Tok… Tok… Tok…Kecupan manis baru saja mendarat di mata kanan gadis itu, suara ketukan pintu menjeda mereka. Tak menghiraukan, Arjuna hendak mendaratkan kecupan selanjutnya di bibir sang istri, namun, ketukan pintu disana semakin kencang, hingga membuat konsentrasinya pecah. Arjuna pun bangkit, menghela nafas kasar dan menunjukkan raut wajah kesal. Disaat yang sama, Anjani bangkit, merapikan rambutnya yang mungkin sudah berantakan. Lalu kakinya berpijak, mencoba mengekori Arjuna. Arjuna membuka pintu lalu menampilkan sosok yang begitu mengejutkan.“Kau?”Arjuna memekik, matanya memicing, menatap seseorang yang tak seharusnya disana. “Mengapa kau ada disini?” tanya pria itu, heran. Pria lain terkesiap, matanya mengerjap beberapa kali. Terkejut mungkin, niat hati datang untuk koordinasi pekerjaan, ia justru mendapat tatapan sinis atasannya. Yups. Di ambang pintu itu telah berdiri Kris membawa setumpuk dokumen yang dibutuhkan. “Bukankah kau yang menyuruhku membawa dokumen penting ini u
Sepasang mata menjauh dari tempat itu setelah merasa hatinya mulai berkecamuk. Langkah kaki bergerak lebih cepat, hingga tanpa sadar orang tersebut menyebabkan kekacauan dengan menabrak seorang pelayan yang tengah mengantar hidangan hingga membuat hidangan tersebut berserakan karena kecerobohannya.Empat pasang mata lain mengamati ke arah tersebut, namun, penyebab kekacauan itu sudah berlalu pergi. Dalam hati, Anjani bergumam, semoga yang ia lihat tidaklah nyata. Ia lantas kembali mengalihkan pandangan serta obrolan di meja makan.“Sampai mana tadi?” tanya Nenek, setelah santapan makan siang habis, mereka berbincang sambil menghabiskan hidangan penutup disana.“Cicit, Nek,” jawab Naomi dengan cepat.“Oh iya, betul. Jadi kapan berikan Nenek cicit?” Pertanyaan itu spontan membuat Anjani terkejut. Nyatanya tak hanya gadis itu, Arjuna pun sama terkejutnya. Mata mereka membulat. Sendok es krim yang baru masuk ke mulut, terhenti sedikit lebih lama. “Nek, please!”Arjuna memohon, memandang
“Jadi benar dugaanku selama ini—kalian hanya berpura-pura saling mencintai!”Arjuna dan Anjani menoleh pada sumber suara yang berjarak satu meter sisi kiri mereka. Setelahnya, mata mereka membulat, melihat seorang gadis menuntutnya.“Jawab?!” pekik gadis tersebut membuat beberapa turis melihat ke arah mereka.Tak ada jawaban dari keduanya. “Susah payah aku meragukan ucapan Rama tentang kalian, tapi, justru kini aku terlihat sangat bodoh. Karena tak menyadari kebohongan kalian!”Kepalan tangan dibersamai gertakan gigi, terpancar dari sinar mata gadis disana. Rasanya, ingin sekali ia membunuh kedua orang disana dengan rasa sakit yang sama, seperti yang ia rasakan. Tuntutan gadis itu, sama sekali tak membuat Arjuna maupun Anjani berkutik. “Eung … Kay-la?” gumam Anjani. “Tutup mulutmu, jalang! Jangan pernah sebut namaku dengan mulut kotormu itu!” Kalimat itu kontan membuat Arjuna murka. Matanya menelisik lebih dalam. Namun, Kayla benar-benar seperti tengah kerasukan, hingga membuatnya
“I-ibu…” Anjani beranjak. “Tak perlu sungkan, aku hanya ingin mengobrol denganmu.”Selanjutnya, Zivaa duduk di sofa tanpa diperintahkan. Anjani gegas menghampiri, lalu duduk di sisi sofa single yang diduduki oleh ibu mertuanya entah sebutan apa yang cocok untuk wanita itu, namun, ibu mertua memang tidak terlalu buruk. Toh, Arjuna memiliki darah yang kuat, karena wanita itu merupakan kembaran mendiang ibunya. Sungguh rumit. “Mau dibuatkan kopi atau teh, Bu?” tawar Anjani dengan nada getir.“Tak perlu—aku hanya sebentar.” Meski sebentar, Anjani merasa sangat canggung menghadapi Nyonya Zivaa. Hal itu membuatnya semakin merasa bahwa kasta mereka sangatlah jauh berbeda.“Apa ada yang ingin Ibu katakan?”Anjani to the point. Mendengar pertanyaan itu, Zivaa tertawa, diikuti seringai di bibirnya.“Baiklah. Aku akan langsung ke intinya saja.”Zivaa tersenyum tipis lalu memandang Anjani yang juga memandangnya penuh arti. “Jadi—apa imbalan yang kau dapat dengan menikahi Arjuna …”Zivaa meng
“Lalu—kuminta kau kirim mata-mata untuk mengawasi gerak-gerik Zivaa dan Rama.” Kris mengangguk. Kali ini ia melihat keseriusan di wajah Arjuna. Entah apa yang tengah di rencanakan oleh sahabatnya itu. Meski sudah sejak lama mengetahui rahasia Arjuna, namun, Kris tak menyangka bahwa akan serumit ini. Kris pun berlalu setelah mendapatkan perintah tersebut. “Aku pastikan kalian akan meninggalkan negara ini secepatnya.”Dengan mata berkilat, Arjuna tanpa sadar meremas berkas di tangannya. Sementara itu di tempat lain, Anjani meninjau lokasi Convention Hall tempat diadakannya puncak acara launching apps yang menjadi agenda rapat tahunan Barathaland Group, program kerja yang telah dijanjikan saat Arjuna terpilih sebagai pimpinan. Di tempat itu, Anjani bertemu dengan Ammar, penanggung jawab apps yang akan di launching. Mereka berdiri di tengah Hall sambil berbincang tentang program tersebut. Setelah menghabiskan waktu, biaya, dan tenaga yang lumayan besar, akhirnya program selesai. Namun,
“Aku sedang tidak ada di dalam drama, ‘kan?” tanya Anjani yang sedikit bergidik. “Tsk. Kau bercanda?”Arjuna melangkah mendahului Anjani dengan senyum menyeringai. Melihat wajah polos nan manis Anjani, kontan membuat Arjuna terpesona, namun, ia tutupi dengan sikap maskulinnya. Sedetik kemudian, gadis itu berjalan lebih cepat, lalu merangkul lengan Arjuna. Para pengawal menunduk seraya hormat pada atasan mereka. Keduanya melangkah, melewati barisan para pengawal. Sesampainya di dalam, Anjani bagaikan orang ‘udik’ yang baru masuk ke kota. Matanya menjelajah ruangan bergaya interior modern serta pencahayaan yang cukup bersinar, hingga membuat mansion itu terlihat sangat luas. Anjani mengerjap beberapa kali sambil tersadar. Seharusnya, Anjani tidak ‘seudik’ itu. Meski ia terlahir dari keluarga paling sederhana, tapi, relasi dan rekan kerjanya di Malaysia dulu memiliki kasta di atasnya, sehingga ia sering berlalu lalang di kediaman mereka. Akan tetapi, kali ini Anjani merasa berbeda, kar
“Aku akan panggilkan suamiku. Jadi tolong siapkan sesegera mungkin, ya, Chef.”Chef Edwin mengangguk. “Baik, Nyonya.”Setelahnya Anjani berlalu. Anjani tiba di kamar. Ia dengan pelan menutup pintu itu kembali. Netranya menangkap sosok Arjuna yang ternyata sedang terlelap dengan posisi duduk, kepalanya bersandar di atas keyboard mac yang masih standby. Langkah kakinya, membawa Anjani mendekat pada meja disana. “Dasar workaholic.”Anjani menggeser sedikit macbook itu dengan pelan agar tak membangunkan sang suami, dipandangnya sesaat layar tersebut, tampak sebuah window yang bertulis “proyek paradise”. Anjani kembali teringat tentang proyek yang sudah lama tertunda itu, tanpa rasa penasaran ia lantas menutup layar lalu menjauhkannya dari Arjuna. Anjani berlutut setelahnya, menopang dagunya di meja, sambil memandang lekat Arjuna. “Kau sungguh tampan, Arjuna,” desis Anjani, jemarinya bermain di wajah sang suami mulai dari ujung kening, turun ke pangkal hidung, lalu tiba di bibir pria itu
“Apakah kau akan meninggalkanku setelah kontrak kita berakhir?”Arjuna menjauh hingga Anjani pun ikut bergerak. Tubuh mereka saling menyerong, memandang dalam diam disaat berikutnya. Arjuna menangkup pipi sang gadis dengan telapak tangan kanan, mengusapnya lembut, lantas mengecup kening itu. Anjani begitu terkejut dibersamai rasa bahagia. Kecupan itu—merupakan jawaban yang sudah jelas meski tak diungkap dengan kata-kata.“Mulai sekarang—berhenti membicarakan kontrak itu,” ujar Arjuna, hingga timbul pertanyaan besar di benak Anjani. Maksudnya apa? Apa mereka akan menjalani kisah cinta yang sesungguhnya? Dalam hati Anjani berkata “tidak mungkin”. Ia jelas berharap benar, namun, ia tak ingin kembali kecewa. Mereka saling bersitatap dengan penuh keheningan, hanya terdengar suara tivi bercampur lolongan anjing di malam itu. “Aku akan tunjukkan padamu, bahwa aku bisa mencintaimu dengan sepenuh hati.” Arjuna menarik bahu gadis itu, lalu membawanya ke dalam dekapan. Arjuna merasa bahwa kin
Di tengah perbincangan yang santai, ketiga gadis yang saling bersahabat mulai mengarah pada Anjani. Salah satunya, Naomi. Setelah Raina tertidur di stroller, Naomi tak henti mengamati kedekatan Sadewa dan Chayra di sisi tembok yang sedang mereka warnai. Meski gadis cilik di hadapannya itu sangat terlihat tenang dan fokus terhadap aktivitasnya, tapi Sadewa sesekali menggoda dengan menggores tinta ke pipinya.“Sadewa!”Suster dari keluarga Hoover pun menenangkan sang majikan, ia berlutut dan mengelus dada gadis cilik tersebut.Naomi dibuat penasaran dengan kedekatan itu. Tak sekali dua kali pula Kris mengatakan tentang perjodohan keluarga Barathawardana dan Hoover.“Jadi, benar?”Naomi mencondongkan tubuhnya seraya bertanya pelan. Sementara Kayla hanya mengamati kedua orang yang sudah
“Sadewa apa yang kau lakukan! Kembalikan!”Seorang gadis cilik bermata biru mengerang kesal ketika anak laki-laki itu mengambil boneka dari tangannya lalu berlari mengelilingi ruangan tersebut. Wajahnya begitu bahagia mengerjai gadis sebaya yang rambutnya dikuncir dua.“Sadewa ….”Sang ibu yang tengah membantu bibi Sri di dapur mengingatkan dengan datar. Sementara ayah mereka tengah berdiskusi di ruang tamu. Ketika kedua anak itu saling berlari dan terus kejar mengejar melewati Arjuna dan Jarvis, senyum terbit diantara pria dewasa disana.Arjuna berhasil menangkap Sadewa yang melewati jalan kosong di hadapannya.“Hap! Tertangkap!” seru Arjuna.Sementara Chayra merajuk diatas pangkuan sang ayah.“Ayah ….”“Tidak apa-apa, Sayang. Sadewa hanya ingin bermain denganmu.”“Sadewa, kau tidak boleh seperti itu, ya, Nak.”Anjani yang baru
“Berjanjilah untuk bersikap hangat padaku ….”Di tengah nafas yang memburu, mata mereka saling memandang lekat.“Ya, aku berjanji!”Tak lama kemudian, Rama pun melanjutkan ciuman panas mereka. Bibir saling bertaut dibersamai saliva yang bertukar hangat membuat hasrat mereka kian membara. Rama tak lagi ingat bahwa ia takut akan sebuah komitmen. Gejolak primitifnya kian membara, membuat dirinya tak bisa mengendalikan naluri yang terus membawanya jauh. Mereka menyatu dengan cepat bersama suara indah yang menusuk ke telinga. Lambat laun, Kayla mulai merasa bahwa ia pun tak bisa menolak permainan itu. Jemarinya menyusuri kulit punggung sang pria, sesekali tanpa sadar ia mencakarnya kuat.“Ah!”Rama terus bergerak dengan tempo yang cepat seraya menciuminya tanpa ampun.“Hmmmmmp!”“I gonna crazy because of you, Kay ….”Di tengah desakan yang kian memunc
Kayla melangkah dengan tergesa ketika lift telah mengantarkannya ke lantai dasar. Ia gegas melangkah dengan tergesa. Beberapa pegawai yang melihatnya langsung menundukkan kepala seraya menghormati. Ketika berhasil melewati pintu lobi yang berputar dan hampir menarik handle pintu mobil yang terparkir disana, seseorang menahan jemarinya.“Biar aku antar,” ucap pria itu.Kayla menatap tangannya yang hangat dalam genggaman. Lalu, ia menatap pria itu dengan dalam. Sungguh! Ingin rasanya ia mencaci. Namun, ia tak mampu lakukan itu. Faktanya gengsi wanita memang lebih besar. Dan Kayla, menyingkirkan genggaman itu dengan tangannya yang lain.“Tidak perlu.”Gadis itu hendak menarik kembali handle pintu tersebut. Namun, lagi-lagi tertahan.“Jangan keras kepala!”“Tsk!”Kayla berdecih sambil memalingkan wajahnya ke arah lain.“Jangan sok peduli!”
“Kau mau mandi bersama?”Kris mengerlingkan mata pada gadis yang kini telah resmi menyandang status sebagai istrinya. Naomi yang tengah berbaring disisinya, lantas menoleh. Pipi pun jadi merona seketika. Ini bukan kali pertama—tapi mendengar pertanyaan itu membuat gemuruh jantungnya berdetak hebat.“Eung …”Tak butuh jawaban dari wanita itu. Kris langsung beranjak lalu membopong gadis itu hingga Naomi terpekik karena gerakan yang begitu tiba-tiba.“Kyaaaaaaaa!”Meskipun begitu, Naomi begitu merasa dicintai. Tak pernah menyangka bahwa pria yang selama ini bekerjasama dengannya sebagai rekan kerja, menjadi pasangan seumur hidupnya.Waktu berlalu begitu saja—entah sejak kapan mereka telah berada dalam kondisi yang polos dan saling berpangkuan di atas bathup. Meski udara dingin menusuk tulang, keduanya justru dibasahi oleh peluh yang bercampur dengan air busa di bathup ters
“Apa kau sudah menikah?” Jantung Rama seketika diremas, setiap kali bertemu orang dan di usianya yang menginjak kepala tiga—pertanyaan tentang pernikahan selalu mengiang di telinganya. Padahal, mereka ke tempat itu untuk membicarakan soal bisnis. Tapi, Tuan Hoover seolah memancing adrenalin-nya. Rama melirik ke arah Arjuna yang tersenyum tipis, seperti orang yang sangat bahagia atas penderitaan orang lain. “I-tuuuu,” gumam Rama. Sebenarnya ia bisa saja menjawab bahwa sudah ada calon dan akan segera melangsungkan pernikahan. Tapi bibirnya terasa kaku. “Sayangnya, aku tak mungkin memberikan putriku untukmu, Rama ….” “Apa?” “Apa?” Kontan Arjuna dan Rama membeliak. “Karena Chayra sudah milik Sadewa.” Lelucon macam apa itu, Rama hampir mencelos mendengar pernyataan Jarvis. Ternyata ia hanya bergurau. ‘Ya Tuhan … lelucon macam apa itu.’ Rama bermonolog lalu tersenyum tipis. Di tengah makan mal
Memandang wajah Rama yang berubah pias membuat Kayla tersenyum dibalik Zivaa yang penuh mengisi layar ponsel itu. Zivaa dan Sadewa seolah sengaja membuat Rama tak berkutik dengan menggodanya.“Ayolah, Paman! Jangan membuat Bibi Kayla menunggu lebih lama lagi.”“Eung …”Di ujung panggilan video itu, terlihat Rama yang terus menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia terdengar menghela nafas berkali-kali.“Sudahlah, kalian jangan terus menerus menggoda Paman Rama.”Anjani meraih ponsel itu dari wajah Zivaa dan mengembalikannya pada Kayla. Ia lantas merebut Sadewa dalam genggaman sang ibu mertua.“Bu, biarkan Kayla berbicara dengan Rama. Mereka pasti saling merindukan,” goda Anjani.Lantas ia beranjak menuju kamar Sadewa.“Ayo, Bu!”Zivaa pun mengangguk dan berpindah dari ruang keluarga menuju kamar anak bayi itu. Setelah kedua orang itu berlalu dan menghilang dari pandangan. Kayla lantas menatap layar ponsel itu dengan senyum tak biasa.“Kau menertawakanku?” “Tidak. Hanya saja … lucu.”“Ap
Dalam perjalanan menuju bandara, Rama tak berhenti diam. Ia terus mendengus sambil sesekali mengecek ponselnya. Hasrat yang belum tuntas dan rasa rindu pun sudah menggebu bahkan sebelum ia benar-benar meninggalkan tanah air. Arjuna yang sedari tadi mengamati, hanya bisa menggelengkan kepala. Dasar si keras kepala itu. Ia tidak ingin cepat-cepat menikahi wanita yang sudah jelas dicintai.“Baru saja bertemu, kau sudah rindu?”Rama pun menoleh hingga matanya bersirobok di udara dengan Arjuna.“Ya?”“Kau itu terlalu gengsi!”“Apa?”Tak lama suara gelak tawa memenuhi penjuru mobil. Arjuna terlihat begitu puas menertawai sang adik yang jelas-jelas tengah dilanda frustasi.“Ada yang lucu?” tanya Rama kesal karena ditertawai begitu saja.“Sikapmu yang lucu! Kau tidak ingin menikahinya cepat-cepat, tapi kau dengan lihai melakukan permainan di kantor. Aku sampai merinding—hih!”“Shut up!”Meski mereka pernah berseteru, tapi setiap kali Arjuna mengolok-olok Rama, tak ada lagi kecanggungan dianta
“Apa kau setuju jika Sadewa dijodohkan dengan rekan bisnisku?”Mata gadis itu membola. Seketika Anjani terperanjat hingga tanpa sadar mendorong tubuh Arjuna menjauh.“Kau gila?”“Tenanglah!” seru Arjuna dengan senyum tak biasa, membuat Anjani semakin tak tenang. Bagaimana mungkin bayi yang belum genap sebulan sudah ingin dijodohkan? Apa suaminya ini gila?Anjani tak berhenti menggeleng sambil menatap mata sang suami dengan tajam.“Dia Tuan Hoover yang akan menginvestasikan dananya untuk proyek Paradise.”“Paradise?”“Ya, setelah semua sengketa clear tak ada alasan untuk menunda pembangunan bukan?”Anjani termangu. Tiba-tiba sorot matanya meredup. Bagaimanapun tanah itu, pernah berdiri sebuah bangunan yang penuh kenangan. Tapi, semua sudah berlalu. Anjani seharusnya tak lagi mengingat itu sementara ia sudah memiliki Arjuna dan Sadewa di sisinya.“Kenapa?”Arjuna seolah tahu apa yang dipikirkan oleh sang istri. Ia menengadahkan wajah sang istri lalu menangkup pipi serta mengusapnya lemb