Kediaman Nirwasita, sore hari.“Kau tak boleh masuk, Nyonya—”“Diam kalian!”Zivaa menerobos masuk ke dalam kediaman ibu mertuanya. Kini ia berhasil lolos dari pengawal di gawang pintu—dengan wajah penuh amarah. Pandangannya mengitari seluruh penjuru ruangan, mencari keberadaan nenek tua itu. “Bu … kau dimana? Aku ingin bicara!”Seperti kerasukan, Zivaa melangkah kesana kemari. Suara heels yang berderap, seolah memberi peringatan. Beberapa pengawal sudah berdiri di depan ruang kerja Nirwasita. Tak lama—wanita tua itu muncul dari balik ruang kerjanya.“Ada apa ini? Kegaduhan apa yang telah kau ciptakan disini?”Tok … tok … tok …Suara tongkat bergetar dibersamai langkah kaki Nirwasita. Mereka memandang dalam jarak satu meter.“Bukankah kau tahu maksud kedatanganku, Bu?”Nirwasita hanya diam. “Aku ingin mengambil semua milik mendiang Yudhistira, kurasa kau paham akan hal itu!”Saat berikutnya, Nirwasita tersenyum sinis. “Memangnya kau ini siapa?” tantang Nirwasita lantas disoroti oleh
Hari itu—senyum mulai terpancar dari wajah Anjani. Hatinya seolah sejuk karena keberadaan Sinta disisinya. Lelucon dan bualan-bualan gadis itu membuat hari-hari Anjani lebih berharga, disaat Arjuna tak bisa menemaninya. Sinta kerap menguatkan Anjani, ia selalu berusaha membuka mata hati Anjani untuk bisa melihat segala kebaikan yang telah Arjuna berikan, sehingga kehidupan pernikahan mereka akan lebih harmonis. Gadis itu bisa menebak—bahwa Anjani dan Arjuna memang sedang tidak baik-baik saja. Hal itu karena isu pembunuhan yang dilakukan Barathaland Group terhadap kedua orang tuanya. Sinta menyesali itu. “Anjani—” panggil Sinta saat tengah mengupas buah apel di tepi ranjang. Dan saat itu pula Anjani menoleh, menyahut panggilan sahabatnya. Sinta terlihat ragu. Apakah baik-baik saja jika ia ungkapkan disaat kondisi Anjani seperti ini? Tapi, sudah tidak ada waktu untuk mengulurnya. Anjani pantas untuk bahagia. “Kau tahu—Tuan Arwan …”Sinta menggantungkan ucapan itu. Tatapannya memanda
Hari selanjutnya, Arjuna memasukkan laporan kejahatan Zivaa. Dengan bantuan Naomi dan bagian legal, semua dokumen yang ada di brangkas mendiang Arwan berserta surat sebelum kematiannya, diserahkan kepada pihak berwajib sebagai bukti. Kini, mereka hanya perlu menunggu tindakan hukum dijalankan. Sejak mengetahui kehamilan sang istri, Arjuna belum sempat memberi perhatian lebih karena suatu hal tak terduga. Tapi, takdir baik telah menghampiri. Arjuna dan Anjani tak lagi memikirkan kejadian lima tahun lalu. Biar proses hukum yang menyelesaikannya. Pagi itu, sinar mentari terlihat sangat cerah, meski telah menyusup dari celah-celah tirai kamar, tak membuat Anjani gegas beranjak dari ranjangnya. Kehamilannya ini sungguh telah membuat Anjani menjadi malas beraktifitas. Jika bisa, Anjani ingin sekali tidak lagi masuk ke kantor. Arjuna yang baru selesai dengan urusannya di kamar mandi, lantas menghampiri sang istri. Masih mengenakan bathrobe, Arjuna duduk di tepi ranjang, bersiku dengan seb
Setelah memeriksakan kehamilannya, Anjani dan Arjuna menjenguk Nenek yang masih terbaring lemah. Sudah seminggu berlalu, namun, Nirwasita masih memerlukan alat untuk tetap bertahan hidup. Selang masuk ke mulutnya dan detak jantung dipantau melalui layar monitor. Penyakit dan usia memang tidak bisa membohongi bahwa kini nyawanya tengah ada di antara hidup dan mati. “Nek … buka matamu, kumohon! Lihatlah … ini calon cicitmu … lucu ‘kan?”Di tepi ranjang, Anjani menunjukkan hasil USG dengan air mata mengambang. Meski Nirwasita masih terpejam, Anjani berharap neneknya bisa mendengar apa yang ia ungkapkan disana. Sejak awal, Nirwasita sangat menantikan kehadiran seorang cicit, namun, takdir sungguh tak bisa ditentukan. Dengan memelas, Arjuna mengusap lembut, pucuk kepala istrinya.“Nenek akan baik-baik saja, kau tak perlu cemas,” ucap Arjuna meyakinkan Anjani dan dirinya sendiri. Anjani mengangguk pelan, air mata tak mampu ia bendung. Rasa rindu memenuhi raganya. Ia rindu kasih sayang san
“Kumohon bangun, Nek!”Hari itu langit mendung. Tepat menjelang petang, Nirwasita wafat di usia 71 tahun. Segerombolan orang berseragam putih pun berdatangan, membuat suasana jadi sangat memilukan. Keesokan hari—setelah pemakaman, Arjuna terdiam di kursi kerja Nirwasita. Dalam ruang gelap itu, Arjuna memandang potret pigura di sudut meja, memperlihatkan potret keluarga Barathawardana yang sesungguhnya, Nirwasita, Baratha, Yudhistira, Sivaa, dan Arjuna kecil. Tak menyangka, bahwa potret itu tetap dipajang meski keharmonisan keluarganya telah hilang. Arjuna tertegun. Hatinya kembali merasa hampa, padahal kepergian mendiang Nirwasita belum genap dua puluh empat jam. Pandangan Arjuna pun kosong, pikirannya melayang, memutar waktu saat dirinya dan Rama ada disana, di kamar rumah sakit, sebelum Nirwasita pergi untuk selamanya.Arjuna dan Rama mendekat. Keduanya berdiri di sisi masing-masing ranjang. Keduanya memandang wajah sang nenek dalam jarak yang begitu dekat. Nirwasita menggenggam ta
“Kau—mau menemuinya?” tawar Anjani, mencoba memastikan. Setelah kematian Nirwasita, Anjani harus berjuang agar tercipta kekeluargaan yang erat antara Arjuna dan Rama.Arjuna tak menjawab hingga satu kecupan di bibirnya mengejutkan pria itu.“Kuanggap kau setuju,”Anjani menyimpulkan dan pria itu tersenyum tipis sambil memalingkan wajahnya, tersipu.“Kau sedang menggodaku, ya?”Tatapan tajam menusuk netra Anjani, ia melihat senyum tipis itu berubah menjadi senyuman nakal. Setelahnya, Anjani tak berkutik mendapat sentuhan demi sentuhan yang lembut—bagaimana tidak, Anjani tengah hamil muda hingga membuat Arjuna takut dan merasa serba salah. Malam itu, ia melakukannya dengan hati-hati. Kecupan mendarat di leher jenjang sang gadis, membuat Anjani terbuai—mata terpejam … tubuhnya merasakan kehangatan sang suami—yang entah sejak kapan pakaian itu sudah tanggal. Malam berlanjut dengan melodi indah percintaan. Baik Anjani maupun Arjuna mencoba saling berbagi kasih sayang.***“Lagi-lagi Tuanmu
“Mari … berteman—dan melangkah bersama-sama…”Rama terkesiap. Matanya membulat namun terlihat binar yang tak mampu diungkap dengan sepatah kata. Apa ia tak salah dengar? Bibirnya ingin berucap, namun, rahangnya begitu sulit bergerak. Pandanganya silih berganti menyapu tatapan Arjuna dan Anjani disana. Di saat berikutnya, Anjani mengangguk pelan seraya berisyarat “terima saja”. Tak ada jawaban, Arjuna melangkah dengan cepat menuju kaki adiknya berpijak. Sedetik kemudian, bukan pelukan yang nampak dari mereka, melainkan sebuah pukulan yang mendarat di perut Rama saat itu. Sentak pria itu pun meringis, tas yang tersampir di bahunya lantas terjatuh. Seketika itu pula, Anjani terkejut. Matanya membulat sambil menutup mulut. “Sayang—”“Itu pukulan terakhir dariku—karena kau telah menyebabkan kekacauan antara diriku dan kakak iparmu,” terang Arjuna, setelah itu, Arjuna memeluk Rama dengan erat. “Aku harap kau bisa berubah menjadi lebih baik, Bro.”Tak mampu berkata-kata, Rama pun terharu,
Dua minggu sebelumnya… “Sudah lama Ibu tak mendengar kabar Anjani … gadis itu baik-baik saja, ‘kan?”Seorang wanita paruh baya memandang sang putra dengan penuh harap. Matanya menelisik gerak-gerak pria itu yang enggan menoleh padanya. Terlihat sekali bahwa pria tersebut tengah menyibukkan diri memandang layar macbook—entah apa yang dikerjakan olehnya, seakan ia tengah menghindari perbincangan tentang gadis yang dimaksud. “Ammar … apa kau mendengar Ibu?”Ammar hanya mengangguk, namun enggan menjawab pertanyaan tersebut. Sejujurnya, Ammar hanya merasa bahwa Anjani banyak berubah. Setelah insiden di acara launching, hatinya mulai berkecamuk, seakan tak lagi ingin mempercayai gadis itu. Rasanya ingin sekali marah—tapi apa daya … perasaannya tak bisa bohong bahwa Ammar masih sangat mencintai gadis itu. “Ammar—Ibu rindu dengannya,” tutur sang ibu dengan logat melayu yang kental. “Ibu … Anjani sudah punya kehidupan sendiri—dia sudah menikah, Bu!” Kesal karena terlalu didesak, akhirnya
Di tengah perbincangan yang santai, ketiga gadis yang saling bersahabat mulai mengarah pada Anjani. Salah satunya, Naomi. Setelah Raina tertidur di stroller, Naomi tak henti mengamati kedekatan Sadewa dan Chayra di sisi tembok yang sedang mereka warnai. Meski gadis cilik di hadapannya itu sangat terlihat tenang dan fokus terhadap aktivitasnya, tapi Sadewa sesekali menggoda dengan menggores tinta ke pipinya.“Sadewa!”Suster dari keluarga Hoover pun menenangkan sang majikan, ia berlutut dan mengelus dada gadis cilik tersebut.Naomi dibuat penasaran dengan kedekatan itu. Tak sekali dua kali pula Kris mengatakan tentang perjodohan keluarga Barathawardana dan Hoover.“Jadi, benar?”Naomi mencondongkan tubuhnya seraya bertanya pelan. Sementara Kayla hanya mengamati kedua orang yang sudah
“Sadewa apa yang kau lakukan! Kembalikan!”Seorang gadis cilik bermata biru mengerang kesal ketika anak laki-laki itu mengambil boneka dari tangannya lalu berlari mengelilingi ruangan tersebut. Wajahnya begitu bahagia mengerjai gadis sebaya yang rambutnya dikuncir dua.“Sadewa ….”Sang ibu yang tengah membantu bibi Sri di dapur mengingatkan dengan datar. Sementara ayah mereka tengah berdiskusi di ruang tamu. Ketika kedua anak itu saling berlari dan terus kejar mengejar melewati Arjuna dan Jarvis, senyum terbit diantara pria dewasa disana.Arjuna berhasil menangkap Sadewa yang melewati jalan kosong di hadapannya.“Hap! Tertangkap!” seru Arjuna.Sementara Chayra merajuk diatas pangkuan sang ayah.“Ayah ….”“Tidak apa-apa, Sayang. Sadewa hanya ingin bermain denganmu.”“Sadewa, kau tidak boleh seperti itu, ya, Nak.”Anjani yang baru
“Berjanjilah untuk bersikap hangat padaku ….”Di tengah nafas yang memburu, mata mereka saling memandang lekat.“Ya, aku berjanji!”Tak lama kemudian, Rama pun melanjutkan ciuman panas mereka. Bibir saling bertaut dibersamai saliva yang bertukar hangat membuat hasrat mereka kian membara. Rama tak lagi ingat bahwa ia takut akan sebuah komitmen. Gejolak primitifnya kian membara, membuat dirinya tak bisa mengendalikan naluri yang terus membawanya jauh. Mereka menyatu dengan cepat bersama suara indah yang menusuk ke telinga. Lambat laun, Kayla mulai merasa bahwa ia pun tak bisa menolak permainan itu. Jemarinya menyusuri kulit punggung sang pria, sesekali tanpa sadar ia mencakarnya kuat.“Ah!”Rama terus bergerak dengan tempo yang cepat seraya menciuminya tanpa ampun.“Hmmmmmp!”“I gonna crazy because of you, Kay ….”Di tengah desakan yang kian memunc
Kayla melangkah dengan tergesa ketika lift telah mengantarkannya ke lantai dasar. Ia gegas melangkah dengan tergesa. Beberapa pegawai yang melihatnya langsung menundukkan kepala seraya menghormati. Ketika berhasil melewati pintu lobi yang berputar dan hampir menarik handle pintu mobil yang terparkir disana, seseorang menahan jemarinya.“Biar aku antar,” ucap pria itu.Kayla menatap tangannya yang hangat dalam genggaman. Lalu, ia menatap pria itu dengan dalam. Sungguh! Ingin rasanya ia mencaci. Namun, ia tak mampu lakukan itu. Faktanya gengsi wanita memang lebih besar. Dan Kayla, menyingkirkan genggaman itu dengan tangannya yang lain.“Tidak perlu.”Gadis itu hendak menarik kembali handle pintu tersebut. Namun, lagi-lagi tertahan.“Jangan keras kepala!”“Tsk!”Kayla berdecih sambil memalingkan wajahnya ke arah lain.“Jangan sok peduli!”
“Kau mau mandi bersama?”Kris mengerlingkan mata pada gadis yang kini telah resmi menyandang status sebagai istrinya. Naomi yang tengah berbaring disisinya, lantas menoleh. Pipi pun jadi merona seketika. Ini bukan kali pertama—tapi mendengar pertanyaan itu membuat gemuruh jantungnya berdetak hebat.“Eung …”Tak butuh jawaban dari wanita itu. Kris langsung beranjak lalu membopong gadis itu hingga Naomi terpekik karena gerakan yang begitu tiba-tiba.“Kyaaaaaaaa!”Meskipun begitu, Naomi begitu merasa dicintai. Tak pernah menyangka bahwa pria yang selama ini bekerjasama dengannya sebagai rekan kerja, menjadi pasangan seumur hidupnya.Waktu berlalu begitu saja—entah sejak kapan mereka telah berada dalam kondisi yang polos dan saling berpangkuan di atas bathup. Meski udara dingin menusuk tulang, keduanya justru dibasahi oleh peluh yang bercampur dengan air busa di bathup ters
“Apa kau sudah menikah?” Jantung Rama seketika diremas, setiap kali bertemu orang dan di usianya yang menginjak kepala tiga—pertanyaan tentang pernikahan selalu mengiang di telinganya. Padahal, mereka ke tempat itu untuk membicarakan soal bisnis. Tapi, Tuan Hoover seolah memancing adrenalin-nya. Rama melirik ke arah Arjuna yang tersenyum tipis, seperti orang yang sangat bahagia atas penderitaan orang lain. “I-tuuuu,” gumam Rama. Sebenarnya ia bisa saja menjawab bahwa sudah ada calon dan akan segera melangsungkan pernikahan. Tapi bibirnya terasa kaku. “Sayangnya, aku tak mungkin memberikan putriku untukmu, Rama ….” “Apa?” “Apa?” Kontan Arjuna dan Rama membeliak. “Karena Chayra sudah milik Sadewa.” Lelucon macam apa itu, Rama hampir mencelos mendengar pernyataan Jarvis. Ternyata ia hanya bergurau. ‘Ya Tuhan … lelucon macam apa itu.’ Rama bermonolog lalu tersenyum tipis. Di tengah makan mal
Memandang wajah Rama yang berubah pias membuat Kayla tersenyum dibalik Zivaa yang penuh mengisi layar ponsel itu. Zivaa dan Sadewa seolah sengaja membuat Rama tak berkutik dengan menggodanya.“Ayolah, Paman! Jangan membuat Bibi Kayla menunggu lebih lama lagi.”“Eung …”Di ujung panggilan video itu, terlihat Rama yang terus menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia terdengar menghela nafas berkali-kali.“Sudahlah, kalian jangan terus menerus menggoda Paman Rama.”Anjani meraih ponsel itu dari wajah Zivaa dan mengembalikannya pada Kayla. Ia lantas merebut Sadewa dalam genggaman sang ibu mertua.“Bu, biarkan Kayla berbicara dengan Rama. Mereka pasti saling merindukan,” goda Anjani.Lantas ia beranjak menuju kamar Sadewa.“Ayo, Bu!”Zivaa pun mengangguk dan berpindah dari ruang keluarga menuju kamar anak bayi itu. Setelah kedua orang itu berlalu dan menghilang dari pandangan. Kayla lantas menatap layar ponsel itu dengan senyum tak biasa.“Kau menertawakanku?” “Tidak. Hanya saja … lucu.”“Ap
Dalam perjalanan menuju bandara, Rama tak berhenti diam. Ia terus mendengus sambil sesekali mengecek ponselnya. Hasrat yang belum tuntas dan rasa rindu pun sudah menggebu bahkan sebelum ia benar-benar meninggalkan tanah air. Arjuna yang sedari tadi mengamati, hanya bisa menggelengkan kepala. Dasar si keras kepala itu. Ia tidak ingin cepat-cepat menikahi wanita yang sudah jelas dicintai.“Baru saja bertemu, kau sudah rindu?”Rama pun menoleh hingga matanya bersirobok di udara dengan Arjuna.“Ya?”“Kau itu terlalu gengsi!”“Apa?”Tak lama suara gelak tawa memenuhi penjuru mobil. Arjuna terlihat begitu puas menertawai sang adik yang jelas-jelas tengah dilanda frustasi.“Ada yang lucu?” tanya Rama kesal karena ditertawai begitu saja.“Sikapmu yang lucu! Kau tidak ingin menikahinya cepat-cepat, tapi kau dengan lihai melakukan permainan di kantor. Aku sampai merinding—hih!”“Shut up!”Meski mereka pernah berseteru, tapi setiap kali Arjuna mengolok-olok Rama, tak ada lagi kecanggungan dianta
“Apa kau setuju jika Sadewa dijodohkan dengan rekan bisnisku?”Mata gadis itu membola. Seketika Anjani terperanjat hingga tanpa sadar mendorong tubuh Arjuna menjauh.“Kau gila?”“Tenanglah!” seru Arjuna dengan senyum tak biasa, membuat Anjani semakin tak tenang. Bagaimana mungkin bayi yang belum genap sebulan sudah ingin dijodohkan? Apa suaminya ini gila?Anjani tak berhenti menggeleng sambil menatap mata sang suami dengan tajam.“Dia Tuan Hoover yang akan menginvestasikan dananya untuk proyek Paradise.”“Paradise?”“Ya, setelah semua sengketa clear tak ada alasan untuk menunda pembangunan bukan?”Anjani termangu. Tiba-tiba sorot matanya meredup. Bagaimanapun tanah itu, pernah berdiri sebuah bangunan yang penuh kenangan. Tapi, semua sudah berlalu. Anjani seharusnya tak lagi mengingat itu sementara ia sudah memiliki Arjuna dan Sadewa di sisinya.“Kenapa?”Arjuna seolah tahu apa yang dipikirkan oleh sang istri. Ia menengadahkan wajah sang istri lalu menangkup pipi serta mengusapnya lemb