Mata Arjuna membulat. Bibirnya menganga tak percaya. Jantungnya bergemuruh.“Kasus ini sempat naik ke pengadilan, karena warga yang selamat menuduh Barathaland Group memanipulasi keadaan … akibat protes penggusuran yang dilayangkan warga.”Arjuna menelan ludah. Tiba-tiba ia terngiang dengan kalimat yang terlontar dari mulut Arwan. “Proyek itu memakan banyak korban karena keserakahan seseorang—bukan hak yang diberikan melainkan hanya penderitaan banyak orang.”“Namun—tidak sampai satu minggu, kasus tiba-tiba ditutup.”“Karena?”Kris tak menjawab, ia menggedikkan bahu. Banyak hal yang belum diketahui sepenuhnya. “Tapi selama ini tak ada pemberitaan yang berarti tentang ini?”“Kau benar—itu karena dalang di balik kasus ini sangat kuat dan memiliki pengaruh yang besar.”“Siapa?”Kris menggeleng. Ia pun tak tahu sejauh itu. Arjuna menelan ludah. Hatinya tiba-tiba sakit. Bagaimana jika Anjani tahu bahwa kematian orang tuanya ada sangkut paut dengan Barathaland Group. Pria itu menyandarkan
Derap langkah kaki terdengar mendekat, namun, Anjani tetap bergeming sambil terus mengusap perut bagian bawah. Ia menerka apakah dirinya … hamil?“Hei. Kau melamun?”Sepasang tangan melingkar, menimpa punggung tangan gadis yang tengah meraba perutnya. Anjani masih tak begitu yakin. Ia lantas memandang pria itu dari pantulan cermin, senyumnya mengembang, begitupun sebaliknya. Arjuna yang lebih tinggi darinya, menempatkan dagu di bahu itu, membuat Anjani terasa berat. “Kau sudah bangun?” Tangan kanan Anjani meraih kepala pria itu, mengusapnya dengan lembut tanpa berbalik. Dari pantulan cermin itu, Anjani bisa melihat Arjuna yang hanya berbalut handuk di bagian tubuh bawah. Pria itu mengangguk. Anjani memandangi otot lengan Arjuna yang tampak kekar meski tak sebesar binaragawan—dengan tubuh itulah dirinya bisa merasakan kehangatan sehingga berhasil membuat ia jatuh hati sampai saat ini. Gadis di balik cermin itu tersadar dari lamunan kotornya di pagi hari. “Cepat mandi—jika tidak kau
“Anda harus memperbanyak asupan gizi serta harus selalu bahagia … tak boleh stress, ya,” terang Mia menekankan kalimat ‘tak boleh stress’. Dan ketika itu pula Anjani tersenyum, mengingat bahwa Arjuna telah berubah, hatinya tak perlu khawatir tentang itu.“Tuan Arjuna, pasti sangat menyayangi anda … terlihat dari senyum yang tak kunjung pudar di wajah itu,” goda dokter Mia menandaskan penjelasannya.Anjani membawa langkah kakinya menjauh dari ruang dokter kandungan. Sejak kepergiannya tadi … Anjani tak berhenti memancarkan senyum bahagia. Hatinya begitu berbunga-bunga. Sesekali ia memandang sebuah hasil USG berwarna hitam putih. “I love you, Nak,” gumam Anjani sambil mencium potret jabang bayinya. Langkahnya gegas menuju lobi yang mana sebuah mobil telah menunggunya. Dalam perjalanan menuju kantor … Anjani masih hanyut dalam kebahagiaan, ia terus tersenyum sambil memandang hasil USG tersebut. Tanpa ia sadari, seorang pengawal, mengamatinya dari pantulan kaca spion, memandang istri sa
“Kau sudah kembali?” suara khas itu membuat Anjani terkejut, kontan tubuhnya melonjak, lantas ia gegas menaruh kembali amplop coklat di antara tumpukan berkas lain. Mata yang memandang … menaruh tatapan curiga, melihat gelagat aneh gadis tersebut, hingga ia menerka ada sesuatu yang tak beres.“Apa hasil kontrol tadi?” Anjani bangkit—ia tak membiarkan Arjuna menghampiri mejanya. Malah sebaliknya, gadis itu berjalan cepat ke arah sang suami yang berada tak jauh dari gawang pintu. Setelahnya, tersenyum. “Tidak ada masalah … dokter hanya menyarankan untuk rutin cek takut ada pergeseran saat … berhubungan,” terangnya yang jelas berbohong. Tubuhnya gemetar, terlihat sekali bahwa Anjani merasa gugup. Arjuna menatap mata sang istri yang tengah memainkan jas dirinya, tanpa berani menatap kembali matanya, hingga menimbulkan tanda tanya yang cukup besar. Tak ingin mengambil pusing, Arjuna lantas hanya memendam rasa curiga itu lalu membentuk O pada bibirnya. “Ada apa? Tidak biasanya kau datang?
“Apa kau tahu tentang keadian … lima tahun lalu—” tanya pria itu menggantung dengan wajah datar.Naomi memandang tak mengerti. Tentang … kejadian lima tahun lalu? Naomi menerka, kepalanya miring ke kiri seolah mengingat apa yang terjadi lima tahun lalu. Ingatannya ketika memutar memori tentang tragedi yang menimpa kedua orangtua Anjani.“Tentang kedua orang tua Anjani,” ungkap Arjuna dengan lirih, tepat, menjawab apa yang ada di otak Naomi. Gadis itu mendekat lalu duduk di depan kursi kebesaran Arjuna. Ia menaruh dokumen yang baru saja ingin dilaporkan, lantas menyilangkan kaki kanannya. Memandang Arjuna dengan tatapan penuh tanya. “Kau tahu tentang itu?”Bukan memberinya jawaban, Naomi menghujani dengan pertanyaan-pertanyaan. Arjuna yang semula menopang kepala dengan kedua tangan, lantas duduk tegak, melihat sorot mata Naomi penuh makna. Arjuna pun mengangguk hingga membuat sahabatnya memandang kosong ke belakang. “Kebakaran yang menimpa keluarga gadis itu di kediamannya … tentu t
Satu jam sebelum acara rapat dimulai, Anjani meraih dokumen yang sempat ia abaikan selama satu minggu, sejujurnya ia ragu, namun rasa penasaran terus bergelayut di pikirannya. Kau harus membaca dokumen tersebut sebelum rapat akhir tahun dimulai, Anjani. Terlebih lagi, Anjani teringat pesan yang dikirimkan oleh Zivaa dua puluh menit lalu … hingga berhasil menumbuhkan kembali rasa ingin tahu yang sempat tertunda. Sejak seminggu lalu, ia telah berusaha melupakannya, namun, melihat Zivaa begitu mendesaknya, membuat Anjani semakin penasaran. Ia bukan tidak tahu tentang kelicikan wanita itu, hanya saja, Anjani merasa perlu melihat dokumen tersebut, setidaknya, untuk mengetahui apa yang ingin disampaikan oleh Zivaa. Seharusnya tidak masalah bukan? Ia hanya perlu menolak, jika memang ternyata isi dokumen itu tidak masuk akal. Anjani menghela nafas—sebelum akhirnya ia memberanikan diri. Beberapa lembar kertas menyembul dari dalam amplop coklat itu, halaman pertama lembar kertas yang terliha
Pukul 15.30 WIB setelah rapat tahunan berakhir, Arjuna duduk di kursi kebesarannya dengan emosi tertahan. Kris berjajar bersama lima pengawal dengan wajah tertunduk lesu. Mereka tak berani memandang mata yang kini tengah mengintimidasi. “Tuan—biar aku—”Kris menelan ludah, mencoba mengklarifikasi, namun, ucapannya tertahan. “Psssst!”Arjuna meletakkan satu ibu jari di depan bibirnya. Tatapan membunuh telah mengudara, membuat suhu ruangan yang dingin seketika memanas. “Jangan bicara sebelum aku perintahkan!” bentak Arjuna.Detik berlalu. Arjuna tak mengizinkan siapapun berbicara, tapi, berada dalam posisi seperti itu, membuat Kris dan lima pengawalnya seketika bergidik ngeri. Arjuna pasti akan membunuhnya karena telah membiarkan Anjani pergi entah kemana. Tak lama kemudian, Naomi melangkah, memasuki ruangan. Ekspresinya tak begitu terkejut melihat pria-pria yang berjajar disana, mengingat apa yang terjadi hari ini karena kelalaian mereka.“Kau tak perlu khawatir, Arjuna … Anjani bai
“Tuan … aku menemukan keberadaannya,” ujar Kris membawa angin segar bagi Arjuna saat itu, setelah seharian Arjuna merasa hatinya kosong. Kepergian Anjani yang begitu tiba-tiba membuat dirinya tak berhenti mencemaskan gadis itu.“Dimana?”Kris memberikan alamat hotel yang kini ditempati sang istri. Karena, Anjani memang tak memiliki tujuan. Orang tua—ia tak punya. Sanak saudara pun tak ada. Anjani hanya berdiri sendiri di atas pijakan kakinya. Semua beban yang dimiliki, seolah harus ia telan sendiri. Dengan rasa cemas, Arjuna beranjak, meraih jas di kursi lalu meninggalkan Kris. “Jangan ada yang mengikutiku!” titah Arjuna, berlalu dengan dingin. Kris memahami kekhawatiran Arjuna. Jika bukan karena pengawalnya yang lalai dalam menjalankan tugas, Arjuna tidak akan sedingin itu terhadapnya. Kris pun menghela nafas berat. “Maafkan aku, Arjuna,” gumam Kris menatap kepergian Arjuna. ***Tiba di hotel bintang lima—daerah kota hujan, Bogor, tempat persembunyian Anjani. Namun, seberapa jau