Aku hanya mengangguk dan melihat mertuaku itu pergi berlalu.
Seketika, aku teringat ketika aku datang ke rumah ini tiga tahun yang lalu.
Semua anggota keluarga menerimaku dengan baik. Mereka sudah menganggap aku salah satu bagian dari keluarnya. Bahkan, Bibik pun sudah aku anggap seperti ibuku sendiri.
“Riana, makan dulu,” ajak Bibik melihatku datang masih mengenakan seragam keperawatan.
“Nanti saja, Bik. Aku mau melihat keadaan Nyonya dulu,” jawabku melangkah ke kamar Yeni.
Sebagai perawat Yeni selama hampir 3 tahun, aku bekerja dengan giat.
Aku memang butuh biaya untuk membayar hutang ayahku kapada rentenir yang dipakai berobat oleh ayahku. Nasibku sebagai anak sulung dan menganggung beban keluarga semenjak ayah di PHK dari tempatnya bekerja saat pendemi melanda.
Tetapi, hari itu... Yeni memutuskan untuk menjadikan aku madunya.
Meski Alvian awalnya menolak, tetapi ia tak kuasa menolak permintaan istri yang dicintainya.
Sementara itu, aku pun takut mendengarkan permintaan tersebut. Saat itu aku memang belum punya kekasih, tapi tidak ingin menikah dengan orang yang tidak aku cintai. Apalagi usiaku dengan Alvian sangat jauh. Dia lebih pantas menjadi ayah atau omku.
“Ma-maaf, ta-tapi saya tidak setuju dengan pernikahan ini. Kenapa Nyonya tidak tanya saya dulu, saya sedang marah Nyonya,” protesku takut-takut.
“Riana, tolong … tolong penuhi permintaanku terakhir kali. Hidupku tinggal menghitung hari. Aku tidak ingin suamiku yang baik ini mendapatkan wanita yang tidak aku kenal. Sudah cukup aku tidak bisa memberikannya kebahagiaan dengan memberinya anak,” kata Yeni memohon.
“Tapi Nyonya, saya … saya tidak mencintai Tuan. Demikian juga sebaliknya,” jawabku bergeming keluar dari kamar dengan perasaan campur aduk.
Hingga tiba di dapur hatiku masih bergemuruh.
Bibik yang mengetahui kondisiku menghampiri dan bertanya apa yang sedang terjadi.
Aku pun menceritakan permintaan dari Yeni.
Bibik menghela napas berat dan memandangku. “Ri, kamu ingin menjadi orang yang menyesal seumur hidup. Ini permintaan orang yang sudah diambang kematian. Bibik pikir, tidak ada yang jelek dari Tuan Alvian. Bahkan sangat sempurna untuk seorang suami meski usianya jauh di atas kamu. Beliau sangat setia dan tidak pernah berbuat buruk selama ini.”
“Apa Bibik juga membela mereka? Aku bukan barang yang tidak punya hati”
Kembali Bibik mengusap rambutku.
Dengan lembut Bibik bercerita selama mengikuti keluarga Alvian semenjak mereka menikah.
Tidak pernah melihat ada pertengkaran meski Yeni mengalami sakit selama bertahun-tahun tetapi Alvian tetap setia dan tidak pernah mendengar perempuan lain selain istrinya.
Bibik pernah mendengar curhatan Yeni dengan kondisinya yang semakin buruk meski sudah menjalani berbagai pengobatan.
Dia sangat mencintai suaminya semenjak di bangku SMA. Tidak ingin jika dia meninggal Alvian tidak mendapatkan pendamping untuk melanjutkan hidupnya. Yeni sangat tahu sifat Alvian yang setia hanya dengan 1 wanita.
“Kamu pertimbangkan dulu, kasihan Nyonya. Bibik harap kamu bisa terima sebagai bentuk balas budi. Jika suatu hari nanti kalian tidak cocok bisa pisah.”
“Astaga, Riana hanya menikah sekali Bik. Tidak mau berkali-kali,” ucapku kesal.
“Kalau begitu pertimbangkan saja. Tidak ada yang jelek dengan Tuan Alvian. Malah kamu mestinya bersyukur sudah dipilih menjadi pendampingnya,” sahut Bibik.
“Kalau kamu keberatan tidak usah,” kata Alvian tegas.
Kami terkejut mendengar suara Alvian yang tiba-tiba muncul di dapur.
Rasa malu dan campur aduk saat itu di dalam hatiku mengingat kebaikan mereka selama ini yang sudah menganggapku seperti keluarga.
Kulirik Alvian yang selama ini terkesan dingin selama aku menjadi perawat istrinya.
Dia jarang memerintahku apalagi berbincang jika tidak atas permintaan istrinya.
Dia menyakinkan aku jika hanya menuruti kehendak istri yang sangat dicintai. Jika setelah menikah aku tidak cocok maka dia akan melepasku dengan senang hati. Akhirnya aku menurut, dan terjadilah pernikahan kami yang dihadiri oleh keluarga saja karena kondisi Yeni semakin buruk.
Semua keluarga Alvian menyetujui tetapi tidak dengan Weni, mamanya Alvian.
Dia menganggapku sebagai orang yang sudah merebut perhatian Yeni. Selama ini nasihat Weni yang didengar tetapi semenjak hadirnya aku di dalam keluarga nasihat Weni sering diabaikan oleh Yeni.
Aku sendiri tidak tahu, mengapa Yeni sering mengabaikan Weni. Dan selama menjadi perawatnya tidak pernah menanyakan akan hal itu kepada Yeni karena kuanggap sebagai privasi.
***
Dan disinilah aku, bersama Weni.
Namun, belum sempat mertuaku itu berkata, kami terkejut melihat kedatangan Alvian yang tiba-tiba.
Dalam diam, aku menyibukkan diri dengan membersihkan piring kotor yang ada di meja makan.
“Ada apa, Ma?”
“Hmm … ti-dak , tidak ada apa-apa, iya kan, Ri?” ucap Mama dengan menginjak kakiku membuatku terjingkat.
“Iya, tidak ada apa-apa, Tuan. Tadi Nyonya Besar sedang mengenang memori Nyonya Yeni,” kataku bohong.
Alvian menatap tajam ke arah kami bergantian, kemudian menatapku. “Jangan panggil aku Tuan, ingat itu!” ucapnya kemudian bebalik dan pergi dari hadapan kami.
Aku terkejut mendengarnya. Kesambet apa Alvian sampai tidak mau aku panggil Tuan?
Sementara itu, Weni kemudian menarik napas dan menarik tanganku. "Mama mau bicara dengan menantu mama."
Kupaksakan senyum mendengar itu."Jangan sampai Alvian tahu!" ancamnya begitu tiba di tempat yang sepi.
Ia lalu menyuruhku untuk menemuinya di taman.
Ada tatapan sinis dan mengejek di matanya yang membuatku mengepalkan tangan menahan emosi.
Meski aku ingin melawan, tetapi aku menghormatinya sebagai orang tua. Jadi, aku pun memilih mengangguk.
Hanya saja ... setelah kepergian Weni dari hadapanku, samar aku mendengar obrolan dari balik dinding yang membuat telingaku panas.
Beberapa pelayan tampak membicarakanku dengan antusias.
“Riana adalah pelakor. Dia mengasut Yeni supaya menikahkannya dengan Alvian. Sungguh licik wanita itu.”
Pukul 9 malam, aku menyetujui untuk datang ke taman samping rumah meski telingaku masih panas dengan obrolan sebagian keluarga yang ada ruang tengah. Aku tidak perduli setelah ini aku pun bisa pergi dan minta bercerai dari suamiku, Alvian. Tugasku sebagai balas budi sudah selesai dan ingin menyehatkan telinga dengan menghilangkan tuduhan mereka yang tidak mendasar. “Sepi, kemana Nyonya Weni?”gumamku lirih. Tetapi aku dikejutkan oleh kedatangan beberapa orang keluarga Alvian diantaranya adalah Weni. “Punya nyali juga kamu rupanya,”ucap salah satu keluarga yang aku lupa namanya. “Saya ada janji dengan Nyonya Weni,”jawabku setelah menarik napas panjang agar bisa tenang. “Langsung saja, Ri. Saya membawaku ke sini untuk kesepakatan. Bukankah kamu menikah dengan Alvian karena berhasil menghasut Yeni. Sungguh licik kamu, demi harta yang Yeni miliki kamu bisa meyakinkannya supaya menjadikan kamu Nyonya di rumah ini, jangan mimpi!” “Maaf, Nyonya. Sejak awal saya menikah dengan Tuan Alvian
Menyeret koperku ke luar kamar, itulah jalan satu-satunya untuk pilihanku saat ini. Alvian sudah menalakku, meski aku belum memberikan penjelasan. Ada rasa lega ada juga sesal sudah mengenal keluarga Yeni. Andai saja aku tidak memilih untuk menjadi istri Alvian mungkin nasibku tidak seburuk ini. Kulihat sekali lagi sosok yang terbaring tak beraturan di sofa kamar dengan rasa sesal.Mengusap air mata agar tidak jatuh dan terlihat lemah. Kututup pintu kamar dan menuruni anak tangga sembari menyeret 2 koper besar. Aku memilih segera pergi tanpa menunggu Alvian bangun. Percuma jika aku memberikan penjelasan karena Alvian sudah memberikan talaknya kepadaku.“Nona mau kemana?” Suara Bibik menghentikan langkahku.“Aku harus pulang, Bik. Tuan Alvian sudah manalakku. Jaga baik-baik majikan Bibik.”Bibik melongo dengan menutup bibirnya yang tak bergincu. Dia mencoba menarik lenganku tetapi aku memaksa dengan halus supaya melepaskannya. Dengan berbagai alasan aku meyakinkan Bibik jika aku baik-b
Ayah menatap tajam keluar rumah. Aku mengikutinya dari belakang dengan penasaran. Nampak Weni dan beberapa laki-laki di belakangnya turun dan berjalan dengan angkuhnya menuju ke rumah. Senyum mengejek nampak dari wanita yang usianya lebih tua dari ibuku tersebut. “Apa kabar, Sandiaza?” Sapaan yang kurasa lebih tepatnya ejekan yang ditujukan kepada Ayahku. Aku mengernyit melihat interaksi kedua orang yang terlihat bermusuhan. Ayah tidak biasanya bersikap tidak sopan apalagi tahu jika Weni adalah ibu mertuaku, tepatnya mantan mertua. Para tamu duduk tanpa dipersilakan oleh pemilik rumah. Weni dengan angkuh melihat interior yang berada di sekitarnya. Sedangkan orang-orang yang mengikutinya turut mengawasi pergerakan kami, seolah ada kami seorang penjahat. “Berikan ponsel kamu!” perintahnya. Tentu aku terkejut, “Buat apa, Nyonya. Bukannya saya sudah keluar dari rumah itu. Apalagi yang Nyonya inginkan?” “Kamu baru dapat kiriman uang dari Alvian, kan. Kamu tidak layak menerima uang it
“Kak … Kak Riana, buka pintunya!” teriak adikku sangat keras. Dengan cepat kubuka pintu yang terbuat dari papan triplek tersebut. Kulihat wajah ketakutan dari adikku Faris yang berdiri sembari mengulurkan ponselnya. Dari tatapannya aku bisa pastikan sesuatu sudah terjadi dengan adikku. “Apa yang terjadi?” “Mertua Kakak sudah merampas ponselku dan memintaku mentranfer uang yang ada di rekening,” kata Faris dengan tubuh gemetar. “Apa? Gila, tuh orang. Trus gimana?” tanyaku penasaran. Sekarang aku yang kalut jika uang yang ada di rekening adikku habis bagaimana kami melanjutkan hidup nantinya. Mantan mertua kejam, tidak berperasaan sama sekali. Aku panik dan menyuruh adikku untuk minum terlebih dahulu. Kulihat wajahnya pucat dan gemetar. Kutenangkan diri Faris di ruang tamu sedangkan pikiranku sekarang blank tidak tahu hendak melakukan apa selanjutnya. Setelah tenang kemudian Faris bercerita jika bertemu dengan Weni saat keluar dari warung yang berada di ujung jalan. Waktu itu jala
Alvian terkejut melihat sikap ayahku. Tidak biasanya dia menerima sikap kasar dari kedua orangtuaku selama ini. Meskipun mereka tidak suka dengan pernikahanku yang tiba-tiba. Terlihat senyum mengejek dari Weni, dengan tangan bersedekap. Diarihnya putra semata wayang tersebut dan maju ke hadapan ayahku.“Orang miskin yang tidak tahu budi.” Weni menoleh kepada Alvian, “lihatlah, dia tidak menghormatimu. Sudah ditolong tidak tahu terima kasih. Sebaiknya segera kau ceriakan Riana, dan jangan berhubungan dengannya lagi! Ayo pulang, jangan sampai kita kena penyakit miskin dari mereka. Hari ini aku putuskan untuk tidak lagi mengenal keluargamu, Sandiaza,” teriak Weni dengan kasar menarik tangan Alvian.“Aku tidak sangka, kau khianati kepercayaan istriku, Riana. Jangan harap kamu bisa bebas berkeliaran setelah membuat kekacauan ini. Kupastikan hidup kamu tidak akan tenang, camkan itu, Riana!” ancam Alvian.Pria yang masih menatap tajam ke arahku itupun mengikuti langkah Weni. Sebelum memaksak
Segera kututup ponsel dan melirik ke arah dua orang berjarak agak jauh di belakang tempat dudukku. Rasa takut menjalar mengira jika orang-orang Weni atau Alvian membututi kepergianku. Kugeser tempat duduk memilih tempat yang lebih ramai. Dari cermin ponsel kulihat mereka celingukan mencari seseorang.Bunyi pengeras suara dari stasiun terdengar. Meminta para penumpang segera naik ke dalam kereta. Segera beranjak menuju arah kereta datang. Dengan menggunakan jaket berusaha menutupi wajahku. Baru melangkah terasa dua orang yang berkacamata hitam menarik bajuku.“Maaf, Nona. Kami utusan Tuan Alvian. Nona tidak bisa pergi dari kota ini begitu saja,” ancam salah satu pria berkacamata.“Kenapa, aku tidak ada urusan dengan Tuan kalian lagi,” dengusku kesal sembari meronta melepaskan cekalan tangan mereka.Aku memberi isyarat kepada petugas stasiun, mereka mendekat dengan lambaian tangan. Beruntung mereka mengerti dan segera mendekat ke arah kami. Dengan menarik tangan kedua orang suruhan Alvi
Aku menggeliat merasakan tubuhku remuk redam. Mata terbuka perlahan, masih teringat ketika berada dalam satu kamar dengan Dewi. Kuedarkan pandangan sekeliling tidak kutemui teman SMP ku itu di dalam kamar. “Mungkin dia sudah keluar kamar,” batinku. Setelah membersihkan diri aku bersiap untuk segera melanjutkan perjalanan menuju kantor perkebunan yang letaknya beberapa jam dari sini. Kulihat dari gogle mab tempat itu berada di perbukitan yang menarah ke utara. Aku menunggu Dewi hingga beberapa menit. Bodohnya aku semalam tidak minta nomer telponnya. Mondar-madir menunggu dengan perasaan tidak sabar akhirnya kuputuskan untuk bertanya kepada recepsionist. Aku terkejut mendapatkan pesan jika Dewi sudah pergi meninggalkan hotel duluan. Tetapi tagihan hotel sudah dibayar lunas, aku lega. Setidaknya dia tidak membohongi aku. Tapi yang membuatku heran mengapa menghilang tiba-tiba. Tidak ada pesan pula untukku. Bodo amat pikirku, mungkin dia tergesa-gesa dengan urusan keluarganya. Segera
Aku mulai gelisah ketika ia mengetahui bahwa diriku sedang hamil. Garis dua di tes peck membuatku sempat syok dan tidak dapat berpikir jernih. Terlebih lagi, sudah resmi diceraikan oleh Alvian. Hatiku dipenuhi dengan perasaan campur aduk, tidak tahu harus menghadapi kedepannya bagaimana. “Apa aku harus menghubungi Ibu. Takut beliau malah sakit. Tapi … ah … sudahlah. Sementara aku bisa menyembunyikan kehadiran anak ini terlebih dahulu. Nanti dipikirkan sambil jalan. Aku harus kerja ekstra sekarang, demi keluarga dan juga … anak dalam kandunganku,” batinku mencoba menenangkan diri. Tiba di kantor perkebunan Sari memberondong pertanyaan yang semakin membuatku bertambah pusing. Seandainya dia bukan sahabat yang sudah menolongku pasti aku sudah pergi dari hadapannya. Rupanya Sari tidak melihat kekalutan yang sekarang menderaku. Telinga kupasang handsed supaya tidak mendengar lagi ocehan Sari yang tidak ada hentinya. Sahabatku itu hanya menggeleng kepala melihat sikapku yang tidak menanga
Kami saat ini sedang berkumpul untuk merayakan unversari pernikahanku dengan Alvian. Gedung mewah menjadi momen kebahagiaan kami yang sudah mengaruhi bahtera rumag tangga selama 15 tahun. Undangan para kolega dan sahabat kami berikan memperingati kebahgiaan kami saat ini. Aku dan Alvian berdiri menatap para tamu yang datang. Sari dengan keluarganya, Siti dengan calon tunagannya. Hari yang membuat kami bahagia setelah melewati semuanya dengan penuh ketegangan selama ini. Cahaya lampu kristal yang berkilauan menerangi ruangan ballroom yang megah. Alunan musik romantis mengalun merdu diiringi tarian para tamu undangan. Di tengah keramaian, aku dan Alvian berdiri bergandengan tangan, saling menatap dengan penuh cinta dan kebahagiaan. Malam ini adalah malam spesial, malam di mana kami merayakan 15 tahun pernikahan kami. Lima belas tahun telah berlalu sejak kami mengucapkan janji suci pernikahan hanya di depan para saksi dan keluarga. Perjalanan pernikahan kami tidak selalu mulus. Ada rin
Sebagai manusia, kita hanya punya rencana. Selebihnya adalah Tuhan yang punya kuasa. Aku dan Alvian tidak hentinya bersyukur dengan kondisi kami saat ini. denga cobaan yang sering datang silih berganti dengan keterbatasan kemampuan akhirnya kami berhasil melewati semua ini dengan baik. Perjodohan dari sebuah perjanjian yang menjadikan kami pelajaran hidup yang tidak bisa digantikan. Benih-benih cinta tumbuh seiring perjalanan cinta yang luar biasa. Kami tidak sangka jika akan dipertemukan dalam situasi sepertisaat ini di mana Alvian yang uasianya jauh di atasku menjadi suamiku dengan semua ketulusan dan kasih sayangnya. Di malam hari, saat bulan bersinar kami mengungkapkan rasa cinta dengan dari dalam diri dengan penuh kekaguman. Aku memandangi Alvian dengan penuh kasih sayang. Kubalut tubuh polos kami dalam selimut tebal dengan mengungkapkan kata-kata mesra. “Mas, tak pernah kubayangkan perjodohan yang awalnya terasa asing dan penuh keraguan ini, justru mengantarkan kita pada cinta
Lima tahun berlalu, persahabatanku dengan Sari dan Hendra tidak pernah putus meski mereka tidak lagi menjadi bagian milik kami. Sari membuka usaha baru dengan toko makanan sebagai pendamping butiknya yang masih kecil dengan Hendra. Ditambah kedua orang tuanya ikut membantu usahanya seperti ayah dan ibuku. Sari dan Hendra bagaikan dua pasang sepatu yang serasi. Sejak awal pernikahan mereka, mereka selalu saling mendukung dan bahu membahu dalam segala hal. Semangat kewirausahaan yang mereka miliki mendorong mereka untuk membangun usaha bersama. Awalnya, mereka memulai usaha kecil-kecilan di rumah. Sari, dengan bakat memasaknya yang luar biasa, mulai membuat kue dan camilan rumahan. Hendra, yang pandai dalam hal pemasaran dan penjualan, mempromosikan produk Sari melalui media sosial dan menjajaki pasar online. Usaha mereka yang kecil perlahan-lahan mulai berkembang. Kue dan camilan Sari mendapat banyak pujian dari pelanggan karena kelezatan dan kualitasnya. Hendra pun berhasil memperlu
Alvian, dengan tekad dan kegigihannya, berhasil mengembangkan perusahaan milik Yeni hingga mencapai puncak kejayaan. Perusahaan yang dulunya hanya sebuah usaha kecil di Medan, kini telah menjelma menjadi raksasa di bidangnya, dengan jangkauan yang mendunia. Alvian melangkah dengan penuh keyakinan dan tekad di lorong-lorong kantor pusat perusahaan Yeni. Dasi yang rapi dan kemeja putihnya tak lekang oleh keringat yang membasahi dahinya. Tatapan matanya tajam dan berbinar, memancarkan aura optimisme yang tak tergoyahkan. Langkahnya tegas dan penuh tujuan, seolah-olah dia tahu persis ke mana dia ingin pergi dan apa yang ingin dia capai. Di balik kesuksesan Alvian, tersembunyi sebuah perjuangan panjang dan penuh rintangan. Dia memulai karirnya di perusahaan Yeni sebagai karyawan biasa, dengan gaji yang pas-pasan dan jam kerja yang panjang. Namun, dia tidak pernah puas dengan keadaan yang ada. Dia selalu memiliki mimpi besar untuk membawa perusahaan Yeni ke puncak kejayaan. “Mas, melihat
Andini dan Aldo, dua buah hatiku, tumbuh dengan pesat, mekar menjadi tunas-tunas cerdas dan berprestasi. Kecerdasan mereka bagaikan mentari pagi, menerangi setiap langkah mereka. Di bangku sekolah, mereka selalu bersinar, menorehkan prestasi demi prestasi. Andini, si sulung, dengan kecerdasannya yang analitis, selalu unggul dalam bidang matematika dan sains. Ia bagaikan kompas yang selalu menunjukkan arah yang tepat, memecahkan setiap soal dengan kejelian dan logika yang luar biasa. Malam hari di ruang keluarga, setelah makan malam. Aku dan Alvian duduk di sofa, menikmati teh hangat sambil berbincang tentang anak-anak. "Mas, kamu lihat Andini dan Aldo hari ini? Mereka benar-benar luar biasa!" "Iya, aku juga perhatikan. Prestasi mereka di sekolah selalu membanggakan." "Andini, si sulung, makin jago aja nih di bidang matematika. Dia selalu mendapatkan nilai sempurna di setiap ujian." "Iya, dia memang cerdas dan tekun belajar. Aku yakin dia akan menjadi seorang yang sukses di masa de
Akhirnya Sari dan Hendra mendapatkan kebahagiaan dengan pernikahannya. Kami sekeluarga sangat senang dengan kondisi Sari yang telah diterima oleh kedua orang tuanya pasca penolakan. Mereka tetap bekerja di butik milikku. Hendra sedikir demi sedikit diajari oleh Alvian tentang cara membuka usaha baru agar tidak dipandang rendah oleh kedua mertuanya. Dia mengajarkan bagaimana bertanggung jawab kepada keluarga besar Sari yang tinggal bersamanya. Setahun berlalu, kami, aku dan Sari memiliki keluarga yang bahagia dengan pencapaian masing-masing. Aku tidak lagi memperkerjakan Sari di butik karena dia sudah memilih usaha barunya bersama suami meski hanya kecil-kecilan. Kedua orng tuanya sudah mulai menerima Hendra yang menyayangi Sari dan keluarganya tanpa pilih kasih. Sari juga sudah dikaruniai seorang anak dari pernikahannya. Hawa hangat pagi hari menyelimuti rumah kecil Sari dan Hendra. Suara tawa riang anak mereka, Dinda, terdengar dari ruang tamu. Sari sedang menyiapkan sarapan di dapu
Pernikahan Sari dan Hendra dilangsungkan dengan khidmat dan penuh kebahagiaan. Suasana dipenuhi dengan tawa, haru, dan doa dari keluarga dan teman-teman yang hadir. Sari yang terlihat cantik dan anggun dalam balutan gaun pengantin putih, tak henti-hentinya memancarkan aura kebahagiaan. Hendra pun tampak gagah dan berseri-seri di sisinya.Suara musik pernikahan mengalun merdu mengiringi langkah kaki Sari yang anggun menuju altar. Gaun putihnya yang berkilauan bagaikan gaun putri, memantulkan cahaya lampu yang menerangi ruangan. Hendra, sang mempelai pria, sudah menunggunya dengan penuh kerinduan di altar.Upacara pernikahan dipimpin oleh seorang penghulu yang terkenal bijaksana. Doa-doa dipanjatkan untuk kelancaran pernikahan mereka dan agar mereka selalu dilimpahi kebahagiaan."Sari, maukah kau menjadi istriku?" tanya Hendra dengan suara mantap."Ya, Hendra," jawab Sari dengan suara bergetar karena haru. "Aku bersedia menjadi istrimu."Suara tepuk tangan dan sorak-sorai menggema di ru
Melihat betapa rumitnya hubungan mereka, aku tak kuasa untuk melepaskan masalah ini. Sari sudah banyak membantuku selama aku dalam kesulitan. Demi sahabat aku dan Alvian akan berbicara dengan kedua orangtuanya Sari. Usia Sari sudah waktunya untuk berumah tangga. Selama ini ia selalu menghindar dari perkotaan karena tidak cocok dan tidak cinta dengan calon suaminya. Cinta tidak dapat dipaksakan, demikian juga dengan hati. Pengalaman mengajarkan aku untuk tidak memaksaku diri atas cinta. Kalau cinta seimbang dan sama-ada rasa tidak masalah. Tetapi jika cinta bertepuk sebelah tangan, jangan berharap akan bahagia untuk selamanya. "Sayang, kita harus bantu Sari. Aku ingin dia bersama dengan Hendra. Dia lelaki baik yang selama ini aku kenal. Alvian yang sering bersama anak-anak menoleh ke arahku. Aku belum cerita tentang Sari dan masalahnya. Andini dan Aldo yang bermain akhirnya masuk ke dalam kamar. Mereka tahu kedua orang tuanya sedang membicarakan masalah serius. Inilah kelebihan anak
Cahaya rembulan menembus jendela kamar Sari, menemaninya yang terduduk di atas ranjang. Air mata membasahi pipinya, membasahi surat yang baru saja dia baca. Surat itu berisi penolakan keras dari orang tuanya terhadap hubungannya dengan Hendra."Aku bingung harus bagaimana, Riana. Orang tuaku tidak merestui hubungan aku dengan Hendra. Hatiku terasa bagaikan teriris pisau. Aku tak habis pikir mengapa orang tuaku begitu menentang hubunganku dengan Hendra. Bagiku, Hendra adalah cinta sejati, pria yang selalu membuatku bahagia dan selalu ada untukku.”Aku mengusap punggung Sari yang baru bercerita setelah aku mendesaknya. Awalnya dia menolak tak ingin hubungannya yang belum mendapat restu diketahui oleh publik. Bagaimanapun Sari adalah orang terdekat yang membantuku selama ini. Dalam keadaan susah sekalipun dia tidak pernah pergi dari sisiku.Di tengah kesedihan yang tak berujung, Sari teringat padaku yang tadi memergoki mereka sedang berdua di dalam ruangan. Meski aku tidak ingin ikut cam