Sepasang mata menjauh dari tempat itu setelah merasa hatinya mulai berkecamuk. Langkah kaki bergerak lebih cepat, hingga tanpa sadar orang tersebut menyebabkan kekacauan dengan menabrak seorang pelayan yang tengah mengantar hidangan hingga membuat hidangan tersebut berserakan karena kecerobohannya.Empat pasang mata lain mengamati ke arah tersebut, namun, penyebab kekacauan itu sudah berlalu pergi. Dalam hati, Anjani bergumam, semoga yang ia lihat tidaklah nyata. Ia lantas kembali mengalihkan pandangan serta obrolan di meja makan.“Sampai mana tadi?” tanya Nenek, setelah santapan makan siang habis, mereka berbincang sambil menghabiskan hidangan penutup disana.“Cicit, Nek,” jawab Naomi dengan cepat.“Oh iya, betul. Jadi kapan berikan Nenek cicit?” Pertanyaan itu spontan membuat Anjani terkejut. Nyatanya tak hanya gadis itu, Arjuna pun sama terkejutnya. Mata mereka membulat. Sendok es krim yang baru masuk ke mulut, terhenti sedikit lebih lama. “Nek, please!”Arjuna memohon, memandang
“Jadi benar dugaanku selama ini—kalian hanya berpura-pura saling mencintai!”Arjuna dan Anjani menoleh pada sumber suara yang berjarak satu meter sisi kiri mereka. Setelahnya, mata mereka membulat, melihat seorang gadis menuntutnya.“Jawab?!” pekik gadis tersebut membuat beberapa turis melihat ke arah mereka.Tak ada jawaban dari keduanya. “Susah payah aku meragukan ucapan Rama tentang kalian, tapi, justru kini aku terlihat sangat bodoh. Karena tak menyadari kebohongan kalian!”Kepalan tangan dibersamai gertakan gigi, terpancar dari sinar mata gadis disana. Rasanya, ingin sekali ia membunuh kedua orang disana dengan rasa sakit yang sama, seperti yang ia rasakan. Tuntutan gadis itu, sama sekali tak membuat Arjuna maupun Anjani berkutik. “Eung … Kay-la?” gumam Anjani. “Tutup mulutmu, jalang! Jangan pernah sebut namaku dengan mulut kotormu itu!” Kalimat itu kontan membuat Arjuna murka. Matanya menelisik lebih dalam. Namun, Kayla benar-benar seperti tengah kerasukan, hingga membuatnya
“I-ibu…” Anjani beranjak. “Tak perlu sungkan, aku hanya ingin mengobrol denganmu.”Selanjutnya, Zivaa duduk di sofa tanpa diperintahkan. Anjani gegas menghampiri, lalu duduk di sisi sofa single yang diduduki oleh ibu mertuanya entah sebutan apa yang cocok untuk wanita itu, namun, ibu mertua memang tidak terlalu buruk. Toh, Arjuna memiliki darah yang kuat, karena wanita itu merupakan kembaran mendiang ibunya. Sungguh rumit. “Mau dibuatkan kopi atau teh, Bu?” tawar Anjani dengan nada getir.“Tak perlu—aku hanya sebentar.” Meski sebentar, Anjani merasa sangat canggung menghadapi Nyonya Zivaa. Hal itu membuatnya semakin merasa bahwa kasta mereka sangatlah jauh berbeda.“Apa ada yang ingin Ibu katakan?”Anjani to the point. Mendengar pertanyaan itu, Zivaa tertawa, diikuti seringai di bibirnya.“Baiklah. Aku akan langsung ke intinya saja.”Zivaa tersenyum tipis lalu memandang Anjani yang juga memandangnya penuh arti. “Jadi—apa imbalan yang kau dapat dengan menikahi Arjuna …”Zivaa meng
“Lalu—kuminta kau kirim mata-mata untuk mengawasi gerak-gerik Zivaa dan Rama.” Kris mengangguk. Kali ini ia melihat keseriusan di wajah Arjuna. Entah apa yang tengah di rencanakan oleh sahabatnya itu. Meski sudah sejak lama mengetahui rahasia Arjuna, namun, Kris tak menyangka bahwa akan serumit ini. Kris pun berlalu setelah mendapatkan perintah tersebut. “Aku pastikan kalian akan meninggalkan negara ini secepatnya.”Dengan mata berkilat, Arjuna tanpa sadar meremas berkas di tangannya. Sementara itu di tempat lain, Anjani meninjau lokasi Convention Hall tempat diadakannya puncak acara launching apps yang menjadi agenda rapat tahunan Barathaland Group, program kerja yang telah dijanjikan saat Arjuna terpilih sebagai pimpinan. Di tempat itu, Anjani bertemu dengan Ammar, penanggung jawab apps yang akan di launching. Mereka berdiri di tengah Hall sambil berbincang tentang program tersebut. Setelah menghabiskan waktu, biaya, dan tenaga yang lumayan besar, akhirnya program selesai. Namun,
“Aku sedang tidak ada di dalam drama, ‘kan?” tanya Anjani yang sedikit bergidik. “Tsk. Kau bercanda?”Arjuna melangkah mendahului Anjani dengan senyum menyeringai. Melihat wajah polos nan manis Anjani, kontan membuat Arjuna terpesona, namun, ia tutupi dengan sikap maskulinnya. Sedetik kemudian, gadis itu berjalan lebih cepat, lalu merangkul lengan Arjuna. Para pengawal menunduk seraya hormat pada atasan mereka. Keduanya melangkah, melewati barisan para pengawal. Sesampainya di dalam, Anjani bagaikan orang ‘udik’ yang baru masuk ke kota. Matanya menjelajah ruangan bergaya interior modern serta pencahayaan yang cukup bersinar, hingga membuat mansion itu terlihat sangat luas. Anjani mengerjap beberapa kali sambil tersadar. Seharusnya, Anjani tidak ‘seudik’ itu. Meski ia terlahir dari keluarga paling sederhana, tapi, relasi dan rekan kerjanya di Malaysia dulu memiliki kasta di atasnya, sehingga ia sering berlalu lalang di kediaman mereka. Akan tetapi, kali ini Anjani merasa berbeda, kar
“Aku akan panggilkan suamiku. Jadi tolong siapkan sesegera mungkin, ya, Chef.”Chef Edwin mengangguk. “Baik, Nyonya.”Setelahnya Anjani berlalu. Anjani tiba di kamar. Ia dengan pelan menutup pintu itu kembali. Netranya menangkap sosok Arjuna yang ternyata sedang terlelap dengan posisi duduk, kepalanya bersandar di atas keyboard mac yang masih standby. Langkah kakinya, membawa Anjani mendekat pada meja disana. “Dasar workaholic.”Anjani menggeser sedikit macbook itu dengan pelan agar tak membangunkan sang suami, dipandangnya sesaat layar tersebut, tampak sebuah window yang bertulis “proyek paradise”. Anjani kembali teringat tentang proyek yang sudah lama tertunda itu, tanpa rasa penasaran ia lantas menutup layar lalu menjauhkannya dari Arjuna. Anjani berlutut setelahnya, menopang dagunya di meja, sambil memandang lekat Arjuna. “Kau sungguh tampan, Arjuna,” desis Anjani, jemarinya bermain di wajah sang suami mulai dari ujung kening, turun ke pangkal hidung, lalu tiba di bibir pria itu
“Apakah kau akan meninggalkanku setelah kontrak kita berakhir?”Arjuna menjauh hingga Anjani pun ikut bergerak. Tubuh mereka saling menyerong, memandang dalam diam disaat berikutnya. Arjuna menangkup pipi sang gadis dengan telapak tangan kanan, mengusapnya lembut, lantas mengecup kening itu. Anjani begitu terkejut dibersamai rasa bahagia. Kecupan itu—merupakan jawaban yang sudah jelas meski tak diungkap dengan kata-kata.“Mulai sekarang—berhenti membicarakan kontrak itu,” ujar Arjuna, hingga timbul pertanyaan besar di benak Anjani. Maksudnya apa? Apa mereka akan menjalani kisah cinta yang sesungguhnya? Dalam hati Anjani berkata “tidak mungkin”. Ia jelas berharap benar, namun, ia tak ingin kembali kecewa. Mereka saling bersitatap dengan penuh keheningan, hanya terdengar suara tivi bercampur lolongan anjing di malam itu. “Aku akan tunjukkan padamu, bahwa aku bisa mencintaimu dengan sepenuh hati.” Arjuna menarik bahu gadis itu, lalu membawanya ke dalam dekapan. Arjuna merasa bahwa kin
Saat melewati barisan para tamu dimana merupakan pegawai yang berkepentingan serta pemegang saham, Anjani tak sengaja mendengar mereka mencibir dirinya. Sorot mata mereka seolah mengintimidasi sambil bertanya asal usulnya. Dalam lingkaran lengan itu, tangan Anjani bergetar, bibirnya berkedut—seperti ingin menginterupsi perbincangan mereka, namun, tentu Anjani tak seberani itu. Tanpa keluarga Barathawardana—Anjani hanyalah seorang yatim piatu yang bekerja di perusahaan rintisan. Gajinya berpuluh tahun, tentu tak akan bisa membeli kenyamanan yang didapatkan saat ini. “Kau tak perlu dengar apa yang mereka bicarakan. Kau ingat—saat bersamaku, kau hanya boleh fokus padaku.”Seperti mengerti isi kepala gadis itu, Arjuna mengusap punggung tangan Anjani yang bergetar. Mata hazel Anjani hampir mengambang, namun mendengar ucapan Arjuna membuat kekuatannya seolah bertambah. Benar—sekuat apapun badai menerpa, asalkan Arjuna tetap di sisinya, Anjani tak perlu takut. “Baiklah. Malam launching app