Pukul 9 malam, aku menyetujui untuk datang ke taman samping rumah meski telingaku masih panas dengan obrolan sebagian keluarga yang ada ruang tengah. Aku tidak perduli setelah ini aku pun bisa pergi dan minta bercerai dari suamiku, Alvian. Tugasku sebagai balas budi sudah selesai dan ingin menyehatkan telinga dengan menghilangkan tuduhan mereka yang tidak mendasar.
“Sepi, kemana Nyonya Weni?”gumamku lirih. Tetapi aku dikejutkan oleh kedatangan beberapa orang keluarga Alvian diantaranya adalah Weni.
“Punya nyali juga kamu rupanya,”ucap salah satu keluarga yang aku lupa namanya.
“Saya ada janji dengan Nyonya Weni,”jawabku setelah menarik napas panjang agar bisa tenang.
“Langsung saja, Ri. Saya membawaku ke sini untuk kesepakatan. Bukankah kamu menikah dengan Alvian karena berhasil menghasut Yeni. Sungguh licik kamu, demi harta yang Yeni miliki kamu bisa meyakinkannya supaya menjadikan kamu Nyonya di rumah ini, jangan mimpi!”
“Maaf, Nyonya. Sejak awal saya menikah dengan Tuan Alvian karena terpaksa ….”
“Halah, alasan saja kamu. Sekarang tulis berapa uang yang kamu inginkan supaya kamu pergi dari kehidupan anakku. Jangan harap kamu jadi Nyonya besar di rumah ini. Aku sudah punya calon yang lebih baik dari kamu,”ancam Weni sembari menunjuk ke wajahku.
Hatiku sangat panas mendengar tuduhan Weni. Namun aku berusaha untuk menjaga mulutku agar tidak mengeluarkan kata-kata kotor kepada wanita yang lebih tua. Apalagi dia dengan terang-terangan menunjukkan sikap bermusuhan dengan tidak menerimaku sebagai menantunya. Kupikir buat apalagi aku bertahan jika tidak ada restu dari orang tua Alvian.
“Baiklah Nyonya Weni yang terhormat. Saya tidak butuh uang Anda. Tetapi saya menikah dengan baik-baik maka kembalikan saya dengan baik-baik kepada orang tua saya. Saya juga tidak mencintai Tuan Alvian, saya sudah punya calon sendiri,” sahutku berbohong. Sakit sekali saat dibuang oleh orang yang tidak menginginkan kehadiran kita.
“Jadi kamu sudah punya calon suami, Riana?”
Kami semua menoleh ke arah suara yang sudah familiar di telingaku. Alvian berdiri dan menatap tajam ke arahku. Aku bingung seperti orang bodoh, niatku hanya ingin membalas ucapan Weni tetapi malah berbalik. Kemudian aku mendekati suamiku yang sudah 10 hari menikahiku.
“Bu-bukan seperti yang Tuan lihat,” ucapku menyangkalnya.
“Lantas, apa telingaku yang sudah tidak berfungsi?”Alvian menatap tajam. “Kalau kamu memang ingin lepas dariku, baiklah. Aku akan kabulkan pemintaanmu. Semua bukan mauku, kamu yang minta. Jangan khawatir aku akan memberikan kompensasi kepadamu,” ucap Alvian lantas pergi dari hadapan kami.
Wajah-wajah yang sekarang di hadapanku tertawa mengejek dengan kemenangan. Ingin rasanya kubungkam bibir mereka yang mengolokku. Weni berjalan mendekat dan mencengkram daguku dan meremasnya. Meski hanya merasakan sedikit sakit tetapi ucapan yang keluar dari bibirnya membuatku ingin segera meninggalkan rumah ini.
“Kamu tidak pantas tinggal di sini. Kamu hanya perawat, tugasmu sudah selesai ketika majikan yang kamu rawat sudah tidak ada di dunia ini. Kalau sampai kamu dinikahi Alvian itu adalah sebagian dari tugas kamu. Jangan kamu pikir Alvian akan main hati setelah menikahimu. Kamu hanya seorang pelayan yang merawat menantuku yang kaya. Dan ingat, menantuku berasal dari keluarga kaya dan terpandang, bukan rakyat jelata sepertimu, ngerti!”
Aku hanya melihat wajah-wajah dengan penuh kemenangan pergi dari hadapanku. Meski kesal tidak bisa membalas tapi aku tidak ingin pergi dengan kesan buruk di hadapan Alvian.
Bergegas aku menemui Alvian yang kupikir sedang berada di ruang kerjanya. Meski ada rasa takut aku mencoba mengetuk pintu. Capek juga mengetuk pintu kayu yang besar, kenapa tidak otomatis pakai remot seperti di film-film. Kemana perginya Alvian jangan-jangan ketiduran di dalam atau pergi dari rumah.
Bibik yang melihatku berdiri lama di depan ruang kerja menyapaku.
“Nona Riana mencari Tuan.” Aku mengangguk
“Tadi saya lihat keluar dengan temannya. Saya dengar mengurus perceraian.”
“Apa?” ucapku terkejut, “Hemm, ya sudah, Bik. Makasih.”
Bergegas aku masuk ke kamar mencari ponsel dan mencoba menghubungi Alvian. Aku hanya ingin menjelaskan agar tidak ada kesalah pahaman. Bukan dengan fitnah yang sekarang dilakukan oleh Weni. Mereka akan semena-mena menfitnahku jika keluar dengan cara seperti ini. Lama tidak tersambung hingga aku lemas dan tertidur di kasur.
**
“Bangun, dan kemasi semua barangmu! Sekarang juga kamu aku pulangkan ke rumah orang tuamu.”
“Tuan, saya ingin bicara sebentar.”
Mata alvian terlihat merah dan bau alkokol menyengat di hidungku.
Apakah dia mabuk-mabukan di luar sana sejak tadi?
Menurut cerita Bibik, Alvian tidak pernah melakukan hal itu selama menjalin rumah tangga dengan Yeni. Tetapi pemandangan di depan mataku membuatku merasa dikhianati. Dia hanya tampak baik di depan Yeni, tetapi di belakang ternyata sama saja dengan laki-laki lainnya. Kesetiaannya juga perlu diragukan.
“Tuan, mabuk?” tanyaku memberanikan diri.
“Apa pedulimu, silakan kalau mau bicara sebelum kesabaranku habis,” geramnya dengan mata nanar menatap sekujur tubuhku.
“Kita bicara setelah Tuan sadar. Kondisi kepala dingin biar tidak terjadi salah paham,” pintaku.
“Aku masih waras, cepat katakan! Kamu minta kompensasi berapa selama menjadi istriku? Aku tidak sekejam laki-laki lain yang habis manis sepah dibuang. Satu milar cukup kuberikan padamu yang sudah melayaniku selama menjadi istriku 10 hari ini. Hari ini juga aku menalakmu, Riana. Kamu sudah bukan lagi istriku,” kata Alvian dengan keras kemudian tidak sadarkan diri ambruk di sofa.
Deg!
Jantungku seakan berhenti berdetak. Mendengar kalimat keramat yang diucapkan oleh suamiku, Alvian Pratama. Statusku sudah menjadi janda di hari ke-10 pernikahanku. Setelah menelan egoku kuat-kuat untuk menerima pernikahan ini sekarang dihempaskan begitu saja. Aku dibuang seperti barang yang tidak pernah berharga.
Menyeret koperku ke luar kamar, itulah jalan satu-satunya untuk pilihanku saat ini. Alvian sudah menalakku, meski aku belum memberikan penjelasan. Ada rasa lega ada juga sesal sudah mengenal keluarga Yeni. Andai saja aku tidak memilih untuk menjadi istri Alvian mungkin nasibku tidak seburuk ini. Kulihat sekali lagi sosok yang terbaring tak beraturan di sofa kamar dengan rasa sesal.Mengusap air mata agar tidak jatuh dan terlihat lemah. Kututup pintu kamar dan menuruni anak tangga sembari menyeret 2 koper besar. Aku memilih segera pergi tanpa menunggu Alvian bangun. Percuma jika aku memberikan penjelasan karena Alvian sudah memberikan talaknya kepadaku.“Nona mau kemana?” Suara Bibik menghentikan langkahku.“Aku harus pulang, Bik. Tuan Alvian sudah manalakku. Jaga baik-baik majikan Bibik.”Bibik melongo dengan menutup bibirnya yang tak bergincu. Dia mencoba menarik lenganku tetapi aku memaksa dengan halus supaya melepaskannya. Dengan berbagai alasan aku meyakinkan Bibik jika aku baik-b
Ayah menatap tajam keluar rumah. Aku mengikutinya dari belakang dengan penasaran. Nampak Weni dan beberapa laki-laki di belakangnya turun dan berjalan dengan angkuhnya menuju ke rumah. Senyum mengejek nampak dari wanita yang usianya lebih tua dari ibuku tersebut. “Apa kabar, Sandiaza?” Sapaan yang kurasa lebih tepatnya ejekan yang ditujukan kepada Ayahku. Aku mengernyit melihat interaksi kedua orang yang terlihat bermusuhan. Ayah tidak biasanya bersikap tidak sopan apalagi tahu jika Weni adalah ibu mertuaku, tepatnya mantan mertua. Para tamu duduk tanpa dipersilakan oleh pemilik rumah. Weni dengan angkuh melihat interior yang berada di sekitarnya. Sedangkan orang-orang yang mengikutinya turut mengawasi pergerakan kami, seolah ada kami seorang penjahat. “Berikan ponsel kamu!” perintahnya. Tentu aku terkejut, “Buat apa, Nyonya. Bukannya saya sudah keluar dari rumah itu. Apalagi yang Nyonya inginkan?” “Kamu baru dapat kiriman uang dari Alvian, kan. Kamu tidak layak menerima uang it
“Kak … Kak Riana, buka pintunya!” teriak adikku sangat keras. Dengan cepat kubuka pintu yang terbuat dari papan triplek tersebut. Kulihat wajah ketakutan dari adikku Faris yang berdiri sembari mengulurkan ponselnya. Dari tatapannya aku bisa pastikan sesuatu sudah terjadi dengan adikku. “Apa yang terjadi?” “Mertua Kakak sudah merampas ponselku dan memintaku mentranfer uang yang ada di rekening,” kata Faris dengan tubuh gemetar. “Apa? Gila, tuh orang. Trus gimana?” tanyaku penasaran. Sekarang aku yang kalut jika uang yang ada di rekening adikku habis bagaimana kami melanjutkan hidup nantinya. Mantan mertua kejam, tidak berperasaan sama sekali. Aku panik dan menyuruh adikku untuk minum terlebih dahulu. Kulihat wajahnya pucat dan gemetar. Kutenangkan diri Faris di ruang tamu sedangkan pikiranku sekarang blank tidak tahu hendak melakukan apa selanjutnya. Setelah tenang kemudian Faris bercerita jika bertemu dengan Weni saat keluar dari warung yang berada di ujung jalan. Waktu itu jala
Alvian terkejut melihat sikap ayahku. Tidak biasanya dia menerima sikap kasar dari kedua orangtuaku selama ini. Meskipun mereka tidak suka dengan pernikahanku yang tiba-tiba. Terlihat senyum mengejek dari Weni, dengan tangan bersedekap. Diarihnya putra semata wayang tersebut dan maju ke hadapan ayahku.“Orang miskin yang tidak tahu budi.” Weni menoleh kepada Alvian, “lihatlah, dia tidak menghormatimu. Sudah ditolong tidak tahu terima kasih. Sebaiknya segera kau ceriakan Riana, dan jangan berhubungan dengannya lagi! Ayo pulang, jangan sampai kita kena penyakit miskin dari mereka. Hari ini aku putuskan untuk tidak lagi mengenal keluargamu, Sandiaza,” teriak Weni dengan kasar menarik tangan Alvian.“Aku tidak sangka, kau khianati kepercayaan istriku, Riana. Jangan harap kamu bisa bebas berkeliaran setelah membuat kekacauan ini. Kupastikan hidup kamu tidak akan tenang, camkan itu, Riana!” ancam Alvian.Pria yang masih menatap tajam ke arahku itupun mengikuti langkah Weni. Sebelum memaksak
Segera kututup ponsel dan melirik ke arah dua orang berjarak agak jauh di belakang tempat dudukku. Rasa takut menjalar mengira jika orang-orang Weni atau Alvian membututi kepergianku. Kugeser tempat duduk memilih tempat yang lebih ramai. Dari cermin ponsel kulihat mereka celingukan mencari seseorang.Bunyi pengeras suara dari stasiun terdengar. Meminta para penumpang segera naik ke dalam kereta. Segera beranjak menuju arah kereta datang. Dengan menggunakan jaket berusaha menutupi wajahku. Baru melangkah terasa dua orang yang berkacamata hitam menarik bajuku.“Maaf, Nona. Kami utusan Tuan Alvian. Nona tidak bisa pergi dari kota ini begitu saja,” ancam salah satu pria berkacamata.“Kenapa, aku tidak ada urusan dengan Tuan kalian lagi,” dengusku kesal sembari meronta melepaskan cekalan tangan mereka.Aku memberi isyarat kepada petugas stasiun, mereka mendekat dengan lambaian tangan. Beruntung mereka mengerti dan segera mendekat ke arah kami. Dengan menarik tangan kedua orang suruhan Alvi
Aku menggeliat merasakan tubuhku remuk redam. Mata terbuka perlahan, masih teringat ketika berada dalam satu kamar dengan Dewi. Kuedarkan pandangan sekeliling tidak kutemui teman SMP ku itu di dalam kamar. “Mungkin dia sudah keluar kamar,” batinku. Setelah membersihkan diri aku bersiap untuk segera melanjutkan perjalanan menuju kantor perkebunan yang letaknya beberapa jam dari sini. Kulihat dari gogle mab tempat itu berada di perbukitan yang menarah ke utara. Aku menunggu Dewi hingga beberapa menit. Bodohnya aku semalam tidak minta nomer telponnya. Mondar-madir menunggu dengan perasaan tidak sabar akhirnya kuputuskan untuk bertanya kepada recepsionist. Aku terkejut mendapatkan pesan jika Dewi sudah pergi meninggalkan hotel duluan. Tetapi tagihan hotel sudah dibayar lunas, aku lega. Setidaknya dia tidak membohongi aku. Tapi yang membuatku heran mengapa menghilang tiba-tiba. Tidak ada pesan pula untukku. Bodo amat pikirku, mungkin dia tergesa-gesa dengan urusan keluarganya. Segera
Aku mulai gelisah ketika ia mengetahui bahwa diriku sedang hamil. Garis dua di tes peck membuatku sempat syok dan tidak dapat berpikir jernih. Terlebih lagi, sudah resmi diceraikan oleh Alvian. Hatiku dipenuhi dengan perasaan campur aduk, tidak tahu harus menghadapi kedepannya bagaimana. “Apa aku harus menghubungi Ibu. Takut beliau malah sakit. Tapi … ah … sudahlah. Sementara aku bisa menyembunyikan kehadiran anak ini terlebih dahulu. Nanti dipikirkan sambil jalan. Aku harus kerja ekstra sekarang, demi keluarga dan juga … anak dalam kandunganku,” batinku mencoba menenangkan diri. Tiba di kantor perkebunan Sari memberondong pertanyaan yang semakin membuatku bertambah pusing. Seandainya dia bukan sahabat yang sudah menolongku pasti aku sudah pergi dari hadapannya. Rupanya Sari tidak melihat kekalutan yang sekarang menderaku. Telinga kupasang handsed supaya tidak mendengar lagi ocehan Sari yang tidak ada hentinya. Sahabatku itu hanya menggeleng kepala melihat sikapku yang tidak menanga
Aku hanya menunduk, bukan karena pasrah dengan tuduhan Dewi yang terang-terangan menyudutkan pekerjaanku. Kutahan kuat-kuat emosi dengan meremas kedua jari tanganku. Beruntung, Sari menenangkanku dengan menggenggam tanganku yang sedang meremas. Setelah tenang aku menatap Dewi tanpa rasa bersalah. “Baik, saya kerjakan ulang,” kataku tanpa ingin menyebut nama atau sebutan sebagai Bos di sini. Kulihat sudut bibir Dewi mencebik mengejek. Kenapa dia jadi berubah di depan orang-orang? Apa ini memang sifat Dewi? Kemana kebaikan yang kemarin ditujukan kepadaku? Pikiran penuh dengan pertanyaan tentang siapa Dewi sesungguhnya. “Bagus, dan ingat! Jangan sampai aku dengar perusahaan ini merugi hanya karena karayawan baru yang tidak becus kerjaannya.” Dewi menatap kearah Sari, “Sari, jangan kamu lindungi dia!” perintah Dewi dengan menunjuk ke arahku. “Ta-tapi, Mbak … Ri-“ ucap Sari terpotong. “Mau aku pecat kamu?! Dengar, selama aku di sini tidak ada yang boleh membantah perintahku, NGERTI SEM