***
'Aludra berangkat abis maghrib, dadakan banget. Mama heran deh dia kaya semangat gitu, padahal dia kan mageran. Aneh ya, Lu?'Duduk di closet sejak sepuluh menit yang lalu, Aludra terus memikirkan ucapan Aurora tadi saat pesta resepsi.Malam ini semuanya selesai. Pesta resepsi usai pukul sepuluh malam, Aludra kembali ke kamar hotel untuk berisitirahat. Jika semalam dia tidur bersama Alula, maka malam ini dia akan tidur dengan Arka—suami saudaranya.Aludra benar-benar harus mempersiapkan diri. Alula sudah pergi, dan mau tak mau dia harus mulai menjalani kehidupan barunya sebagai Alula dan semuanya dimulai dengan malam pertama yang akan terjadi sebentar lagi."Alula, kamu di mana?"Terkesiap, pandangan Alula langsung tertuju ke arah pintu kamar mandi ketika suara Arka terdengar dari dalam kamar. Setelah pesta selesai, memang hanya Aludra yang langsung ke kamar untuk melepaskan semua riasan, karena Arka harus menemui anggota keluarganya yang besok akan langsung pulang ke Bandung."Di sini," jawab Aludra. Entah kenapa, jantungnya kini berdegup lebih kencang. Aludra takut. Dia sangat tak siap menghadapi malam pertamanya dan Arka karena memang sebelumnya dia tak menyiapkan apapun. Harus bagaimanakah dia sekarang?"Kamar mandi?""Iya.""Lagi apa?" tanya Arka.Di tengah ketegangan yang dia rasakan, Aludra mendelik. "Menurut kamu di kamar mandi lagi apa? Main bola?" tanyanya.Beranjak, dia merapikan piyama satin abunya sebelum melangkah menuju pintu lalu membukanya. Di dalam kamar, Arka masih berdiri dengan tuxedonya."Udah mandi?" tanya Arka."Udah tadi pagi," jawab Aludra apa adanya."Barusan enggak mandi?" tanya Arka lagi."Enggak," jawab Aludra singkat. Setelah pemikiran panjang, dia akhirnya mengambil keputusan untuk bersikap judes pada Arka agar laki-laki itu segan mengajaknya melakukan sesuatu di malam pertama mereka, atau lebih tepatnya malam pertama Alula karena sekali lagi, Aludra hanyalah pemeran pengganti yang tugasnya menjaga Arka selama Alula sekolah.Itu berarti, Aludra tak boleh melakukan apapun dengan Arka, karena secara agama, dia tak memiliki ikatan apapun dengan Arka dan bukankah dua orang yang tak memiliki ikatan tidak boleh melakukan apapun yang berlebihan termasuk bercinta?Ah, setelah ini sepertinya Aludra harus memutar otak untuk menolak ketika Arka nanti meminta jatah padanya. Dua tahun, Arka harus tahan dua tahun tak melakukan hubungan dengan dirinya karena yang harus melayani Arka di ranjang, tetaplah Alula—istri sahnya secara hukum maupun agama."Kenapa enggak mandi?" tanya Arka. "Kamu abis keringetan barusan. Enggak gerah emangnya?""Enggak," jawab Aludra. "Lagian terserah aku dong, mau mandi ataupun enggak pun terserah aku. Orang ini badan aku, milik aku. Kenapa kamu atur-atur? Gak ada hak ya, kamu atur aku.""Kata siapa?" tanya Arka."Kata akulah," jawab Aludra."Mulai sekarang aku berhak atur kamu," kata Arka. "Meskipun kamu belum punya perasaan apapun sama aku, tapi status kamu itu istri aku dan kamu pasti tahu kalau tugas istri itu nurut sama suami.""Ya tapi kan ...." Aludra menjeda ucapannya ketika dia hampir saja keceplosan bilang jika dirinya bukan istri Arka. Dalam hati dia ingin sekali mengatakan hal tersebut. Namun, sekali lagi Aludra tak bisa karena dia sudah berjanji pada Alula."Tapi kan apa?""Tapi kan aku males mandi!" ujar Aludra. "Udah deh, kalau kamu mau mandi, sana mandi. Aku mau tidur. Ngantuk.""Tidur?" tanya Arka sambil menaikkan sebelah alisnya. "Yakin mau langsung tidur?""M-maksud kamu?" tanya Aludra yang lagi-lagi gugup. "I-iyalah e-emangnya mau apalagi?"Melihat wajah ketakutan Aludra, Arka hanya mengukir senyum tipis. Dia cukup tahu apa yang sedang dipikirkan perempuan itu. Berjalan mendekat sambil melepaskan jasnya, Arka berdiri di dekat Aludra lalu sedikit mencondongkan kepalanya."Tenang aja, aku enggak akan lakuin apapun sama kamu malam ini," ucap Arka. "Aku enggak akan maksa yang enggak mau. Aku akan tunggu sampai kamu siap."Menghembuskan napas lega, Aludra memandang Arka yang nyatanya juga tengah menatapnya. Untuk beberapa detik, dia terpesona dengan ketampanan suami saudaranya itu.Alula. Bagaimana bisa dia menolak pria setampan Arka."Kenapa lihatin aku kaya gitu?" tanya Arka yang mulai sadar dengan tatapan Aludra.Mengerjap, Aludra segera menyadarkan dirinya sendiri dari rasa terpesona pada Arka. "Enggak," jawabnya. "Siapa juga yang lihatin kamu. Pede banget.""Mau lihatin juga enggak apa-apa sih, aku suami kamu sekarang," jawab Arka. Setelahnya, dia melangkahkan kaki ke kamar mandi untuk membersihkan badan, karena badannya terasa lengket.Arka masuk ke kamar mandi, Aludra membalikkan badannya lalu memandang pintu kamar mandi tersebut. "Kamu bukan milik aku," ucapnya. "Tugasku di sini cuman jaga titipan Kak Lula."***Hampir dua puluh menit membersihkan diri, Arka keluar dari kamar mandi tanpa memakai baju karena yang dia pakai hanya handuk putih yang melilit di pinggang—membuat perut atletisnya terekspos dengan jelas.Berdiri sejenak di depan kamar mandi, lagi. Arka mengukir senyum tipis melihat Aludra yang suda tidur meringkuk di kasur seperti kepompong. Tak memakai selimut, Aludra pasti cukup kedinginan karena ac di kamar menyala."Polos banget kayanya kalau lagi tidur, padahal di makan malam waktu itu mukanya kelihatan judes banget."Berjalan menuju kopernya di sudut kamar, Arka mengambil pakaian tidur untuk dia kenakan malam itu. Dibelikan langsung oleh Aurora—mertuanya, malam ini Arka memakai piyama yang sama dengan yang dipakai Aludra.Menyisir rambut hitamnya yang basah, Arka berjalan menuju sisi kiri kasur untuk memindahkan Aludra ke tengah karena memang sekarang, dia tidur di bagian pinggir.Mencondongkan badan, Arka mengulurkan tangannya untuk meraih tubuh Aludra yang meringkuk lalu mengangkatnya dengan sangat hati-hati. Namun, di detik yang sama Aludra yang merasa sedikit terganggu membuka matanya dan jelas saja dia terkejut ketika tiba-tiba berada di gendongan Arka."Heh ngapain?!" tanya Aludra yang langsung beringsut dari gendongan Arka dan berakhir terjatuh di kasur. "Aw!""Hey, are you okay?""Jangan mendekat!" ujar Aludra—masih dengab raut wajah panik sekaligus takutnya. "Kamu mau ngapain tadi?!""Aku, tadi aku cum-""Kamu udah janji ya enggak akan maksa," ucap Aludra yang kini duduk di kasur sambil terus mundur. "Jangan ambil kesempatan dalam kesempitan. Jangan pikir karena aku tidur, aku enggak akan ngerasa. Aku bisa tau apa yang kamu lakuin meskipun aku tidur.""Emang aku mau ngelakuin apa?" tanya Arka. "Aku tadi cuman mau pindahin kamu tidur supaya enggak di pinggir, takut jatuh.""Bohong!" ujar Aludra. "Masa pindahin tidur harus digendong segala.""Ya memangnya kalau pindahin tidur harus gimana Alula? Digusur? Enggak mungkin, kan?" tanya Arka. ""Enggak sopan banget aku gusur kamu.""Ya tapi enggak gitu juga," ucap Aludra.Menghembuskan napas kasar, Arka duduk di pinggir kasur sehingga posisi mereka kini ada di ujung kanan dan ujung kiri karena Aludra yang terus mundur agar menjauh dari Arka."Sekarang kamu tidur, besok pagi kita harus berangkat.""Aku tidur, kamu buka-buka?" tanya Aludra. "Iya, kan? Maksud kamu itu, kan?""Buka-buka apa?" tanya Arka. "Kamu tidur, aku juga mau tidur. Capek.""Bohong, kamu modus," kata Aludra tak percaya."Kok bohong, aku serius," ucap Arka. "Enggak percaya? Nih aku tidur nih."Naik ke kasur, Arka membaringkan tubuhnya di sana dengan posisi miring dan tentu saja menghadap ke arah Aludra."Tuh, aku mau tidur.""Tutup matanya," perintah Aludra."Iya," jawab Arka. Menurut, dia menutup mata. Sengaja tak menutup sepenuhnya, dia mengintip Aludra yang masih duduk. "Tidur Alula, besok harus bangun pagi.""Jangan macam-macam," ucap Aludra memperingatkan."Aku mau tidur ini."Berusaha percaya, Aludra akhirnya mau membaringkan tubuh di kasur. Sama seperti Arka, dia tidur dengan posisi miring. Tak mau Arka macam-macam, Aludra mengambil guling dan menjadikannya pembatas diantara dia dan Arka."Awas ya kalau guling ini sampai geser.""Iya Lula, enggak. Aku mau tidur.""Arka.""Apa?""Jangan macam-macam!""Enggak Lula siapa juga yang mau mac-"Ucapan Arka terhenti ketika suara ketukan terdengar dari arah pintu. Bukan hanya dirinya, Aludra pun ikut menoleh."Siapa?" tanya Aludra."Enggak tahu," jawab Arka. Beringsut, dia beranjak dari kasur. "Aku buka dulu.""Iya."Sementara Aludra menunggu di kasur, Arka berjalan menuju pintu lalu membukanya pelan dan hembusan napas kasar langsung keluar dari hidungnya ketika melihat seorang pria tersenyum tipis di depannya."Lagi ngapain?"***"Lagi ngapain?"Tak langsung menjawab, Arka memandang pria di depannya dari ujung kepala hingga ujung kaki lalu melayangkan tatapan yang malas."Istirahat," jawab Arka singkat. "Capek. Besok mau berangkat pagi.""Arka ada siapa?"Menoleh pada Aludra, Arka membuka pintu kamar sedikit lebar agar Aludra bisa melihat siapa orang yang kini berhadapan dengannya."Kelihatan?" tanya Arka pada Aludra."Kak Aksa." Tak enak, Aludra mengubah posisinya menjadi duduk, tanpa menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhnya. "Ada apa, Kak?""Enggak ada apa-apa sih," jawab Aksa sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal, sementara Arka masih memasang wajah yang sedikit kesal karena ucapan yang pernah dilontarkan Aksa tempo hari kembali terngiang di kepalanya.Sebelum menikah, Arka sering menjadi pengganggu keromantisan Aksa dan Istrinya‐Ananta. Tak sengaja, seringkali Arka memergoki kakak dan kakak iparnya melakukan sesuatu yang mesra. Kesal karena kejadian tersebut sering terjadi, Aksa pernah berkata
***"Alula bangun, Alula. Udah jam tujuh, jam delapan kita harus berangkat.""Apaan sih."Merasa terganggu ketika Arka terus membangunkannya, Aludra yang kini tidur sambil memeluk guling, lantas menenggelamkan wajahnya agar tangan Arka tak terus menyentuh karena rasanya dingin sekali."Bangun Lula, nanti kita ketinggalan pesawat," ucap Arka—berusaha sesabar mungkin menghadapi istrinya itu."Biarin, pesawat banyak. Pesen lagi kalau ketinggalan," ucap Aludra—masih dengan kedua mata yang terpejam. "Kalau enggak ada uang, minta ke Papa aku. Uangnya banyak."Arka menghembuskan napas kasar. Dia pikir Alula adalah perempuan giat yang selalu bangun pagi, karena menurut informasi dari sang mama, Alula adalah perempuan rajin yang terbilang cukup multitalent.Ah, mungkin pagi ini karena Alula masih lelah, pikirnya."La, kalau enggak mau bangun. Aku tinggal checkout ya, nanti kamu pulang sendiri," ucap Arka yang akhirnya mampu membuat Aludra membuka matanya.Membelikkan badan, Alula menatap Arka
***"Hati-hati ya kalian di sana.""Bulan madu yang nyaman.""Jangan lupa pulang bawa kabar baik.""Kalau udah sampai kabarin."Mendesah pelan, Aludra memandangi keluarganya dan keluarga Arka yang kini berdiri di depan hotel untuk mengantar kepergiannya dan Arka untuk berbulan madu ke Korea Selatan selama seminggu.Pukul sembilan pagi, Aludra dan Arka bergegas pergi ke Bandara karena pesawat yang mereka tumpangi akan take of pukul setengah sepuluh pagi.Berlibur di bulan juli, keduanya akan menikmati musim panas di negeri ginseng yang terkenal dengan hallyu wavenya.Sekali lagi, sebenarnya Aludra sangat malas berlibur. Dia yang terbiasa tiduran sepanjang hari rasanya berat untuk pergi jauh—terlebih lagi luar negeri. Namun, gara-gara Alula, mau tak mau Aludra harus mengusir jauh rasa malasnya itu."Kalau ngantuk kamu boleh tidur dulu."Aludra yang sejak berangkat terus menyandarkan tubuhnya di jok sambil memandangi jalanan kini menoleh pada Arka yang duduk persis di sampingnya."Kalau
***"Ini kamu enggak ada niatan bantu aku bawa koper gitu?"Aludra yang melenggangkan kakinya lebih dulu setelah turun dari taksi, lantas menoleh ketika pertanyaan itu dilontarkan Arka yang kerepotan membawa dua koper sekaligus.Menempuh perjalanan tujuh jam lebih, pukul lima sore keduanya sampai di Seoul. Menggunkanan taksi, Arka membawa Aludra menuju hotel yang sudah disiapkan Dewa untuk mereka selama berada di negeri ginseng tersebut.Bukan hotel biasa, tentu saja hotel yang disiapkan Dewa adalah hotel berbintang yang memiliki fasilitas luar biasa juga pelayanan yang sangat baik."Berat," jawab Aludra enteng. "Lagipula kamu kan laki-laki, terus kamu suami. Jadi kamu aja yang bawa ya."Tak menjawab, Arka hanya menatap Aludra lalu menghembuskan napas kasar. Setelah itu, dia memilih berjalan melalui gadis itu untuk menuju meja resepsionis dengan segera.Menunjukan bukti pemesanan hotel, Arka terbebas dari dua koper berat yang sejak tadi dia bawa karena koper tersebut langsung dibawa p
“Ih, enggak aktif!”Menatap kesal layar ponselnya, Aludra yang sejak tadi tidur dengan polisi telungkup lantas bergerutu ketika ternyata nomor Alula sudah tak bisa dihubungi. Padahal, dia ingin sekali menelepon kakaknya itu untuk menanyakan bagaimana kabar dia di London dan tentu saja Aludra juga ingin menuntut permintaan terima kasih dari sang kakak untuk semua jasanya yang sudah legowo menggantikan posisi sang kakak menjadi istri Arka—pria yang saat ini dia cap sebagai pria menyebalkan.Ya, bagi Aludra, Arka itu menyebalkan. Meskipun baik, tetap saja menyebalkan. Arka tampan, tapi tetap saja dia menyebalkan. Pokoknya Arka itu menyebalkan.“Ini gimana mau tanya-tanya kalau nomor Kak Lula aja enggak aktif.”Beringsut, Aludra mengubah posisinya menjadi duduk. Mengedarkan pandangan, dia menatap jam dinding yang ada di kamar hotel. Pukul delapan malam, dan Arka belum kembali dari luar setelah setengah jam yang lalu berpamitan untuk mancari makan.Sebenarnya Arka mengajak Aludra keluar un
***"Lu, itu kamu seriusan enggak apa-apa?"Berdiri dengan wajah khawatir, Arka sama sekali tak beranjak dari depan pintu kamar mandi—menunggu Aludra yang kini menghabiskan waktunya di dalam sana.Makanan pedas memang sangat manjur untuk Aludra. Hanya makan satu buah corndog dengan saus pedas, Aludra harus menerima resikonya.Sakit perut. Hanya berselang setengah jam setelah menyantap corndog tersebut, Aludra langsung merasakan sakit di perutnya dan tentu saja setelah itu, dia diare karena memang begitulah yang sering terjadi jika Aludra nekad menyantap makanan pedas.Ah, Alula. Dia harus tahu kalau demi dirinya, Aludra rela mengalami hal seperti ini."Sakit perut," jawab Aludra dari dalam kamar mandi."Mau ke dokter?" tanya Arka. "Kalau mau yuk, aku antar.""Enggak mau, mager," ucap Aludra. Sesakit apapun dirinya, kata mager tetap yang utama diucapkan Aludra karena memang selain mager, dia tak terlalu suka tiga hal. Rumah sakit, dokter, dan obat-obatan tentunya."Aku takut kamu kenap
***"Hati-hati.""Iya."Setelah sehari kemarin hanya berdiam diri di hotel karena Aludra yang masih lemas setelah sakit perut yang mendera. Hari ini, hari kedua di Seoul, Arka mengajak gadis itu untuk keluar.Tak pergi jauh, pagi ini—sekitar jam sembilan waktu setempat, Arka membawa Aludra ke Namsan tower—menara ikonic di kota Seoul yang cukup terkenal di kalangan turis lokal maupun mancanegara."Kenapa kita turun di sini?" tanya Aludra. "Harusnya kan di halte yang deket tempat sewa cable car.""Emang siapa yang bilang kalau kita mau naik calbe car?" tanya Arka, yang membuat Aludra menautkan kedua alisnya."Lah, kan emang naik itu," jawab Aludra yakin. Bukan sekali dua kali berkunjung ke Namsan tower, rasanya Aludra cukup hafal bagaimana caranya naik ke puncak dan setiap berlibur bersama kedua orang tuanya juga Alula, dia selalu menggunakan cable car. "Aku kalau sama Papa ke sini, suka naik itu, dan kalau naik bis, kita turun di halte yang tadi. Aku lupa ingetin.""Itu kalau kamu jala
***"Minum."Menoleh, Arka memandang Aludra yang baru saja kembali sambil membawa dua botol air mineral di tangannya.Masih dengan napas yang terengah-engah, Arka mengambil botol minum bertutup hijau dari Aludra lalu meneguknya hingga habis setengah. Lelah? Tentu saja.Menaikki satu-persatu undakkan tangga sambil menggendong Aludra nyatanya bukan sesuatu yang mudah. Terlebih lagi, jarak yang dia tempuh dari bawah menuju atas juga tidaklah dekat."Capek ya?" tanya Aludra setelah dirinya duduk di samping Arka.Saat ini keduanya sedang duduk di sebuah bangku panjang yang menghadap langsung ke pagar pembatas dengan hiasan ribuan gembok di sana.Gembok cinta. Begitulah panggilan orang-orang pada tempat di mana Arka dan Aludra berada sekarang. Di sana, ribuan gembok dari berbagai warna juga bentuk menggantung. Bertuliskan nama seseorang dan pasangan, mereka semua meyakini dengan menggantung gembok di sana, hubungan yang dijalani akan langgeung."Mas Arka aku tanya, kamu capek?" tanya Aludra
*** "Semangat, Sayang. Jangan tegang ya." Menunggu sekitar satu jam setelah sampai di rumah sakit, Aludra akhirnya siap masuk ruang operasi untuk melahirkan putri kecilnya. Tak didampingi Aurora, yang datang ke rumah sakit hanya Dewa karena memang sang istri tak bisa pergi setelah kedua cucunya sigap menghadang agar sang Oma tak bisa ke mana-mana. Namun, tentu saja Aurora berjanji akan datang setelah Regan maupun Raiden berhasil dia tidurkan. Untuk Amanda dan Dirga, kedua orang tua Arka juga sedang dalam perjalanan setelah ditelepon oleh sang putra setengah jam lalu. "Doain ya, Pa." "Pasti, Ra," kata Dewa. Seumur hidup Aludra, ini adalah kali ketiga dia masuk ruang operasi. Pertama saat melahirkan Regan dan Raiden, kedua ketika mendapatkan donor dari Alula dan ketiga, sekarang—ketika dia akan melahirkan putri ketiganya. Sensasinya masih sama. Ruang operasi di setiap rumah sakit masih terasa dingin dan mungkin sedikit menyeramkan. "Kita mulai sekarang ya, Bu." "Iya, dokter."
***"Aku takut."Aludra yang sejak tadi duduk bersandar sambil mengelus perutnya seketika menoleh ketika Arka yang sejak tadi fokus mengemudi tiba-tiba saja berucap demikian."Takut apa?" tanya Aludra.Arka menoleh sekilas. "Takut kamu lahiran di jalan," ucapnya. "Usia kehamilan kamu tuh udah tiga puluh tujuh minggu, Ra. Duh ngeri kan kalau lahiran di jalan.""Ck, lebay," celetuk Aludra. "Dokter Ellina kan bilang kalau HPL aku dua minggu lagi, Mas. Santai aja kali.""Kan bisa maju.""Ya jangan maju," kata Aludra. Dia kemudian mengusap lagi perutnya yang buncit. "Jangan lahir dulu ya, Sayang. Mama mau nengok aunty dulu.""Iya Mama," ucap Arka.Hari ini, Aludra memang mengajak Arka ke Karawang untuk mengunjungi makam Alula. Tak membawa anak-anak, seperti biasa Aludra menitipkan Regan dan Raiden bersama Aurora juga Dewa yang sudah berkunjung lebih dulu kemarin ke makam Alula.Kemarin, terhitung delapan belas bulan sudah Alula pergi menghadap Sang Pencipta dan Aludra masih merasa semuany
***"Mas Arka buruan ih! Kok lama!"Sekali lagi Aludra yang sejak tadi menunggu di sofa dekat tangga berteriak memanggil Arka yang tak kunjung turun. Padahal, sudah hampir sepuluh menit dia menunggu suaminya turun."Iya sayang, iya. Sebentar," sahut Arka. Memakai pakaian santai, pria itu turun dengan sedikit tergesa-gesa di tangga. "Enggak sabaran banget kamu tuh ya.""Bawaan bayi," celetuk Aludra sambil mengusap perutnya yang buncit. Minggu ini terhitung tiga puluh minggu sudah usia kandungan Aludra."Ck, alasan aja.""Emang kenyataannya gitu.""Regan sama Raiden mana?""Ke mall sama Papa dan Mama.""Beneran jadi anak Oma sama Opa ya mereka tuh," kata Arka."Ya begitulah."Sejak hamil, itensitas Aludra mengasuh anak-anak memang berkurang karena Raiden dan Regan lebih sering dipegang oleh Aurora.Selain sudah tak asi lagi, Aludra juga tak boleh kelelahan selama hamil, sementara Regan dan Raiden yang sudah genap berusia dua tahun semakin lama semakin aktif."Ya udah kita berangkat seka
***"Ini kamu seriusan mau lahiran enggak sih?"Melihat sang istri yang nampak begitu tenang menghadapi proses kontraksi, pertanyaan tersebut akhirnya dilontarkan Damar yang sejak tadi setia duduk di samping Arsya.Kehamilannya sudah mencapai tiga puluh delapan minggu, sore tadi Arsya mengalami sedikit pendarahan. Segera dibawa menuju rumah sakit, dokte kandungan lain yang selama ini menangani Arsya mengatakan jika perempuan itu sudah mengalami bukaan.Ketika datang, Arsya baru mengalami bukaan dua dan sekarang setelah tiga jam berlalu—tepatnya pukul delapan, bukaan tersebut baru sampai ke angka lima.Masih ada lima lagi angka yang harus dilewati Arsya sebelum bukaan lengkap dan bayi yang selama ini dia kandung bisa lahir ke dunia."Emang kenapa?" Arsya yang sejak tadi sibuk mengatur napas sambil menikmati gelombang cinta yang cukup luar biasa, lantas mendongak dan menatap suaminya itu. "Tenang banget," celetuk Damar. "Di film-film tuh yang aku lihat, cewek mau lahiran itu biasanya n
***"Ini seriusan enggak nyadar apa gimana?"Aludra dan Arka mengernyit tak paham sambil memandang Arsya setelah pertanyaan tersebut dilontarkan perempuan tersebut."Maksudnya?" tanya Aludra."Enggak sadar apa?" tanya Arka."Nih." Arsya menunjukkan testpack yang beberapa menit lalu dipakai Aludra. Bukan testpack biasa, testpack yang dipakai adalah testpack digital yang bisa langsung menunjukkan usia kehamilan seorang ibu karena memang saat ini Aludra sedang mengandung."Ten weeks pregnant," gumam Aludra-mengeja tulisan pada testpack lalu Arka yang ikut membaca, spontan menerjemahkan."Hamil sepuluh minggu," ucap Arka.Untuk beberapa detik, sepasang suami istri tersebut bisa dibilang nge-bug, karena setelah membaca testpack baik Aludra maupun Arka saling diam."Kok pada diem sih?" tanya Arsya."Jadi maksudnya aku hamil?" tanya Aludra."Yes, Ra. Kamu hamil," kata Arsya. "Udah sepuluh minggu malah kehamilan kamu tuh.""Kok bisa?" tanya Arka. "Aludra kan baru telat datang bulan dua bulan
***"Mas mandinya udah belum, aku udah siapin sarapan tuh. Katanya mau meeting sama Papa?"Masuk ke kamar, pertanyaan tersebut dilontarkan Aludra pada Arka ketika suaminya itu tak terlihat di dalam kamar."Mas!""Di wc, Ra!" teriak Arka—membuat Aludra seketika terkekeh karenanya."Oh lagi nabung, oke. Aku tunggu," kata Aludra. Melangkah masuk, dia duduk di pinggir kasur lalu merentangkan tubuhnya di sana.Tak lama berselang, Aludra menoleh ketika pintu kamar mandi terbuka—menampakkan Arka yang sudah rapi dengan pakaian kantornya seperti biasa.Hampir setahun setelah kepindahannya ke Jakarta secara resmi, Arka tak lagi memegang jabatan manajer di perusahaan Dewa karena sang mertua memercayakan posisi CEO pada menantunya itu.Dan tentu saja jabatan yang dipegang Arka sekarang membuat pekerjaannya lebih sibuk dari biasa."Sakit perut aku tuh," kata Arka sambil melangkahkan kakinya mendekati Aludra yang langsung beringsut ketika Arka duduk di sampingnya."Mas. Kok kamu bau?" tanya Aludra—
***"Diem terus daritadi. Bisu ya?"Anindira menoleh ke arah Alister ketika pertanyaan tersebut dilontarkan pria itu padanya tepat setelah mereka selesai berbelanja di salah satu super market besar di kota Bandung."Enggak penting," ketus Anindira. Mendorong troli berisi belanjaan, dia berjalan menuju bagasi mobil Alister yang terparkir di bagian depan. Tanpa meminta bantuan, Anindira dengan mudah membuka bagasi lalu memasukkan beberapa kresek ke sana.Sementara Alister justru tersenyum sambil bersandar pada bagian samping mobil dengan kedua tangan yang berada di dada."Samson banget kamu tuh ya," celetuk Alister. "Penampilan anggun, tapi tenaga kaya kuli pasar.""Pulang," kata Anindira yang langsung berjalan ke sisi kiri mobil lalu masuk dan duduk di samping kursi kemudi.Sebenarnya Anindira ingin duduk di kursi belakang. Namun, sial. Semua itu tak bisa dia lakukan karena jok belakang dipenuhi beberapa pasang pakaian juga sepatu Alister yang katanya akan dipakai syuting besok pagi d
***"Akhirnya selesai juga.""Capek ya?"Damar yang baru saja menghempaskan tubuhnya ke kasur seketika menoleh—memandang Arsya yang sudah santai dengan celana joger juga sweater rajut.Rangkaian acara pernikahan—mulai dari akad hingga resepsi yang digelar hari ini akhirnya selesai, keluarga Damar dan Arsya memang menginap di salah satu vila mewah di Bandung agar privasi mereka terjaga.Rencananya besok, Damar dan Arsya pulang dari Bandung menuju bandara Soekarno hatta untuk langsung pergi berbulan madu menuju Maldives selama seminggu."Banget," kata Damar. "Gempor rasanya kaki aku berdiri berjam-jam nyalamin tamu."Arsya tersenyum lalu duduk di samping Damar. Tanpa aba-aba, dia langsung meraih lengan suaminya itu untuk memberikan sebuah pijatan."Kamu ngapain?" tanya Damar speecles. Menikahi Arsya memang rasanya seperti mimpi bagi dirinya.Selain umur Arsya yang tiga tahun lebih tua dari Damar, selama masa pacaran keduanya pun tak jarang terlibat cekcok karena perbedaan pendapat yang
***"Kok tegang ya, Ar?"Arka yang duduk tak jauh dari Damar mengukir senyuman tipis ketika ungkapan itu kembali terlontar dari mulut sahabat istrinya tersebut.Menempuh perjalanan dua jam, rombongan keluarga mempelai pria sampai di lokasi pernikahan. Tak mau membuang-buang waktu, akad nikah akan segera dilaksanakan sebelum hari menjelang siang."Bismillah," kata Arka mengingatkan."Udah, tapi tetap aja tegang," kata Damar."Tarik napas, hembuskan napas terakhir," celetuk Arka asal."Oh ok ... eh apa barusan? Hembuskan napas terakhir? Mati dong, Ar.""Bercanda.""Lagi tegang malah dibercandain.""Ya udah sih, rileks aja.""Mempelai perempuan memasuki area akad nikah."Arka dan Damar menghentikan obrolan mereka setelah suara sang pembawa acara terdengar dari pengeras suara—disusul suara gamelan yang mengiring kedatangan Arsya bersama Aludra juga Anindira.Memakai adat sunda, perempuan berwajah blasteran itu nampak cantik dengan siger juga kebaya putih yang dia pakai.Manglingi. Begitu