Jeso yang hendak membuka pintu mobil terhenti saat Aruna memanggilnya. Jeso berbalik dan menaikkan kedua alisnya. Aruna mendekat dan mengambil tangan kanan Jeso, lalu mengecupnya singkat dengan diakhiri senyuman. Jeso mengerutkan dahinya.
"Habis kepentok apaan nih bocah?" batin Jeso.
"Adab istri pada suami," jelas Aruna.
Jeso menganggukkan kepalanya dan masuk kembali ke dalam mobil. Jeso mengklakson Aruna dan dibalas anggukan oleh gadis itu. Untuk menikmati perjalanan, Jeso memutar pelan musik. Tiba-tiba matanya melirik sesuatu di bangku penumpang sampingnya. Sebuah paper bag terduduk manis di sana.
Sesampainya di kantor baru Jeso membuka isi paper bag itu. Kotak makanan lengkap dengan makanan tentunya menyita senyum Jeso.
"Jangan lupa makan siang."
Jeso tersenyum membaca tulisan dari Aruna pada sebuah kertas kecil yang tertempel di atas tutup bekal. Perhatian kecil yang akan selalu Jeso rindukan, kelak.
Jeso membuka pintu rumahnya, ia pulang cukup larut malam ini. Pastinya ulah pekerjaannya, bukan Anggun ya kawan. Jadinya, ia tidak tega membangunkan Aruna yang pasti sudah tertidur. Setelah masuk, dahi Jeso berkerut dan ia menyipitkan matanya. Memastikan apa yang ia lihat benar. "Runa?" lirih Jeso. Jeso mendekat ke arah Aruna yang tertidur di meja makan dengan buku yang terbuka di sampingnya. Gadis itu menunggunya atau ketiduran? "Hei?" Jeso menggoyangkan pundak Aruna. Aruna menegapkan badannya dan membuka perlahan matanya. Jeso duduk di depan Aruna, tepatnya di samping kiri gadis itu. "Kenapa tidur di sini?" tanya Jeso dan merapikan rambut Aruna. "Ketiduran," sahut Aruna sembari menutup mulutnya yang menguap. "Nunggu gue?" "Dih ngga lah, ketiduran karena baca buku." Jeso berdecak, padahal ia berharap jawabannya iya. Eh ternyata bukan. "Ya udah pindah ke ka
Aruna membuka matanya perlahan, tubuhnya terasa berat. Ia melihat ke sisi kirinya dan langsung mendorong Jeso yang tidur di atasnya. "Ngapain lo!" teriak Aruna. Jeso berdecak dan membuka matanya perlahan. "Apa sih?" ucapnya. "Kok tidur di kamar gue!" "Ck, ini kamar gue." Aruna melihat sekeliling dan membulatkan matanya. "Kok bisa gue di sini?" pikirnya. Aruna hendak berdiri, tapi ia merasa ada sesuatu di bawahnya. Dan saat Aruna menarik, Jeso terpekik. "Shh!" pekik Jeso. Lagi-lagi milik Jeso berdiri. Jeso menatap Aruna tidak terima. Aruna menepuk jidatnya, ia lupa jika semalam dirinya sudah menyerahkan miliknya kepada Jeso. "Tanggung jawab," ucap Jeso yang kini sudah di atas Aruna. "Tanggung jawab apa?" "Adik gue berdiri." "Ya udah dudukin." Pletakk ... Jeso menyentil pelan kening Aruna. "Pinternya kebangetan ya,"
Jeso meraba nakasnya dan mencari sumber bunyi yang membuatnya terusik. "Hallo," ucap Jeso setelah benda itu menempel di telinganya. "Selamat pagi, Mr. Jeso. Maaf tiba-tiba menelfon, begini klien dari Belanda meminta penandatanganan kontrak di sana hari ini." Jeso langsung mendudukan dirinya dan membulatkan matanya. "Kenapa dadakan!" kesalnya. "Saya tidak tahu, Mr. Saya hanya menyampaikan." Jeso mengacak-acak rambutnya kasar. "Ya sudah siapkan tiketnya, kita berangkat 30 menit lagi." "Baik, Mr." Anggun menutup teleponnya dan menatap lelaki yang duduk di bangku kebesarannya. "Kamu memang hebat, Anggun," ucapnya dengan kepulan asap keluar dari mulutnya. "Tidak ada yang bisa menyaingi kita, Ayah." Keduanya tersenyum miring. "Tidak ada juga yang bisa menghalangiku mendapatkan apa yang aku inginkan, sekalipun itu Mrs. Aruna," batin Anggun. Kembali ke ruma
Erni mendekat dan duduk di samping kanan Aruna. "Ada apa sayang?" tanyanya lembut. Aruna tersenyum dan menghapus jejak air matanya. "Aku tadi nguap sampai nangis deh," sahut Aruna. Erni mengerutkan keningnya. Ia terus menatap menantunya tidak percaya, lebih tepatnya tidak percaya dengan ucapan Aruna. "Aku ngga pa-pa, Mah," ucap Aruna meyakinkan. "Bukan Jeso 'kan yang bikin kamu nangis?" Aruna menggeleng. "Ngga, aku tadi nangis karena nguap aja." Erni mengusap lembut puncak kepala Aruna. "Ya sudah istirahat, tadi Mamah ke sini mau ngecek kamu aja." Aruna mengangguk. Erni pun pergi dari kamar Aruna. "Kenapa sesak ya," batin Aruna. ***Hari ini adalah ulang tahun Erni ke-56. Ia memilih mengadakan perayaan kecil dan intim. Hanya ia, Aruna, suaminya, dan keluarga Aruna. Usianya sudah bukan muda lagi, jadi yang ia butuhkan kebersamaan bukan ketenaran.
Jeso menyesap minumannya dan memutar gelasnya di udara. "Anda tidak bisa berkutik lagi Mr. Jeso. Kontrak sudah Anda tanda-tangani," ucap lelaki yang sudah berusia sangat matang itu, tapi pesona wajahnya tetap awet muda. "Tapi Mr. Baraq saya menandatangani kontrak itu dalam kondisi mabuk. Jadi, saya bisa mengajukan tuntutan pencabutan," sahut Jeso sembari menaruh gelasnya di meja. Ia mengetukkan jarinya di meja dan menatap Baraq dengan satu alis terangkat. Baraq tersenyum dan menyesap minumannya. "Kontrak tetaplah kontrak Mr. Sehebat apapun pengacara Anda, sudah jelas di sana termuat dimana yang bertandatangan dalam kondisi sadar. Jadi, itu tidak ada gunanya. Malahan, Anda yang akan terjerat sendiri." Jeso terdiam, apa yang Baraq katakan benar. Dimana kontrak tetaplah kontrak. Jika satu orang keberatan, maka tidak ada gunanya mengajukan tuntutan. Pasalnya kontrak bisa selesai dalam kurun waktu cepat alias terputus jika k
Aruna masuk ke dalam kamar Jeso dan menaruh baskom berisi air di sana. Sudah hampir 6 jam lelaki itu tidur setelah mabuk tadi. Aruna memeras handuk di baskom dan mengelap badan Jeso. Setelah area badan sudah Aruna bersihkan, Aruna mengambil baju Jeso dan menggantinya. Beralih ke wajah Jeso yang setia terlelap dengan tenang, tak lupa dengkuran halus tercipta di sana. Aruna menatap wajah tampan itu seksama. "Ganteng sih, tapi kalau mabuk ngga kira-kira," ucap Aruna. Aruna yang hendak beranjak keluar terhenti kala tangannya dicekal oleh Jeso. Aruna menaikkan kedua alisnya. "Temenin bobo," ucap Jeso serak. "Aku naruh baskom dulu. Oh ya, kamu makan dulu. Habis itu minum obat biar ngga pusing kepalanya." Jeso mengangguk dan mendudukkan tubuhnya kala Aruna menghilang dari balik pintu. Tak lama wanita itu datang dan menaruh makanan di nakas. "Mau aku suapin atau--" "Suapin," potong Jeso.
Jeso memijit pelipisnya sebentar, lalu menatap Woni selaku HRD di perusahaannya."Kenapa mereka tiba-tiba mengajukan pengunduran diri secara serempak? Bukannya kemarin mereka malah memilih bertahan," ucap Jeso diakhiri gelengan tidak percaya.Woni menyandarkan punggungnya di sofa. "Mungkin ada seseorang yang membujuk mereka," celetuk Woni.Jeso mengerutkan keningnya dan menatap Woni meminta penjelasan. Merasa paham akan maksud Jeso, Woni berdiri dari duduknya dan berjalan mendekat ke arah Jeso."Ini dunia bisnis, Pak Jeso. Berhati-hatilah. Siapa tahu orang yang kamu sangka mendukung adalah orang yang sebenarnya menusukmu dari belakang," ucap Woni sembari mengetuk-ngetuk ujung meja kerja Jeso."Apa maksudmu yang sebenarnya?" tanya Jeso dan memasukkan tangannya di saku celananya.Woni menoleh dan tersenyum. "Cobalah melihat lebih dalam, Pak. Jangan hanya melihat berkas saja," jawab Woni dan menepuk pelan pundak ki
Aruna membuka matanya perlahan, lalu menoleh ke kanan tepatnya ke sumber cahaya. "Jam berapa ini?" tanyanya dengan suara serak. Tidak ada sahutan, padahal entah kepada siapa dia bertanya. Namun, tiba-tiba suara dengkuran menerpa telinganya. Aruna menoleh, di sisi kirinya seorang lelaki yang tak lain tak bukan sudah membuatnya tidak tidur semalaman kini dengan seenak jidat ia menampilkan wajah imutnya saat tidur. "Emang dasar Jeso," dumel Aruna pelan. Aruna memiringkan tubuhnya, walaupun selangkangannya perih saat ada gesekan di bawah sana. Mau tahu ulah siapa? Ya pastinya biang kerok Jeso lah. "Je, kamu ngga bangun?" tanya Aruna sembari merapikan rambut Jeso ke belakang. Bukannya bangun, Jeso malah mengeram kesal dengan mata tertutup. "Seharusnya aku yang capek, kamu main tanpa jeda," gerutu Aruna. "Udah tugas kamu," sahut Jeso masih menutup mata. Aruna berdecak.