yang tak juga didengarkan, tubuhnya justru dibalik membuatnya terkunci di bawah lingkungan Adrian. Tampak lelaki itu menyeringai senang. “Lepasin. Ayo bangun.”“Gak.”“Ih, Ian. Kamu itu mau apa sih!”“Mau kamu.” Jawaban Adrian selanjutnya membuatnya terperangah. ”Jangan macam-macam.” Lea menepuk Adrian, mencoba mendorong dada lelaki itu. “Gak macam-macam. Cuma semacam aja,” katanya menggoda. Nadanya terdengar serak seperti menginginkan sesuatu.“Apaan sih, Ian.”Adrian mengangkat sebelah alisnya menggoda. “Kayaknya kalau kita lakukan di sini menantang Lea. Ganti suasana baru. Kamu mau gak?”Lea melotot mendengarnya. “Kamu mau ca
Mobil yang dikemudikan Adrian baru tiba di rumah usai sebelumnya mengantarkan Lea pulang. Memang hanya sampai gang tempat tinggal Lea. Perempuan itu selalu menolak ketika dirinya ingin mampir ke rumahnya, sejauh ini bahkan ia tidak tahu seperti apa dan bagaimana rumah Lea. Membuka pintu rumahnya, melangkah masuk sampai di ruang keluarga ia terkejut melihat ibunya masih terjaga. “Mama belum tidur?” tanyanya mencoba mengingat mobil di garasi. “Nunggu siapa? Perasaan Papa sudah pulang.”“Nunggu kamu.” Dea meletakkan majalah yang tengah ia baca, beralih menatap sang putra. “Aku.” Adrian menunjuk ke arah dirinya. “Tumben.”“Tadi siang Belinda ke kantor mengajakmu makan siang. Kenapa kamu menolaknya. Bahkan terang-terangan mengusirnya. Iya kan, Adrian?” cecar Dea tanpa jeda. Membuat Adrian berdecak sebal.“Dasar kang ngadu.”“Belinda itu bukan mengadu Adrian. Tapi, ia hanya memberi tahu.”Adrian menarik sudut bibirnya, membentuk seringai kecil. “Itu sama saja. Karena intinya ingin membua
Adrian tersentak saat mendengar suara lembut di balik ponselnya, ia jauhkan ponselku demi melihat siapa yang tengah berbicara dengannya. “L—lea.”Ucapannya terbata-bata, ada kegugupan yang mendera, diam-diam ia merasa takut jika kekasih gelapnya itu akan marah karenanya. Mendesis pelan, ia merasa konyol di sini dia yang lebih berhak atas Lea, kenapa jadi ia yang takut pada perempuan itu. Aneh bukan, pikirnya.“Maaf kalau aku mengganggumu, Ian.” Suara Lea terdengar rendah ada nada takut di dalamnya, membuat Adrian segera tersadar. “Ada apa? Kangen?” tanya Adrian menggoda yang sudah kembali ke mode awal. “Makanya gak usah sok-sokan nolak, aku ajak main di mobil tadi gak mau. Kan akhirnya baru sampai rumah langsung telepon,” lanjutnya.Ada apa dengan dirinya? Kenapa semudah itu moodnya berubah hanya karena mendengar suara Lea. Sesespesial itukah gadis itu untuk dirinya? Tidak! Adrian menggelengkan kepalanya berusaha menepis apa yang ada dalam benaknya. Semua yang terjadi hanya kerena ia
Aditya melirik arloji di tangannya. “Ah elah udah jam segini juga. Wajarlah dia tidur. Emangnya kau pikir robot melek terus.”“Kalau butuh banget kenapa gak samperin aja ke rumahnya,” saran Ben kemudian yang dibalas anggukan kepala oleh Aditya.“Gila! Itu namanya cari mati. Bisa-bisanya ayahnya yang sakit itu langsung kejang-kejang lihat aku nyosor anaknya.” Adrian tidak habis pikir dengan saran temannya, yang terdengar konyol. Menurutnya sama saja ia cari mati. Apalagi mendengar cerita Lea kalau ayah gadis itu tengah sakit-sakitan. “Ha... Ha.. ha....” ledakan tawa kedua sahabatnya itu membuat ia tak berhentinya mengumpat.“Mukamu tuh terlihat mengenaskan Adrian. Seperti kurang bela ian, dan butuh pele pasan,” seloroh Ben kemudian, merasa senang bisa mengolok-olok sahabatnya tersebut, pasalnya jika tengah di dalam kantor, mereka akan berlaku seperti atasan dan bawahan, membuat ia tak dapat berkutik saat diperintah atau ditindas. “Settan!” umpat Adrian yang benar-benar merasa kacau k
Adrian mengerang begitu hentakan terakhir ia berikan di dalam tubuh Lea. Sudah satu jam lebih mereka bergelut di ranjang apartemen tempat biasa keduanya memadu kasih. Ia merebahkan tubuhnya di samping tubuh polos Lea. Di pandangi lekat-lekat wajah berpeluh yang sudah sejam lebih ia nikmati. Lea memang mampu membuatnya gila dan lupa diri. ”Masih sakit?”Lea menoleh, mendapati sepasang mata uang menatapnya dengan tatapan memuja, ia tarik selimut tebalnya untuk menutupi tubuh polosnya. “Sedikit.” Ia menjeda ucapannya sejenak memandang lekat lelaki yang kini berbaring miring menatapnya. “Tapi, tak sesakit waktu di mobil, Ian.”Detik berikutnya tawa Adrian meledak. Lea memang perempuan yang ceplas-ceplos saat bersamanya, namun tak ia pungkiri perempuan itu terkadang terlihat begitu polos. “Emang kenapa waktu di mobil? Sensasinya enak kan?”Lea mengerucutkan bibirnya, mengambil jemari Adrian untuk ia genggam, lalu menggeleng. “Enggak. Aku gak suka. Karena kamu terburu-buru. Kesannya aku se
“Sembarangan, emang mukaku itu tampang penikung apa!” sergah Ben tak terima membuat Aditya terbahak. Menoleh ke arah Lea. “Lea kenalin ini Aditya, sahabat Adrian juga. Dan ini Laras calon istrinya mungkin,” lanjutnya.Lea mengangguk menyalami keduanya. “Lea.”“Aditya.”“Laras.”“Ck! Kok bisa kamu bawa dia? Gak takut sama Adrian. Bisa dibabat habis kalau dia tahu.” Aditya menggelengkan kepalanya heran. Sementara Laras menawarkan makanan pada Lea, tapi perempuan itu lebih memilih minuman saja. “Ada sedikit masalah tadi. Adrian itu sekali-kali perlu diberi pelajaran.”“Ben, jangan terlalu ikut campur lah. Aku tahu kamu gak suka sama cara Adrian yang begitu. Tapi, aku takut juga itu berimbas pada persahabatan kita.” Ben menggelengkan kepalanya pelan. “Aku hanya ingin membuat dia sadar akan perasaannya. Kamu tahu apa yang barusan dia lakukan...” Ia menghentikan ucapannya sejenak. “Dia telah berjanji akan mengajak Lea makan malam. Tapi, bisa-bisanya ia melupakannya dan lebih menemani Beli
Terima kasih ya, Adrian.”“Hem...”“Kamu gak mampir?” tawar Belinda kemudian.“Enggak, sudah malam. Sana masuk.”“Oke deh. Makasih banget ya. Aku senang banget hari ini.” Belinda berjinjit mengecup pipi Adrian sebelum masuk ke rumah. Adrian melajukan mobilnya membelah jalan raya yang cukup padat itu. Ia mengambil ponselnya yang ternyata mati, mengambil power bank ia segera menghidupkannya lagi. Saat itu pula notif pesan dan panggilan tak terjawab masuk secara beruntun. Memelankan mobilnya, ia segera membuka notif tersebut.15 panggilan tak terjawab 20 pesan belum terbaca[Ian, aku sudah tiba di restoran ni][Tempatnya indah banget, Ian. Aku suka][Ian, kamu kok belum datang? Macet ya][Aku tunggu di sini ya][Pramusaji udah datang nawarin menu yang kamu pesan. Tapi, aku bilang nanti tunggu kamu. Ian, kamu gak lupa kan?][Ian, kamu di mana sih? Aku sudah 30 menit di sini][Ian, kamu baik-baik saja kan?][Seharusnya kalau tidak bisa datang katakan padaku, Ian. Agar aku tidak menunggu
Pramusaji kembali datang menghampirinya.“Nona bagaimana? Menunya mau dikeluarin sekarang?” “Nanti dulu ya, dia belum datang,” jawabnya lirih matanya memandang arah pintu masuk dengan penuh harap.“Baik.” Pramusaji itu pun kembali meninggalkan dirinya. Musik mengalun merdu mengiringi suasana hatinya yang menurutnya tidak pas. Ia sedang merasa gundah gulana, sedangkan musiknya terdengar romantis. Ini justru membuat hatinya terasa teriris perih. Meski begitu ia masih berharap penuh kedatangan Adrian. Ia berharap pria itu tidak akan mengingkari janjinya. Lea telah mencoba menghubungi Adrian berkali-kali tapi sia-sia. Ia merasa ingin menangis saat ini juga. Ruangan yang sudah disulap romantis itu seketika justru terlihat menyakitkan. Detik berganti menit hingga berubah jam Adrian tak kunjung datang.Pramusaji kembali datang mendekati dirinya perihal pertanyaan yang sama. “Batalkan saja semuanya,” kata Lea dengan nada serak.“Tapi, Nona. Semua itu sudah dibayar dan kami tidak bisa untuk
“Lihatin aku ya,” tebak Adrian kemudian membuat Lea berdecak jengkel. Belum sempat ia mengelak, pria itu sudah mendaratkan tangannya untuk mengacak-acak rambutnya. “Ya sudah lanjutkan. Aku keluar dulu ya.”“Iya, Pak.”“Lea...” Di depan pintu Adrian kembali menoleh dan memanggil Lea.“Iya, Pak.”Adrian tersenyum mendengar panggilan, Lea. “Nanti malam aku ajak kamu makan di luar ya?”Lea tampak bingung karena belum jatuh weekend bukankah Adrian janjinya kalau sudah weekend. Namun, belum sempat ia bertanya Adrian kembali membuka suara untuk menjelaskannya.“Weekend nanti aku ada acara keluarga, jadi aku gak bisa ajak kamu keluar.”Lea mengangguk. “Baik.”“Dandan yang cantik,” kata Adrian mengakhiri obrolan pada pagi hari itu. Meninggalkan Lea yang masih tersenyum bak seorang gadis yang tengah kasmaran.Malam hari Lea telah bersiap dengan dress cantiknya. Untuk pertama kalinya ia akan dinner makan malam berdua dengan Lea. Entah kenapa ia merasa sangat senang. Sangking senangnya setelah pu
Tak ada yang bersuara masing-masing sibuk dengan pemikirannya, usai sesi pergumulan panas keduanya. Sampai napas keduanya menjadi normal, Adrian menarik Lea ke dalam dekapannya. Membuat perempuan itu merasa nyaman, dan sejenak lupa permasalahan yang terjadi. “Makasih banyak ya,” kata Adrian membuat Lea tersenyum mengusap lengan Adrian yang melingkar di perutnya. Sejenak mereka terdiam hingga akhirnya pria itu menarik tangannya. “Mandi dulu yuk, Le. Habis ini makan bareng, aku akan pesan makanan.”Lea menatap punggung Adrian yang menghilang di balik pintu kamar mandi. Beberapa menit setelah Adrian selesai ia bergantian masuk ke kamar mandi, membiarkan Adrian memesan makanan lebih dulu. Beberapa saat kemudian Lea sudah menata makanan. Lea berteriak memanggil Adrian, hingga pria itu datang. Keduanya makan bersama tanpa suara. “Oh ya, Le. Aku punya hadiah untukmu.” Adrian berlalu ke kamar meninggalkan Lea yang saat ini duduk di sofa setelah selesai makan. Tak berselang lama Adrian data
“Lea...” teguran seseorang membuat ia menoleh dan mendapati Evan duduk di atas motornya.“Evan.”“Udah mau pulang kan?” tanyanya lagi seraya menepuk jok motornya. “Bareng yuk. Aku anterin,” tawarnya kemudian.Lea terdiam sejenak lalu menggeleng. “Aku gak langsung pulang, Van.”“Terus mau kemana? Kebetulan hari ini aku free, tidak ada tugas kuliah juga. Ayo aku antar kemanapun kamu mau.”“Aku pengen ke makam ibu.” Ya, ia tidak sepenuhnya bohong entah kenapa saat suasana hatinya tidak baik, ia hanya ingin bertemu ibunya. “Ya udah ayo aku antar.”Lea terdiam meragu antara ingin menolak tapi terasa sungkan, mengingat beberapa kali saat ditawari tumpangan ia merasa enggan. Merasa ingin menjaga hati Adrian, tetapi untuk apa kini ia lakukan? Bukankah hubungannya akan berakhir. Pada akhirnya ia pun naik ke motor Evan dan meninggalkan kawasan kantor tersebut. Tak sadar dibelakangnya seorang pria mengepalkan kedua tangannya. “Cukup sampai di sini saja, Van. Kau langsung pulang saja. Aku lagi
Solo, Jawa Tengah“Kerjaanmu sudah beres kan?” tanya Maya pada adiknya.“Iya, sudah kelar dari kemarin.”“Tumben tidak buru-buru pulang?”“Pusing.” Adrian merebahkan kepalanya di pangkuan sang kakak. “Pijitin kepalaku sini, Kak.”“Makanya pulang minta pijitin saja sama calon istrimu.”“Jangan bahas dia lah, makin pusing saja.” Adrian memaksa tangan sang kakak untuk memijat kepalanya. Membuat Maya menghela napas panjang. “Begini kalau Mas Randy lihat kamu bisa-bisa ditarik ceburin ke kolam ikan kamu,” celetuk Maya meski begitu tangannya bergerak memijat kepala sang adik. Memang dari ketiga adiknya yang paling dekat dengannya hanya Adrian. “Dasar bucin!” cibir Adrian menarik diri dari pangkuan sang kakak, lalu memilih bersandar di sofa.“Bukan bucin tapi karena cinta. Kamu sih mana ngerti hal begituan. Tahunya cuma kerja sama menuruti kemauan orang tua. Kapan mikirin diri sendiri.” Randy yang baru dari kamar si kembar ikut menimpali. Pria yang kini menjabat sebagai Kepala Sekolah Das
Lea mengambil lembaran itu yang terisi fotonya saat memasuki mobil Adrian. Seketika jantungnya terasa berdetak lebih kencang. “Kau bahkan sudah berani memasuki mobil calon suamiku, Lea!”Tangan Lea gemetar, tapi sebisa mungkin ia harus bisa mengendalikan diri. “Maaf, Nona. Ini tidak seperti yang anda lihat. Saat itu Pak Adrian hanya memberi tumpangan tidak lebih, karena hari sudah terlalu larut.”“Lalu kenapa kau bisa duduk di depan? Seharusnya kau bahkan bisa menempatkan diri yang namanya orang menumpang!”“Maaf Nona, saat itu—”“Dengar!” Belinda memotong ucapan Lea dengan cepat. “Aku tidak ingin dengar apapun alasanmu. Tapi, kedatanganku kemari hanya ingin adalah bentuk peringatan pertama dan terakhir untukmu. Jangan pernah berpikir merebut Adrian dariku, ataupun mendekatinya. Jika, sampai hal itu ia lakukan. Kau akan wajahku sebenarnya!”Lea terdiam kaku tak bisa menyela ucapan perempuan di depannya. Ia berpikir apapun pembelaannya akan tetap salah. “Nona...”“Nyawa dan nama baikm
“Sesuai kesepakatan yang terjalin, jika perjodohan ini berjalan dengan sukses saya akan memberikan salah satu pabrik plastik saya pada anda, Pak. Dan mulai besok saya akan minta pengacara akan mengurusnya.” Adrian menatap wajah sang Papa yang tampak berbinar. Ia tahu otak sang Papa itu telah menghitung kepingan uang yang akan mereka dapatkan nanti. Tiba-tiba selera makannya lenyap begitu saja, ia mendorong piringnya ke tengah dan menyudahi makannya. Pembicaraan yang ia dengar hanya memicu kekesalan di hatinya. Ia memilih pamit undur diri menuju taman belakang. “Cie calon pengantin!” Evelyn datang menggoda dirinya, membuat Adrian bertambah kesal.“Bocil, mendingan kamu belajar.”“Enaknya ya, Kak. Dijodohkan?” tanya gadis itu polos.“Menurutmu?”Gadis itu menggeleng tanda tak mengerti, membuat Adrian mengacak-acak rambutnya gemas. “Gak usah pikirin. Nanti kalau sudah saatnya kamu juga bakalan dijodohkan, tenang saja,” kelakarnya membuat gadis itu cemberut.“Sorry ya. Aku tidak mau! Ak