ada GA bagi komentar sampai di sini
“Hoek … hoek ….” Hampir setiap pagi aku selalu muntah selama berjam-jam. Hal yang terlintas di otakku menatap foto pernikahanku dengan Alvian yang masih kusimpan di galeri ponsel. Konyol, tapi itulah yang terjadi padaku setiap hari, morning sicknes. “Ri, sudah siang. Gimana kondisimu, apa masih lemas?” tanya Sari memberondong pertanyaan. “Sudah baik kok. Tunggu sebentar, aku ganti baju dulu.” Kemudian setelah membersihkan diri dari kekacauan pagi bergegas ganti pakaian. Tiba-tiba tubuhku terasa sehat dan tidak terasa jika aku menuntahkan semua isi perutku tadi pagi setelah kutatap lagi foto pernikahan kami. Semangat untuk bekerja bangkit dan menyusul Sari yang sekarang di ruang tamu. “Wajah kamu masih pucat, Ri. Apa sebaiknya kamu istirahat dulu. Kebetulan Mbak Dewi hari ini tidak datang,” saran Sari. “Tidak, aku sudah sehat. Ayok, berangkat!” Tanpa melihat apa yang ada di tas kerja aku berangkat bersama dengan Sari. Jika biasanya aku yang cerewet dengan barang Sari, tapi kali
“Ri … Riana … bagaimana kondisimu?” tanya Alvian setelah mobil berhenti. Pikiranku belum sepenuhnya sadar dengan kondisi kami. Mobil masih berdiri dengan tegak di tepi jalan. Sedangkan di sebelah kanan tampak truk kopi berhenti. Kuusap wajah dengan kasar, tanganku beralih ke perut yang masih rata. “Semoga dia baik-baik saja,” batinku. Alvian termangu melihat gerakan tanganku. Secara reflek dia ikut mengusap perut yang masih datar. Aku membiarkannya. Anakku tampak tenang tidak setegang waktu mobil terbentur pembatas jalan. Tampak dari luar sopir truk mendekat. Alvian segera menyingkirkan tangan dan membuka kaca mobil. “Apa kalian baik-baik saja,” tanya sopir truk melirik ke arahku. “Kami baik-baik saja, lain kali kalau nyetir hati-hati,” balas Alvian. Mereka keluar dan berbicara agak lama. Kulihat sopir mengeluarkan sesuatu di dalam dompet, tapi Alvian menolak. Dia mengetik sesuatu di ponselnya. Mereka lantas naik kendaraan masing-masing. Tampak dari kejauhan sopir truk melihat k
Terdengar suara berisik mengganggu kenyamanan saat mata terpejam. Aku mataku memicing kepala terasa berdenyut, pusing. Berusaha bangkit dari tempatku terbaring, tapi tubuhku terasa lemas. Tangan kokoh menahan bobot tubuh membuatku terkejut seketika membuka mata. “Tuan Alvian,” ucapku lirih. “Hemm, diamlah. Kamu aman di dalam rumah.” Mataku berkeliling mencari tahu keberadaan Sari temanku. Aku tidak ingin timbul Fitnah diantara kita. Lega, ada Joko sedang duduk di kursi tamu memainkan ponselnya. Segera kugeser tubuh agar menjauh dari Alvian. Rupanya lelaki itu sadar, jika aku menjauhinya. Dia dengan memohon agar aku tidak menolak pertolongan yang diberikan. Dengan berkata lembut, dia berusaha memohon kepadaku. “Ri, tolong jangan tolak pemberianku. Tak apa jika kamu belum bisa menerimaku. Aku sadar aku salah. Tapi ini demi anak kita,” pintanya. “Anak saya, Tuan. Saya tidak ingin membuat masalah dengan Nyonya Weni dan Dewi. Keluarga saya sudah aman dari kekejaman kalian selama ini.
Setahun berlalu, aku tinggal bersama dengan bayiku di rumah kosong milik saudara Sari di perkampungan yang jauh dari tempat kami bekerja. Berkat bantuan Sari aku bisa menjauh dari Alvian dan Dewi. Sari terpaksa ikut keluar dari pekerjaan tersebut dan berpindah ke perkebunan yang lain. Dia memberiku modal seadanya untuk membuka usaha kecil-kecilan untuk bertahan hidup. Apalagi aku tidak memberitahuan kondisiku kepada orang tua dan saudaraku.Kabar Alvian pun tidak lagi aku dengar. Hanya pernah melihat siaran di TV lokal jika dia menikah dengan Dewi beberapa bulan setelah aku pergi. Ada rasa lega sekaligus kecewa di dalam hati. Jauh di lubuk hati, aku mengagumi sosok Alvian, lelaki pertama yang menyentuhku hingga memberiku seorang anak perempuan cantik. Rasa benci yang kurasakan berganti cinta kepad putriku semata wayang.Berkat bakat yang kumiliki menjahit baju dan membuat makanan aku bisa mempertahankan hidup di desa. Beruntung di rumah Sari ada mesin jahit nganggur, sehingga aku memi
Mataku melotot, melihat siapa yang datang. Sari dengan calon tunangannya berdiri tegak di depanku. Aku termangu, merasa tidak asing dengan cowok yang bersama dengan Sari. Dia pun mengernyit, kupikir dia sepemikiran denganku. “Aldi,” ucap calon tunangan Sari memperkenalkan diri. “Riana, aku temannya Sari.” Dia mengangguk mencuri pandang ke arahku. Tidak ingin ada salah paham, aku mengajak mereka untuk duduk di ruang tamu yang sempit. Sari yang membawa barang titipanku menaruhnya di atas meja. Nota pembelian diserahkan kepadaku dan mengajak calon tunangannya duduk di sampingnya. Suara tangisan Andini membuat kami menoleh ke kamar. Aku minta ijin untuk menghampiri anakku yang tidur sendirian. Sementara Siti pengasuhnya di dapur menyiapkan minuman hangat untuk tanu kami. “Cup … Sayang, cantiknya Mama. Jangan nangis, ada Tante Sari nengok kamu,” kataku kepada Andini yang masih menangis. Aku pamitan untuk memberi Asi kepada anakku dengan menutup pintu. Kulihat Aldi melirik kepadaku saa
Aku terkejut melihat Aldi sudah berdiri di depanku. Ruang dapur yang hanya tersorot lampu redup, memperlihatkan jelas tatapan pria itu dengan tajam. Bahuku begidik, pengalaman yang tidak enak mulai menyelimuti pikiranku. “Riana, kamu di sini?” ucap Aldi masih dengan sorot tajam. “I-iya … maaf, saya duluan. Mas Aldi mau ambil minum?” tanyaku penasaran. “Tidak … aku tadi mau ….” Tiba-tiba Sari datang dari dalam kamar Siti. Dia menatap kami berdua yang masih berdiri berhadapan. Tidak lama kemudian aku pamit untuk masuk ke kamar, meninggalkan mereka berdua. Sebelum aku melangkah, bisik dari Aldi terdengar dekat di telingaku. “Kamu tadi menguping pembicaraanku? Jangan macam-macam dengan aku, Riana!” ancamnya. Kulihat Sari yang terus mengawasi gerak-gerik kami. Tanpa balasan kepadan Aldi aku berlalu menuju kamar. Terdengar perdebatan antara Aldi dan Sari di belakang. Aku jadi penasaran apa yang sebenarnya Aldi rencanakan? Beberapa jam kemudian tidak lagi terdengar percakapan keduanya
“Sari ….”Aku terkejut melihat kedatangan Sari yang tiba-tiba. Sahabat yang sudah menolongku tersebut segera merebut map yang akan aku tanda tangani. Mata Sari nanar menatap Aldi dan temannya. Seperti pahlawan dia berdiri tepat di depan kami.“Kalian, jangan coba-coba mengganggu temanku. Sudah cukup kalian mengadu domba kami. Jangan kalian pikir, kami adalah perempuan lemah.” Sari menunjuk Aldi, “tidak kusangka kepercayaanku sudah kau racuni. Semoga kamu mendapat balasan yang setimpal,” ancam Sari dengan nada bergetar.Aku tahu perasaan yang kini sedang menimpa sahabatku. Dia yang sudah terenggut mahkotanya dan sekarang dikhianati oleh calon tunangan. Bersyukur dia tidak jadi menikah dengan Aldi. Laki-laki yang ternyata seorang penipu.“Sari … kamu tidak membenciku?” tanyaku meyakinkan.“Tidak, maafkan aku yang tempo hari tidak mempercayaimu, Riana. Aku bodoh, percaya dengan orang yang aku kenal. Sekarang aku tahu, bahaya apa yang sudah menimpamu hingga detik ini.”Kedua laki-laki te
Aku dan Sari mengelilingi kebon singkong yang tingginya diatas kepala. Berharap mereka sedang berada di tengah-tengah tanaman tersebut. Selama ini kami sering diajak pemilik kebon untuk ikut mengambil singkong untuk camilan. Hampir satu jam aku dan Sari mengitari kebon sambil memanggil nama Andini dan Siti. Tapi tidak kunjung menemukan mereka.“Ya, Tuhan. Di mana mereka? Tidak mungkin hilang dari sini?” ucapku dengan dada sesak.“Tenang, Ri. Kita cari keliling kampung, barangkali mereka jalan-jalan. Biasanya Siti singgah ke tetangga mana kalau jam segini?” tanya Sari sembari menggigit bibir.“Hanya belanja ke warung sebelah. Tapi … tadi kami sudah belanja, kemudian datang Aldi dan temannya. Aku takut, Sar. Aku takut Siti dan anakku diculik.”Seketika aku teringat, saat Aldi dan temannya melarikan diri. Di belakang motor mereka tiba-tiba-tiba nyelonong mobil Panter hijau yang berkaca gelap. Mobil itu baru kulihat, karena yang mempunyai mobil di kampung ini bisa dihitung dengan jari.Ti