Satu jam sebelum acara rapat dimulai, Anjani meraih dokumen yang sempat ia abaikan selama satu minggu, sejujurnya ia ragu, namun rasa penasaran terus bergelayut di pikirannya. Kau harus membaca dokumen tersebut sebelum rapat akhir tahun dimulai, Anjani. Terlebih lagi, Anjani teringat pesan yang dikirimkan oleh Zivaa dua puluh menit lalu … hingga berhasil menumbuhkan kembali rasa ingin tahu yang sempat tertunda. Sejak seminggu lalu, ia telah berusaha melupakannya, namun, melihat Zivaa begitu mendesaknya, membuat Anjani semakin penasaran. Ia bukan tidak tahu tentang kelicikan wanita itu, hanya saja, Anjani merasa perlu melihat dokumen tersebut, setidaknya, untuk mengetahui apa yang ingin disampaikan oleh Zivaa. Seharusnya tidak masalah bukan? Ia hanya perlu menolak, jika memang ternyata isi dokumen itu tidak masuk akal. Anjani menghela nafas—sebelum akhirnya ia memberanikan diri. Beberapa lembar kertas menyembul dari dalam amplop coklat itu, halaman pertama lembar kertas yang terliha
Pukul 15.30 WIB setelah rapat tahunan berakhir, Arjuna duduk di kursi kebesarannya dengan emosi tertahan. Kris berjajar bersama lima pengawal dengan wajah tertunduk lesu. Mereka tak berani memandang mata yang kini tengah mengintimidasi. “Tuan—biar aku—”Kris menelan ludah, mencoba mengklarifikasi, namun, ucapannya tertahan. “Psssst!”Arjuna meletakkan satu ibu jari di depan bibirnya. Tatapan membunuh telah mengudara, membuat suhu ruangan yang dingin seketika memanas. “Jangan bicara sebelum aku perintahkan!” bentak Arjuna.Detik berlalu. Arjuna tak mengizinkan siapapun berbicara, tapi, berada dalam posisi seperti itu, membuat Kris dan lima pengawalnya seketika bergidik ngeri. Arjuna pasti akan membunuhnya karena telah membiarkan Anjani pergi entah kemana. Tak lama kemudian, Naomi melangkah, memasuki ruangan. Ekspresinya tak begitu terkejut melihat pria-pria yang berjajar disana, mengingat apa yang terjadi hari ini karena kelalaian mereka.“Kau tak perlu khawatir, Arjuna … Anjani bai
“Tuan … aku menemukan keberadaannya,” ujar Kris membawa angin segar bagi Arjuna saat itu, setelah seharian Arjuna merasa hatinya kosong. Kepergian Anjani yang begitu tiba-tiba membuat dirinya tak berhenti mencemaskan gadis itu.“Dimana?”Kris memberikan alamat hotel yang kini ditempati sang istri. Karena, Anjani memang tak memiliki tujuan. Orang tua—ia tak punya. Sanak saudara pun tak ada. Anjani hanya berdiri sendiri di atas pijakan kakinya. Semua beban yang dimiliki, seolah harus ia telan sendiri. Dengan rasa cemas, Arjuna beranjak, meraih jas di kursi lalu meninggalkan Kris. “Jangan ada yang mengikutiku!” titah Arjuna, berlalu dengan dingin. Kris memahami kekhawatiran Arjuna. Jika bukan karena pengawalnya yang lalai dalam menjalankan tugas, Arjuna tidak akan sedingin itu terhadapnya. Kris pun menghela nafas berat. “Maafkan aku, Arjuna,” gumam Kris menatap kepergian Arjuna. ***Tiba di hotel bintang lima—daerah kota hujan, Bogor, tempat persembunyian Anjani. Namun, seberapa jau
Arjuna mematung. Ia lantas beranjak sambil membelakangi sang istri yang masih terbaring. Sebelah tangannya tak henti memijat kepala yang dirasa mau pecah. Arjuna sungguh tak percaya. “Bagaimana bisa?”Setelah keterkejutannya—Arjuna merasa murka. Ada yang janggal terasa. Dan benar saja, Kris mengatakan bahwa kematian pria itu memang janggal. Jika bunuh diri, seharusnya mata dan lidah menjadi tak wajar. Namun—tidak dengan mendiang Arwan. Meski tubuhnya menggantung, tak ada tanda-tanda bahwa kematiannya terjadi karena bunuh diri. Arjuna menghela nafas kasar, memejamkan mata, menetralkan emosi yang memuncak. Saksi satu-satunya kejadian lima tahun lalu kini lenyap. Arjuna pun merutuki keterlambatannya. “Cari tahu penyebab kematiannya … dan jika perlu—minta pihak berwajib untuk melakukan otopsi.”“Baik,” tandas Kris mengakhiri sambungan telepon tersebut.Sayup-sayup Anjani mendengar kegentingan yang menusuk telinga. Ia melihat kegelisahan di wajah Arjuna yang tengah berlalu lalang di sis
Kediaman Nirwasita, sore hari.“Kau tak boleh masuk, Nyonya—”“Diam kalian!”Zivaa menerobos masuk ke dalam kediaman ibu mertuanya. Kini ia berhasil lolos dari pengawal di gawang pintu—dengan wajah penuh amarah. Pandangannya mengitari seluruh penjuru ruangan, mencari keberadaan nenek tua itu. “Bu … kau dimana? Aku ingin bicara!”Seperti kerasukan, Zivaa melangkah kesana kemari. Suara heels yang berderap, seolah memberi peringatan. Beberapa pengawal sudah berdiri di depan ruang kerja Nirwasita. Tak lama—wanita tua itu muncul dari balik ruang kerjanya.“Ada apa ini? Kegaduhan apa yang telah kau ciptakan disini?”Tok … tok … tok …Suara tongkat bergetar dibersamai langkah kaki Nirwasita. Mereka memandang dalam jarak satu meter.“Bukankah kau tahu maksud kedatanganku, Bu?”Nirwasita hanya diam. “Aku ingin mengambil semua milik mendiang Yudhistira, kurasa kau paham akan hal itu!”Saat berikutnya, Nirwasita tersenyum sinis. “Memangnya kau ini siapa?” tantang Nirwasita lantas disoroti oleh
Hari itu—senyum mulai terpancar dari wajah Anjani. Hatinya seolah sejuk karena keberadaan Sinta disisinya. Lelucon dan bualan-bualan gadis itu membuat hari-hari Anjani lebih berharga, disaat Arjuna tak bisa menemaninya. Sinta kerap menguatkan Anjani, ia selalu berusaha membuka mata hati Anjani untuk bisa melihat segala kebaikan yang telah Arjuna berikan, sehingga kehidupan pernikahan mereka akan lebih harmonis. Gadis itu bisa menebak—bahwa Anjani dan Arjuna memang sedang tidak baik-baik saja. Hal itu karena isu pembunuhan yang dilakukan Barathaland Group terhadap kedua orang tuanya. Sinta menyesali itu. “Anjani—” panggil Sinta saat tengah mengupas buah apel di tepi ranjang. Dan saat itu pula Anjani menoleh, menyahut panggilan sahabatnya. Sinta terlihat ragu. Apakah baik-baik saja jika ia ungkapkan disaat kondisi Anjani seperti ini? Tapi, sudah tidak ada waktu untuk mengulurnya. Anjani pantas untuk bahagia. “Kau tahu—Tuan Arwan …”Sinta menggantungkan ucapan itu. Tatapannya memanda
Hari selanjutnya, Arjuna memasukkan laporan kejahatan Zivaa. Dengan bantuan Naomi dan bagian legal, semua dokumen yang ada di brangkas mendiang Arwan berserta surat sebelum kematiannya, diserahkan kepada pihak berwajib sebagai bukti. Kini, mereka hanya perlu menunggu tindakan hukum dijalankan. Sejak mengetahui kehamilan sang istri, Arjuna belum sempat memberi perhatian lebih karena suatu hal tak terduga. Tapi, takdir baik telah menghampiri. Arjuna dan Anjani tak lagi memikirkan kejadian lima tahun lalu. Biar proses hukum yang menyelesaikannya. Pagi itu, sinar mentari terlihat sangat cerah, meski telah menyusup dari celah-celah tirai kamar, tak membuat Anjani gegas beranjak dari ranjangnya. Kehamilannya ini sungguh telah membuat Anjani menjadi malas beraktifitas. Jika bisa, Anjani ingin sekali tidak lagi masuk ke kantor. Arjuna yang baru selesai dengan urusannya di kamar mandi, lantas menghampiri sang istri. Masih mengenakan bathrobe, Arjuna duduk di tepi ranjang, bersiku dengan seb
Setelah memeriksakan kehamilannya, Anjani dan Arjuna menjenguk Nenek yang masih terbaring lemah. Sudah seminggu berlalu, namun, Nirwasita masih memerlukan alat untuk tetap bertahan hidup. Selang masuk ke mulutnya dan detak jantung dipantau melalui layar monitor. Penyakit dan usia memang tidak bisa membohongi bahwa kini nyawanya tengah ada di antara hidup dan mati. “Nek … buka matamu, kumohon! Lihatlah … ini calon cicitmu … lucu ‘kan?”Di tepi ranjang, Anjani menunjukkan hasil USG dengan air mata mengambang. Meski Nirwasita masih terpejam, Anjani berharap neneknya bisa mendengar apa yang ia ungkapkan disana. Sejak awal, Nirwasita sangat menantikan kehadiran seorang cicit, namun, takdir sungguh tak bisa ditentukan. Dengan memelas, Arjuna mengusap lembut, pucuk kepala istrinya.“Nenek akan baik-baik saja, kau tak perlu cemas,” ucap Arjuna meyakinkan Anjani dan dirinya sendiri. Anjani mengangguk pelan, air mata tak mampu ia bendung. Rasa rindu memenuhi raganya. Ia rindu kasih sayang san
Di tengah perbincangan yang santai, ketiga gadis yang saling bersahabat mulai mengarah pada Anjani. Salah satunya, Naomi. Setelah Raina tertidur di stroller, Naomi tak henti mengamati kedekatan Sadewa dan Chayra di sisi tembok yang sedang mereka warnai. Meski gadis cilik di hadapannya itu sangat terlihat tenang dan fokus terhadap aktivitasnya, tapi Sadewa sesekali menggoda dengan menggores tinta ke pipinya.“Sadewa!”Suster dari keluarga Hoover pun menenangkan sang majikan, ia berlutut dan mengelus dada gadis cilik tersebut.Naomi dibuat penasaran dengan kedekatan itu. Tak sekali dua kali pula Kris mengatakan tentang perjodohan keluarga Barathawardana dan Hoover.“Jadi, benar?”Naomi mencondongkan tubuhnya seraya bertanya pelan. Sementara Kayla hanya mengamati kedua orang yang sudah
“Sadewa apa yang kau lakukan! Kembalikan!”Seorang gadis cilik bermata biru mengerang kesal ketika anak laki-laki itu mengambil boneka dari tangannya lalu berlari mengelilingi ruangan tersebut. Wajahnya begitu bahagia mengerjai gadis sebaya yang rambutnya dikuncir dua.“Sadewa ….”Sang ibu yang tengah membantu bibi Sri di dapur mengingatkan dengan datar. Sementara ayah mereka tengah berdiskusi di ruang tamu. Ketika kedua anak itu saling berlari dan terus kejar mengejar melewati Arjuna dan Jarvis, senyum terbit diantara pria dewasa disana.Arjuna berhasil menangkap Sadewa yang melewati jalan kosong di hadapannya.“Hap! Tertangkap!” seru Arjuna.Sementara Chayra merajuk diatas pangkuan sang ayah.“Ayah ….”“Tidak apa-apa, Sayang. Sadewa hanya ingin bermain denganmu.”“Sadewa, kau tidak boleh seperti itu, ya, Nak.”Anjani yang baru
“Berjanjilah untuk bersikap hangat padaku ….”Di tengah nafas yang memburu, mata mereka saling memandang lekat.“Ya, aku berjanji!”Tak lama kemudian, Rama pun melanjutkan ciuman panas mereka. Bibir saling bertaut dibersamai saliva yang bertukar hangat membuat hasrat mereka kian membara. Rama tak lagi ingat bahwa ia takut akan sebuah komitmen. Gejolak primitifnya kian membara, membuat dirinya tak bisa mengendalikan naluri yang terus membawanya jauh. Mereka menyatu dengan cepat bersama suara indah yang menusuk ke telinga. Lambat laun, Kayla mulai merasa bahwa ia pun tak bisa menolak permainan itu. Jemarinya menyusuri kulit punggung sang pria, sesekali tanpa sadar ia mencakarnya kuat.“Ah!”Rama terus bergerak dengan tempo yang cepat seraya menciuminya tanpa ampun.“Hmmmmmp!”“I gonna crazy because of you, Kay ….”Di tengah desakan yang kian memunc
Kayla melangkah dengan tergesa ketika lift telah mengantarkannya ke lantai dasar. Ia gegas melangkah dengan tergesa. Beberapa pegawai yang melihatnya langsung menundukkan kepala seraya menghormati. Ketika berhasil melewati pintu lobi yang berputar dan hampir menarik handle pintu mobil yang terparkir disana, seseorang menahan jemarinya.“Biar aku antar,” ucap pria itu.Kayla menatap tangannya yang hangat dalam genggaman. Lalu, ia menatap pria itu dengan dalam. Sungguh! Ingin rasanya ia mencaci. Namun, ia tak mampu lakukan itu. Faktanya gengsi wanita memang lebih besar. Dan Kayla, menyingkirkan genggaman itu dengan tangannya yang lain.“Tidak perlu.”Gadis itu hendak menarik kembali handle pintu tersebut. Namun, lagi-lagi tertahan.“Jangan keras kepala!”“Tsk!”Kayla berdecih sambil memalingkan wajahnya ke arah lain.“Jangan sok peduli!”
“Kau mau mandi bersama?”Kris mengerlingkan mata pada gadis yang kini telah resmi menyandang status sebagai istrinya. Naomi yang tengah berbaring disisinya, lantas menoleh. Pipi pun jadi merona seketika. Ini bukan kali pertama—tapi mendengar pertanyaan itu membuat gemuruh jantungnya berdetak hebat.“Eung …”Tak butuh jawaban dari wanita itu. Kris langsung beranjak lalu membopong gadis itu hingga Naomi terpekik karena gerakan yang begitu tiba-tiba.“Kyaaaaaaaa!”Meskipun begitu, Naomi begitu merasa dicintai. Tak pernah menyangka bahwa pria yang selama ini bekerjasama dengannya sebagai rekan kerja, menjadi pasangan seumur hidupnya.Waktu berlalu begitu saja—entah sejak kapan mereka telah berada dalam kondisi yang polos dan saling berpangkuan di atas bathup. Meski udara dingin menusuk tulang, keduanya justru dibasahi oleh peluh yang bercampur dengan air busa di bathup ters
“Apa kau sudah menikah?” Jantung Rama seketika diremas, setiap kali bertemu orang dan di usianya yang menginjak kepala tiga—pertanyaan tentang pernikahan selalu mengiang di telinganya. Padahal, mereka ke tempat itu untuk membicarakan soal bisnis. Tapi, Tuan Hoover seolah memancing adrenalin-nya. Rama melirik ke arah Arjuna yang tersenyum tipis, seperti orang yang sangat bahagia atas penderitaan orang lain. “I-tuuuu,” gumam Rama. Sebenarnya ia bisa saja menjawab bahwa sudah ada calon dan akan segera melangsungkan pernikahan. Tapi bibirnya terasa kaku. “Sayangnya, aku tak mungkin memberikan putriku untukmu, Rama ….” “Apa?” “Apa?” Kontan Arjuna dan Rama membeliak. “Karena Chayra sudah milik Sadewa.” Lelucon macam apa itu, Rama hampir mencelos mendengar pernyataan Jarvis. Ternyata ia hanya bergurau. ‘Ya Tuhan … lelucon macam apa itu.’ Rama bermonolog lalu tersenyum tipis. Di tengah makan mal
Memandang wajah Rama yang berubah pias membuat Kayla tersenyum dibalik Zivaa yang penuh mengisi layar ponsel itu. Zivaa dan Sadewa seolah sengaja membuat Rama tak berkutik dengan menggodanya.“Ayolah, Paman! Jangan membuat Bibi Kayla menunggu lebih lama lagi.”“Eung …”Di ujung panggilan video itu, terlihat Rama yang terus menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia terdengar menghela nafas berkali-kali.“Sudahlah, kalian jangan terus menerus menggoda Paman Rama.”Anjani meraih ponsel itu dari wajah Zivaa dan mengembalikannya pada Kayla. Ia lantas merebut Sadewa dalam genggaman sang ibu mertua.“Bu, biarkan Kayla berbicara dengan Rama. Mereka pasti saling merindukan,” goda Anjani.Lantas ia beranjak menuju kamar Sadewa.“Ayo, Bu!”Zivaa pun mengangguk dan berpindah dari ruang keluarga menuju kamar anak bayi itu. Setelah kedua orang itu berlalu dan menghilang dari pandangan. Kayla lantas menatap layar ponsel itu dengan senyum tak biasa.“Kau menertawakanku?” “Tidak. Hanya saja … lucu.”“Ap
Dalam perjalanan menuju bandara, Rama tak berhenti diam. Ia terus mendengus sambil sesekali mengecek ponselnya. Hasrat yang belum tuntas dan rasa rindu pun sudah menggebu bahkan sebelum ia benar-benar meninggalkan tanah air. Arjuna yang sedari tadi mengamati, hanya bisa menggelengkan kepala. Dasar si keras kepala itu. Ia tidak ingin cepat-cepat menikahi wanita yang sudah jelas dicintai.“Baru saja bertemu, kau sudah rindu?”Rama pun menoleh hingga matanya bersirobok di udara dengan Arjuna.“Ya?”“Kau itu terlalu gengsi!”“Apa?”Tak lama suara gelak tawa memenuhi penjuru mobil. Arjuna terlihat begitu puas menertawai sang adik yang jelas-jelas tengah dilanda frustasi.“Ada yang lucu?” tanya Rama kesal karena ditertawai begitu saja.“Sikapmu yang lucu! Kau tidak ingin menikahinya cepat-cepat, tapi kau dengan lihai melakukan permainan di kantor. Aku sampai merinding—hih!”“Shut up!”Meski mereka pernah berseteru, tapi setiap kali Arjuna mengolok-olok Rama, tak ada lagi kecanggungan dianta
“Apa kau setuju jika Sadewa dijodohkan dengan rekan bisnisku?”Mata gadis itu membola. Seketika Anjani terperanjat hingga tanpa sadar mendorong tubuh Arjuna menjauh.“Kau gila?”“Tenanglah!” seru Arjuna dengan senyum tak biasa, membuat Anjani semakin tak tenang. Bagaimana mungkin bayi yang belum genap sebulan sudah ingin dijodohkan? Apa suaminya ini gila?Anjani tak berhenti menggeleng sambil menatap mata sang suami dengan tajam.“Dia Tuan Hoover yang akan menginvestasikan dananya untuk proyek Paradise.”“Paradise?”“Ya, setelah semua sengketa clear tak ada alasan untuk menunda pembangunan bukan?”Anjani termangu. Tiba-tiba sorot matanya meredup. Bagaimanapun tanah itu, pernah berdiri sebuah bangunan yang penuh kenangan. Tapi, semua sudah berlalu. Anjani seharusnya tak lagi mengingat itu sementara ia sudah memiliki Arjuna dan Sadewa di sisinya.“Kenapa?”Arjuna seolah tahu apa yang dipikirkan oleh sang istri. Ia menengadahkan wajah sang istri lalu menangkup pipi serta mengusapnya lemb