Sepanjang jalan kembali ke kantor … Anjani terdiam, merenungi ucapan-ucapan Naomi. Benar juga jika dipikir—beberapa waktu lalu, ketika dirinya meminta izin pada Arjuna, ada raut wajah yang tak bisa ia ditebak. Apa yang dikatakan Naomi itu benar, mungkin saja Arjuna tidak sepenuhnya menyetujui keinginannya untuk terbang ke Malaysia. Anjani memandang ke luar jendela, tangan kirinya bersiku pada pintu sambil tak henti menggigiti jari. “Apa ada kata-kataku yang menyakiti, Anjani?”Dalam keheningan, Naomi membuka obrolan. Sekitar sepuluh menit lagi mereka tiba di kantor. Namun sejak terakhir Naomi menasehatinya, Anjani terlihat begitu sedih. Ia pun merasa sangat bersalah jika benar kalimatnya telah membuat gadis itu tersakiti. “Tidak, Naomi—kau benar,” sahut Anjani melemah. “Aku bukan tak setuju kau menemui Bu Maryam—tapi hubunganmu dan Arjuna saat ini sudah jauh lebih bahagia … aku harap tak ada lagi yang bisa memisahkan kalian. Tolong—jangan hadirkan siapapun dalam rumah tangga kalia
“Kupikir kau berbeda dengan gadis lain—tapi nyatanya kau sama saja. Demi kedudukan dan harta … kau menjual dirimu pada seseorang yang bahkan tidak pernah kau temui sebelumnya. Aku kecewa, Anjani—”“Bukan begitu, Bu … aku—”“Kau mengatakan bahwa dirimu ingin pulang ke Indonesia hanya untuk melepas rindu dengan tanah airmu—nyatanya kau menikah diam-diam tanpa sepengetahuanku dan bodohnya, Ammar tak pernah menceritakannya padaku! Dia memendam semuanya sendiri—lalu kau anggap aku apa, Anjani?”“Bu—”Anjani hendak meraih tangan Maryam, namun, wanita itu gegas menghindar, seakan tak sudi dipegang oleh gadis tersebut. Raut kecewa langsung nampak di wajah Maryam—jantungnya berdetak dengan cepat karena menahan emosi. “Aku tahu apa yang ada dipikiranmu saat ini—kau ingin hidup lebih baik ‘kan? Jadi menikah dengan orang paling kaya adalah jalan instan bagimu!”Anjani menggeleng. Kalimat yang terlontar sungguh membuatnya terluka. Hatinya kini hancur berkeping tak tersisa. Bening air mata menete
Setelah melewati malam panjang—Anjani merasakan kantuk yang luar biasa. Sejak mimpi itu berulang kali terjadi, gadis itu tak pernah bisa tidur dengan lelap setiap malam, akibatnya Anjani kerap terbangun. Kini, tubuhnya merasakan dampak lelah tak bertenaga setiap paginya. Namun, berbagai aktifitas tanggung jawab, membuat Anjani tak bisa absen begitu saja. Seperti pagi ini, ia harus memimpin rapat divisi. Dan jika saja ia bisa meminta untuk menjalani hari-harinya dengan normal, tanpa berkerja dan mengurus suami saja, sungguh sebuah anugerah baginya. “Kau sakit?” Sinta berjalan menghampiri gadis yang terkulai di sofa. Baru-baru ini, Anjani kerap memakai dress oversize dengan sepatu kets supaya membuatnya lebih nyaman. Sebab, sejak kehamilan itu, ia merasa tubuhnya jauh berubah, lebih mudah gerah, lelah, dan selalu membuat dirinya ingin mengeluh. Beruntung saja, Anjani sosok yang bisa menahan rasa sakitnya sendiri. Terkadang ia tak ingin Arjuna tahu tentang kesulitan-kesulitannya. Akiba
Setelah menempuh perjalanan 24 jam, Arjuna tiba di Indonesia. Kakinya melangkah dengan cepat menuju sebuah bangsal rumah sakit ibu dan anak. Ia menyusuri koridor … jantungnya berdetak sangat cepat. Nafasnya memburu tak karuan. Dan tiba di kamar VVIP—Arjuna melihat seseorang terbaring lemah dengan tangan terhubung selang infus.Naomi duduk di tepi ranjang dengan kepala terbaring. Tangannya menggenggam erat sang sahabat yang juga sedang tertidur pulas. Tak tega membangunkan Naomi, Arjuna berdiri di sisi lain. Tubuhnya membungkuk mencium kening Anjani, lalu mengusap kepala gadis itu dengan kasih sayang.Beberapa menit berlalu, Arjuna memandangi wajah sang istri dengan nanar. Ada rasa bersalah ketika melihat Anjani tak berdaya di atas ranjang rumah sakit, sesal itu menumpuk di pundaknya karena merasa tak bisa jadi suami siaga yang selalu ada disisi gadis itu setiap saat.“Maafkan aku, Sayang … karena tak bisa selalu ada di sisimu.”Arjuna duduk di tepi ranjang. Tangannya bertumpu di dekat
“Aku ingin bekerjasama denganmu,”Dahi Arjuna tampak berkerut. Sungguh mudah di tebak bahwa ada maksud tersembunyi saat Emilia menghubunginya secara langsung. “Jika ingin bekerjasama, maka hubungi asistenku atau sekretaris di kantor,”Arjuna hendak menutup telepon, namun, seketika tertahan oleh gadis di seberang sana.“Ada yang ingin aku katakan lebih lanjut tapi tidak bisa melalui telepon, bisakah …”“Silahkan appointment dengan sekretaris di kantor,”Tak ingin menanggapi gadis itu lebih lanjut, Arjuna menandaskan sambungan telepon. Kontan membuat Emilia terdengar menggerutu. Arjuna melempar ponsel ke sembarang sofa kemudian mengusap wajahnya dengan kasar. Sebelah tangannya bertolak pinggang. Ingatannya membawa Arjuna pada momen pertemuan pertama mereka. Tatapan serta gestur tubuh Emilia menunjukkan ketertarikan padanya, itulah sebabnya Arjuna mencoba bersikap dingin. Ia tak ingin kesalahan yang sama terulang, ketika dirinya menanggapi Kayla yang masih mencintainya.“Huh!” desah Arj
Aku selalu dukung apa yang jadi keinginanmu,” timpal Arjuna.Di bangsal rumah sakit itu, Arjuna meyakinkan Anjani bahwa dirinya tidak sendirian. Sesibuk apapun, Arjuna akan selalu memastikan keadaannya. Arjuna memeluk gadis itu dengan erat, mendekapnya seolah tak ingin terpisahkan. Arjuna tahu bagaimana rasanya kesepian dan dari sorot mata yang terpancar, nampaknya itulah yang tengah dirasakan gadis tersebut.“Bolehkah aku menemui Ibu Zivaa?” tanya Anjani lantas membuat usapan di punggungnya berhenti. Anjani merasakan bahwa kini suaminya tengah terkejut dengan pertanyaan itu, setelahnya, Arjuna menjauhkan diri lalu memandang matanya dengan lekat.“Untuk apa?” tanya balik pria itu.“Aku hanya ingin memastikan keadaannya,” jawab Anjani, ragu. Ia melihat ada pandangan tak suka.“Tak perlu!”Sesaat setelah itu, Arjuna memalingkan tatapannya dan menampakkan wajah tak suka. Anjani tahu benar bahwa pria itu belum bisa menerima sepenuhnya perbuatan Zivaa, namun bagaimanapun … hanya Zivaa satu
Siang itu Anjani terduduk di tepi ranjang rumah sakit. Wajahnya tertunduk lesu dengan rona pucat pasi. Tak ada senyum ataupun kebahagiaan. Setelah tiga hari mendapat perawatan intensif—Anjani diizinkan untuk kembali ke rumah. Namun, terlihat dari apa yang nampak, gadis itu sama sekali tak senang atas kepulangannya.Sejak tiga puluh menit lalu, Anjani telah siap untuk pulang ke kediamannya. Tapi ketidak hadiran seseorang disana, membuat perasaan Anjani kembali berkecamuk. Padahal, ia baru merasakan kehadiran sosok itu semalam. Namun, ia harus menelan rasa kecewanya.“Lalu apa yang harus aku lakukan?”Arjuna mulai memelankan suaranya namun gadis itu tak memberi jawaban. Hatinya masih merasa terombang-ambing. Ia pun tak mengerti mengapa ia begitu sensitif akhir-akhir ini. Anjani tak ingin menyalahkan hormon kehamilannya, ia pun hanya bisa mengutuk dirinya sendiri atas apa yang terjadi baru-baru ini.“Kau tak harus melakukan apapun … aku hanya butuh izin darimu,” ujar Anjani mengarah pada
Arjuna hampir saja menginjakkan kakinya ke dalam mobil, namun tertahan ketika seseorang menghampirinya. “Kita bertemu lagi, Tuan Arjuna,” Senyum mengulum di bibir gadis itu. Dengan riasan wajah yang nampak bold, membuat Arjuna menyipitkan mata, mengingat sosok yang sepertinya tak asing di pandangan. “Kau—”“Emilia Clarke,”Arjuna menutup pintu mobil itu. Ia berbalik pada seseorang yang terlihat tengah menantangnya. Untuk apa sebenarnya gadis itu datang. “Apa yang kau inginkan sebenarnya?”“Tidak ada—aku hanya ingin …” Emilia mendekat, membisikkan sesuatu di telinga Arjuna. “Lebih dekat denganmu,” gumam gadis itu membuat Arjuna bergidik ngeri. Benar saja, Arjuna menjauh. Kepalanya lantas menggeleng tak percaya. “Dasar gila!”Arjuna hendak membuka pintu mobil, namun tangannya tertahan. Sebuah jemari menindih tangannya disana. Bulu tengkuk Arjuna seketika berdiri. Tak pernah ia temui wanita seagresif itu terhadapnya. “Menjauhlah!” Arjuna menghentakkan tangannya hingga membuat E