Sore itu, langit mulai beranjak jingga, memancarkan warna yang seharusnya menenangkan, tetapi bagi Emily, sore itu adalah awal dari luka yang tidak akan pernah sembuh. Dia tengah beristirahat di kamarnya, membiarkan pikirannya mengembara setelah hari yang melelahkan. Namun, ketenangannya terusik ketika layar ponselnya menyala, menampilkan sebuah pesan. Itu dari Arnold. Atau lebih tepatnya, dari ponsel Arnold. Pesan itu hanya berisi satu kalimat singkat, tetapi cukup untuk membuat Emily segera bangkit dari tempat tidurnya. "Emily, datanglah ke ruang kerja sebentar." Emily tersenyum kecil. Mungkin Arnold ingin membicarakan sesuatu yang penting. Tanpa berpikir panjang, dia segera turun dari tempat tidurnya, merapikan sedikit rambutnya, lalu melangkah ke luar kamar. Dengan langkah ringan, dia berjalan menuruni tangga dan menuju ruang kerja Arnold. Pintu ruangan itu sudah terbuka. Emily tidak merasa perlu mengetuk. Dengan penuh percaya diri, dia melangkah masuk. Namun, begitu dia
Malam itu, pesta berlangsung meriah di sebuah ballroom mewah yang dipenuhi orang-orang dari kalangan terpandang. Lampu kristal yang berkilauan memantulkan cahaya ke seluruh ruangan, menciptakan suasana glamor yang begitu megah. Dentingan gelas-gelas sampanye dan suara tawa kecil terdengar di setiap sudut, mencerminkan betapa eksklusifnya acara malam itu. Di tengah keramaian, perhatian para tamu seketika teralihkan saat seorang wanita bergaun indah memasuki ruangan, ditemani seorang wanita paruh baya yang tak kalah anggun. Emily berjalan di sisi Nyonya Ruby, ibu mertuanya, dengan kepala tegak. Gaun berdada rendah yang ia kenakan adalah karya salah satu perancang terkenal, menjadikannya pusat perhatian sejak langkah pertamanya. Warna gelap elegan membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan pesona dan keanggunannya. Rambutnya disanggul rapi, memperlihatkan leher jenjangnya yang dihiasi kalung berlian yang berkilauan di bawah sorotan lampu. Dan jangan tanyakan siapa yang menyiapk
Udara di ballroom hotel berbintang lima itu terasa panas, meskipun pendingin udara sudah disetel maksimal. Namun, bukan suhu ruangan yang membuat Arnold merasa gerah—melainkan pemandangan di depan matanya. Ia mengendurkan dasinya, mencoba memberi ruang untuk bernapas lebih lega. Tapi tetap saja, dadanya terasa sesak melihat Emily dikelilingi oleh pria-pria lain. Mereka tersenyum padanya, berbicara dengan penuh ketertarikan, seolah Emily adalah pusat gravitasi yang menarik mereka semua. Dan yang paling membuat Arnold semakin gusar, Emily tampak menikmatinya. Di mana Nyonya Ruby? Entah ke mana ibunya itu pergi. Jika masih ada, mungkin Emily tidak akan seberani ini membiarkan dirinya dikelilingi para pria seperti itu. Arnold menggeram pelan, genggamannya di gelas sampanye semakin erat. "Hon," panggil Sarah dengan nada lembut. Arnold tidak merespons. Matanya tetap terpaku pada Emily, seolah hanya wanita itu yang ada di ruangan ini. Sarah mengerutkan kening, merasa diabaikan. Ia mel
Wajah Sarah jelas memancarkan kekecewaan, tetapi Arnold sepertinya tidak peduli. Pria itu tetap menatap lurus ke depan, pikirannya masih berkutat pada satu hal—Emily. Sarah mengembuskan napas kasar. Ia tahu, apa pun yang ia katakan saat ini tidak akan mengubah keadaan. Tatapan Arnold, sikapnya, bahkan caranya mengetik pesan tadi—semuanya menunjukkan satu hal: Arnold masih memikirkan wanita itu. Merasa tak ingin semakin terjebak dalam pikirannya sendiri, Sarah akhirnya memilih untuk mengeluh. "Kepalaku pusing," ujarnya pelan, suaranya terdengar lelah. Arnold menoleh sekilas, lalu melirik layar ponselnya sekali lagi, berharap ada balasan dari Emily. Namun, tidak ada. Mau tak mau, ia mendengus pelan dan menyimpan kembali ponselnya. Dengan satu tangan, ia menggenggam setir dan mulai melajukan mobil, meninggalkan basement parkir hotel. Sepanjang perjalanan, tak ada satu kata pun yang terucap. Hanya suara deru mesin mobil yang menemani mereka. Sarah menyandarkan kepalanya di kaca
Emily mengembuskan napas pelan. Ia menggigit bibir bawahnya sebelum akhirnya menyeret ibu jarinya ke layar dan menjawab panggilan itu. "Halo," ujarnya datar. Dari seberang, terdengar suara tarikan napas berat sebelum Arnold akhirnya berbicara. "Kenapa kau tidak membalas pesanku?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi. Suaranya terdengar dingin, tetapi ada ketidaksabaran yang tersirat di dalamnya. Emily mengangkat alis, meskipun pria itu tidak bisa melihatnya. "Aku membacanya," jawabnya santai. "Aku tahu," balas Arnold cepat. "Tapi kenapa tidak kau balas?" Emily tersenyum kecil, menikmati bagaimana pria itu sepertinya mulai kehilangan kendali. "Aku tidak merasa perlu melakukannya." Hening sejenak. Dari seberang, terdengar suara tarikan napas kasar. "Emily, aku menyuruhmu pulang." Nada perintahnya begitu jelas, seperti biasanya. Arnold selalu menganggap bahwa kata-katanya adalah hukum yang harus dipatuhi. Namun kali ini, Emily hanya terkekeh pelan. "Dan aku memilih untu
Cahaya pagi yang lembut menyelinap masuk melalui celah-celah tirai kamar, menerpa wajah Sarah yang masih terlelap. Ia menggeliat pelan, matanya mulai terbuka dengan kantuk yang masih tersisa.Namun, saat ia mengulurkan tangan ke sisi tempat tidur, yang ia temukan hanyalah ranjang kosong yang sudah dingin.Keningnya mengernyit.Arnold tidak ada di sana.Sarah segera bangun, rasa kantuknya langsung menguap. Semalam, setelah mandi, Arnold langsung tidur tanpa banyak bicara. Ia tidak menyentuhnya, tidak memperhatikannya seperti biasanya. Sarah berpikir mungkin pagi ini ia bisa bermanja-manja, memperbaiki keadaan yang terasa semakin renggang di antara mereka.Tapi suaminya malah menghilang.Tanpa membuang waktu, Sarah bangkit dari tempat tidur dan berjalan cepat menuju kamar mandi.“Hon?” panggilnya seraya mengetuk pintu.Tak ada jawaban.Dengan sedikit tergesa, Sarah memutar kenop pintu dan membukanya. Namun, yang ia temukan hanyalah ruangan kosong. Tak ada tanda-tanda Arnold di sana. Han
Langit masih gelap ketika Arnold terbangun dari tidurnya. Matanya menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Ia mencoba memejamkan mata lagi, tapi percuma. Pikirannya terlalu penuh. Terlalu gelisah.Emily.Nama itu terus menggema di benaknya. Wanita itu tak membalas pesannya semalam, bahkan tak mencoba menghubunginya. Arnold tahu itu bukan kebiasaan Emily.Emily selalu menunggunya, selalu siap kapan pun ia datang. Tapi kali ini, sesuatu terasa berbeda.Arnold menghela napas panjang, lalu bangkit dari tempat tidur dengan hati-hati. Ia melirik ke samping, memastikan Sarah masih tertidur pulas.Ia tidak ingin membangunkannya.Bukan karena ia merasa bersalah, tapi karena ia tahu pasti Sarah akan komplain jika tahu dirinya menyusul Emily ke hotel. Dan saat ini, Arnold tidak ingin berdebat dengan siapa pun.Dengan gerakan cepat dan tenang, ia mengambil kunci mobilnya, mengenakan jaket, lalu keluar dari kamar.Langkahnya terdengar ringan di lantai marmer, namun hatinya terasa berat.
Emily duduk di sofa dengan sikap waspada. Ia sengaja memilih duduk di sana, menjauh dari tempat tidur. Ia tidak ingin menciptakan situasi yang bisa berujung pada hal-hal yang tidak diinginkan.Sementara itu, Arnold menutup pintu dengan perlahan dan berjalan masuk. Tatapannya sulit diartikan, campuran antara sesuatu yang tak terucapkan dan emosi yang ia sembunyikan dengan baik.Hening menyelimuti ruangan sesaat.Emily melipat tangan di dadanya, menunggu Arnold berbicara lebih dulu.Pria itu menatapnya tajam sebelum akhirnya membuka suara."Kamu ingat statusmu, bukan?" tanyanya, nada suaranya tegas.Emily menatap Arnold lurus-lurus, lalu tersenyum miring. Senyum yang jelas bukan tanda kebahagiaan, melainkan kepahitan yang selama ini ia pendam."Tentu," jawabnya dengan nada ringan, tetapi ada kepedihan di baliknya. "Aku sangat mengingatnya."Arnold menunggu, tapi Emily masih diam.Hingga akhirnya, wanita itu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, menatap suaminya dengan mata tajam."Me
Melihat Emily berhenti, Nyonya Ruby ikut berhenti dan saat menyadari sayup terdengar suara Arnold, Nyonya Ruby langsung mengalihkan perhatian Emily. "Sebelum pulang apa ada yang mau Emily beli? Misalnya makanan atau apa?" Fokus Emily terpecah dan Arnold juga sudah tidak berbicara. Emily menggeleng, "Ma, apa Arnold belum datang? Maksud Emily apa dia tidak ke sini?" Emily akhirnya kembali bertanya. "Arnold belum menghubungi Mama sejak tadi, Nak. Nanti Mama telpon dia." "Jangan, Ma. Tidak usah, mungkin dia sedang sibuk." Emily kembali melanjutkan langkah kakinya menuju lift. Dia membuang jauh pikiran buruknya, 'tidak mungkin Arnold sedang dirawat, dia pasti sedang sibuk,' batinnya. Sesampainya di kediaman Nyonya Ruby. Emily dibawa ke kamar yang sudah di siapkan oleh Nyonya Ruby. Kamar yang seharusnya di tempati oleh Emily dan Arnold. Tapi karena Arnold tadi malam mengisyaratkan perpisahan dengan alasan yang cukup masuk akal, Nyonya Ruby akhirnya pasrah, setidaknya sampai d
Arnold terhuyung, namun tidak jatuh. Matanya tetap menyala penuh kemarahan. "Kau... akan menyesal..." geramnya sambil menahan sakit. Dengan sekuat tenaga, Arnold berbalik dan menghantam preman itu dengan siku hingga tersungkur. Robert melayangkan pukulan telaknya hingga membuat penjahat itu terkapar. Sirene polisi terdengar di kejauhan, setelah memastikan penjahatnya sudah aman di tangan polisi. Robert kembali berlari ke dalam dan mendapati Arnold terduduk sambil memegangi pinggangnya yang berlumuran darah. "Kita harus bertahan sedikit lagi," ujar Robert dengan napas memburu. "Emily, tolong buka ikatannya," pinta Arnold lirih. Robert mengambil pisau yang ada di meja kasir dan memotong ikatan tangan dan kaki Emily. Arnold mencoba berdiri sambil menahan perih. Dia hendak mengangkat Emily namun Robert menahan tangannya. "Biar saya saja, Tuan." Arnold menepis tangan Robert. "Jangan sentuh istriku, aku masih sanggup mengangkatnya!" Beberapa anggota kepolisian masuk dan membo
Guntur bersahutan disertai kilat yang menyambar di langit malam Kota London. Arnold baru saja sampai di hotel ketika hujan lebat mengguyur. "Kenapa perasaanku tidak enak?" gumamnya sambil melepas jas yang basah terkena rintik hujan. Arnold memikirkan Emily, istrinya. Bagaimana dia pulang kalau hujan lebat seperti ini? Biasanya, sepulang kerja, Arnold menunggu Emily hingga rumah makannya tutup dan Emily kembali ke apartemennya yang memang tidak begitu jauh. "Robert, antar aku ke rumah makan Emily. Perasaanku mendadak tidak tenang, aku takut Emily tidak bisa pulang!" Robert menoleh sebentar sebelum mengangguk. "Baik, Tuan." Dia kembali menyalakan mesin mobilnya dan melajukannya menuju rumah makan. "Kalau masih cinta, sebaiknya dipikir-pikir lagi, Tuan. Nanti menyesal kalau sudah bercerai," kata Robert sambil tetap fokus mengemudi. Arnold tersenyum tipis. "Justru karena cinta makanya aku menceraikannya. Emily menginginkan perceraian itu. Bukankah cinta tidak harus memil
Berikut adalah perbaikan teks sesuai dengani "Baik, Tuan!" Robert pasrah dengan keputusan yang dibuat oleh Arnold. Robert percaya bahwa apa pun yang diputuskan oleh Arnold pasti sudah dipikirkan dengan matang oleh sang bos. "Belajar melepaskannya, walaupun berat. Aku percaya, kalau memang dia jodohku, kami pasti akan bersama lagi." "Yang Tuan katakan benar. Siapa tahu, saat status kalian berubah, cinta itu justru hadir di hati Nyonya." "Semoga saja. Sekarang antarkan aku ke rumah. Aku harus mengambil surat pernikahan kami dan surat perjanjian kontrak. Aku akan memberikan semua haknya sebagai istriku." --- Sementara itu, di rumah makannya, setelah puas menumpahkan kesedihannya, Emily akhirnya keluar dari ruang penyimpanan. Emily duduk di belakang meja kasir sambil mengecek stok bahan yang masih tersedia. Ia mencoba untuk acuh, tetapi perkataan Robert tadi siang cukup membuat mood-nya berantakan. Bukankah Emily tidak bersalah? Arnold yang bersalah. Seharusnya dia yan
"Laki-laki yang tadi mengejar Nona." "Buang saja!" Emily keluar dari ruang penyimpanan dan mengintip dari balik tirai pembatas. Sepi, tidak ada lagi orang di luar. "Tuan itu bilang Nona harus membacanya, kalau tidak, dia akan mengirimkan surat ini setiap hari." Emily menggertakkan giginya saking kesal. Diambilnya surat yang dipegang oleh kasir rumah makannya. Emily kembali duduk di meja kasir dan membacanya. "Saat kau membaca surat ini, aku sudah pergi meninggalkan istriku yang cantik. Sayang, terima kasih makan siangnya. Hari ini adalah hari ulang tahunku, makan masakanmu adalah kado terindah di hari spesial ini. Aku mencintaimu, Nyonya Arnold Edgar." "Cih, gombalan tidak bermutu. Aku pikir dia akan bilang tidak akan lagi menggangguku." Emily meremas surat yang Arnold tulis dan melemparkannya ke bak sampah. "Kita tutup lebih cepat hari ini. Mood-ku sedang jelek." Kelima karyawannya saling bertatap, baru kali ini bos mereka bersikap aneh. Setelah menutup rumah makannya, Emi
"Apa maksudmu?" Arlen menatap Jovanka dengan tatapan jijik. Wanita ini ada di mana mana, kemarin dia mendatangi Arlen ke SBC, hari ini dia ke rumah Emily. "Aku dan kamu punya keinginan yang sama, tidak salahnya kita bekerja sama bukan?" "Kau bekerja saja sendiri, aku tidak sudi bekerja sama dengan wanita licik sepertimu!" Arlen berlalu meninggalkan Jovanka. Jovanka yang membutuhkan bantuan Arlen lantas menarik tangannya dan mencoba merayunya kembali. "Aku mohon, aku tidak punya cukup uang untuk menjalankan aksiku. Aku butuh bantuanmu untuk memisahkan Arnold dan Emily. Tidak gratis, aku akan membayarnya dengan tubuhku!" Ucapan Jovanka justru menyulut emosi Arlen. Dirinya semakin murka, bagaimana bisa dia jatuh cinta pada wanita murahan ini hingga membuat Emily menjauh darinya. "Dasar tidak tahu malu, kamu tidak punya harga diri. Jangankan harus membayar, diberi gratis pun aku tidak mau,dasar menjijikkan!" Arlen menghempaskan tangannya hingga Jovanka hampir terjatuh, un
Tidak hanya ketiga wanita yang berdekatan itu yang menatap ke arah Arnold, tapi juga pengunjung lain yang rata-rata perempuan ikut menatap ke arah laki-laki tampan dengan sejuta pesona yang kini berjalan dengan gagah menuju ke arah Emily berada, tepat di samping Jovanka dan Nyonya Ruby yang tengah berdiri. Jovanka membalik badannya, jantungnya berdebar-debar. Apa dia tidak salah dengar? Arnold barusan memanggilnya sayang? Tidak mungkinkan Arnold memanggil mamanya sayang, jadi bisa dipastikan yang dipanggil Arnold sayang adalah dirinya. Jovanka menatap kedatangan Arnold dengan senyum angkuhnya, dadanya membusung dengan dagu diangkat ke atas, para pramuniaga toko ikut menatap ke arah Jovanka sambil berbisik. "Apa itu kekasihnya? Ah beruntung sekali. Aku tidak akan menolak laki-laki setampan itu!" samar bisikan itu terdengar di telinga Jovanka dan Emily. Emily kembali menunduk dan meneruskan bacaannya. Sementara itu Jovanka sudah melebarkan tangannya bersiap menyambut Arnold ke d
Arnold mengulurkan tangannya kepada Emily namun bukannya disambut, Emily hanya menatap uluran tangan tersebut. Nyonya Ruby tersenyum, bagaimanapun juga dia sadar bahwa anaknya telah dengan sengaja menyakiti Emily. Tapi awal mula permasalahan mereka justru datang darinya. Dia yang membawa Emily masuk ke dalam rumah tangga Arnold dan Sarah. Dia yang menginginkan Emily menjadi istri Arnold di saat sang anak tengah tergila gila dengan istri psikopatnya. Jadi, dirinya juga harus ikut bertanggung jawab atas luka yang Emily rasakan. Diraihnya tangan Emily dan disatukannya dengan tangan Arnold. "Biarkan suamimu mengantarkanmu pulang!" ucapnya sembari mengusap dua tangan yang sudah bersatu itu. Seulas senyum terbit di bibir Arnold. Tapi wajah Emily masih saja datar. Emily akhirnya mengangguk dan pasrah saja saat Arnold membawanya ke mobil. Sepanjang perjalanan menuju kediaman Emily, Arnold tidak henti tersenyum, sesekali mencuri pandang ke arah Emily yang menatap lurus ke depan,
"Nyo-Nyonya tadi ke rumah mengambil kalung pemberian ibunya yang ditinggalkan nyonya di dalam lemari pakaiannya dan sekarang Nyonya berjalan menuju bus yang ada di sana," tunjuknya ke arah depan. Arnold segera masuk ke dalam mobil dan melajukan nya dengan kecepatan tinggi berharap bisa bertemu Emily dan membawanya kembali. Mobil Arnold menepi tepat di belakang Bus yang baru saja Emily masuki. "Emily!" tangannya terangkat namun kembali dijatuhkannya di atas setir. Arnold lalu memukul setir kemudinya karena kesal. Hanya terlambat beberapa detik dan dia harus kehilangan kesempatan ini. Bus melaju dengan pelan, Arnold akhirnya memutuskan untuk mengikuti bus yang membawa Emily untuk memastikan bahwa istrinya sampai ke rumah dalam keadaan selamat. Perhentian pertama, Arnold ikut menepikan mobilnya. Tidak disangka ternyata Emily turun dan berjalan menuju Mall. Arnold kembali melajukan mobilnya dan memarkirkannya di parkiran Mall dengan tetap mengikuti arah langkah Emily. Saat keluar d