Malam itu, pesta berlangsung meriah di sebuah ballroom mewah yang dipenuhi orang-orang dari kalangan terpandang. Lampu kristal yang berkilauan memantulkan cahaya ke seluruh ruangan, menciptakan suasana glamor yang begitu megah. Dentingan gelas-gelas sampanye dan suara tawa kecil terdengar di setiap sudut, mencerminkan betapa eksklusifnya acara malam itu. Di tengah keramaian, perhatian para tamu seketika teralihkan saat seorang wanita bergaun indah memasuki ruangan, ditemani seorang wanita paruh baya yang tak kalah anggun. Emily berjalan di sisi Nyonya Ruby, ibu mertuanya, dengan kepala tegak. Gaun berdada rendah yang ia kenakan adalah karya salah satu perancang terkenal, menjadikannya pusat perhatian sejak langkah pertamanya. Warna gelap elegan membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan pesona dan keanggunannya. Rambutnya disanggul rapi, memperlihatkan leher jenjangnya yang dihiasi kalung berlian yang berkilauan di bawah sorotan lampu. Dan jangan tanyakan siapa yang menyiapk
Udara di ballroom hotel berbintang lima itu terasa panas, meskipun pendingin udara sudah disetel maksimal. Namun, bukan suhu ruangan yang membuat Arnold merasa gerah—melainkan pemandangan di depan matanya. Ia mengendurkan dasinya, mencoba memberi ruang untuk bernapas lebih lega. Tapi tetap saja, dadanya terasa sesak melihat Emily dikelilingi oleh pria-pria lain. Mereka tersenyum padanya, berbicara dengan penuh ketertarikan, seolah Emily adalah pusat gravitasi yang menarik mereka semua. Dan yang paling membuat Arnold semakin gusar, Emily tampak menikmatinya. Di mana Nyonya Ruby? Entah ke mana ibunya itu pergi. Jika masih ada, mungkin Emily tidak akan seberani ini membiarkan dirinya dikelilingi para pria seperti itu. Arnold menggeram pelan, genggamannya di gelas sampanye semakin erat. "Hon," panggil Sarah dengan nada lembut. Arnold tidak merespons. Matanya tetap terpaku pada Emily, seolah hanya wanita itu yang ada di ruangan ini. Sarah mengerutkan kening, merasa diabaikan. Ia mel
Wajah Sarah jelas memancarkan kekecewaan, tetapi Arnold sepertinya tidak peduli. Pria itu tetap menatap lurus ke depan, pikirannya masih berkutat pada satu hal—Emily. Sarah mengembuskan napas kasar. Ia tahu, apa pun yang ia katakan saat ini tidak akan mengubah keadaan. Tatapan Arnold, sikapnya, bahkan caranya mengetik pesan tadi—semuanya menunjukkan satu hal: Arnold masih memikirkan wanita itu. Merasa tak ingin semakin terjebak dalam pikirannya sendiri, Sarah akhirnya memilih untuk mengeluh. "Kepalaku pusing," ujarnya pelan, suaranya terdengar lelah. Arnold menoleh sekilas, lalu melirik layar ponselnya sekali lagi, berharap ada balasan dari Emily. Namun, tidak ada. Mau tak mau, ia mendengus pelan dan menyimpan kembali ponselnya. Dengan satu tangan, ia menggenggam setir dan mulai melajukan mobil, meninggalkan basement parkir hotel. Sepanjang perjalanan, tak ada satu kata pun yang terucap. Hanya suara deru mesin mobil yang menemani mereka. Sarah menyandarkan kepalanya di kaca
Emily mengembuskan napas pelan. Ia menggigit bibir bawahnya sebelum akhirnya menyeret ibu jarinya ke layar dan menjawab panggilan itu. "Halo," ujarnya datar. Dari seberang, terdengar suara tarikan napas berat sebelum Arnold akhirnya berbicara. "Kenapa kau tidak membalas pesanku?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi. Suaranya terdengar dingin, tetapi ada ketidaksabaran yang tersirat di dalamnya. Emily mengangkat alis, meskipun pria itu tidak bisa melihatnya. "Aku membacanya," jawabnya santai. "Aku tahu," balas Arnold cepat. "Tapi kenapa tidak kau balas?" Emily tersenyum kecil, menikmati bagaimana pria itu sepertinya mulai kehilangan kendali. "Aku tidak merasa perlu melakukannya." Hening sejenak. Dari seberang, terdengar suara tarikan napas kasar. "Emily, aku menyuruhmu pulang." Nada perintahnya begitu jelas, seperti biasanya. Arnold selalu menganggap bahwa kata-katanya adalah hukum yang harus dipatuhi. Namun kali ini, Emily hanya terkekeh pelan. "Dan aku memilih untu
Cahaya pagi yang lembut menyelinap masuk melalui celah-celah tirai kamar, menerpa wajah Sarah yang masih terlelap. Ia menggeliat pelan, matanya mulai terbuka dengan kantuk yang masih tersisa.Namun, saat ia mengulurkan tangan ke sisi tempat tidur, yang ia temukan hanyalah ranjang kosong yang sudah dingin.Keningnya mengernyit.Arnold tidak ada di sana.Sarah segera bangun, rasa kantuknya langsung menguap. Semalam, setelah mandi, Arnold langsung tidur tanpa banyak bicara. Ia tidak menyentuhnya, tidak memperhatikannya seperti biasanya. Sarah berpikir mungkin pagi ini ia bisa bermanja-manja, memperbaiki keadaan yang terasa semakin renggang di antara mereka.Tapi suaminya malah menghilang.Tanpa membuang waktu, Sarah bangkit dari tempat tidur dan berjalan cepat menuju kamar mandi.“Hon?” panggilnya seraya mengetuk pintu.Tak ada jawaban.Dengan sedikit tergesa, Sarah memutar kenop pintu dan membukanya. Namun, yang ia temukan hanyalah ruangan kosong. Tak ada tanda-tanda Arnold di sana. Han
Langit masih gelap ketika Arnold terbangun dari tidurnya. Matanya menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Ia mencoba memejamkan mata lagi, tapi percuma. Pikirannya terlalu penuh. Terlalu gelisah.Emily.Nama itu terus menggema di benaknya. Wanita itu tak membalas pesannya semalam, bahkan tak mencoba menghubunginya. Arnold tahu itu bukan kebiasaan Emily.Emily selalu menunggunya, selalu siap kapan pun ia datang. Tapi kali ini, sesuatu terasa berbeda.Arnold menghela napas panjang, lalu bangkit dari tempat tidur dengan hati-hati. Ia melirik ke samping, memastikan Sarah masih tertidur pulas.Ia tidak ingin membangunkannya.Bukan karena ia merasa bersalah, tapi karena ia tahu pasti Sarah akan komplain jika tahu dirinya menyusul Emily ke hotel. Dan saat ini, Arnold tidak ingin berdebat dengan siapa pun.Dengan gerakan cepat dan tenang, ia mengambil kunci mobilnya, mengenakan jaket, lalu keluar dari kamar.Langkahnya terdengar ringan di lantai marmer, namun hatinya terasa berat.
Emily duduk di sofa dengan sikap waspada. Ia sengaja memilih duduk di sana, menjauh dari tempat tidur. Ia tidak ingin menciptakan situasi yang bisa berujung pada hal-hal yang tidak diinginkan.Sementara itu, Arnold menutup pintu dengan perlahan dan berjalan masuk. Tatapannya sulit diartikan, campuran antara sesuatu yang tak terucapkan dan emosi yang ia sembunyikan dengan baik.Hening menyelimuti ruangan sesaat.Emily melipat tangan di dadanya, menunggu Arnold berbicara lebih dulu.Pria itu menatapnya tajam sebelum akhirnya membuka suara."Kamu ingat statusmu, bukan?" tanyanya, nada suaranya tegas.Emily menatap Arnold lurus-lurus, lalu tersenyum miring. Senyum yang jelas bukan tanda kebahagiaan, melainkan kepahitan yang selama ini ia pendam."Tentu," jawabnya dengan nada ringan, tetapi ada kepedihan di baliknya. "Aku sangat mengingatnya."Arnold menunggu, tapi Emily masih diam.Hingga akhirnya, wanita itu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, menatap suaminya dengan mata tajam."Me
"Berhenti bicara omong kosong," ucap Arnold dengan nada yang lebih keras dari sebelumnya.Emily tetap duduk di tempatnya, tidak bereaksi sama sekali terhadap nada tinggi suaminya. Ia hanya menatap Arnold dengan ekspresi yang sulit ditebak.Arnold mengalihkan pandangannya, matanya menyapu sekeliling kamar, mencari sesuatu. Wine. Mungkin Emily mabuk, itulah alasan mengapa dia berbicara seenaknya pagi ini.Tapi, tidak ada botol wine, tidak ada gelas anggur. Kamar ini bersih, rapi, tanpa tanda-tanda Emily mengonsumsi alkohol.Kening Arnold berkerut. Kalau bukan karena mabuk, lalu apa yang membuat Emily berbicara seperti ini?Dengan kesal, Arnold bangkit dari sofa dan berjalan ke arah nakas di samping tempat tidur. Tangannya langsung mengambil handphone Emily yang tergeletak di sana.Emily mengangkat alis. "Apa yang kamu lakukan?"Arnold tidak menjawab, matanya sudah sibuk menelusuri layar ponsel itu.Ia menemukan sesuatu yang membuat dadanya terasa panas seketika.Ada banyak panggilan tak
"Katakan apa itu?" Arnold tidak kalah antusias. Dia juga ikut tersenyum saat melihat Emily tersenyum lebar. Setelah apa yang terjadi pada Emily tadi malam—mimpi buruk, tangisan tertahan, dan tatapan kosong yang begitu dalam—senyum lebarnya membuat Arnold bisa sedikit melupakan kepedihannya. Seolah senyum itu adalah cahaya pertama setelah malam yang panjang. "Tutup matamu," pinta Emily sambil mengusap rahang tegas Arnold. Sentuhan lembut jarinya menyapu bulu-bulu halus yang tumbuh tidak teratur karena Arnold pasti tidak mencukurnya beberapa hari ini. Emily selalu menyukai sisi acak Arnold yang satu ini, tampak maskulin namun tetap tenang dan penuh kehangatan. "Baiklah, cepat beritahu aku kejutannya." Arnold menutup matanya dengan patuh, menarik napas panjang seolah ingin menyerap momen bahagia itu sedalam mungkin. Senyum manis masih terukir di bibirnya, begitu tulus dan penuh harapan. Emily menoleh sesaat ke arah Sally yang berdiri tidak jauh dari mereka. Sally, sahabat sekaligus
Emily menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Rasa mual yang datang tiba-tiba membuat tubuhnya melemas. Ia bergegas menuju wastafel dan memuntahkan seluruh isi perutnya tanpa bisa ditahan. Nafasnya tersengal-sengal, bahunya naik turun menahan ketidaknyamanan. Di sampingnya, Arnold yang sedari tadi menemaninya sigap mengusap punggung istrinya, mencoba memberikan ketenangan. "Apa buburnya tidak enak?" tanyanya lembut, meski wajahnya menyiratkan kekhawatiran. Emily menggeleng pelan. "Enak, mungkin aku masuk angin... atau karena tadi malam aku tidak sempat makan." Suaranya terdengar lemah. Setelah merasa lebih baik dan mualnya sedikit mereda, Emily kembali ke tempat tidur, wajahnya masih pucat. "Makan lagi ya, Sayang," bujuk Arnold, mengangkat sendok dengan penuh harap. Emily menggeleng lagi, lebih tegas kali ini. "Aku benar-benar tidak selera." Arnold tidak menyerah. "Apa mau makan yang lain?" Dia tidak ingin membiarkan Emily melewati waktu makan, terlebih sekarang ia tengah men
Mendengar perkataan Papa William, Arnold tersenyum miring. Senyum sinis yang tak menutupi betapa getir hatinya. Bisa-bisanya, pikir Arnold, Papa William masih saja bertindak semaunya. Walau dia kepala keluarga dan Arnold hanyalah anaknya, bukan berarti setiap kata-kata sang ayah adalah perintah mutlak yang harus dituruti. "Arnold tidak akan pernah kembali lagi ke Maurer!" ucapnya tegas, sorot matanya tak main-main. Dulu, dia mungkin akan menuruti apa pun—menikahi Emily karena permintaan orang tua, menjalankan perusahaan keluarga tanpa banyak tanya. Tapi sekarang, semua itu sudah berubah. "Papa sudah tua, Nak. Kalau bukan kamu, lantas siapa lagi yang akan menjalankannya?" suara Papa William pelan, lebih kepada nada memohon daripada perintah. Ada getar halus yang tertangkap di ujung kalimatnya—ketakutan akan kehilangan, atau mungkin penyesalan. "Maaf, Pa. Arnold benar-benar tidak bisa." Jawabannya tegas namun lembut. Bukan untuk melukai hati ayahnya, tapi karena dia tahu, sudah wa
Kilat kebencian jelas terlihat di mata Arnold. Tanpa ragu, dia langsung berdiri dari sisi ranjang Emily dan melangkah cepat ke arah dua sosok yang kini berdiri di ambang pintu. Setiap langkahnya penuh kemarahan yang tertahan sejak lama. "Untuk apa lagi kau kemari?" tanyanya dingin, suaranya penuh nada penghinaan. Tatapannya menusuk tajam pada Nicho, yang wajahnya masih dipenuhi bekas pukulan—bengkak, memar, dan sedikit mengering. Luka yang belum genap seminggu, dan masih terasa panas. Masih mending, pikir Arnold sinis. Masih mending dia tidak membunuh Nicho saat itu, atau menyeretnya ke kantor polisi. Hanya karena dia masih menghormati Papa William, pria tua itu, ayah mereka berdua, yang masih punya tempat di hatinya—meski hanya sedikit. "Kakakmu ingin meminta maaf, Arnold." Papa William melangkah maju, mencoba menjembatani dua anak lelakinya yang kini terpecah oleh sejarah kelam. Ia melihat kedua tangan Arnold yang terkepal kuat di sisi tubuhnya. Wajah Arnold mengeras seperti
Dokter itu tampak melirik sekilas ke arah kertas yang ada di depannya, lalu menarik napas dalam sebelum membuka mulutnya. "Kehamilannya masih sangat muda, kurang lebih satu minggu," ucapnya dengan suara yang terkontrol, "sehingga siklus bulanannya pun belum terlambat. Saya tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya, tapi ada pembengkakan di perut dalam Nyonya Emily. Apa Nyonya Emily pernah mengalami semacam kecelakaan atau trauma di perut?" Arnold mengangguk pelan, tatapannya menerawang sejenak, seperti menggali ingatan yang sudah lama terkubur. "Dia pernah kecelakaan saat hamil dan mengalami keguguran... mungkin perutnya menghantam salah satu bagian mobil dengan keras." Suara Arnold terdengar berat. Kenangan itu menghantamnya seperti badai yang datang tiba-tiba. Saat itu, dia tidak memperdulikan kondisi Emily, bahkan menyalahkannya karena keguguran yang terjadi. Kesalahan itu terus menghantuinya, walau tak pernah ia akui dengan lantang. "Tapi itu sudah lama, Dokter. Setahun yang lal
Perjalanan menuju rumah sakit terasa sangat lama, padahal jaraknya tidak lebih dari satu kilometer. Di dalam mobil yang melaju dengan cepat, suasana begitu tegang. Arnold tak henti-hentinya melirik ke arah Emily yang terbaring lemah di jok belakang. Napasnya terdengar pelan dan tidak stabil. Sesekali, Arnold mengusap kening perempuan itu yang terasa sedikit hangat. "Jangan sakit, sayang," gumamnya pelan, lebih kepada doa daripada ucapan. Suaranya nyaris tak terdengar, tenggelam dalam deru mesin mobil. Setelah beberapa menit yang terasa seperti jam, mobil berbelok tajam memasuki halaman ST. Thomas Hospital, rumah sakit yang sama di mana Nyonya Ruby, ibu mertua Arnold, tengah dirawat karena kondisi kritisnya. Pintu mobil nyaris belum terbuka sempurna ketika dua orang perawat yang berjaga di lobi langsung datang membawa brankar. Mereka bergerak cepat, profesional, namun tetap waspada melihat raut panik di wajah Arnold. Mereka hendak mengangkat tubuh Emily, namun tiba-tiba Arnold me
Ucapan menjijikkan itu membuat Emily bergidik ngeri. Sedangkan Arnold? Rahangnya sudah semakin mengetat. Otot-otot lengannya sampai menyembul dan bersiap memberi hantaman maksimal untuk pria tidak tahu diuntung itu, Nicho. “Tak akan!” seru Arnold mendekat hendak memberi pukulan lagi ke sosok di depannya. Namun Nicho kali ini sudah bersiap. Dia bisa menghindar lalu menendang perut Arnold. “Aaaa!” pekik Emily melihat suaminya terhuyung ke belakang. “Sabar, Emily. Kita akan melanjutkan aksi menyenangkan tadi setelah aku melumpuhkan pria pengganggu ini.” Nicho berucap dengan senyum Lucifer yang menyeramkan. Tidak bisa dibiarkan. Arnold kembali maju memberi pukulan. Hingga beberapa saat mereka saling menepis. Hal itu membuat Emily ketakutan. Bagaimana kalau Arnold tidak datang lalu dia menjadi santapan pria gila itu, Emily bisa bisa gila kalau sampai dirinya disentuh oleh laki laki lain. Sampai pada titik Arnold akhirnya menendang belakang lutut Nicho sampai rivalnya terjatuh
Emily melangkah mundur saat Nicho berjalan ke arahnya. "Diam di sana! Aku mohon lepaskan aku!" Emily mencoba membujuk kakak iparnya. "Kenapa kau menolakku? Aku kaya dan tampan. Tinggalkan saja suamimu yang tidak punya pekerjaan itu Emily." "Tidak!" Nicholas menghela nafasnya dalam, dia menghentikan langkahnya dan bersedekap. "Apa yang kau inginkan? Perhiasan? Uang? Katakan! Aku akan memberikannya kepadamu asalkan kau dengan sukarela menceraikan Arnold dan menikah denganku." Emily menggeleng, "aku hanya ingin Arnold! Dia jauh lebih berarti dibandingkan dengan uangmu Tuan Nicholas!" "Jangan munafik Emily, semua orang menyukai uang. Atau kau takut aku tidak bisa memuaskanmu, hmm?" Mendengar pertanyaan Nicho yang menjijikkan itu, Emily semakin geram, kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya. "Kau sungguh menjijikkannya!" "Oh suaramu sangat merdu saat mengumpat, aku yakin desahannya jauh lebih merdu." Nicho kembali melangkahkan kakinya mendekati Emily yang semakin
Prang!! Gelas yang ada di tangan Arnold tiba-tiba terlepas dan meluncur bebas ke lantai. Suara pecahan kaca memantul di seluruh ruangan, seiring dengan detak jantung Arnold yang mendadak berdetak tak beraturan. "Mama!" Arnold menoleh dengan panik ke arah ranjang rumah sakit. Sosok yang dicintainya, Nyonya Ruby, tampak meringis kesakitan, tubuhnya sedikit menggeliat di atas ranjang. Dengan langkah tergesa, Arnold menghampiri ibunya yang perlahan-lahan mulai siuman. "Mama," panggilnya lembut di sela rintihan lirih Nyonya Ruby yang masih memejamkan mata. Kelopak mata itu kemudian terbuka perlahan. Tatapan sayunya mengarah pada wajah Arnold yang tengah menggenggam jemarinya erat. Tangan itu masih pucat, namun terasa hangat. Kehangatan itulah yang membuat Arnold ingin terus bertahan di sampingnya. "Mama, syukurlah Mama sudah sadarkan diri!" ucap Arnold, hampir menangis. Rasa cemas yang sejak tadi menghimpit dadanya perlahan sirna, tergantikan dengan kelegaan yang menyejukkan. Namun