Dua minggu sebelumnya… “Sudah lama Ibu tak mendengar kabar Anjani … gadis itu baik-baik saja, ‘kan?”Seorang wanita paruh baya memandang sang putra dengan penuh harap. Matanya menelisik gerak-gerak pria itu yang enggan menoleh padanya. Terlihat sekali bahwa pria tersebut tengah menyibukkan diri memandang layar macbook—entah apa yang dikerjakan olehnya, seakan ia tengah menghindari perbincangan tentang gadis yang dimaksud. “Ammar … apa kau mendengar Ibu?”Ammar hanya mengangguk, namun enggan menjawab pertanyaan tersebut. Sejujurnya, Ammar hanya merasa bahwa Anjani banyak berubah. Setelah insiden di acara launching, hatinya mulai berkecamuk, seakan tak lagi ingin mempercayai gadis itu. Rasanya ingin sekali marah—tapi apa daya … perasaannya tak bisa bohong bahwa Ammar masih sangat mencintai gadis itu. “Ammar—Ibu rindu dengannya,” tutur sang ibu dengan logat melayu yang kental. “Ibu … Anjani sudah punya kehidupan sendiri—dia sudah menikah, Bu!” Kesal karena terlalu didesak, akhirnya
Arjuna menaiki anak tangga.Selama tinggal di kediaman mendiang Nirwasita, Arjuna dan Anjani tidur di lantai atas, sementara Rama tidur di kamar bawah. Setelah berbincang dan mencoba mendalami karakter masing-masing yang tak mereka ketahui selama ini, baik Arjuna dan Rama pun kembali beristirahat. Arjuna melangkahkan kaki menaiki anak tangga dengan tergesa, namun, saat tiba di depan kamar, ketika Arjuna hendak membuka pintu, sayup-sayup ia mendengar Anjani seperti tengah berbicara dengan seseorang.Pintu terbuka sedikit—dari kejauhan … Arjuna memandang lekat punggung sang istri yang tak berhenti berlalu lalang. Sesekali terdengar hela nafas kasar yang keluar dari bibir sang gadis dan sesekali pula Anjani mengusap wajah yang terlihat cemas. “Ammar … kau baik-baik saja? Bagaimana dengan Ibu?” tanya Anjani tak sabar setelah panggilan itu tersambung. “Aku sedang tidak baik-baik saja, Anjani … Ibu dalam kondisi kritis.”Mendengar kalimat itu, Anjani langsung terduduk di tepi ranjang. Arj
“Hari ini aku akan berkunjung ke Bogor untuk melihat Rama di kantor barunya,” ujar Arjuna ketika Anjani tengah mengikatkan dasinya. Jarak yang begitu dekat membuat Arjuna dapat menghidu aroma rose yang menyeruak dari tubuh gadis itu. Menyegarkan, pikirnya. “Hmmmm,” gumam Anjani tak ingin menatap mata sang suami. Ada rasa kecewa karena Arjuna tak bisa mengantarnya konsultasi ke dokter. Arjuna pun mengamati gerak-gerik Anjani yang terlihat berbeda. Disaat berikutnya, ia menghentikan tangan sang istri yang masih berusaha mengikatkan dasi. “Kau baik-baik saja, ‘kan?”Kini mata mereka bersitatap di udara. Anjani tersenyum tipis, namun, matanya memancarkan kekecewaan. “Maafkan aku karena tak bisa menemanimu hari ini—”“Tak masalah.”Anjani tersenyum lagi, namun di hatinya masih menyimpan rasa kecewa yang mendalam. Arjuna mengusap pipi itu lalu memandangnya dengan lekat. Di ruang makan, Rama sudah lebih dulu menyantap sarapan. Ia patutnya bersyukur karena masih diberi kesempatan menikmat
Sepanjang jalan kembali ke kantor … Anjani terdiam, merenungi ucapan-ucapan Naomi. Benar juga jika dipikir—beberapa waktu lalu, ketika dirinya meminta izin pada Arjuna, ada raut wajah yang tak bisa ia ditebak. Apa yang dikatakan Naomi itu benar, mungkin saja Arjuna tidak sepenuhnya menyetujui keinginannya untuk terbang ke Malaysia. Anjani memandang ke luar jendela, tangan kirinya bersiku pada pintu sambil tak henti menggigiti jari. “Apa ada kata-kataku yang menyakiti, Anjani?”Dalam keheningan, Naomi membuka obrolan. Sekitar sepuluh menit lagi mereka tiba di kantor. Namun sejak terakhir Naomi menasehatinya, Anjani terlihat begitu sedih. Ia pun merasa sangat bersalah jika benar kalimatnya telah membuat gadis itu tersakiti. “Tidak, Naomi—kau benar,” sahut Anjani melemah. “Aku bukan tak setuju kau menemui Bu Maryam—tapi hubunganmu dan Arjuna saat ini sudah jauh lebih bahagia … aku harap tak ada lagi yang bisa memisahkan kalian. Tolong—jangan hadirkan siapapun dalam rumah tangga kalia
“Kupikir kau berbeda dengan gadis lain—tapi nyatanya kau sama saja. Demi kedudukan dan harta … kau menjual dirimu pada seseorang yang bahkan tidak pernah kau temui sebelumnya. Aku kecewa, Anjani—”“Bukan begitu, Bu … aku—”“Kau mengatakan bahwa dirimu ingin pulang ke Indonesia hanya untuk melepas rindu dengan tanah airmu—nyatanya kau menikah diam-diam tanpa sepengetahuanku dan bodohnya, Ammar tak pernah menceritakannya padaku! Dia memendam semuanya sendiri—lalu kau anggap aku apa, Anjani?”“Bu—”Anjani hendak meraih tangan Maryam, namun, wanita itu gegas menghindar, seakan tak sudi dipegang oleh gadis tersebut. Raut kecewa langsung nampak di wajah Maryam—jantungnya berdetak dengan cepat karena menahan emosi. “Aku tahu apa yang ada dipikiranmu saat ini—kau ingin hidup lebih baik ‘kan? Jadi menikah dengan orang paling kaya adalah jalan instan bagimu!”Anjani menggeleng. Kalimat yang terlontar sungguh membuatnya terluka. Hatinya kini hancur berkeping tak tersisa. Bening air mata menete
Setelah melewati malam panjang—Anjani merasakan kantuk yang luar biasa. Sejak mimpi itu berulang kali terjadi, gadis itu tak pernah bisa tidur dengan lelap setiap malam, akibatnya Anjani kerap terbangun. Kini, tubuhnya merasakan dampak lelah tak bertenaga setiap paginya. Namun, berbagai aktifitas tanggung jawab, membuat Anjani tak bisa absen begitu saja. Seperti pagi ini, ia harus memimpin rapat divisi. Dan jika saja ia bisa meminta untuk menjalani hari-harinya dengan normal, tanpa berkerja dan mengurus suami saja, sungguh sebuah anugerah baginya. “Kau sakit?” Sinta berjalan menghampiri gadis yang terkulai di sofa. Baru-baru ini, Anjani kerap memakai dress oversize dengan sepatu kets supaya membuatnya lebih nyaman. Sebab, sejak kehamilan itu, ia merasa tubuhnya jauh berubah, lebih mudah gerah, lelah, dan selalu membuat dirinya ingin mengeluh. Beruntung saja, Anjani sosok yang bisa menahan rasa sakitnya sendiri. Terkadang ia tak ingin Arjuna tahu tentang kesulitan-kesulitannya. Akiba
Setelah menempuh perjalanan 24 jam, Arjuna tiba di Indonesia. Kakinya melangkah dengan cepat menuju sebuah bangsal rumah sakit ibu dan anak. Ia menyusuri koridor … jantungnya berdetak sangat cepat. Nafasnya memburu tak karuan. Dan tiba di kamar VVIP—Arjuna melihat seseorang terbaring lemah dengan tangan terhubung selang infus.Naomi duduk di tepi ranjang dengan kepala terbaring. Tangannya menggenggam erat sang sahabat yang juga sedang tertidur pulas. Tak tega membangunkan Naomi, Arjuna berdiri di sisi lain. Tubuhnya membungkuk mencium kening Anjani, lalu mengusap kepala gadis itu dengan kasih sayang.Beberapa menit berlalu, Arjuna memandangi wajah sang istri dengan nanar. Ada rasa bersalah ketika melihat Anjani tak berdaya di atas ranjang rumah sakit, sesal itu menumpuk di pundaknya karena merasa tak bisa jadi suami siaga yang selalu ada disisi gadis itu setiap saat.“Maafkan aku, Sayang … karena tak bisa selalu ada di sisimu.”Arjuna duduk di tepi ranjang. Tangannya bertumpu di dekat
“Aku ingin bekerjasama denganmu,”Dahi Arjuna tampak berkerut. Sungguh mudah di tebak bahwa ada maksud tersembunyi saat Emilia menghubunginya secara langsung. “Jika ingin bekerjasama, maka hubungi asistenku atau sekretaris di kantor,”Arjuna hendak menutup telepon, namun, seketika tertahan oleh gadis di seberang sana.“Ada yang ingin aku katakan lebih lanjut tapi tidak bisa melalui telepon, bisakah …”“Silahkan appointment dengan sekretaris di kantor,”Tak ingin menanggapi gadis itu lebih lanjut, Arjuna menandaskan sambungan telepon. Kontan membuat Emilia terdengar menggerutu. Arjuna melempar ponsel ke sembarang sofa kemudian mengusap wajahnya dengan kasar. Sebelah tangannya bertolak pinggang. Ingatannya membawa Arjuna pada momen pertemuan pertama mereka. Tatapan serta gestur tubuh Emilia menunjukkan ketertarikan padanya, itulah sebabnya Arjuna mencoba bersikap dingin. Ia tak ingin kesalahan yang sama terulang, ketika dirinya menanggapi Kayla yang masih mencintainya.“Huh!” desah Arj