Aruna merebahkan tubuhnya dan menatap langit-langit kamar hotel.
Ting...
Aruna meraih ponselnya yang tergeletak di sampingnya. Ada pesan dari Ibu Sambungnya.
"Aruna bisakah kamu memberikan Mama uang? Kebutuhan dapur habis dan scincare Mama."
Aruna menghela napas. Sampai kapan Ibunya itu selalu mementingkan fashion dan fashion. Akan tetapi, bagaimanapun juga Ibu sambungnya telah merawatnya selama ini. Walaupun, kasih sayangnya ke Liza lebih besar daripada kepada dirinya.
Aruna mengirimkan sisa tabungannya, sebesar Rp 2.000.000. Ia harus berhemat, kalaupun Jeso memberikan uang untuk bulanan. Namun, itu bukan haknya sepenuhnya. Uang yang Jeso berikan kepada Aruna ia gunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari dan menabungnya, itupun Aruna membuka rekening baru untuk menyimpan uangnya. Mana mungkin ia lupa jika ia hanya istri sementara.
Merasa badannya perlu diguyur air, Aruna memutuskan mandi. Selesai membersihkan diri dan menata kamar yang sedikit berantakan, Aruna membaringkan dirinya ke kasur. Bukankah Jeso pulang terlambat, sesekali Aruna juga tidur di kasur. Pegal jika terus tidur di sofa.
***
Jose meneguk gelas yang entah keberapa kalinya. Ratusan kali Frakus mencegahnya, tapi lelaki itu malah membentaknya. Inilah kebiasaan Jose jika lelah bekerja, alkohol adalah pelampiasannya."Give me one beer again," ucap Jeso benar-benar mabuk.
"Je, come on. Ini udah botol ke 15. Lo bisa ngga bangun besok," ucap Frakus memperingati.
"Heii, gue ini kuat. Mana mungkin 15 botol buat gue teler. Lihat nih, masih bisa ngomong 'kan gue."
Frakus mengusap wajahnya kasar. Bagaimana sekarang, ia harus menyelesaikan laporan untuk besok. Namun sekarang ia malah menemani pria yang katanya dewasa ini mabuk. Kalau ia titipkan Jeso ke bodyguard, sudah bisa dipastikan Jeso tidak akan menurut. Bisa-bisa bangun-bangun ia sudah tidur di selangkangan wanita.
Memang sih, itu sudah menjadi kebiasaan Jeso sebelum menikah. Ingat, sebelum menikah. Sekarang ia sudah menikah, bisa-bisa dicoret namanya dari pewaris Tanuwirang Company. Selain itu juga sudah dipastikan pejantan tangguhnya akan dipotong Bundanya untuk kedua kalinya.
Terbesit ide untuk menghubungi Aruna, iya Aruna. Lelaki sialan itu pasti nurut jika dengan Aruna, sekalipun membantah Aruna pasti akan menghancurkan mental Jeso habis-habisan. Frakus merogoh sakunya dan menelpon Aruna.
Cukup lama gadis itu menjawab dan saat sudah tersambung terdengar suara setengah sadar di sana. Sudah dipastikan Aruna tidur.
"Nyonya maaf mengganggu waktu istirahatnya. Namun, Tuan Jeso sedang mabuk berat di club. Saya tidak bisa menemaninya sampai pulang karena ia menolak dan saya harus menyelesaikan laporan untuk besok. Jadi, saya memohon agar Nyonya ke sini dan membawa Tuan Jeso pulang. Saya mohon Nyonya, kasihani saya," tutur Frakus panjang lebar.
Aruna yang tengah terduduk sembari mengumpulkan nyawa, menghembuskan napas jengah. Lelaki itu mabuk lagi. Melihat permohonan tulus Frakus, membuat Aruna tidak tega menolak. Sampai akhirnya ia mengiyakan.
Aruna bergegas berganti baju dan menuju ke club yang telah dishare lock oleh Frakus. Tak butuh waktu lama ia masuk ke dalam mobil yang memang disediakan Jeso jika ia mau keluar. Sesampainya di club Aruna langsung menghampiri Jose yang kini tengah membelai sensual leher jenjang seorang wanita.
"Syukur, kalau begitu saya permisi dulu Nyonya," pamit Frakus. Aruna mengangguk dan menatap Jeso datar.
Ia memilih duduk di seberang lelaki itu. Tempat yang Jeso pilih adalah VIP, jadi hanya ada Jeso dan orang-orang tertentu yang boleh masuk. Jeso semakin gencar menumpahkan hasratnya kepada wanita di pangkuannya. Mencium bibir tebal itu dengan bringas dan meraba bagian-bagian sensitif wanita itu.
Aruna diam mengamati tanpa ekspresi. Jeso pun belum menyadari kehadiran Aruna di depannya. Desahan laknat keluar dari mulut wanita itu, benar-benar membuat Aruna muak. Lagi-lagi ia harus menyaksikan suaminya bermanja dengan wanita lain. Ah, bukankah Aruna tidak peduli?
Jeso mengubah posisi duduk wanita itu mengangkang menghadapnya. Ia pun membuka resleting celana bahannya dan menampilkan junior besarnya yang sudah menegang. Tanpa ba-bi-bu wanita itu langsung mendorong masuk milik Jeso ke dalam miliknya.
"Ahhh," lenguhan nikmat menyeruak ke dalam telinga Aruna. Ia harus menahan rasa jijiknya sekuat mungkin.
Tak lama Jeso mendorong bokong sintal wanita itu dan memaju-mundurkan. Wanita itu semakin kenikmatan dan Jeso yang menarik ke bawah baju tanpa lengan bagian dadanya. Keluarlah sebuah gunung besar dan langsung saja Jeso menyesap nipple milik wanita itu. Aruna memalingkan wajahnya dan berusaha menormalkan degup jantungnya.
Kedua manusia bejat di depannya terus mendesah memenuhi ruangan. Cukup, Aruna tidak tahan dengan ini semua. Ia berdiri dan langsung menarik tangan wanita yang terlingkar di leher Jeso. Hentakan Aruna yang cukup kuat membuat pelepasan penyatuan mereka. Wanita itu menatap Aruna tajam, ia hampir mendapatkan pelepasannya. Akan tetapi wanita itu malah mengganggunya.
"Du bist! [Kamu!]" murka wanita itu sembari menunjuk Aruna dengan telunjuknya.
"Geh. [Pergi]," ucap Aruna datar dan dingin. Sangat dingin.
"Wer bist du? Ich bin so nervös. [Siapa kamu, lancang sekali kamu menggangguku]."
Aruna menoleh dan menatap wanita di depannya remeh. "Deine Tasche ist viel niedriger als ein Kratzer. [Kastamu jauh lebih rendah daripada sampah]," ucap Aruna santai.
"Duㅡ [Kaㅡ]"
"Ich bin die Frau dieses Mannes. [Saya istri dari lelaki ini]," potong Aruna.
"Das ist mir egal. [Cuih, saya tidak peduli]."
"Und es ist mir egal. [Dan saya juga tidak peduli]." Aruna memanggil bodyguard yang berjaga di luar.
"Buang dia!" titah Aruna. Wanita itu berontak, tapi itu bukan urusan Aruna. Saat ini ia harus menamatkan riwayat suami kontraknya.
Aruna berdecak menatap Jeso yang terlelap. Aruna langsung menutup matanya saat benda pusaka Jeso terpampang nyata di depannya.
"Ya Tuhan, kenapa sih takdirnya suami kayak dia," keluh Aruna dan pelan-pelan memasukkan pusaka itu ke tempatnya.
Baru satu sentuhan, Jeso langsung menarik ke pangkuannya.
"Jangan menyentuhnya, kalau kamu mau selamat," desis Jeso serak.
Aruna menelan salivanya gelagapan. Sial, kenapa ia merasakan sentuhannya. Padahal Aruna menyentuhnya lembut, sangat lembut. Jeso memicingkan matanya.
"Runa," beo Jeso.
Aruna mencoba berdiri, tapi Jeso menahannya. Kemudian ia menyinggungkan senyum miringnya.
"Kamu harus membuatnya tidur, honey."
Aruna terbeku. Kenapa ia diposisi seperti ini.
"Tuhan, Aruna ngga mau berhubungan dengan lelaki yang ngga Aruna cintai. Selamat Aruna Tuhan," mohon Aruna dalam hati.
Tanpa ia sadari, posisinya saat ini sudah mengangkang di depan Jeso. Aruna menggigit bibirnya.
"Bagaimana ini?" batin Aruna.
Jeso yang bersiap meluruhkan celana Aruna terhenti kala Aruna memegang lengannya. Jeso menaikkan satu alisnya.
"Di kontrak kita ngga ada sex," ucap Aruna gelagapan.
"Tapi kamu harus menuruti semua perintahku."
"Tㅡ"
Jeso menempelkan telunjuknya ke bibir Aruna. "Ssstt, berhenti berkelah, Runa sayang," potong Jeso.
Aruna menghembuskan napas pasrah. Ia tidak bisa berkutik lagi. Melihat wajah Aruna yang tidak bersedia membuat Jeso terhenti dan mengurungkan niatnya.
"Kita pulang," ucap Jeso. Aruna yang menunduk langsung mendongak dan mengerutkan keningnya.
"Semabuk-mabuknya gue, gue paling ngga suka berhubungan dengan orang yang ngga rela memberikan tubuhnya padaku."
Aruna terdiam. Tunggu, lelaki itu benar-benar mabuk atau. Ah, entahlah Aruna tidak peduli. Terpenting ia bisa lepas dari lelaki itu ... untuk saat ini.
Keduanya pergi dari club dan pulang menuju hotel. Sesampainya di hotel, Aruna langsung membaringkan tubuh ke sofa. Dan Jeso yang merebahkan tubuhnya ke kasur. Namun tiba-tiba ia merasa mual, Jeso langsung menuju kamar mandi dan mengeluarkan isi perutnya.
Aruna menatap tingkah Jeso heran. Mendengar suara aneh, membuat Aruna berjalan masuk ke kamar mandi. Jeso terus memuntahkan isi perutnya, pening di kepalanya juga tiba-tiba menyerang. Ini aneh, biasanya ia akan seperti ini saat pagi hari jika ia mabuk. Lalu, kenapa ini berbeda?
Aruna memijat tengkuk Jeso, membuat Jeso terkejut dan menoleh ke belakang. Aruna diam tak bicara, memilih memijat saja. Merasa sudah benar-benar memuntahkan semua isi perutnya, Jeso memegang erat wastafel. Aruna mengambil lengan kanan Jeso dan memapahnya ke kasur.
Jeso terdiam saat Aruna merawatnya. Aruna menghubungi resepsionis untuk memberikannya air hangat dan obat-obatan, tak lupa bubur. Sembari menunggu, Aruna mengambil minyak kayu putih dan mengoleskannya ke perut Jeso. Lagi-lagi Jeso dibuat terkejut, tapi ia berusaha menyembunyikannya.
Tak lama pesanan Aruna tiba, langsung saja Aruna menyuapi Jeso. Tak ada penolakan dari sang empu. Kebisuan dan keheningan menyelimuti keduanya, hanya suara dentingan sendok dan mangkuk yang tercipta. Wajah Aruna yang tetap saja datar membuat Jeso sedikit geram ingin membuat lengkungan permanen di sana.
Setelah memberikan obat pereda pusing, Aruna membantu Jeso berbaring. Menarik selimut sampai ke perut Jeso dan merapikan bekas makanan. Jeso menatap Aruna yang kini berjalan menuju sofa. Terus saja Jeso menatap Aruna yang tertidur di sofa seberang, sampai ia juga ikut terlelap.
Aruna membuka matanya perlahan dan meraih ponselnya di meja. Pukul 06.30, lagi-lagi ia telat bangun. Aruna berjalan lunglai sembari membuka tirai. Terpampang indah suasana pagi hari di Jerman. Aruna menggeser pintu kaca dan mendekati pembatas balkon.Aruna menghirup napas serakah. Udara pagi hari adalah hal langka bagi orang sibuk dan Aruna salah satunya. Bola mata Aruna berkeliling menikmati indahnya panorama pagi di Jerman. Saking fokusnya dengan apa yang ia lihat, tanpa ia sadari seseorang berdiri di sampingnya dan juga menatap lurus ke depan.Aruna menoleh dan berjingkat kaget. Jeso menaikkan alisnya kala Aruna memegang dadanya menetralkan degup jantungnya. Aruna memilih pergi untuk mandi, tapi cekalan tangan Jeso membuatnya menoleh."Gue laper," cengir Jeso. Aruna mengangguk paham dan melepas cekalan Jeso.Ia mengambil ponselnya dan menghubungi Frakus untuk membawakan sarapan ke hotel. Selesai mengirimkan pesan, Aruna merapikan is
Jose mengusap kening Aruna dengan tisu. Wajah pucat itu berangsur membaik."Pak Pram bisa nyalakan AC-nya," ucap Jeso.Supir yang bernama Pramana itu menyalakan AC mobil. Namanya Indonesia ya? Memang, sebab Pram adalah supir terpercaya Jose dari Indonesia. Jose sering mengikutsertakan Pram dalam perjalanan bisnisnya, sebab Jose tidak mudah percaya dengan orang baru. Pramana juga terbilang handal dalam menguasai rute, walaupun itu di luar negeri.Aruna membuka matanya perlahan dan memegang kepalanya yang masih sedikit pening. Jose merapikan rambut Aruna ke belakang. Pram menyodorkan air mineral ke Aruna dan diterima Jose."Minum," titah Jose setelah membuka tutup botolnya.Aruna meraih botol itu dengan kondisi lemas. Ditenggaknya minuman itu dengan bantuan Jose tentunya. Merasa masih belum bisa bergerak banyak, Aruna kembali menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi."Pak kita balik ke hotel," ucap Jose. Aruna m
Jeso menatap Aruna dan mengelus pipi gadis itu. Aruna hanya menatap lurus dan kedua lengannya masih bergelantung di leher Jeso. Jujur Aruna masih belum tersadar, entah kenapa bibir Jeso membiusnya seperti ini. Lihatlah ia membiarkan Jeso mengambil first kissnya, bahkan ia meladeninya."Masih mau di sini?" tanya Jeso. Aruna tersadar dan menggeleng polos. Jeso tersenyum dan naik ke atas, diikuti Aruna yang juga naik ke atas.***Sesuai dengan rencana malam ini, selesai mandi dan makan malam Aruna bersiap-siap. Namun, baru saja hendak masuk ke kamar mandi. Suara Jeso menginterupsinya dari ambang pintu, Jeso berjalan mendekat ke arah Aruna."Pakai ini," ucap Jeso."Apa ini?" tanya Aruna sembari mengambil paper bag tersebut.Aruna membuka kotak hadiah berwarna hitam dari dalam paper bag. Aruna membulatkan matanya sempurna."Gaun?" tanya Aruna. Jeso mengangguk.Aruna mengambil gaun tersebut dan mengamatiny
Jeso menggendong Aruna menuju kamar hotel. Gadis itu tertidur selama perjalanan, jadi Jeso tidak tega membangunkannya. Setelah pintu kamar terbuka, pelan-pelan Jeso membaringkan Aruna. Jeso melepas aksesoris di rambut Aruna dan high heels Aruna.Jeso menelan salivanya gelagapan saat melihat dada Aruna yang hampir terekspos penuh. Ingatkan Jeso untuk tidak memberikan gaun seperti ini pada Aruna. Ia harus habis-habisan menahan nafsunya. Segera Jeso menarik selimut sampai leher Aruna dan ia membersihkan dirinya di kamar mandi.Selesai ganti baju, Jeso merebahkan dirinya di samping Aruna yang masih terlelap. Baru saja memejamkan mata Jeso mengerutkan dahinya saat Aruna bangun dan memegang perutnya."Kenapa?" tanya Jeso. Aruna menggeleng dan beranjak masuk kamar mandi.Jeso menatap heran Aruna, tapi ujungnya ia memilih tidur kembali. Merasa sudah lama Aruna di kamar mandi membuat Jeso dibuat semakin bingung. Akhirnya, Jeso mengetuk pintu kamar ma
Jeso yang hendak membuka pintu mobil terhenti saat Aruna memanggilnya. Jeso berbalik dan menaikkan kedua alisnya. Aruna mendekat dan mengambil tangan kanan Jeso, lalu mengecupnya singkat dengan diakhiri senyuman. Jeso mengerutkan dahinya. "Habis kepentok apaan nih bocah?" batin Jeso. "Adab istri pada suami," jelas Aruna. Jeso menganggukkan kepalanya dan masuk kembali ke dalam mobil. Jeso mengklakson Aruna dan dibalas anggukan oleh gadis itu. Untuk menikmati perjalanan, Jeso memutar pelan musik. Tiba-tiba matanya melirik sesuatu di bangku penumpang sampingnya. Sebuah paper bag terduduk manis di sana. Sesampainya di kantor baru Jeso membuka isi paper bag itu. Kotak makanan lengkap dengan makanan tentunya menyita senyum Jeso. "Jangan lupa makan siang." Jeso tersenyum membaca tulisan dari Aruna pada sebuah kertas kecil yang tertempel di atas tutup bekal. Perhatian kecil yang akan selalu Jeso rindukan, kelak.
Jeso membuka pintu rumahnya, ia pulang cukup larut malam ini. Pastinya ulah pekerjaannya, bukan Anggun ya kawan. Jadinya, ia tidak tega membangunkan Aruna yang pasti sudah tertidur. Setelah masuk, dahi Jeso berkerut dan ia menyipitkan matanya. Memastikan apa yang ia lihat benar. "Runa?" lirih Jeso. Jeso mendekat ke arah Aruna yang tertidur di meja makan dengan buku yang terbuka di sampingnya. Gadis itu menunggunya atau ketiduran? "Hei?" Jeso menggoyangkan pundak Aruna. Aruna menegapkan badannya dan membuka perlahan matanya. Jeso duduk di depan Aruna, tepatnya di samping kiri gadis itu. "Kenapa tidur di sini?" tanya Jeso dan merapikan rambut Aruna. "Ketiduran," sahut Aruna sembari menutup mulutnya yang menguap. "Nunggu gue?" "Dih ngga lah, ketiduran karena baca buku." Jeso berdecak, padahal ia berharap jawabannya iya. Eh ternyata bukan. "Ya udah pindah ke ka
Aruna membuka matanya perlahan, tubuhnya terasa berat. Ia melihat ke sisi kirinya dan langsung mendorong Jeso yang tidur di atasnya. "Ngapain lo!" teriak Aruna. Jeso berdecak dan membuka matanya perlahan. "Apa sih?" ucapnya. "Kok tidur di kamar gue!" "Ck, ini kamar gue." Aruna melihat sekeliling dan membulatkan matanya. "Kok bisa gue di sini?" pikirnya. Aruna hendak berdiri, tapi ia merasa ada sesuatu di bawahnya. Dan saat Aruna menarik, Jeso terpekik. "Shh!" pekik Jeso. Lagi-lagi milik Jeso berdiri. Jeso menatap Aruna tidak terima. Aruna menepuk jidatnya, ia lupa jika semalam dirinya sudah menyerahkan miliknya kepada Jeso. "Tanggung jawab," ucap Jeso yang kini sudah di atas Aruna. "Tanggung jawab apa?" "Adik gue berdiri." "Ya udah dudukin." Pletakk ... Jeso menyentil pelan kening Aruna. "Pinternya kebangetan ya,"
Jeso meraba nakasnya dan mencari sumber bunyi yang membuatnya terusik. "Hallo," ucap Jeso setelah benda itu menempel di telinganya. "Selamat pagi, Mr. Jeso. Maaf tiba-tiba menelfon, begini klien dari Belanda meminta penandatanganan kontrak di sana hari ini." Jeso langsung mendudukan dirinya dan membulatkan matanya. "Kenapa dadakan!" kesalnya. "Saya tidak tahu, Mr. Saya hanya menyampaikan." Jeso mengacak-acak rambutnya kasar. "Ya sudah siapkan tiketnya, kita berangkat 30 menit lagi." "Baik, Mr." Anggun menutup teleponnya dan menatap lelaki yang duduk di bangku kebesarannya. "Kamu memang hebat, Anggun," ucapnya dengan kepulan asap keluar dari mulutnya. "Tidak ada yang bisa menyaingi kita, Ayah." Keduanya tersenyum miring. "Tidak ada juga yang bisa menghalangiku mendapatkan apa yang aku inginkan, sekalipun itu Mrs. Aruna," batin Anggun. Kembali ke ruma
"Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, maaf nih saya ganggu waktu nontonnya sebentar. Begini, ini ada Bapak sama Ibu dari kota yang mau gabung nonton sekaligus traktir makan buat semua yang ada di sini," ucap Ibu penjaga rumah makan. Aruna dan Jeso tersenyum menyapa seluruh orang yang bersorak bahagia di sana. "Silahkan Pak, Bu. Mari sini duduk, masih ada tikar kosong kok," ucap seorang lelaki paruh baya dengan peci di kepalanya. Jeso mengangguk dan menggandeng Aruna menuju tempat dimana sebuah tikar yang sudah terpasang sempurna, tepat di bawah pohon. "Maklum Pak, Bu, seadanya," timpal seorang wanita dengan hijab panjang warna pink. "Tidak apa-apa, Bu. Diterima dengan baik saja sudah cukup kok," jawab Aruna sopan. "Silahkan dinikmati, Pak, Bu." "Terima kasih, Bu." "Kalau perlu sesuatu jangan sungkan ya, Pak. Saya ketua RT di sini, nama saya Pak Samsul," ucap lelaki paruh baya tadi. Jeso menyambut
"Mm." Aruna membasahi bibirnya. "Sahabatku kerja di sana, Kak." Della membola. "Serius?" Aruna mengangguk. "Wahh, sepertinya kita punya misi penting Aruna." Baru saja hendak bertanya, makanan sudah tiba di meja mereka. Ternyata Della memesan cukup banyak. "Hehe, maaf ya. Aku kalau makan emang banyak," ucap Della diakhiri senyum lebarnya. Aruna tersenyum maklum dan mengangguk. "Santai aja, Kak." "Aku makan dulu, sambung setelah makan. Okay?" Aruna mengangguk dan menyesap kopinya. Satu hal yang Aruna kagum dari Della, sekalipun ia makan banyak. Akan tetapi, tubuhnya tetap ternyata langsing. Bisa Aruna pastikan ini akan membuat iri banyak orang di luar sana, padahal jika dipikir lagi pasti Della juga ingin gemuk. Namun, ia tidak bisa. Persis seperti Aruna. Mau digimanain lagi, ya udah ini dia. Menerima itu lebih baik, tidak usah iri dengan yang lain. "Kamu beneran ngga mau pesan maka
"Je, may I come in?" tanya Aruna. Jeso yang tengah berbaring menoleh ke belakang. "Tumben izin, biasanya asal nyelonong aja," sahut Jeso. Aruna berdecak dan berjalan ke arah ranjang. "Aku boleh ngomong sesuatu ngga?" tanya Aluna setelah duduk di tepi ranjang. Jeso berbalik dan memundurkan tubuhnya, menepuk sisi depannya yang kosong mengisyaratkan agar Aruna tidur di sampingnya. Aruna menurut dan membaringkan tubuhnya ke sisi kiri Jeso. "Mau ngomong apa?" tanya Jeso. Aruna memiringkan tubuhnya menghadap Jeso. "Kamu keberatan ngga--" "Ngga." Aluna mencapit hidung Jeso dengan kedua jarinya. "Aku belum selesai ngomong!" kesal Aruna. Jeso tertawa. "Keberatan soal apa? Kamu di atas aku? Ngga masalah." Aluna berdecak. "Pikiran kamu tuh sekali-kali jangan sex bisa ngga sih?" "Ngga bisa, 'kan aku cowok." "Ya tahu, tapi ya jangan selalu soal itu lah
Aruna mengintip dari balik tembok, di sana Jeso dan Ardis tengah bercengkrama sebentar sebelum Jeso pergi. Saat Jeso melintas di depannya, sontak Aruna langsung menatap ke sisi kanan. Tepatnya ke arah kaca dan mencoba menutupi wajahnya dengan ponsel. Merasa sudah aman, Aruna mengelus dadanya dan menghela napas lega. Baru saja hendak menghampiri Ardis, Aruna kembali berhenti dan bersembunyi. "Saya sudah menandatangani kontrak tersebut, jadi kita jalankan rencananya," ucap Ardis kepada seseorang di seberang sana. "Rencana? Kontrak?" beo Aruna di balik tembok. "Apa ini ada hubungannya sama perusahaan Jeso?" lanjut Aruna. Aruna yang terus berpikir tanpa sadar Ardis mengerutkan keningnya dan menatapnya dari samping. "Kamu mau di sini terus atau kembali ke kantor?" tanya Ardis dingin. Aruna tersentak dan menoleh ke arah kiri. "Iya, Pak. Maaf." "Minta maaf mulu, lebaran masih lama," sahut Ardis pelan.&n
Aruna kembali menatap minumannya setelah memastikan Jeso tidak berulah dengan Ayahnya. Ya, memang lelaki itu tidak seburuk itu. Ah, Aruna hanya takut lelaki itu bisa berbicara aneh-aneh. Bukan soal kontrak mereka, tapi ya mungkin hal lain. Entahlah lupakan, hanya kekhawatiran sesaat. Saking asiknya menatap cairan dalam gelas, Aruna tidak menyadari ada seseorang berdiri di sampingnya menandinginya dengan kening berkerut. "What's happen with you, mu daughter-in-law," ucap Erni. Aruna langsung teralih dan tersenyum. "Nothing, Mam. Mama sama Ayah?" Erni mengangguk. "Dia sedang bernostalgia dengan anaknya." Aruna membalikkan badan, tak jauh dari sana Jeso sedang bercengkrama dengan Woni. "Ah, gimana kabar kalian?" tanya Erni sembari mengambil beberapa buah dessert di sana. Aruna kembali menatap Erni dan tersenyum. "Everything okay, Mam." Erni tersenyum dan mengangguk senang. "Mama tahu kamu bisa
Aruna terdiam. Parfum Ardis memang soft, tapi wanginya akan lama menempel jika berada di dekatnya. And you know lah, seharian dia bolak-balik ke ruangan lelaki itu bahkan mengikuti rapat yang dimana posisi duduk mereka selalu berdekatan. "Honey," panggil Jose, membuyarkan lamunan Aruna. Lebih tepatnya, diamnya Aruna yang entah harus menjawab seperti apa. "Emm, ah iya tadi calonnya kak Liza 'kan datang. Ya dia lelaki dengan selera parfum yang benar-benar anti-mainstream," alibi Aruna. Jeso mengerutkan keningnya. "Apa kalian banyak menghabiskan waktu berdekatan?" Aruna meneguk salivanya samar dan meringis. "Ya aku harus akrab dengannya, bukan?" Jeso membuka mulutnya, tapi detik selanjutnya ia memutuskan untuk menghentikan sesi wawancara ini. Pasalnya, ia tidak ingin menyia-nyiakan waktu saat ini. "Sudahlah lupakan, kita lanjutkan." Tanpa menunggu balasan Aruna, Jeso kembali menyusuri tubuh Aruna deng
Hai readers, gimana nih kabarnya? Aku harap kalian baik-baik saja ya. Jangan lupa jaga kesehatan dan selalu bahagia ya. Niatku membuat ini untuk mengucapkan terima kasih atas keluangan waktu kalian membaca novel ku ini. Ini adalah karya pertamaku di sini, aku harap kalian benar-benar menikmati ini and I hope your coment, guys. Maaf jika mungkin terkesan tidak sehebat novel hebat lain, but I'll always do my best. So, maybe there's a review later to give you comfort and convenience. Jangan lupa ajak temen-temen kalian buat baca yuk, siapa tahu cocok. Kayak Jeso sama Aruna. Wkwkwk. Sekali lagi, thanks a bunch, guys. Enjoy yash. And, I wish I could finish this novel well. Jangan lupa ya, ambil hikmah ceritanya. Jangan enaknya aja. Wkwkwk, just kidding, guys. See you next part and big love for you.
Aruna menatap sepatu formalnya, perkataan Jeso tadi pagi membuatnya terus berpikir, "Ada apa dengan Jeso?". "Bu Aruna, silahkan masuk ke ruangan untuk wawancara akhir," ucap wanita yang menjabat sebagai HRD membuyarkan lamunan Aruna. Aruna mengangguk dan tersenyum, lalu masuk setelah mengucapkan terima kasih. Aruna menatap pintu di depannya, baru saja hendak masuk. Akan tetapi seorang lelaki keluar dan menatap Aruna sejenak. "Aruna?" tanyanya sembari menunjuk Aruna dengan map di tangannya. Aruna mengangguk dan tersenyum. "Langsung aja, ikut saya rapat." Aruna melongo sempurna. Tunggu, wawancaranya bagaimana? Bentar, kok langsung ikut rapat. "Hei, rapat ini tidak menunggu dirimu ya, Aruna," ucap lelaki itu setelah berbalik dan melipat tangannya di dada. Aruna tersadar dan menunduk meminta maaf. Lalu, mengikuti langkah lelaki di depannya. Sepanjang langkahnya, Aruna menatap punggu
Aruna membuka matanya perlahan, lalu menoleh ke kanan tepatnya ke sumber cahaya. "Jam berapa ini?" tanyanya dengan suara serak. Tidak ada sahutan, padahal entah kepada siapa dia bertanya. Namun, tiba-tiba suara dengkuran menerpa telinganya. Aruna menoleh, di sisi kirinya seorang lelaki yang tak lain tak bukan sudah membuatnya tidak tidur semalaman kini dengan seenak jidat ia menampilkan wajah imutnya saat tidur. "Emang dasar Jeso," dumel Aruna pelan. Aruna memiringkan tubuhnya, walaupun selangkangannya perih saat ada gesekan di bawah sana. Mau tahu ulah siapa? Ya pastinya biang kerok Jeso lah. "Je, kamu ngga bangun?" tanya Aruna sembari merapikan rambut Jeso ke belakang. Bukannya bangun, Jeso malah mengeram kesal dengan mata tertutup. "Seharusnya aku yang capek, kamu main tanpa jeda," gerutu Aruna. "Udah tugas kamu," sahut Jeso masih menutup mata. Aruna berdecak.