Ayah menatap tajam keluar rumah. Aku mengikutinya dari belakang dengan penasaran. Nampak Weni dan beberapa laki-laki di belakangnya turun dan berjalan dengan angkuhnya menuju ke rumah. Senyum mengejek nampak dari wanita yang usianya lebih tua dari ibuku tersebut.
“Apa kabar, Sandiaza?”
Sapaan yang kurasa lebih tepatnya ejekan yang ditujukan kepada Ayahku. Aku mengernyit melihat interaksi kedua orang yang terlihat bermusuhan. Ayah tidak biasanya bersikap tidak sopan apalagi tahu jika Weni adalah ibu mertuaku, tepatnya mantan mertua.
Para tamu duduk tanpa dipersilakan oleh pemilik rumah. Weni dengan angkuh melihat interior yang berada di sekitarnya. Sedangkan orang-orang yang mengikutinya turut mengawasi pergerakan kami, seolah ada kami seorang penjahat.
“Berikan ponsel kamu!” perintahnya.
Tentu aku terkejut, “Buat apa, Nyonya. Bukannya saya sudah keluar dari rumah itu. Apalagi yang Nyonya inginkan?”
“Kamu baru dapat kiriman uang dari Alvian, kan. Kamu tidak layak menerima uang itu.” Weni mengeluarkan amplop coklat, “Ini sudah cukup untukmu.”
Tiba-tiba Ayah maju dan melempar uang itu ke muka Weni, “Sudah cukup kamu hina kami. Meski kami miskin, kami tidak akan meminta belas kasihmu. Jika bukan karena permintaan Riana, aku tidak sudi menikahkan anakku dengan anakmu.
“Huh, sombong sekali kamu Sandiaza. Masih baik aku mau memberi kalian kompensasi. Tetapi jika tidak mau, baiklah.” Weni menoleh ke arahku. “Berikan ponselmu!”
Aku masih bingung menatap ke arah Ayah. Dengan isyarat anggukan, ayah memerintahkan menyerahkan apa yang Weni minta, tapi belum aku tetap bergeming. Bagaimana nasib keluargaku jika uang dari Alvian diminta lagi.
“Ini hakku, Nyonya tidak berhak merebutnya,” ucapku tetap kekeh mempertahankan hak milikku.
Ayah mendekatiku raut wajah tidak suka saat aku mengatakan hal itu kepada Weni. Tangan lelaki yang sudah puluhan tahun membesarkanku tersebut terulur mengambil ponsel yang ada di tanganku. Aku hanya bisa menatap wajah ayah dengan gurat kecewa dengan menggelengkan kepala. Apa yang sebenarnya terjadi antara mereka, Weni dan Ayah.
“Riana, kamu dengar Ayah. Kita tidak akan mati kelaparan meski tanpa uang dari Alvian. Jangan kau rendahkan harga dirimu hanya karena uang,” kata Ayah dengan tegas.
‘T-tapi, Yah. Ini sudah kesepakatan dengan Tuan Alvian.”
“Berikan, supaya wanita ini tidak terus menghina kita.”
Melihat raut wajah ayah yang merah padam, dengan terpaksa aku memberikan ponsel serta pasword-nya. Sesak melihat wajah Weni tertawa penuh kemenangan. Aku tidak tahu apa yang sudah dia perbuat hingga ayah sangat marah melihat kehadiran Weni ketika tiba di rumah ini. Merekapun pergi dengan membawa uangnya dan menyuruhku mentransfer semua saldo yang tertera di M-Banking. Gila, uangku terkuras habis. Untung aku sempat mengirim kepada adikku sebelumnya.
Sepeninggal mantan mertuaku aku terduduk lemas. Berpikir untuk melakukan sesuatu untuk kehidupan kami selanjutnya. Selama ini kami hidup dengan mengandalkan gajiku sebagai perawat Yeni. Aku sering mendapatkan tips dari maduku tersebut tanpa sepengetahuan keluarganya. Sering aku berpikir jika uang Yeni tidak habis dimakan tujuh turunan. Dia bukan wanita pelit, sering memberikan tips pula kepada pelayan yang lain. Tetapi mengapa Weni tidak suka dengan sikap Yeni?
Ayah menghampiriku dan memberikan peringatan agar aku tidak berhubungan lagi dengan keluarga mantan suamiku. Aku mengangguk, mengambil kembali hati ayah yang sempat menjauh setelah pernikahanku dengan Alvian. Aku tidak berani menyakan alasan ayah karena aku tahu sifat ayah. Terlihat raut kecewa di wajah ayah kepadaku.
“Maafkan Riana, Ayah. Sudah bikin Ayah kecewa, Riana janji akan segera mencari pekerjaan baru,” ujarku meyakinkan.
Tidak ada reaksi dari ayah, dia melangkah masuk ke kamar. Terdengar bunyi pintu dikunci, aku terhenyak. Menyadari jika ibu di dalam masih sesak napas, tetapi mengapa ayah bersikeras tidak mau aku membawanya berobat. Sedalam itukah rasa kecewanya kepadaku, hingga urusan ibu aku tidak boleh mengetahuinya.
Dengan pikiran kacau aku melangkah masuk ke kamar menunggu kedatangan adikku yang belum pulang dari membeli makanan. Ponselku berbunyi, notifikasi dari nomer tak dikenal memberitahu jika proses perceraianku sedang diurus oleh Alvian. Secepatnya akan diantar ke rumah.
“Kenapa bukan Tuan Alvian sendiri yang bilang. Benar-benar seperti orang dicampakkan,” gumamku.
Kupencet nomer mantan suamiku terdengar sangat berisik suara musik yang keras terdengar. Dimana sesungguhnya Alvian saat ini, lama tidak ada sautan hingga suara-suara aneh merusak pendengaranku. Aku yakin sekarang Alvian berada di sebuah tempat hiburan. Ternyata apa yang dikatakan Bibik tentang sosoknya yang alim dan setia tidak terbukti. Beruntung aku lepas darinya sebelum dikaruniai seorang anak. Nasibku sekarang menjadi janda muda, siapa yang mau denganku nanti.
Tiba-tiba ponselku berbunyi setelah aku mengakhiri panggilan kepada Alvian. Dia telpon balik masih punya hati juga ternyata.
“Hallo, Riana. Sekarang Alvian sedang happy fun denganku. Kamu sudah mantan, jangan ganggu dia lagi,” ucap seorang perempuan di sebrang.
“Kamu siapa, aku hanya ingin bicara dengan orang yang punya ponsel ini,” sahutku.
Terdengar tawa keras dari sebrang, “Kenalin, gue calon istrinya. Sekali lagi gue calon istrinya Alvian.”
Deg!
"Ca--lon istri?"Secepat itu kah?“Kak … Kak Riana, buka pintunya!” teriak adikku sangat keras. Dengan cepat kubuka pintu yang terbuat dari papan triplek tersebut. Kulihat wajah ketakutan dari adikku Faris yang berdiri sembari mengulurkan ponselnya. Dari tatapannya aku bisa pastikan sesuatu sudah terjadi dengan adikku. “Apa yang terjadi?” “Mertua Kakak sudah merampas ponselku dan memintaku mentranfer uang yang ada di rekening,” kata Faris dengan tubuh gemetar. “Apa? Gila, tuh orang. Trus gimana?” tanyaku penasaran. Sekarang aku yang kalut jika uang yang ada di rekening adikku habis bagaimana kami melanjutkan hidup nantinya. Mantan mertua kejam, tidak berperasaan sama sekali. Aku panik dan menyuruh adikku untuk minum terlebih dahulu. Kulihat wajahnya pucat dan gemetar. Kutenangkan diri Faris di ruang tamu sedangkan pikiranku sekarang blank tidak tahu hendak melakukan apa selanjutnya. Setelah tenang kemudian Faris bercerita jika bertemu dengan Weni saat keluar dari warung yang berada di ujung jalan. Waktu itu jala
Alvian terkejut melihat sikap ayahku. Tidak biasanya dia menerima sikap kasar dari kedua orangtuaku selama ini. Meskipun mereka tidak suka dengan pernikahanku yang tiba-tiba. Terlihat senyum mengejek dari Weni, dengan tangan bersedekap. Diarihnya putra semata wayang tersebut dan maju ke hadapan ayahku.“Orang miskin yang tidak tahu budi.” Weni menoleh kepada Alvian, “lihatlah, dia tidak menghormatimu. Sudah ditolong tidak tahu terima kasih. Sebaiknya segera kau ceriakan Riana, dan jangan berhubungan dengannya lagi! Ayo pulang, jangan sampai kita kena penyakit miskin dari mereka. Hari ini aku putuskan untuk tidak lagi mengenal keluargamu, Sandiaza,” teriak Weni dengan kasar menarik tangan Alvian.“Aku tidak sangka, kau khianati kepercayaan istriku, Riana. Jangan harap kamu bisa bebas berkeliaran setelah membuat kekacauan ini. Kupastikan hidup kamu tidak akan tenang, camkan itu, Riana!” ancam Alvian.Pria yang masih menatap tajam ke arahku itupun mengikuti langkah Weni. Sebelum memaksak
Segera kututup ponsel dan melirik ke arah dua orang berjarak agak jauh di belakang tempat dudukku. Rasa takut menjalar mengira jika orang-orang Weni atau Alvian membututi kepergianku. Kugeser tempat duduk memilih tempat yang lebih ramai. Dari cermin ponsel kulihat mereka celingukan mencari seseorang.Bunyi pengeras suara dari stasiun terdengar. Meminta para penumpang segera naik ke dalam kereta. Segera beranjak menuju arah kereta datang. Dengan menggunakan jaket berusaha menutupi wajahku. Baru melangkah terasa dua orang yang berkacamata hitam menarik bajuku.“Maaf, Nona. Kami utusan Tuan Alvian. Nona tidak bisa pergi dari kota ini begitu saja,” ancam salah satu pria berkacamata.“Kenapa, aku tidak ada urusan dengan Tuan kalian lagi,” dengusku kesal sembari meronta melepaskan cekalan tangan mereka.Aku memberi isyarat kepada petugas stasiun, mereka mendekat dengan lambaian tangan. Beruntung mereka mengerti dan segera mendekat ke arah kami. Dengan menarik tangan kedua orang suruhan Alvi
Aku menggeliat merasakan tubuhku remuk redam. Mata terbuka perlahan, masih teringat ketika berada dalam satu kamar dengan Dewi. Kuedarkan pandangan sekeliling tidak kutemui teman SMP ku itu di dalam kamar. “Mungkin dia sudah keluar kamar,” batinku. Setelah membersihkan diri aku bersiap untuk segera melanjutkan perjalanan menuju kantor perkebunan yang letaknya beberapa jam dari sini. Kulihat dari gogle mab tempat itu berada di perbukitan yang menarah ke utara. Aku menunggu Dewi hingga beberapa menit. Bodohnya aku semalam tidak minta nomer telponnya. Mondar-madir menunggu dengan perasaan tidak sabar akhirnya kuputuskan untuk bertanya kepada recepsionist. Aku terkejut mendapatkan pesan jika Dewi sudah pergi meninggalkan hotel duluan. Tetapi tagihan hotel sudah dibayar lunas, aku lega. Setidaknya dia tidak membohongi aku. Tapi yang membuatku heran mengapa menghilang tiba-tiba. Tidak ada pesan pula untukku. Bodo amat pikirku, mungkin dia tergesa-gesa dengan urusan keluarganya. Segera
Aku mulai gelisah ketika ia mengetahui bahwa diriku sedang hamil. Garis dua di tes peck membuatku sempat syok dan tidak dapat berpikir jernih. Terlebih lagi, sudah resmi diceraikan oleh Alvian. Hatiku dipenuhi dengan perasaan campur aduk, tidak tahu harus menghadapi kedepannya bagaimana. “Apa aku harus menghubungi Ibu. Takut beliau malah sakit. Tapi … ah … sudahlah. Sementara aku bisa menyembunyikan kehadiran anak ini terlebih dahulu. Nanti dipikirkan sambil jalan. Aku harus kerja ekstra sekarang, demi keluarga dan juga … anak dalam kandunganku,” batinku mencoba menenangkan diri. Tiba di kantor perkebunan Sari memberondong pertanyaan yang semakin membuatku bertambah pusing. Seandainya dia bukan sahabat yang sudah menolongku pasti aku sudah pergi dari hadapannya. Rupanya Sari tidak melihat kekalutan yang sekarang menderaku. Telinga kupasang handsed supaya tidak mendengar lagi ocehan Sari yang tidak ada hentinya. Sahabatku itu hanya menggeleng kepala melihat sikapku yang tidak menanga
Aku hanya menunduk, bukan karena pasrah dengan tuduhan Dewi yang terang-terangan menyudutkan pekerjaanku. Kutahan kuat-kuat emosi dengan meremas kedua jari tanganku. Beruntung, Sari menenangkanku dengan menggenggam tanganku yang sedang meremas. Setelah tenang aku menatap Dewi tanpa rasa bersalah. “Baik, saya kerjakan ulang,” kataku tanpa ingin menyebut nama atau sebutan sebagai Bos di sini. Kulihat sudut bibir Dewi mencebik mengejek. Kenapa dia jadi berubah di depan orang-orang? Apa ini memang sifat Dewi? Kemana kebaikan yang kemarin ditujukan kepadaku? Pikiran penuh dengan pertanyaan tentang siapa Dewi sesungguhnya. “Bagus, dan ingat! Jangan sampai aku dengar perusahaan ini merugi hanya karena karayawan baru yang tidak becus kerjaannya.” Dewi menatap kearah Sari, “Sari, jangan kamu lindungi dia!” perintah Dewi dengan menunjuk ke arahku. “Ta-tapi, Mbak … Ri-“ ucap Sari terpotong. “Mau aku pecat kamu?! Dengar, selama aku di sini tidak ada yang boleh membantah perintahku, NGERTI SEM
Ancaman Alvian ternyata tidak terbukti. Selama beberapa hari semenjak dia berkunjung ke perumahan tidak ada yang mengangguku. Masa bodoh jika dia mengawasi pergerakanku dari tempat tersembunyi, kurang kerjaan saja pikirku. Dia bisa mendapatkan gadis yang lebih baik dariku tanpa bertanggung jawab dengan janin yang ada di perutku. Jika mengiginkan aku masuk penjara atas tuduhan membunuh Yeni, pasti sekarang aku sudah di kantor polisi. Tapi nyatanya dia tidak menyeretku ke sana. Semoga pikirannya berubah. Selama beberapa minggu, aku bergulat dengan ketidakpastian dan kecemasan. Ia tidak ingin mendapatkan rasa kasihan atau kecewa dari keluarga kuputuskan untuk tidak memberitahu soal kehamilanku kepada mereka. Dalam diamku mencoba mencari solusi sendiri. Dengan membaca banyak buku dan mencari informasi tentang kehamilan. Perubahan fisik semakin terlihat. Sejauh ini teman-teman tempatku bekerja belum ada yang bertanya tentang hal. Bersyukur mempunyai patner kerja seperti Sari dan Joko. B
Hampir setiap hari selama dua minggu, Dewi terus menghajarku dengan pekerjaan yang tidak masuk akal dan tidak ada rasa belas kasih sama sekali. Aku hanya bertahan sembari memikirkan langkah yang kutempuh selanjutnya. Sari mencoba mencari tahu tentang kedudukan Dewi yang sebenarnya di perkebunan kopi yang luas ini. “Kamu tenang saja Ri. Aku akan tanyakan kepada orang yang bertanggung jawab penuh dengan perkebunan. Aku tidak percaya jika Mbak Dewi punya kuasa penuh di sini. Kita bisa laporkan ini kepada atasan kalau dia sudah menyalahgunakan jabatan,” hibur Sari. "Terima kasih, Sar. Hanya kalian yang tahu masalahku di sini. Tapi mengenai anak yang kukandung ini aku …” ucapku terpotong dengan kedatangan Alvian yang tiba-tiba di kantor. Semua terbelalak melihat sosok tampan yang berdiri di depan pintu. Tatapan tajam menuju ke arahku. “Apa kalian terganggu dengan pekerjaan kalian dengan kedatanganku?” tanya pria itu dengan tegas. “Tidak, tidak. Pak. Kami hanya terkejut saja dengan ked