“Aku sedang tidak ada di dalam drama, ‘kan?” tanya Anjani yang sedikit bergidik. “Tsk. Kau bercanda?”Arjuna melangkah mendahului Anjani dengan senyum menyeringai. Melihat wajah polos nan manis Anjani, kontan membuat Arjuna terpesona, namun, ia tutupi dengan sikap maskulinnya. Sedetik kemudian, gadis itu berjalan lebih cepat, lalu merangkul lengan Arjuna. Para pengawal menunduk seraya hormat pada atasan mereka. Keduanya melangkah, melewati barisan para pengawal. Sesampainya di dalam, Anjani bagaikan orang ‘udik’ yang baru masuk ke kota. Matanya menjelajah ruangan bergaya interior modern serta pencahayaan yang cukup bersinar, hingga membuat mansion itu terlihat sangat luas. Anjani mengerjap beberapa kali sambil tersadar. Seharusnya, Anjani tidak ‘seudik’ itu. Meski ia terlahir dari keluarga paling sederhana, tapi, relasi dan rekan kerjanya di Malaysia dulu memiliki kasta di atasnya, sehingga ia sering berlalu lalang di kediaman mereka. Akan tetapi, kali ini Anjani merasa berbeda, kar
“Aku akan panggilkan suamiku. Jadi tolong siapkan sesegera mungkin, ya, Chef.”Chef Edwin mengangguk. “Baik, Nyonya.”Setelahnya Anjani berlalu. Anjani tiba di kamar. Ia dengan pelan menutup pintu itu kembali. Netranya menangkap sosok Arjuna yang ternyata sedang terlelap dengan posisi duduk, kepalanya bersandar di atas keyboard mac yang masih standby. Langkah kakinya, membawa Anjani mendekat pada meja disana. “Dasar workaholic.”Anjani menggeser sedikit macbook itu dengan pelan agar tak membangunkan sang suami, dipandangnya sesaat layar tersebut, tampak sebuah window yang bertulis “proyek paradise”. Anjani kembali teringat tentang proyek yang sudah lama tertunda itu, tanpa rasa penasaran ia lantas menutup layar lalu menjauhkannya dari Arjuna. Anjani berlutut setelahnya, menopang dagunya di meja, sambil memandang lekat Arjuna. “Kau sungguh tampan, Arjuna,” desis Anjani, jemarinya bermain di wajah sang suami mulai dari ujung kening, turun ke pangkal hidung, lalu tiba di bibir pria itu
“Apakah kau akan meninggalkanku setelah kontrak kita berakhir?”Arjuna menjauh hingga Anjani pun ikut bergerak. Tubuh mereka saling menyerong, memandang dalam diam disaat berikutnya. Arjuna menangkup pipi sang gadis dengan telapak tangan kanan, mengusapnya lembut, lantas mengecup kening itu. Anjani begitu terkejut dibersamai rasa bahagia. Kecupan itu—merupakan jawaban yang sudah jelas meski tak diungkap dengan kata-kata.“Mulai sekarang—berhenti membicarakan kontrak itu,” ujar Arjuna, hingga timbul pertanyaan besar di benak Anjani. Maksudnya apa? Apa mereka akan menjalani kisah cinta yang sesungguhnya? Dalam hati Anjani berkata “tidak mungkin”. Ia jelas berharap benar, namun, ia tak ingin kembali kecewa. Mereka saling bersitatap dengan penuh keheningan, hanya terdengar suara tivi bercampur lolongan anjing di malam itu. “Aku akan tunjukkan padamu, bahwa aku bisa mencintaimu dengan sepenuh hati.” Arjuna menarik bahu gadis itu, lalu membawanya ke dalam dekapan. Arjuna merasa bahwa kin
Saat melewati barisan para tamu dimana merupakan pegawai yang berkepentingan serta pemegang saham, Anjani tak sengaja mendengar mereka mencibir dirinya. Sorot mata mereka seolah mengintimidasi sambil bertanya asal usulnya. Dalam lingkaran lengan itu, tangan Anjani bergetar, bibirnya berkedut—seperti ingin menginterupsi perbincangan mereka, namun, tentu Anjani tak seberani itu. Tanpa keluarga Barathawardana—Anjani hanyalah seorang yatim piatu yang bekerja di perusahaan rintisan. Gajinya berpuluh tahun, tentu tak akan bisa membeli kenyamanan yang didapatkan saat ini. “Kau tak perlu dengar apa yang mereka bicarakan. Kau ingat—saat bersamaku, kau hanya boleh fokus padaku.”Seperti mengerti isi kepala gadis itu, Arjuna mengusap punggung tangan Anjani yang bergetar. Mata hazel Anjani hampir mengambang, namun mendengar ucapan Arjuna membuat kekuatannya seolah bertambah. Benar—sekuat apapun badai menerpa, asalkan Arjuna tetap di sisinya, Anjani tak perlu takut. “Baiklah. Malam launching app
Ammar, ini aku Anjani.Aku butuh bantuanmu, tolong temui aku di ruang eksekutif.Ammar sama sekali tak menaruh rasa curiga. Tulisan tangan itu, memang mirip sekali dengan tulisan Anjani. Tapi, mengapa pesan itu datang tidak dengan pesan singkat di ponselnya? Apa Anjani setakut itu hingga harus meninggalkan surat kaleng. Jantungnya mendadak bergemuruh. Di tengah khidmatnya makan malam, Ammar meninggalkan meja, membuat tanda tanya besar di benak para sahabatnya.“Hei, makanan sudah siap, kau mau kemana?”“Aku ke toilet, sebentar.”Ammar berlalu sambil mengancing kembali jas berwarna Navy. Langkahnya begitu tergesa menuju keluar hall, hingga sepasang mata mengamatinya. Tiba di ruang eksekutif, Anjani mencari keberadaan Ammar. Matanya menyorot berbagai sudut di ruang tertutup dengan ukuran 10x10 sentimeter. Sebuah ruangan yang didesain untuk rapat pimpinan—dengan meja persegi berukuran besar nan tegas berbahan kayu jati, hingga memberi kesan natural pada ruangan tersebut. Pandangan Anjan
“Akh…”Air mata tanpa sadar menetes. Anjani tak pernah merasa sesakit itu. Mungkin, karena rasa sakit di kakinya bercampur dengan rasa sakit karena diabaikan oleh pria tersebut.“Dasar ceroboh!”Arjuna memalingkan wajah, menghela nafas kasar, lalu menyumpah serapahi kecerobohan Anjani. Emosinya seketika redam, tak berdaya melihat Anjani merasa begitu kesakitan. Kakinya gegas menuruni anak tangga, meraih tangan Anjani, lalu memapah gadisnya. Arjuna tak lagi memiliki niat naik ke lantai dua, ia pun membawa Anjani menuruni anak tangga menuju kamar mereka. Dalam pangkuan, Anjani mengikat kedua tangan di leher Arjuna hingga membuat jarak wajah mereka begitu dekat. Anjani lantas mengamati wajah sang suami dari samping, walaupun pria itu tetap bergeming, memandang lurus dan tak ingin berbicara dengannya.“Maafkan aku…” ujarnya dengan penuh keraguan, mata hazelnya dengan lekat menatap garis tegas di wajah sang suami. Namun, Arjuna tetap saja bergeming. Ia tak memandang ataupun menyahut ucapa
Arjuna menyusuri koridor rumah sakit sambil mendorong kursi roda gadis itu. Setelah menemui dokter, Anjani mendapatkan gips di bagian ankle. Ternyata malam itu—ketika Anjani mengejar Arjuna, suara kertak yang terdengar adalah akibat pergeseran tulang kaki gadis itu. Beruntung tidak parah, sehingga tidak perlu adanya pembedahan.“Lain kali hati-hati … sudah tahu pakai heels tinggi—tapi nekat mengejarku … di tangga pula.”Di depan Arjuna—seorang gadis yang tengah duduk di kursi roda tampak kesal, bibirnya menggerutu dengan wajah merengut. Jika saja Arjuna lebih peka saat itu, mungkin Anjani tak akan terjatuh karena tak bisa menyeimbangkan tubuhnya. Semua ini jelas kesalahan pria itu.“Sudahlah … kalian itu seperti anak kecil saja!”Seseorang mematahkan perdebatan di antara mereka. Kris menaruh tangan kanannya di balik saku celana sambil berjalan santai. Bukan menggantikan Arjuna mendorong kursi roda tersebut, Kris justru berlagak seperti tuan disana.“Dan seharusnya kau lebih paham, Tua
Lima tahun yang lalu…Suara dentuman musik menggema di sebuah mobil yang tengah melaju dengan kecepatan di atas rata-rata. Di atas bumi, kota Johor Bahru, Malaysia, seorang pria dengan sahabatnya riang gembira setelah menyambut hari kelulusan program doktor mereka. Siang itu, langit tampak begitu gelap, namun belum turun hujan. Mereka yang tengah berbahagia nampak mengabaikan jalanan kota yang begitu lengang. Laju mobil semakin kencang ketika pedal gas ditekan habis oleh pria berwajah oriental di kursi kemudi. Sambil bernyanyi dan tertawa mereka hampir tak melihat lampu lalu lintas, hingga di waktu berikutnya, seorang gadis menyebrang tanpa sadar dan tak bisa dihindari. Sepersekian detik, si pengemudi lantas menekan pedal rem hingga suara ban berdecit memekik telinga. Bruk! Si pengemudi menggenggam erat stir mobil dengan kening yang hampir terbentur. Tangan bergetar dan jantung hampir lepas dari tempatnya. Seketika itu pula nafas memburu. Disisinya—sang sahabat memejamkan mata sambi
Di tengah perbincangan yang santai, ketiga gadis yang saling bersahabat mulai mengarah pada Anjani. Salah satunya, Naomi. Setelah Raina tertidur di stroller, Naomi tak henti mengamati kedekatan Sadewa dan Chayra di sisi tembok yang sedang mereka warnai. Meski gadis cilik di hadapannya itu sangat terlihat tenang dan fokus terhadap aktivitasnya, tapi Sadewa sesekali menggoda dengan menggores tinta ke pipinya.“Sadewa!”Suster dari keluarga Hoover pun menenangkan sang majikan, ia berlutut dan mengelus dada gadis cilik tersebut.Naomi dibuat penasaran dengan kedekatan itu. Tak sekali dua kali pula Kris mengatakan tentang perjodohan keluarga Barathawardana dan Hoover.“Jadi, benar?”Naomi mencondongkan tubuhnya seraya bertanya pelan. Sementara Kayla hanya mengamati kedua orang yang sudah
“Sadewa apa yang kau lakukan! Kembalikan!”Seorang gadis cilik bermata biru mengerang kesal ketika anak laki-laki itu mengambil boneka dari tangannya lalu berlari mengelilingi ruangan tersebut. Wajahnya begitu bahagia mengerjai gadis sebaya yang rambutnya dikuncir dua.“Sadewa ….”Sang ibu yang tengah membantu bibi Sri di dapur mengingatkan dengan datar. Sementara ayah mereka tengah berdiskusi di ruang tamu. Ketika kedua anak itu saling berlari dan terus kejar mengejar melewati Arjuna dan Jarvis, senyum terbit diantara pria dewasa disana.Arjuna berhasil menangkap Sadewa yang melewati jalan kosong di hadapannya.“Hap! Tertangkap!” seru Arjuna.Sementara Chayra merajuk diatas pangkuan sang ayah.“Ayah ….”“Tidak apa-apa, Sayang. Sadewa hanya ingin bermain denganmu.”“Sadewa, kau tidak boleh seperti itu, ya, Nak.”Anjani yang baru
“Berjanjilah untuk bersikap hangat padaku ….”Di tengah nafas yang memburu, mata mereka saling memandang lekat.“Ya, aku berjanji!”Tak lama kemudian, Rama pun melanjutkan ciuman panas mereka. Bibir saling bertaut dibersamai saliva yang bertukar hangat membuat hasrat mereka kian membara. Rama tak lagi ingat bahwa ia takut akan sebuah komitmen. Gejolak primitifnya kian membara, membuat dirinya tak bisa mengendalikan naluri yang terus membawanya jauh. Mereka menyatu dengan cepat bersama suara indah yang menusuk ke telinga. Lambat laun, Kayla mulai merasa bahwa ia pun tak bisa menolak permainan itu. Jemarinya menyusuri kulit punggung sang pria, sesekali tanpa sadar ia mencakarnya kuat.“Ah!”Rama terus bergerak dengan tempo yang cepat seraya menciuminya tanpa ampun.“Hmmmmmp!”“I gonna crazy because of you, Kay ….”Di tengah desakan yang kian memunc
Kayla melangkah dengan tergesa ketika lift telah mengantarkannya ke lantai dasar. Ia gegas melangkah dengan tergesa. Beberapa pegawai yang melihatnya langsung menundukkan kepala seraya menghormati. Ketika berhasil melewati pintu lobi yang berputar dan hampir menarik handle pintu mobil yang terparkir disana, seseorang menahan jemarinya.“Biar aku antar,” ucap pria itu.Kayla menatap tangannya yang hangat dalam genggaman. Lalu, ia menatap pria itu dengan dalam. Sungguh! Ingin rasanya ia mencaci. Namun, ia tak mampu lakukan itu. Faktanya gengsi wanita memang lebih besar. Dan Kayla, menyingkirkan genggaman itu dengan tangannya yang lain.“Tidak perlu.”Gadis itu hendak menarik kembali handle pintu tersebut. Namun, lagi-lagi tertahan.“Jangan keras kepala!”“Tsk!”Kayla berdecih sambil memalingkan wajahnya ke arah lain.“Jangan sok peduli!”
“Kau mau mandi bersama?”Kris mengerlingkan mata pada gadis yang kini telah resmi menyandang status sebagai istrinya. Naomi yang tengah berbaring disisinya, lantas menoleh. Pipi pun jadi merona seketika. Ini bukan kali pertama—tapi mendengar pertanyaan itu membuat gemuruh jantungnya berdetak hebat.“Eung …”Tak butuh jawaban dari wanita itu. Kris langsung beranjak lalu membopong gadis itu hingga Naomi terpekik karena gerakan yang begitu tiba-tiba.“Kyaaaaaaaa!”Meskipun begitu, Naomi begitu merasa dicintai. Tak pernah menyangka bahwa pria yang selama ini bekerjasama dengannya sebagai rekan kerja, menjadi pasangan seumur hidupnya.Waktu berlalu begitu saja—entah sejak kapan mereka telah berada dalam kondisi yang polos dan saling berpangkuan di atas bathup. Meski udara dingin menusuk tulang, keduanya justru dibasahi oleh peluh yang bercampur dengan air busa di bathup ters
“Apa kau sudah menikah?” Jantung Rama seketika diremas, setiap kali bertemu orang dan di usianya yang menginjak kepala tiga—pertanyaan tentang pernikahan selalu mengiang di telinganya. Padahal, mereka ke tempat itu untuk membicarakan soal bisnis. Tapi, Tuan Hoover seolah memancing adrenalin-nya. Rama melirik ke arah Arjuna yang tersenyum tipis, seperti orang yang sangat bahagia atas penderitaan orang lain. “I-tuuuu,” gumam Rama. Sebenarnya ia bisa saja menjawab bahwa sudah ada calon dan akan segera melangsungkan pernikahan. Tapi bibirnya terasa kaku. “Sayangnya, aku tak mungkin memberikan putriku untukmu, Rama ….” “Apa?” “Apa?” Kontan Arjuna dan Rama membeliak. “Karena Chayra sudah milik Sadewa.” Lelucon macam apa itu, Rama hampir mencelos mendengar pernyataan Jarvis. Ternyata ia hanya bergurau. ‘Ya Tuhan … lelucon macam apa itu.’ Rama bermonolog lalu tersenyum tipis. Di tengah makan mal
Memandang wajah Rama yang berubah pias membuat Kayla tersenyum dibalik Zivaa yang penuh mengisi layar ponsel itu. Zivaa dan Sadewa seolah sengaja membuat Rama tak berkutik dengan menggodanya.“Ayolah, Paman! Jangan membuat Bibi Kayla menunggu lebih lama lagi.”“Eung …”Di ujung panggilan video itu, terlihat Rama yang terus menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia terdengar menghela nafas berkali-kali.“Sudahlah, kalian jangan terus menerus menggoda Paman Rama.”Anjani meraih ponsel itu dari wajah Zivaa dan mengembalikannya pada Kayla. Ia lantas merebut Sadewa dalam genggaman sang ibu mertua.“Bu, biarkan Kayla berbicara dengan Rama. Mereka pasti saling merindukan,” goda Anjani.Lantas ia beranjak menuju kamar Sadewa.“Ayo, Bu!”Zivaa pun mengangguk dan berpindah dari ruang keluarga menuju kamar anak bayi itu. Setelah kedua orang itu berlalu dan menghilang dari pandangan. Kayla lantas menatap layar ponsel itu dengan senyum tak biasa.“Kau menertawakanku?” “Tidak. Hanya saja … lucu.”“Ap
Dalam perjalanan menuju bandara, Rama tak berhenti diam. Ia terus mendengus sambil sesekali mengecek ponselnya. Hasrat yang belum tuntas dan rasa rindu pun sudah menggebu bahkan sebelum ia benar-benar meninggalkan tanah air. Arjuna yang sedari tadi mengamati, hanya bisa menggelengkan kepala. Dasar si keras kepala itu. Ia tidak ingin cepat-cepat menikahi wanita yang sudah jelas dicintai.“Baru saja bertemu, kau sudah rindu?”Rama pun menoleh hingga matanya bersirobok di udara dengan Arjuna.“Ya?”“Kau itu terlalu gengsi!”“Apa?”Tak lama suara gelak tawa memenuhi penjuru mobil. Arjuna terlihat begitu puas menertawai sang adik yang jelas-jelas tengah dilanda frustasi.“Ada yang lucu?” tanya Rama kesal karena ditertawai begitu saja.“Sikapmu yang lucu! Kau tidak ingin menikahinya cepat-cepat, tapi kau dengan lihai melakukan permainan di kantor. Aku sampai merinding—hih!”“Shut up!”Meski mereka pernah berseteru, tapi setiap kali Arjuna mengolok-olok Rama, tak ada lagi kecanggungan dianta
“Apa kau setuju jika Sadewa dijodohkan dengan rekan bisnisku?”Mata gadis itu membola. Seketika Anjani terperanjat hingga tanpa sadar mendorong tubuh Arjuna menjauh.“Kau gila?”“Tenanglah!” seru Arjuna dengan senyum tak biasa, membuat Anjani semakin tak tenang. Bagaimana mungkin bayi yang belum genap sebulan sudah ingin dijodohkan? Apa suaminya ini gila?Anjani tak berhenti menggeleng sambil menatap mata sang suami dengan tajam.“Dia Tuan Hoover yang akan menginvestasikan dananya untuk proyek Paradise.”“Paradise?”“Ya, setelah semua sengketa clear tak ada alasan untuk menunda pembangunan bukan?”Anjani termangu. Tiba-tiba sorot matanya meredup. Bagaimanapun tanah itu, pernah berdiri sebuah bangunan yang penuh kenangan. Tapi, semua sudah berlalu. Anjani seharusnya tak lagi mengingat itu sementara ia sudah memiliki Arjuna dan Sadewa di sisinya.“Kenapa?”Arjuna seolah tahu apa yang dipikirkan oleh sang istri. Ia menengadahkan wajah sang istri lalu menangkup pipi serta mengusapnya lemb