***
"Apa? Nikah?"Di sebuah restoran ternama, saat mereka makan malam keluarga, sang Papa melontarkan ucapan yang membuat Alula menghentikan kegiatan makannya. Dia menatap sang Papa juga Pria paruh baya yang duduk di depannya secara bergantian.Tak ada angin, tak ada hujan, sang papa, tiba-tiba saja menjodohkan Alula. Pria itu bernama Arka, yang malam ini kebetulan ikut hadir di acara makan malam.Selain keluarga Alula, ada juga keluarga Arka datang, meskipun tanpa ibunya. Ayah Arka, ternyata sudah merencanakan perjodohan ini sejak lama. Sifat Arka yang rajin, penurut, juga pintar dalam segala hal rasanya sangat cocok dengan Alula yang memiliki sifat serupa.Alula dan Arka akan menjadi pasangan yang serasi dan rumah tangga keduanya pasti akan sangat tertata, begitulah yang dipikirkan para orang tua ketika merencanakan perjodohan ini."Iya, satu bulan lagi kamu nikah sama Arka," jawab sang papa yang membuat Alula semakin terkejut."Pa, ini Papa lagi ngeprank?" tanya Alula—masih dengan wajah terkejutnya, dengan keputusan yang tiba-tiba saja diambil sang Papa, karena sebelumnya tak pernah sekali pun dia mendengar akan dijodohkan dengan siapapun.Lagipula, Alula sudah memiliki kekasih. Selain itu, dia juga berniat mengambil pendidikan lanjutan tentang ilmu design ke London."No, Papa serius," jawab pria di depan Alula itu dengan raut wajah yang serius.Dari Alula, dia mengalihkan pandanganya ke arah Arka yang duduk di depan mereka. "Rencana perjodohan ini sebenarnya sudah lama kami buat, tapi Papa sengaja enggak kasih tahu supaya jadi kejutan.""Iya," jawab Dirga, Papa Arka. "Kamu tenang saja Alula, anak Om pria yang bertanggungjawab. Enggak perlu khawatir.""Iya kamu tenang saja, Saya pria baik-baik," ucap Arka yang ikut meyakinkan Alula agar percaya padanya. Namun, respon yang diberikan Alula tetap saja tak baik."Ya bukan masalah tanggungjawab apa enggak, tapi ini dadakan banget, lho," ujar Alula yang masih tak terima. "Kalian pikir aku ini ayam, apa? Main nikahin aja sembarangan.""Udah sih, terima aja, orang calon suaminya ganteng," ucap Aludra santai. Berbeda dengan saudara kembarnya yang terlihat kesal, Aludra justru sebaliknya. Dia tetap santai menyantap makanannya ketika yang lain bahkan berhenti."Apa sih, Ra? Coba deh kamu yang ada di posisi aku, dijodohin secara mendadak. Mau, enggak?" tanya Alula sewot."Ekhem." Arka berdeham lalu kembali angkat bicara ketika mendapati perempuan yang akan menjadi istrinya itu masih tak terima dengan perjodohan ini. "Ya sudah kalau Alula belum siap, pernikahannya bisa ditunda sampai siap, Om. Saya juga enggak mau maksa Alula menikah, kalau dia enggak mau.""No, Arka," tolak Dewa—Papa Alula, dengan segera. "Alula bukan enggak siap, hanya sedikit kaget saja.""Tapi Alula memang sepertinya terlihat belum siap, Om," ucap Arka pesimis."Iya," desah Alula. "Alula emang enggak siap.""Alula," tegur sang papa disertai tatapan tajam yang membuat putrinya itu tak berkutik."Enggak nyangka sebentar lagi punya Kakak ipar," celoteh Aludra—masih dengan segala sikap santainya. Sambil mengunyah makanan di mulut, dia menatap Arka. "Mana Kakak iparnya ganteng lagi."Arka tersenyum samar ketika tatapannya beradu dengan Aludra. Dalam hati dia mengucap syukur karena yang dijodohkan dengannya itu Alula, bukan Aludra yang katanya memiliki sifat yang begitu pemalas."Pokoknya sesuai rencana yang sudah kita buat ya, Pak Dirga.""Iya, Pak. Sesuai rencana saja.""Arka, tenang saja. Anak Om, baik. Sekali lagi, Alula bukan enggak siap, cuman sedikit kaget aja karena ini dadakan.""Semoga saja, Om," jawab Arka. "Tapi jika memang Alula belum siap, saya enggak akan memaksa. Saya bisa menunggu. Om tenang saja."Berbeda dengan pria lain yang akan menolak ketika dijodohkan, Arka memang memilih untuk menurut. Cukup baiknya hubungan dia dengan sang papa, membuat Arka yakin jika pilihan Papanya adalah yang terbaik untuknya.Selain itu, Arka juga sudah mendapatkan bocoran tentang bagaimana sifat dan sikap calon istrinya yang kebetulan sesuai dengan kriteria dia dalam mencari pasangan."Enggak ada nunggu, Om mau kamu nikahin Alula secepatnya. Om enggak mau kehilangan calon menantu hebat seperti kamu.""Om terlalu berlebihan dalam memuji, saya enggak sehebat itu," ucap Arka."Pokoknya kamu tetap harus nikahin anak Om, oke?""Iya, Om."Pembahasan berlanjut, Alula hanya diam ketika sang papa terus membahas persiapan pernikahannya dengan Arka, sementara Aludra? Tentu saja dia tak ambil pusing dan memilih menikmati makan malamnya.Namun, diamnya Alula bukan berarti dia menerima, karena di rumah saat mereka baru saja sampai, Alula langsung melayangkan kembali protesan pada sang papa."Pokoknya Alula enggak mau nikah sama laki-laki itu, Pa," ucap Alula sesaat setelah dia menghempaskan tubuhnya di sofa, diikuti Aludra yang melakukan hal serupa. "Alula mau lanjutin pendidikan ke London, Alula udah daftar.""Terus kamu mau mempermalukan Papa dengan batalin pernikahan ini, iya?" tanya sang papa tak mau kalah."Ya suruh siapa main jodoh-jodohin aja?" tanya Alula."Dengar Alula, Arka ini laki-laki baik. Papa jamin kamu enggak akan menyesal kalau nikah sama dia.""Enggak peduli, Pa. Mau sebaik apapun dia, Alula enggak mau," tolak Alula untuk yang kesekian kalinya. "Lagian kenapa enggak Aludra aja sih, Pa? Laki-laki itu juga pasti bakalan mau kok sama Aludra. Wajah kita kan sama.""Jangan banyak melawan, Alula. Ikuti aja perintah Papa. Lagipula Aludra sangat enggak mungkin nikah dalam waktu dekat. Kamu tahu sendiri gimana dia.""Good," ucap Aludra yang bahkan tak tersinggung sama sekali dengan ucapan sang mama. "Papa emang paling ngerti Rara.""Udah deh ya, daripada protes, lebih baik kamu masuk kamar, istirahat. Satu bulan lagi pesta, kamu harus jaga kesehatan. Papa mau istirahat dan nemuin Mama buat bicarain semuanya."Papa," desah Alula yang diabaikan sang papa.Alih-alih menanggapi Alula, pria itu justru pergi menuju kamar untuk menemui sang istri yang memang tak ikut di acara makan malam karena sedang tak enak badan."Ih enggak bisa! Aku enggak mau nikah dan enggak akan nikah sebelum cita-cita aku tercapai," ujar Alula ketika kini di ruang tamu hanya ada dia dan Aludra.Terdiam sejenak, sebuah ide tiba-tiba saja melintas di benak Alula. Cukup gila, tapi sepertinya inilah jalan keluar satu-satunya agar Alula tak harus menikah dengan Arka. Ya, tak ada cara lain lagi."Aludra," panggil Alula pada sang adik yang hampir saja terlelap."Apa?" tanya Aludra. "Ganggu aja, orang baru mau tidur.""Ikut Kakak," ucap Alula."Ke mana?""Ayo ikut aja!" ujar Alula lagi yang tanpa ragu menarik tangan Aludra menuju tangga. Tarikan di tangannya cukup erat juga Alula yang berlari, membuat Aludra mau tak mau ikut berlari agar bisa menyesuaikan langkah."Mau ke mana sih, Kak?!""Ikut aja."Sampai di lantai dua, Alula membawa Aludra ke kamarnya. Sebelum mengutarakan ide gilanya, Alula mengunci pintu agar aman."Apa, sih?" tanya Aludra."Ra, kamu sayang enggak sama Kakak?" tanya Alula tanpa basa-basi."Sayanglah, sayang banget," ujar Aludra."Kalau sayang, kamu mau kan tolongin Kakak?" tanya Alula.Aludra yang duduk di pinggir kasur, menaikkan sebelah alisnya. "Bantuin apa?" tanyanya."Kamu ...." Alula menjeda ucapan lalu duduk di depan Aludra. "Mau ya gantiin Kakak buat nikah sama Arka?""Hah?!" Kaget dengan ucapan yang baru saja dilontarkan Alula, Aludra memekik bahkan dia membulatkan matanya. "Kakak gila?! Gimana caranya, Kak?!""Caranya gampang, Ra. Kita cuman perlu tukeran posisi sama identitas. Kamu jadi Kakak, dan Kakak jadi kamu. Mau ya?""Sinting ya?" tanya Aludra. "Enggaklah! Aku enggak mau. Terlalu gila tau enggak sih, Kak. Ide Kakak tuh. Udahlah, terima aja. Nikah sama Arka terus lupain pendidikan design yang Kakak maksud. Enggak penting juga, kan?""Kok enggak penting sih, Ra?" tanya Alula. "Pendidikan design itu penting banget buat Kakak, Ra. Kakak juga udah bayar semuanya, lunas. Kamu tahu sendiri, kan, Kakak pengen jadi designer? Ayolah, Ra. Tolongin Kakak. Katanya sayang?""Ya tapi ini gila, Kak Lula!" ujar Aludra. Tak mau mendengar lagi ucapan gila sang Kakak, Aludra beranjak dari kasur. "Udahlah, daripada makin ngaco, kakak mending tidur. Aku juga mau tidur, ngantuk.""Rara.""Enggak waras," celetuk Aludra yang langsung berjalan menuju pintu. Namun, langkahnya terhenti ketika Alula memanggilnya."Kalau kamu enggak mau, Kakak mendingan mati aja, Ra. Kakak mau jadi designer, dan Kakak enggak mau nikah," ucap Alula."Terserah!" jawab Aludra tanpa menoleh, hingga rintihan Alula membuatnya berbalik dan tentunya dia terkejut melihat Alula menggoreskan pisau cutter pada pergelangan tangannya. "Kakak ngapain, Kak?!"Aludra berlari menghampiri Alula—berniat untuk mengambil pisau cutter tersebut dari tangan sang kakak. Namun, gagal karena Alula memegang pisau tersebut dengan sangat erat."Kak Lula jangan gila, Kak!""Kakak lebih baik mati aja, Lu!""Kak Lula, sadar!"Alula mendongak—menatap Aludra dengan wajah memelas. "Ra, please gantiin Kakak, Ra," lirihnya sambil terisak, sementara kedua tangan kanannya setia memegang cutter."Kak, itu gila, Kak.""I know, Ra, tapi please. Bantuin Kakak," ucap Alula. "Atau kamu emang seneng lihat Kakak mati, supaya kamu enggak ada saingan, iya?"Aludra menggeleng. "Enggak Kak, enggak gitu," ucapnya."Ya terus kenapa kamu enggak mau nolongin Kakak buat gantiin nikah sama Arka?""Ya karena Papa jodohinnya sama Kakak, bukan sama aku," ucap Aludra."Persetan sama semua itu," desis Alula. "Kalau kamu sayang sama Kakak, kamu enggak akan banyak mikir buat bantu Kakak. Kamu emang enggak sayang sama Kakak, Ra! Kakak tahu itu. Udahlah, kakak mending mati aja kalau gini!""Kak Lula, enggak!" bentak Aludra yang sigap menahan tangan Alula yang berniat lagi menggoreskan cutter."Please, Ra. Gantiin Kakak," lirih Alula."Kak Lula.""Kamu harapan Kakak satu-satunya, Ra. Mau kan, Ra? Mau ya?""Tapi kan, Kak.""Aludra Raveena, please. Mau ya?"Aludra memandang Alula dengan lekat untuk beberapa detik. "Kak.""Kenapa? Kamu mau?""Aku ... A-aku ...."***"Cantik. Riasannya sudah selesai ya, Mbak. Nanti tinggal tunggu arahan dari pembawa acaranya aja.""Iya.""Kalau begitu saya permisi dulu.""Hm."Memandangi pantulan wajahnya yang sudah dirias makeup, Aludra mengukir senyum tipis. Seperti alien. Begitulah yang dia pikirkan ketika melihat penampilannya yang terbilang cukup merepotkan.The Day. Setelah beberapa minggu persiapan, pernikahannya dengan Arka digelar pagi ini—ralat, sebenarnya ini bukan pernikahan Aludra, melainkan pernikahan Alula.Mulai dari undangan, souvenir, bahkan data-data pernikahan, semuanya atas nama Alula, bukan Aludra. Di sini, jika diibaratkan film, Aludra hanyalah stuntman yang bertugas untuk menggantikan si pemeran utama sesungguhnya.Yang membedakan adalah; Aludra menggantikan Alula bukan untuk melakukan adegan berbahaya, melainkan untuk menikah. Ya, menikah.Terlalu sayang pada sang kakak, Aludra pada akhirnya mau untuk menggantikan Alula menikah dengan Arka. Patuh terhadap saudara kembarnya itu, Aludra
***"Mas bisa tolong bantu?"Arka yang sedang duduk di pinggir kasur sambil membaca pesan dari teman-temannya sedikit terkesiap ketika panggilan dia terima dari sang make-up artist yang kini sedang merias Aludra untuk acara resepsi yang akan digelar setengah jam lagi.Menoleh, Arka menaikkan sebelah alisnya. "Ada apa, Mbak?" tanyanya."Ini bisa tolong bantu tahan kepala istrinya enggak? Daritadi agak goyang terus kayanya ngantuk," pinta sang MUA yang langsung disambut anggukkan kepala dari Arka."Bisa," jawab Arka. Beranjak, Arka yang sudah tampan dengan tuxedo abunya berjalan menghampiri Aludra yang kini duduk bersandar pada kursi. Tak memakai kursi kotak seperti biasa, Aludra memang sengaja meminta kursi yang ada sandarannya untuk dia duduk ketika di makeup karena jujur saja matanya berat sekali.Terbiasa bangun tidur pukul delapan pagi, hari ini Aludra harus bangun pukul lima karena sang MUA datang setengah lima pagi dan tentu saja makeup untuk pengantin yang memakan waktu cukup la
***'Aludra berangkat abis maghrib, dadakan banget. Mama heran deh dia kaya semangat gitu, padahal dia kan mageran. Aneh ya, Lu?'Duduk di closet sejak sepuluh menit yang lalu, Aludra terus memikirkan ucapan Aurora tadi saat pesta resepsi.Malam ini semuanya selesai. Pesta resepsi usai pukul sepuluh malam, Aludra kembali ke kamar hotel untuk berisitirahat. Jika semalam dia tidur bersama Alula, maka malam ini dia akan tidur dengan Arka—suami saudaranya.Aludra benar-benar harus mempersiapkan diri. Alula sudah pergi, dan mau tak mau dia harus mulai menjalani kehidupan barunya sebagai Alula dan semuanya dimulai dengan malam pertama yang akan terjadi sebentar lagi."Alula, kamu di mana?"Terkesiap, pandangan Alula langsung tertuju ke arah pintu kamar mandi ketika suara Arka terdengar dari dalam kamar. Setelah pesta selesai, memang hanya Aludra yang langsung ke kamar untuk melepaskan semua riasan, karena Arka harus menemui anggota keluarganya yang besok akan langsung pulang ke Bandung."Di
***"Lagi ngapain?"Tak langsung menjawab, Arka memandang pria di depannya dari ujung kepala hingga ujung kaki lalu melayangkan tatapan yang malas."Istirahat," jawab Arka singkat. "Capek. Besok mau berangkat pagi.""Arka ada siapa?"Menoleh pada Aludra, Arka membuka pintu kamar sedikit lebar agar Aludra bisa melihat siapa orang yang kini berhadapan dengannya."Kelihatan?" tanya Arka pada Aludra."Kak Aksa." Tak enak, Aludra mengubah posisinya menjadi duduk, tanpa menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhnya. "Ada apa, Kak?""Enggak ada apa-apa sih," jawab Aksa sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal, sementara Arka masih memasang wajah yang sedikit kesal karena ucapan yang pernah dilontarkan Aksa tempo hari kembali terngiang di kepalanya.Sebelum menikah, Arka sering menjadi pengganggu keromantisan Aksa dan Istrinya‐Ananta. Tak sengaja, seringkali Arka memergoki kakak dan kakak iparnya melakukan sesuatu yang mesra. Kesal karena kejadian tersebut sering terjadi, Aksa pernah berkata
***"Alula bangun, Alula. Udah jam tujuh, jam delapan kita harus berangkat.""Apaan sih."Merasa terganggu ketika Arka terus membangunkannya, Aludra yang kini tidur sambil memeluk guling, lantas menenggelamkan wajahnya agar tangan Arka tak terus menyentuh karena rasanya dingin sekali."Bangun Lula, nanti kita ketinggalan pesawat," ucap Arka—berusaha sesabar mungkin menghadapi istrinya itu."Biarin, pesawat banyak. Pesen lagi kalau ketinggalan," ucap Aludra—masih dengan kedua mata yang terpejam. "Kalau enggak ada uang, minta ke Papa aku. Uangnya banyak."Arka menghembuskan napas kasar. Dia pikir Alula adalah perempuan giat yang selalu bangun pagi, karena menurut informasi dari sang mama, Alula adalah perempuan rajin yang terbilang cukup multitalent.Ah, mungkin pagi ini karena Alula masih lelah, pikirnya."La, kalau enggak mau bangun. Aku tinggal checkout ya, nanti kamu pulang sendiri," ucap Arka yang akhirnya mampu membuat Aludra membuka matanya.Membelikkan badan, Alula menatap Arka
***"Hati-hati ya kalian di sana.""Bulan madu yang nyaman.""Jangan lupa pulang bawa kabar baik.""Kalau udah sampai kabarin."Mendesah pelan, Aludra memandangi keluarganya dan keluarga Arka yang kini berdiri di depan hotel untuk mengantar kepergiannya dan Arka untuk berbulan madu ke Korea Selatan selama seminggu.Pukul sembilan pagi, Aludra dan Arka bergegas pergi ke Bandara karena pesawat yang mereka tumpangi akan take of pukul setengah sepuluh pagi.Berlibur di bulan juli, keduanya akan menikmati musim panas di negeri ginseng yang terkenal dengan hallyu wavenya.Sekali lagi, sebenarnya Aludra sangat malas berlibur. Dia yang terbiasa tiduran sepanjang hari rasanya berat untuk pergi jauh—terlebih lagi luar negeri. Namun, gara-gara Alula, mau tak mau Aludra harus mengusir jauh rasa malasnya itu."Kalau ngantuk kamu boleh tidur dulu."Aludra yang sejak berangkat terus menyandarkan tubuhnya di jok sambil memandangi jalanan kini menoleh pada Arka yang duduk persis di sampingnya."Kalau
***"Ini kamu enggak ada niatan bantu aku bawa koper gitu?"Aludra yang melenggangkan kakinya lebih dulu setelah turun dari taksi, lantas menoleh ketika pertanyaan itu dilontarkan Arka yang kerepotan membawa dua koper sekaligus.Menempuh perjalanan tujuh jam lebih, pukul lima sore keduanya sampai di Seoul. Menggunkanan taksi, Arka membawa Aludra menuju hotel yang sudah disiapkan Dewa untuk mereka selama berada di negeri ginseng tersebut.Bukan hotel biasa, tentu saja hotel yang disiapkan Dewa adalah hotel berbintang yang memiliki fasilitas luar biasa juga pelayanan yang sangat baik."Berat," jawab Aludra enteng. "Lagipula kamu kan laki-laki, terus kamu suami. Jadi kamu aja yang bawa ya."Tak menjawab, Arka hanya menatap Aludra lalu menghembuskan napas kasar. Setelah itu, dia memilih berjalan melalui gadis itu untuk menuju meja resepsionis dengan segera.Menunjukan bukti pemesanan hotel, Arka terbebas dari dua koper berat yang sejak tadi dia bawa karena koper tersebut langsung dibawa p
“Ih, enggak aktif!”Menatap kesal layar ponselnya, Aludra yang sejak tadi tidur dengan polisi telungkup lantas bergerutu ketika ternyata nomor Alula sudah tak bisa dihubungi. Padahal, dia ingin sekali menelepon kakaknya itu untuk menanyakan bagaimana kabar dia di London dan tentu saja Aludra juga ingin menuntut permintaan terima kasih dari sang kakak untuk semua jasanya yang sudah legowo menggantikan posisi sang kakak menjadi istri Arka—pria yang saat ini dia cap sebagai pria menyebalkan.Ya, bagi Aludra, Arka itu menyebalkan. Meskipun baik, tetap saja menyebalkan. Arka tampan, tapi tetap saja dia menyebalkan. Pokoknya Arka itu menyebalkan.“Ini gimana mau tanya-tanya kalau nomor Kak Lula aja enggak aktif.”Beringsut, Aludra mengubah posisinya menjadi duduk. Mengedarkan pandangan, dia menatap jam dinding yang ada di kamar hotel. Pukul delapan malam, dan Arka belum kembali dari luar setelah setengah jam yang lalu berpamitan untuk mancari makan.Sebenarnya Arka mengajak Aludra keluar un
*** "Semangat, Sayang. Jangan tegang ya." Menunggu sekitar satu jam setelah sampai di rumah sakit, Aludra akhirnya siap masuk ruang operasi untuk melahirkan putri kecilnya. Tak didampingi Aurora, yang datang ke rumah sakit hanya Dewa karena memang sang istri tak bisa pergi setelah kedua cucunya sigap menghadang agar sang Oma tak bisa ke mana-mana. Namun, tentu saja Aurora berjanji akan datang setelah Regan maupun Raiden berhasil dia tidurkan. Untuk Amanda dan Dirga, kedua orang tua Arka juga sedang dalam perjalanan setelah ditelepon oleh sang putra setengah jam lalu. "Doain ya, Pa." "Pasti, Ra," kata Dewa. Seumur hidup Aludra, ini adalah kali ketiga dia masuk ruang operasi. Pertama saat melahirkan Regan dan Raiden, kedua ketika mendapatkan donor dari Alula dan ketiga, sekarang—ketika dia akan melahirkan putri ketiganya. Sensasinya masih sama. Ruang operasi di setiap rumah sakit masih terasa dingin dan mungkin sedikit menyeramkan. "Kita mulai sekarang ya, Bu." "Iya, dokter."
***"Aku takut."Aludra yang sejak tadi duduk bersandar sambil mengelus perutnya seketika menoleh ketika Arka yang sejak tadi fokus mengemudi tiba-tiba saja berucap demikian."Takut apa?" tanya Aludra.Arka menoleh sekilas. "Takut kamu lahiran di jalan," ucapnya. "Usia kehamilan kamu tuh udah tiga puluh tujuh minggu, Ra. Duh ngeri kan kalau lahiran di jalan.""Ck, lebay," celetuk Aludra. "Dokter Ellina kan bilang kalau HPL aku dua minggu lagi, Mas. Santai aja kali.""Kan bisa maju.""Ya jangan maju," kata Aludra. Dia kemudian mengusap lagi perutnya yang buncit. "Jangan lahir dulu ya, Sayang. Mama mau nengok aunty dulu.""Iya Mama," ucap Arka.Hari ini, Aludra memang mengajak Arka ke Karawang untuk mengunjungi makam Alula. Tak membawa anak-anak, seperti biasa Aludra menitipkan Regan dan Raiden bersama Aurora juga Dewa yang sudah berkunjung lebih dulu kemarin ke makam Alula.Kemarin, terhitung delapan belas bulan sudah Alula pergi menghadap Sang Pencipta dan Aludra masih merasa semuany
***"Mas Arka buruan ih! Kok lama!"Sekali lagi Aludra yang sejak tadi menunggu di sofa dekat tangga berteriak memanggil Arka yang tak kunjung turun. Padahal, sudah hampir sepuluh menit dia menunggu suaminya turun."Iya sayang, iya. Sebentar," sahut Arka. Memakai pakaian santai, pria itu turun dengan sedikit tergesa-gesa di tangga. "Enggak sabaran banget kamu tuh ya.""Bawaan bayi," celetuk Aludra sambil mengusap perutnya yang buncit. Minggu ini terhitung tiga puluh minggu sudah usia kandungan Aludra."Ck, alasan aja.""Emang kenyataannya gitu.""Regan sama Raiden mana?""Ke mall sama Papa dan Mama.""Beneran jadi anak Oma sama Opa ya mereka tuh," kata Arka."Ya begitulah."Sejak hamil, itensitas Aludra mengasuh anak-anak memang berkurang karena Raiden dan Regan lebih sering dipegang oleh Aurora.Selain sudah tak asi lagi, Aludra juga tak boleh kelelahan selama hamil, sementara Regan dan Raiden yang sudah genap berusia dua tahun semakin lama semakin aktif."Ya udah kita berangkat seka
***"Ini kamu seriusan mau lahiran enggak sih?"Melihat sang istri yang nampak begitu tenang menghadapi proses kontraksi, pertanyaan tersebut akhirnya dilontarkan Damar yang sejak tadi setia duduk di samping Arsya.Kehamilannya sudah mencapai tiga puluh delapan minggu, sore tadi Arsya mengalami sedikit pendarahan. Segera dibawa menuju rumah sakit, dokte kandungan lain yang selama ini menangani Arsya mengatakan jika perempuan itu sudah mengalami bukaan.Ketika datang, Arsya baru mengalami bukaan dua dan sekarang setelah tiga jam berlalu—tepatnya pukul delapan, bukaan tersebut baru sampai ke angka lima.Masih ada lima lagi angka yang harus dilewati Arsya sebelum bukaan lengkap dan bayi yang selama ini dia kandung bisa lahir ke dunia."Emang kenapa?" Arsya yang sejak tadi sibuk mengatur napas sambil menikmati gelombang cinta yang cukup luar biasa, lantas mendongak dan menatap suaminya itu. "Tenang banget," celetuk Damar. "Di film-film tuh yang aku lihat, cewek mau lahiran itu biasanya n
***"Ini seriusan enggak nyadar apa gimana?"Aludra dan Arka mengernyit tak paham sambil memandang Arsya setelah pertanyaan tersebut dilontarkan perempuan tersebut."Maksudnya?" tanya Aludra."Enggak sadar apa?" tanya Arka."Nih." Arsya menunjukkan testpack yang beberapa menit lalu dipakai Aludra. Bukan testpack biasa, testpack yang dipakai adalah testpack digital yang bisa langsung menunjukkan usia kehamilan seorang ibu karena memang saat ini Aludra sedang mengandung."Ten weeks pregnant," gumam Aludra-mengeja tulisan pada testpack lalu Arka yang ikut membaca, spontan menerjemahkan."Hamil sepuluh minggu," ucap Arka.Untuk beberapa detik, sepasang suami istri tersebut bisa dibilang nge-bug, karena setelah membaca testpack baik Aludra maupun Arka saling diam."Kok pada diem sih?" tanya Arsya."Jadi maksudnya aku hamil?" tanya Aludra."Yes, Ra. Kamu hamil," kata Arsya. "Udah sepuluh minggu malah kehamilan kamu tuh.""Kok bisa?" tanya Arka. "Aludra kan baru telat datang bulan dua bulan
***"Mas mandinya udah belum, aku udah siapin sarapan tuh. Katanya mau meeting sama Papa?"Masuk ke kamar, pertanyaan tersebut dilontarkan Aludra pada Arka ketika suaminya itu tak terlihat di dalam kamar."Mas!""Di wc, Ra!" teriak Arka—membuat Aludra seketika terkekeh karenanya."Oh lagi nabung, oke. Aku tunggu," kata Aludra. Melangkah masuk, dia duduk di pinggir kasur lalu merentangkan tubuhnya di sana.Tak lama berselang, Aludra menoleh ketika pintu kamar mandi terbuka—menampakkan Arka yang sudah rapi dengan pakaian kantornya seperti biasa.Hampir setahun setelah kepindahannya ke Jakarta secara resmi, Arka tak lagi memegang jabatan manajer di perusahaan Dewa karena sang mertua memercayakan posisi CEO pada menantunya itu.Dan tentu saja jabatan yang dipegang Arka sekarang membuat pekerjaannya lebih sibuk dari biasa."Sakit perut aku tuh," kata Arka sambil melangkahkan kakinya mendekati Aludra yang langsung beringsut ketika Arka duduk di sampingnya."Mas. Kok kamu bau?" tanya Aludra—
***"Diem terus daritadi. Bisu ya?"Anindira menoleh ke arah Alister ketika pertanyaan tersebut dilontarkan pria itu padanya tepat setelah mereka selesai berbelanja di salah satu super market besar di kota Bandung."Enggak penting," ketus Anindira. Mendorong troli berisi belanjaan, dia berjalan menuju bagasi mobil Alister yang terparkir di bagian depan. Tanpa meminta bantuan, Anindira dengan mudah membuka bagasi lalu memasukkan beberapa kresek ke sana.Sementara Alister justru tersenyum sambil bersandar pada bagian samping mobil dengan kedua tangan yang berada di dada."Samson banget kamu tuh ya," celetuk Alister. "Penampilan anggun, tapi tenaga kaya kuli pasar.""Pulang," kata Anindira yang langsung berjalan ke sisi kiri mobil lalu masuk dan duduk di samping kursi kemudi.Sebenarnya Anindira ingin duduk di kursi belakang. Namun, sial. Semua itu tak bisa dia lakukan karena jok belakang dipenuhi beberapa pasang pakaian juga sepatu Alister yang katanya akan dipakai syuting besok pagi d
***"Akhirnya selesai juga.""Capek ya?"Damar yang baru saja menghempaskan tubuhnya ke kasur seketika menoleh—memandang Arsya yang sudah santai dengan celana joger juga sweater rajut.Rangkaian acara pernikahan—mulai dari akad hingga resepsi yang digelar hari ini akhirnya selesai, keluarga Damar dan Arsya memang menginap di salah satu vila mewah di Bandung agar privasi mereka terjaga.Rencananya besok, Damar dan Arsya pulang dari Bandung menuju bandara Soekarno hatta untuk langsung pergi berbulan madu menuju Maldives selama seminggu."Banget," kata Damar. "Gempor rasanya kaki aku berdiri berjam-jam nyalamin tamu."Arsya tersenyum lalu duduk di samping Damar. Tanpa aba-aba, dia langsung meraih lengan suaminya itu untuk memberikan sebuah pijatan."Kamu ngapain?" tanya Damar speecles. Menikahi Arsya memang rasanya seperti mimpi bagi dirinya.Selain umur Arsya yang tiga tahun lebih tua dari Damar, selama masa pacaran keduanya pun tak jarang terlibat cekcok karena perbedaan pendapat yang
***"Kok tegang ya, Ar?"Arka yang duduk tak jauh dari Damar mengukir senyuman tipis ketika ungkapan itu kembali terlontar dari mulut sahabat istrinya tersebut.Menempuh perjalanan dua jam, rombongan keluarga mempelai pria sampai di lokasi pernikahan. Tak mau membuang-buang waktu, akad nikah akan segera dilaksanakan sebelum hari menjelang siang."Bismillah," kata Arka mengingatkan."Udah, tapi tetap aja tegang," kata Damar."Tarik napas, hembuskan napas terakhir," celetuk Arka asal."Oh ok ... eh apa barusan? Hembuskan napas terakhir? Mati dong, Ar.""Bercanda.""Lagi tegang malah dibercandain.""Ya udah sih, rileks aja.""Mempelai perempuan memasuki area akad nikah."Arka dan Damar menghentikan obrolan mereka setelah suara sang pembawa acara terdengar dari pengeras suara—disusul suara gamelan yang mengiring kedatangan Arsya bersama Aludra juga Anindira.Memakai adat sunda, perempuan berwajah blasteran itu nampak cantik dengan siger juga kebaya putih yang dia pakai.Manglingi. Begitu