Aruna menatap takjub tembok-tembok yang berjejer dengan berbagai coretan indah di sana. East Side Gallery menjadi destinasi pertama Aruna. Jujur ia tidak tahu mau kemana, tapi tak butuh perjalanan jauh ia tiba di sini. Aruna menyandarkan sepedanya di pos dan berkeliling.
"Kamu tidak perlu terlalu banyak tujuan, karena kamu akan melewatkan ada spot bagus jika kamu terlalu fokus dengan tujuanmu."
Aruna mengembangkan senyum manisnya. Entah kenapa setiap coretan yang tercipta di sana ada penumpahan rasa. Ini membuat Aruna merasa bisa menjelajah dunia fantasi. Sudah lama ia tidak berkeliling, menikmati kehidupan sederhana.
Selama ini ia sibuk dengan lembaran-lembaran kertas dan dunia bisnis yang ia pelajari. Ia tak punya waktu bermain, atau me time. Rencana mendirikan perusahaan sendiri pun tidak tercapai, ya kalian tahu lah apa sebabnya. Namun, Aruna tidak terlalu memusingkan itu. Ia percaya Tuhan punya sesuatu indah suatu saat nanti, tugas kita hanya menikmati alur dan berusaha semaksimal mungkin.
Aruna merogoh ponselnya dan mengambil beberapa spot foto yang menarik di matanya. Ia tersenyum saat melihat hasil jepretannya. Walaupun ia tidak sehebat fotografer, tapi baginya hasilnya tetap memuaskan. Itulah definisi menghargai apa yang dihasilkan diri sendiri, jadi kamu tidak perlu berlomba. Ini hidupmu, nikmatilah.
Aruna yang asik berkeliling Kota Berlin dan sengaja memodekan pesawat setelah ia mendapat peta Kota Berlin dengan spot wisata tentunya. Membuat Jose yang masih di apartemen memarahi Fakrus tanpa jeda. Sejak ia membuka mata dan mencari keberadaan Aruna, tapi tidak menemukannya. Seketika Jose langsung menyuruh Fakrus yang tengah mengecek berkas di kamarnya agar segera ke kamar Jose. Baru saja berada di ambang pintu, kepulan napas menyeruak memenuhi wajah Jose.
Tangannya yang ditaruh di pinggang dengan gigi yang menekan satu sama lain, membuat Fakrus menelan salivanya gagap. Fakrus berjalan mendekat perlahan.
"Dimana Runa!" bentak Jose.
"Tadi dia pergi, entah kemana," sahut Fakrus hati-hati.
"Kenapa ngga lo cegah!" murka Jose. Masalahnya ini Jerman, bukan Jakarta. Sepengetahuan Jose dari informasi Ayahnya, Aruna tipe orang pendiam dan jarang pergi keluar. Ia selalu sibuk dengan buku dan dunianya sendiri.
Lalu, bagaimana jika Aruna tersesat? Tunggu, kenapa Jose peduli? Ah, jika ia menghilangkan menantu idaman Bundanya maka sudah akan dipastikan Jose akan disunat untuk kedua kalinya.
"Aku tadi mau mengikutinya, tapi tiba-tiba Mr.Cloe menelfon untuk meminta berkas. Jadinya aku tidak kehilangan jejaknya," jelas Fakrus.
Jose mengacak rambutnya kasar dan meraih ponselnya. Berulang kali ia menelpon gadis itu, tapi selalu saja operator yang menjawab. Ini membuat Jose benar-benar dibuat geram. Gadis itu baru sehari pergi, tapi sudah tidak mau menurut dengan Jose.
"Excuse me, Boss. 30 menit lagi meeting," interupsi Fakrus.
Jose ingin menunda meeting, tapi ia tidak bisa karena ini klien utama. Bisa-bisa kepalanya ditebas Ayahnya jika ia gagal mendapat tender ini. Akhirnya Jose memutuskan bersiap dan menyuruh Fakrus mencari Aruna. Fakrus memerintahkan beberapa bodyguard untuk mencari istri cantik bos-nya itu.
***
Aruna yang tengah menikmati makanan di salah satu resto klasik di sana tiba-tiba menyipitkan matanya saat melihat ada nenek yang tengah kesusahan merapikan belanjaannya. Aruna segera menghabiskan makanannya dan menaruh uang di atas bill, lalu melangkah keluar. Aruna menghampiri nenek itu dan membantunya."Ich danke Ihnen. [Terima kasih]," ucap nenek itu. Aruna tersenyum dan mengangguk.
"Soll ich Sie nach Hause bringen? [Perlu saya antar pulang?]" tawar Aruna.
Nenek itu tersenyum dan mengelus rambut Aruna yang terikat satu. "Das muss nicht sein, es ist in der Nähe unseres Hauses und es reicht nicht, dass Sie mir geholfen haben. [Tidak perlu, rumahku dekat sini. Kamu membantu saja sudah lebih dari cukup]," ucapnya.
Aruna tersenyum dan mengangguk. Kemudian nenek itu pamit pergi, Aruna menatap punggung yang sudah tidak bisa dikatakan tegap lagi. Terbesit rindu kepada nenek kandung Aruna, ia sudah lama meninggal. Tepatnya sejak Aruna menginjak kelas 2 SMA. Nenek yang kerap disapa OmSi atau Oma Suri itu sangat dekat dengan Aruna, bahkan seperti Ibu Aruna sendiri.
"Ekhem." Aruna terjingkat dan langsung menoleh ke belakang.
Jeso berdiri di sana dengan tangan terlipat di dada. "Siapa yang ngizinin pergi tanpa izin gue?" tanya Jeso datar dan dingin.
Aruna menghembuskan napas dan menyahut, "Emang gue perlu izin lo setiap saat, setiap detik?"
"Di kontrak tertera Runa, kalau kamu lupa," tegas Jose sembari menyondongkan wajahnya ke Aruna.
Aruna menatap wajah Jeso datar. "Hm," sahut Aruna dan hendak berbalik mengambil sepeda. Akan tetapi Jeso mencekal tangganya dan malah menariknya masuk ke dalam mobil.
"Lepas!" tolak Aruna.
"Masuk!" titah Jeso. Aruna menggeleng.
"Gue bisa pulang sendiri."
"Runa masuk!" bentak Jeso. Ia benar-benar malas berdebat panjang lebar saat ini.
Aruna terdiam dan memilih mengalah. Ia juga malas berdebat saat ini. Keduanya masuk ke dalam mobil dan saling menutup mulut. Aruna menyandarkan kepalanya ke kaca jendela dan menatap datar jalan. Jeso melirik sekilas dan tak memperdulikannya.
Tak lama mereka tiba di sebuah bangunan dengan nama "TW Company" yang tak lain adalah cabang perusahaan Woni, Ayah Jeso. Sebenarnya Jeso memiliki perusahaan sendiri dan kini sedang ia rintis. Tak ayal Jeso sering pergi ke club, sebab ia bosan dengan berkas-berkas di tangannya. Jeso turun dari mobil dan menunggu Aruna turun, tapi gadis itu malah diam dan menatap lurus.
"Maaf Ny.Aruna Anda harus turun," ucap Fakrus sopan.
"Aku di sini aja," sahut Aruna.
"Maaf, tapi Tn.Jeso meminta Anda ikut."
Aruna menghembuskan napas lelah dan memilih mengalah, lagi. Aruna berjalan di belakang Jeso, ini membuat Jeso geram. Memangnya ia lupa jika ia istri dari CEO perusahaan ini. Jeso langsung menarik Aruna untuk berjalan di sampingnya dan menggenggam jemari Aruna.
Aruna diam dan tak peduli, ia malas berdebat. Sampailah mereka di lantai atas dan berjalan menuju ruangan Jeso.
"Tunggu di sini, jangan kemana-mana tanpa izin gue. Kalau lo bantah, gue pastikan lo akan dapat hukuman malam ini," ucap Jeso dingin dan berlalu keluar.
Aruna diam dan memilih duduk di sofa. Merogoh ponselnya dan mencoba mencari lowongan pekerjaan.
"Sabar Runa sabar, you can do it. Never give up. You are strong, Runa. Strong!" batin Aruna menyemangati dirinya sendiri.
Jose memasuki ruang meeting dan memulai meetingnya.
***
Pukul 5 sore, meeting baru selesai. Jose melangkah masuk ke ruangannya dan menatap Aruna yang tertidur pulas dengan buku di pangkuannya. Jose mendekat dan mengambil buku itu. Saking asiknya menatap Aruna, ia terjingkat saat Fakrus menepuk pundaknya pelan."Masih ada rapat malam ini," ucap Fakrus.
"Jam berapa?" tanya Jose.
"7 malam."
Jose mengangguk dan meminta Fakrus memesan makanan. Tidak mungkin ia membiarkan manusia di sampingnya kelaparan bukan. Jose kemudian melepas jasnya dan menyampirkannya ke badan Aruna untuk menyelimuti gadis itu. Lalu, ia berdiri dan melangkah ke kursinya. Membuka dokumen-dokumen perusahaan.
15 menit berlalu, Fakrus datang dengan kantong makanan di tangannya. Fakrus menaruh makannya di meja depan Aruna yang masih terlelap. Jose yang selesai memeriksa dokumen berdiri dari kursinya dan duduk di samping kiri Aruna. Fakrus pamit undur diri, memilih tidak menggangu pasangan sebatas kontrak itu.
Jose menepuk pipi Aruna pelan, tapi sang empu tidak merespon. Lalu, ia mencapit kedua pipi Aruna dengan jarinya. Aruna berdecak kesal, ia paling tidak suka tidurnya diganggu. Tak lama Aruna membuka matanya dan memanyunkan bibirnya. Beberapa detik Jose dibuat terdiam terpana melihat tingkah gemas Aruna.
Akhirnya ia tersadar dan menyodorkan makanan ke Aruna. Aruna menatap Jose datar dan menghembuskan napasnya, lalu menerima makanan itu. Keduanya menikmati makanan dalam diam. Selepas menghabiskan makanan Aruna membersihkan tempat makan mereka.
"Habis ini pulang ke hotel, gue ada meeting. Jangan kemana-mana dan diam di hotel," ucap Jose.
Aruna yang tengah meminum air mengangguk patuh, tepatnya terpaksa menurut.
"Satu lagi, jangan tunggu gue. Gue bakal pulang larut."
Aruna mengangguk. "Ingat ini, jangan harap gue bakal nunggu lo," ucap Aruna dan beranjak keluar bersama bodyguard Jose.
Jose berdecak dan menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Fakrus terkekeh kecil.
"Ngga usah ngeledek," ucap Jose.
"Sorry Bos," sahut Fakrus berusaha menahan tawanya.
Aruna merebahkan tubuhnya dan menatap langit-langit kamar hotel.Ting...Aruna meraih ponselnya yang tergeletak di sampingnya. Ada pesan dari Ibu Sambungnya."Aruna bisakah kamu memberikan Mama uang? Kebutuhan dapur habis dan scincare Mama."Aruna menghela napas. Sampai kapan Ibunya itu selalu mementingkan fashion dan fashion. Akan tetapi, bagaimanapun juga Ibu sambungnya telah merawatnya selama ini. Walaupun, kasih sayangnya ke Liza lebih besar daripada kepada dirinya.Aruna mengirimkan sisa tabungannya, sebesar Rp 2.000.000. Ia harus berhemat, kalaupun Jeso memberikan uang untuk bulanan. Namun, itu bukan haknya sepenuhnya. Uang yang Jeso berikan kepada Aruna ia gunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari dan menabungnya, itupun Aruna membuka rekening baru untuk menyimpan uangnya. Mana mungkin ia lupa jika ia hanya istri sementara.Merasa badannya perlu diguyur air, Aruna memutuskan mandi. Selesai membersihkan diri dan men
Aruna membuka matanya perlahan dan meraih ponselnya di meja. Pukul 06.30, lagi-lagi ia telat bangun. Aruna berjalan lunglai sembari membuka tirai. Terpampang indah suasana pagi hari di Jerman. Aruna menggeser pintu kaca dan mendekati pembatas balkon.Aruna menghirup napas serakah. Udara pagi hari adalah hal langka bagi orang sibuk dan Aruna salah satunya. Bola mata Aruna berkeliling menikmati indahnya panorama pagi di Jerman. Saking fokusnya dengan apa yang ia lihat, tanpa ia sadari seseorang berdiri di sampingnya dan juga menatap lurus ke depan.Aruna menoleh dan berjingkat kaget. Jeso menaikkan alisnya kala Aruna memegang dadanya menetralkan degup jantungnya. Aruna memilih pergi untuk mandi, tapi cekalan tangan Jeso membuatnya menoleh."Gue laper," cengir Jeso. Aruna mengangguk paham dan melepas cekalan Jeso.Ia mengambil ponselnya dan menghubungi Frakus untuk membawakan sarapan ke hotel. Selesai mengirimkan pesan, Aruna merapikan is
Jose mengusap kening Aruna dengan tisu. Wajah pucat itu berangsur membaik."Pak Pram bisa nyalakan AC-nya," ucap Jeso.Supir yang bernama Pramana itu menyalakan AC mobil. Namanya Indonesia ya? Memang, sebab Pram adalah supir terpercaya Jose dari Indonesia. Jose sering mengikutsertakan Pram dalam perjalanan bisnisnya, sebab Jose tidak mudah percaya dengan orang baru. Pramana juga terbilang handal dalam menguasai rute, walaupun itu di luar negeri.Aruna membuka matanya perlahan dan memegang kepalanya yang masih sedikit pening. Jose merapikan rambut Aruna ke belakang. Pram menyodorkan air mineral ke Aruna dan diterima Jose."Minum," titah Jose setelah membuka tutup botolnya.Aruna meraih botol itu dengan kondisi lemas. Ditenggaknya minuman itu dengan bantuan Jose tentunya. Merasa masih belum bisa bergerak banyak, Aruna kembali menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi."Pak kita balik ke hotel," ucap Jose. Aruna m
Jeso menatap Aruna dan mengelus pipi gadis itu. Aruna hanya menatap lurus dan kedua lengannya masih bergelantung di leher Jeso. Jujur Aruna masih belum tersadar, entah kenapa bibir Jeso membiusnya seperti ini. Lihatlah ia membiarkan Jeso mengambil first kissnya, bahkan ia meladeninya."Masih mau di sini?" tanya Jeso. Aruna tersadar dan menggeleng polos. Jeso tersenyum dan naik ke atas, diikuti Aruna yang juga naik ke atas.***Sesuai dengan rencana malam ini, selesai mandi dan makan malam Aruna bersiap-siap. Namun, baru saja hendak masuk ke kamar mandi. Suara Jeso menginterupsinya dari ambang pintu, Jeso berjalan mendekat ke arah Aruna."Pakai ini," ucap Jeso."Apa ini?" tanya Aruna sembari mengambil paper bag tersebut.Aruna membuka kotak hadiah berwarna hitam dari dalam paper bag. Aruna membulatkan matanya sempurna."Gaun?" tanya Aruna. Jeso mengangguk.Aruna mengambil gaun tersebut dan mengamatiny
Jeso menggendong Aruna menuju kamar hotel. Gadis itu tertidur selama perjalanan, jadi Jeso tidak tega membangunkannya. Setelah pintu kamar terbuka, pelan-pelan Jeso membaringkan Aruna. Jeso melepas aksesoris di rambut Aruna dan high heels Aruna.Jeso menelan salivanya gelagapan saat melihat dada Aruna yang hampir terekspos penuh. Ingatkan Jeso untuk tidak memberikan gaun seperti ini pada Aruna. Ia harus habis-habisan menahan nafsunya. Segera Jeso menarik selimut sampai leher Aruna dan ia membersihkan dirinya di kamar mandi.Selesai ganti baju, Jeso merebahkan dirinya di samping Aruna yang masih terlelap. Baru saja memejamkan mata Jeso mengerutkan dahinya saat Aruna bangun dan memegang perutnya."Kenapa?" tanya Jeso. Aruna menggeleng dan beranjak masuk kamar mandi.Jeso menatap heran Aruna, tapi ujungnya ia memilih tidur kembali. Merasa sudah lama Aruna di kamar mandi membuat Jeso dibuat semakin bingung. Akhirnya, Jeso mengetuk pintu kamar ma
Jeso yang hendak membuka pintu mobil terhenti saat Aruna memanggilnya. Jeso berbalik dan menaikkan kedua alisnya. Aruna mendekat dan mengambil tangan kanan Jeso, lalu mengecupnya singkat dengan diakhiri senyuman. Jeso mengerutkan dahinya. "Habis kepentok apaan nih bocah?" batin Jeso. "Adab istri pada suami," jelas Aruna. Jeso menganggukkan kepalanya dan masuk kembali ke dalam mobil. Jeso mengklakson Aruna dan dibalas anggukan oleh gadis itu. Untuk menikmati perjalanan, Jeso memutar pelan musik. Tiba-tiba matanya melirik sesuatu di bangku penumpang sampingnya. Sebuah paper bag terduduk manis di sana. Sesampainya di kantor baru Jeso membuka isi paper bag itu. Kotak makanan lengkap dengan makanan tentunya menyita senyum Jeso. "Jangan lupa makan siang." Jeso tersenyum membaca tulisan dari Aruna pada sebuah kertas kecil yang tertempel di atas tutup bekal. Perhatian kecil yang akan selalu Jeso rindukan, kelak.
Jeso membuka pintu rumahnya, ia pulang cukup larut malam ini. Pastinya ulah pekerjaannya, bukan Anggun ya kawan. Jadinya, ia tidak tega membangunkan Aruna yang pasti sudah tertidur. Setelah masuk, dahi Jeso berkerut dan ia menyipitkan matanya. Memastikan apa yang ia lihat benar. "Runa?" lirih Jeso. Jeso mendekat ke arah Aruna yang tertidur di meja makan dengan buku yang terbuka di sampingnya. Gadis itu menunggunya atau ketiduran? "Hei?" Jeso menggoyangkan pundak Aruna. Aruna menegapkan badannya dan membuka perlahan matanya. Jeso duduk di depan Aruna, tepatnya di samping kiri gadis itu. "Kenapa tidur di sini?" tanya Jeso dan merapikan rambut Aruna. "Ketiduran," sahut Aruna sembari menutup mulutnya yang menguap. "Nunggu gue?" "Dih ngga lah, ketiduran karena baca buku." Jeso berdecak, padahal ia berharap jawabannya iya. Eh ternyata bukan. "Ya udah pindah ke ka
Aruna membuka matanya perlahan, tubuhnya terasa berat. Ia melihat ke sisi kirinya dan langsung mendorong Jeso yang tidur di atasnya. "Ngapain lo!" teriak Aruna. Jeso berdecak dan membuka matanya perlahan. "Apa sih?" ucapnya. "Kok tidur di kamar gue!" "Ck, ini kamar gue." Aruna melihat sekeliling dan membulatkan matanya. "Kok bisa gue di sini?" pikirnya. Aruna hendak berdiri, tapi ia merasa ada sesuatu di bawahnya. Dan saat Aruna menarik, Jeso terpekik. "Shh!" pekik Jeso. Lagi-lagi milik Jeso berdiri. Jeso menatap Aruna tidak terima. Aruna menepuk jidatnya, ia lupa jika semalam dirinya sudah menyerahkan miliknya kepada Jeso. "Tanggung jawab," ucap Jeso yang kini sudah di atas Aruna. "Tanggung jawab apa?" "Adik gue berdiri." "Ya udah dudukin." Pletakk ... Jeso menyentil pelan kening Aruna. "Pinternya kebangetan ya,"
"Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, maaf nih saya ganggu waktu nontonnya sebentar. Begini, ini ada Bapak sama Ibu dari kota yang mau gabung nonton sekaligus traktir makan buat semua yang ada di sini," ucap Ibu penjaga rumah makan. Aruna dan Jeso tersenyum menyapa seluruh orang yang bersorak bahagia di sana. "Silahkan Pak, Bu. Mari sini duduk, masih ada tikar kosong kok," ucap seorang lelaki paruh baya dengan peci di kepalanya. Jeso mengangguk dan menggandeng Aruna menuju tempat dimana sebuah tikar yang sudah terpasang sempurna, tepat di bawah pohon. "Maklum Pak, Bu, seadanya," timpal seorang wanita dengan hijab panjang warna pink. "Tidak apa-apa, Bu. Diterima dengan baik saja sudah cukup kok," jawab Aruna sopan. "Silahkan dinikmati, Pak, Bu." "Terima kasih, Bu." "Kalau perlu sesuatu jangan sungkan ya, Pak. Saya ketua RT di sini, nama saya Pak Samsul," ucap lelaki paruh baya tadi. Jeso menyambut
"Mm." Aruna membasahi bibirnya. "Sahabatku kerja di sana, Kak." Della membola. "Serius?" Aruna mengangguk. "Wahh, sepertinya kita punya misi penting Aruna." Baru saja hendak bertanya, makanan sudah tiba di meja mereka. Ternyata Della memesan cukup banyak. "Hehe, maaf ya. Aku kalau makan emang banyak," ucap Della diakhiri senyum lebarnya. Aruna tersenyum maklum dan mengangguk. "Santai aja, Kak." "Aku makan dulu, sambung setelah makan. Okay?" Aruna mengangguk dan menyesap kopinya. Satu hal yang Aruna kagum dari Della, sekalipun ia makan banyak. Akan tetapi, tubuhnya tetap ternyata langsing. Bisa Aruna pastikan ini akan membuat iri banyak orang di luar sana, padahal jika dipikir lagi pasti Della juga ingin gemuk. Namun, ia tidak bisa. Persis seperti Aruna. Mau digimanain lagi, ya udah ini dia. Menerima itu lebih baik, tidak usah iri dengan yang lain. "Kamu beneran ngga mau pesan maka
"Je, may I come in?" tanya Aruna. Jeso yang tengah berbaring menoleh ke belakang. "Tumben izin, biasanya asal nyelonong aja," sahut Jeso. Aruna berdecak dan berjalan ke arah ranjang. "Aku boleh ngomong sesuatu ngga?" tanya Aluna setelah duduk di tepi ranjang. Jeso berbalik dan memundurkan tubuhnya, menepuk sisi depannya yang kosong mengisyaratkan agar Aruna tidur di sampingnya. Aruna menurut dan membaringkan tubuhnya ke sisi kiri Jeso. "Mau ngomong apa?" tanya Jeso. Aruna memiringkan tubuhnya menghadap Jeso. "Kamu keberatan ngga--" "Ngga." Aluna mencapit hidung Jeso dengan kedua jarinya. "Aku belum selesai ngomong!" kesal Aruna. Jeso tertawa. "Keberatan soal apa? Kamu di atas aku? Ngga masalah." Aluna berdecak. "Pikiran kamu tuh sekali-kali jangan sex bisa ngga sih?" "Ngga bisa, 'kan aku cowok." "Ya tahu, tapi ya jangan selalu soal itu lah
Aruna mengintip dari balik tembok, di sana Jeso dan Ardis tengah bercengkrama sebentar sebelum Jeso pergi. Saat Jeso melintas di depannya, sontak Aruna langsung menatap ke sisi kanan. Tepatnya ke arah kaca dan mencoba menutupi wajahnya dengan ponsel. Merasa sudah aman, Aruna mengelus dadanya dan menghela napas lega. Baru saja hendak menghampiri Ardis, Aruna kembali berhenti dan bersembunyi. "Saya sudah menandatangani kontrak tersebut, jadi kita jalankan rencananya," ucap Ardis kepada seseorang di seberang sana. "Rencana? Kontrak?" beo Aruna di balik tembok. "Apa ini ada hubungannya sama perusahaan Jeso?" lanjut Aruna. Aruna yang terus berpikir tanpa sadar Ardis mengerutkan keningnya dan menatapnya dari samping. "Kamu mau di sini terus atau kembali ke kantor?" tanya Ardis dingin. Aruna tersentak dan menoleh ke arah kiri. "Iya, Pak. Maaf." "Minta maaf mulu, lebaran masih lama," sahut Ardis pelan.&n
Aruna kembali menatap minumannya setelah memastikan Jeso tidak berulah dengan Ayahnya. Ya, memang lelaki itu tidak seburuk itu. Ah, Aruna hanya takut lelaki itu bisa berbicara aneh-aneh. Bukan soal kontrak mereka, tapi ya mungkin hal lain. Entahlah lupakan, hanya kekhawatiran sesaat. Saking asiknya menatap cairan dalam gelas, Aruna tidak menyadari ada seseorang berdiri di sampingnya menandinginya dengan kening berkerut. "What's happen with you, mu daughter-in-law," ucap Erni. Aruna langsung teralih dan tersenyum. "Nothing, Mam. Mama sama Ayah?" Erni mengangguk. "Dia sedang bernostalgia dengan anaknya." Aruna membalikkan badan, tak jauh dari sana Jeso sedang bercengkrama dengan Woni. "Ah, gimana kabar kalian?" tanya Erni sembari mengambil beberapa buah dessert di sana. Aruna kembali menatap Erni dan tersenyum. "Everything okay, Mam." Erni tersenyum dan mengangguk senang. "Mama tahu kamu bisa
Aruna terdiam. Parfum Ardis memang soft, tapi wanginya akan lama menempel jika berada di dekatnya. And you know lah, seharian dia bolak-balik ke ruangan lelaki itu bahkan mengikuti rapat yang dimana posisi duduk mereka selalu berdekatan. "Honey," panggil Jose, membuyarkan lamunan Aruna. Lebih tepatnya, diamnya Aruna yang entah harus menjawab seperti apa. "Emm, ah iya tadi calonnya kak Liza 'kan datang. Ya dia lelaki dengan selera parfum yang benar-benar anti-mainstream," alibi Aruna. Jeso mengerutkan keningnya. "Apa kalian banyak menghabiskan waktu berdekatan?" Aruna meneguk salivanya samar dan meringis. "Ya aku harus akrab dengannya, bukan?" Jeso membuka mulutnya, tapi detik selanjutnya ia memutuskan untuk menghentikan sesi wawancara ini. Pasalnya, ia tidak ingin menyia-nyiakan waktu saat ini. "Sudahlah lupakan, kita lanjutkan." Tanpa menunggu balasan Aruna, Jeso kembali menyusuri tubuh Aruna deng
Hai readers, gimana nih kabarnya? Aku harap kalian baik-baik saja ya. Jangan lupa jaga kesehatan dan selalu bahagia ya. Niatku membuat ini untuk mengucapkan terima kasih atas keluangan waktu kalian membaca novel ku ini. Ini adalah karya pertamaku di sini, aku harap kalian benar-benar menikmati ini and I hope your coment, guys. Maaf jika mungkin terkesan tidak sehebat novel hebat lain, but I'll always do my best. So, maybe there's a review later to give you comfort and convenience. Jangan lupa ajak temen-temen kalian buat baca yuk, siapa tahu cocok. Kayak Jeso sama Aruna. Wkwkwk. Sekali lagi, thanks a bunch, guys. Enjoy yash. And, I wish I could finish this novel well. Jangan lupa ya, ambil hikmah ceritanya. Jangan enaknya aja. Wkwkwk, just kidding, guys. See you next part and big love for you.
Aruna menatap sepatu formalnya, perkataan Jeso tadi pagi membuatnya terus berpikir, "Ada apa dengan Jeso?". "Bu Aruna, silahkan masuk ke ruangan untuk wawancara akhir," ucap wanita yang menjabat sebagai HRD membuyarkan lamunan Aruna. Aruna mengangguk dan tersenyum, lalu masuk setelah mengucapkan terima kasih. Aruna menatap pintu di depannya, baru saja hendak masuk. Akan tetapi seorang lelaki keluar dan menatap Aruna sejenak. "Aruna?" tanyanya sembari menunjuk Aruna dengan map di tangannya. Aruna mengangguk dan tersenyum. "Langsung aja, ikut saya rapat." Aruna melongo sempurna. Tunggu, wawancaranya bagaimana? Bentar, kok langsung ikut rapat. "Hei, rapat ini tidak menunggu dirimu ya, Aruna," ucap lelaki itu setelah berbalik dan melipat tangannya di dada. Aruna tersadar dan menunduk meminta maaf. Lalu, mengikuti langkah lelaki di depannya. Sepanjang langkahnya, Aruna menatap punggu
Aruna membuka matanya perlahan, lalu menoleh ke kanan tepatnya ke sumber cahaya. "Jam berapa ini?" tanyanya dengan suara serak. Tidak ada sahutan, padahal entah kepada siapa dia bertanya. Namun, tiba-tiba suara dengkuran menerpa telinganya. Aruna menoleh, di sisi kirinya seorang lelaki yang tak lain tak bukan sudah membuatnya tidak tidur semalaman kini dengan seenak jidat ia menampilkan wajah imutnya saat tidur. "Emang dasar Jeso," dumel Aruna pelan. Aruna memiringkan tubuhnya, walaupun selangkangannya perih saat ada gesekan di bawah sana. Mau tahu ulah siapa? Ya pastinya biang kerok Jeso lah. "Je, kamu ngga bangun?" tanya Aruna sembari merapikan rambut Jeso ke belakang. Bukannya bangun, Jeso malah mengeram kesal dengan mata tertutup. "Seharusnya aku yang capek, kamu main tanpa jeda," gerutu Aruna. "Udah tugas kamu," sahut Jeso masih menutup mata. Aruna berdecak.