Arjuna mematung. Ia lantas beranjak sambil membelakangi sang istri yang masih terbaring. Sebelah tangannya tak henti memijat kepala yang dirasa mau pecah. Arjuna sungguh tak percaya. “Bagaimana bisa?”Setelah keterkejutannya—Arjuna merasa murka. Ada yang janggal terasa. Dan benar saja, Kris mengatakan bahwa kematian pria itu memang janggal. Jika bunuh diri, seharusnya mata dan lidah menjadi tak wajar. Namun—tidak dengan mendiang Arwan. Meski tubuhnya menggantung, tak ada tanda-tanda bahwa kematiannya terjadi karena bunuh diri. Arjuna menghela nafas kasar, memejamkan mata, menetralkan emosi yang memuncak. Saksi satu-satunya kejadian lima tahun lalu kini lenyap. Arjuna pun merutuki keterlambatannya. “Cari tahu penyebab kematiannya … dan jika perlu—minta pihak berwajib untuk melakukan otopsi.”“Baik,” tandas Kris mengakhiri sambungan telepon tersebut.Sayup-sayup Anjani mendengar kegentingan yang menusuk telinga. Ia melihat kegelisahan di wajah Arjuna yang tengah berlalu lalang di sis
Kediaman Nirwasita, sore hari.“Kau tak boleh masuk, Nyonya—”“Diam kalian!”Zivaa menerobos masuk ke dalam kediaman ibu mertuanya. Kini ia berhasil lolos dari pengawal di gawang pintu—dengan wajah penuh amarah. Pandangannya mengitari seluruh penjuru ruangan, mencari keberadaan nenek tua itu. “Bu … kau dimana? Aku ingin bicara!”Seperti kerasukan, Zivaa melangkah kesana kemari. Suara heels yang berderap, seolah memberi peringatan. Beberapa pengawal sudah berdiri di depan ruang kerja Nirwasita. Tak lama—wanita tua itu muncul dari balik ruang kerjanya.“Ada apa ini? Kegaduhan apa yang telah kau ciptakan disini?”Tok … tok … tok …Suara tongkat bergetar dibersamai langkah kaki Nirwasita. Mereka memandang dalam jarak satu meter.“Bukankah kau tahu maksud kedatanganku, Bu?”Nirwasita hanya diam. “Aku ingin mengambil semua milik mendiang Yudhistira, kurasa kau paham akan hal itu!”Saat berikutnya, Nirwasita tersenyum sinis. “Memangnya kau ini siapa?” tantang Nirwasita lantas disoroti oleh
Hari itu—senyum mulai terpancar dari wajah Anjani. Hatinya seolah sejuk karena keberadaan Sinta disisinya. Lelucon dan bualan-bualan gadis itu membuat hari-hari Anjani lebih berharga, disaat Arjuna tak bisa menemaninya. Sinta kerap menguatkan Anjani, ia selalu berusaha membuka mata hati Anjani untuk bisa melihat segala kebaikan yang telah Arjuna berikan, sehingga kehidupan pernikahan mereka akan lebih harmonis. Gadis itu bisa menebak—bahwa Anjani dan Arjuna memang sedang tidak baik-baik saja. Hal itu karena isu pembunuhan yang dilakukan Barathaland Group terhadap kedua orang tuanya. Sinta menyesali itu. “Anjani—” panggil Sinta saat tengah mengupas buah apel di tepi ranjang. Dan saat itu pula Anjani menoleh, menyahut panggilan sahabatnya. Sinta terlihat ragu. Apakah baik-baik saja jika ia ungkapkan disaat kondisi Anjani seperti ini? Tapi, sudah tidak ada waktu untuk mengulurnya. Anjani pantas untuk bahagia. “Kau tahu—Tuan Arwan …”Sinta menggantungkan ucapan itu. Tatapannya memanda
Hari selanjutnya, Arjuna memasukkan laporan kejahatan Zivaa. Dengan bantuan Naomi dan bagian legal, semua dokumen yang ada di brangkas mendiang Arwan berserta surat sebelum kematiannya, diserahkan kepada pihak berwajib sebagai bukti. Kini, mereka hanya perlu menunggu tindakan hukum dijalankan. Sejak mengetahui kehamilan sang istri, Arjuna belum sempat memberi perhatian lebih karena suatu hal tak terduga. Tapi, takdir baik telah menghampiri. Arjuna dan Anjani tak lagi memikirkan kejadian lima tahun lalu. Biar proses hukum yang menyelesaikannya. Pagi itu, sinar mentari terlihat sangat cerah, meski telah menyusup dari celah-celah tirai kamar, tak membuat Anjani gegas beranjak dari ranjangnya. Kehamilannya ini sungguh telah membuat Anjani menjadi malas beraktifitas. Jika bisa, Anjani ingin sekali tidak lagi masuk ke kantor. Arjuna yang baru selesai dengan urusannya di kamar mandi, lantas menghampiri sang istri. Masih mengenakan bathrobe, Arjuna duduk di tepi ranjang, bersiku dengan seb
Setelah memeriksakan kehamilannya, Anjani dan Arjuna menjenguk Nenek yang masih terbaring lemah. Sudah seminggu berlalu, namun, Nirwasita masih memerlukan alat untuk tetap bertahan hidup. Selang masuk ke mulutnya dan detak jantung dipantau melalui layar monitor. Penyakit dan usia memang tidak bisa membohongi bahwa kini nyawanya tengah ada di antara hidup dan mati. “Nek … buka matamu, kumohon! Lihatlah … ini calon cicitmu … lucu ‘kan?”Di tepi ranjang, Anjani menunjukkan hasil USG dengan air mata mengambang. Meski Nirwasita masih terpejam, Anjani berharap neneknya bisa mendengar apa yang ia ungkapkan disana. Sejak awal, Nirwasita sangat menantikan kehadiran seorang cicit, namun, takdir sungguh tak bisa ditentukan. Dengan memelas, Arjuna mengusap lembut, pucuk kepala istrinya.“Nenek akan baik-baik saja, kau tak perlu cemas,” ucap Arjuna meyakinkan Anjani dan dirinya sendiri. Anjani mengangguk pelan, air mata tak mampu ia bendung. Rasa rindu memenuhi raganya. Ia rindu kasih sayang san
“Kumohon bangun, Nek!”Hari itu langit mendung. Tepat menjelang petang, Nirwasita wafat di usia 71 tahun. Segerombolan orang berseragam putih pun berdatangan, membuat suasana jadi sangat memilukan. Keesokan hari—setelah pemakaman, Arjuna terdiam di kursi kerja Nirwasita. Dalam ruang gelap itu, Arjuna memandang potret pigura di sudut meja, memperlihatkan potret keluarga Barathawardana yang sesungguhnya, Nirwasita, Baratha, Yudhistira, Sivaa, dan Arjuna kecil. Tak menyangka, bahwa potret itu tetap dipajang meski keharmonisan keluarganya telah hilang. Arjuna tertegun. Hatinya kembali merasa hampa, padahal kepergian mendiang Nirwasita belum genap dua puluh empat jam. Pandangan Arjuna pun kosong, pikirannya melayang, memutar waktu saat dirinya dan Rama ada disana, di kamar rumah sakit, sebelum Nirwasita pergi untuk selamanya.Arjuna dan Rama mendekat. Keduanya berdiri di sisi masing-masing ranjang. Keduanya memandang wajah sang nenek dalam jarak yang begitu dekat. Nirwasita menggenggam ta
“Kau—mau menemuinya?” tawar Anjani, mencoba memastikan. Setelah kematian Nirwasita, Anjani harus berjuang agar tercipta kekeluargaan yang erat antara Arjuna dan Rama.Arjuna tak menjawab hingga satu kecupan di bibirnya mengejutkan pria itu.“Kuanggap kau setuju,”Anjani menyimpulkan dan pria itu tersenyum tipis sambil memalingkan wajahnya, tersipu.“Kau sedang menggodaku, ya?”Tatapan tajam menusuk netra Anjani, ia melihat senyum tipis itu berubah menjadi senyuman nakal. Setelahnya, Anjani tak berkutik mendapat sentuhan demi sentuhan yang lembut—bagaimana tidak, Anjani tengah hamil muda hingga membuat Arjuna takut dan merasa serba salah. Malam itu, ia melakukannya dengan hati-hati. Kecupan mendarat di leher jenjang sang gadis, membuat Anjani terbuai—mata terpejam … tubuhnya merasakan kehangatan sang suami—yang entah sejak kapan pakaian itu sudah tanggal. Malam berlanjut dengan melodi indah percintaan. Baik Anjani maupun Arjuna mencoba saling berbagi kasih sayang.***“Lagi-lagi Tuanmu
“Mari … berteman—dan melangkah bersama-sama…”Rama terkesiap. Matanya membulat namun terlihat binar yang tak mampu diungkap dengan sepatah kata. Apa ia tak salah dengar? Bibirnya ingin berucap, namun, rahangnya begitu sulit bergerak. Pandanganya silih berganti menyapu tatapan Arjuna dan Anjani disana. Di saat berikutnya, Anjani mengangguk pelan seraya berisyarat “terima saja”. Tak ada jawaban, Arjuna melangkah dengan cepat menuju kaki adiknya berpijak. Sedetik kemudian, bukan pelukan yang nampak dari mereka, melainkan sebuah pukulan yang mendarat di perut Rama saat itu. Sentak pria itu pun meringis, tas yang tersampir di bahunya lantas terjatuh. Seketika itu pula, Anjani terkejut. Matanya membulat sambil menutup mulut. “Sayang—”“Itu pukulan terakhir dariku—karena kau telah menyebabkan kekacauan antara diriku dan kakak iparmu,” terang Arjuna, setelah itu, Arjuna memeluk Rama dengan erat. “Aku harap kau bisa berubah menjadi lebih baik, Bro.”Tak mampu berkata-kata, Rama pun terharu,