Jeso menyesap minumannya dan memutar gelasnya di udara.
"Anda tidak bisa berkutik lagi Mr. Jeso. Kontrak sudah Anda tanda-tangani," ucap lelaki yang sudah berusia sangat matang itu, tapi pesona wajahnya tetap awet muda.
"Tapi Mr. Baraq saya menandatangani kontrak itu dalam kondisi mabuk. Jadi, saya bisa mengajukan tuntutan pencabutan," sahut Jeso sembari menaruh gelasnya di meja.
Ia mengetukkan jarinya di meja dan menatap Baraq dengan satu alis terangkat.
Baraq tersenyum dan menyesap minumannya. "Kontrak tetaplah kontrak Mr. Sehebat apapun pengacara Anda, sudah jelas di sana termuat dimana yang bertandatangan dalam kondisi sadar. Jadi, itu tidak ada gunanya. Malahan, Anda yang akan terjerat sendiri."
Jeso terdiam, apa yang Baraq katakan benar. Dimana kontrak tetaplah kontrak. Jika satu orang keberatan, maka tidak ada gunanya mengajukan tuntutan. Pasalnya kontrak bisa selesai dalam kurun waktu cepat alias terputus jika k
Aruna masuk ke dalam kamar Jeso dan menaruh baskom berisi air di sana. Sudah hampir 6 jam lelaki itu tidur setelah mabuk tadi. Aruna memeras handuk di baskom dan mengelap badan Jeso. Setelah area badan sudah Aruna bersihkan, Aruna mengambil baju Jeso dan menggantinya. Beralih ke wajah Jeso yang setia terlelap dengan tenang, tak lupa dengkuran halus tercipta di sana. Aruna menatap wajah tampan itu seksama. "Ganteng sih, tapi kalau mabuk ngga kira-kira," ucap Aruna. Aruna yang hendak beranjak keluar terhenti kala tangannya dicekal oleh Jeso. Aruna menaikkan kedua alisnya. "Temenin bobo," ucap Jeso serak. "Aku naruh baskom dulu. Oh ya, kamu makan dulu. Habis itu minum obat biar ngga pusing kepalanya." Jeso mengangguk dan mendudukkan tubuhnya kala Aruna menghilang dari balik pintu. Tak lama wanita itu datang dan menaruh makanan di nakas. "Mau aku suapin atau--" "Suapin," potong Jeso.
Jeso memijit pelipisnya sebentar, lalu menatap Woni selaku HRD di perusahaannya."Kenapa mereka tiba-tiba mengajukan pengunduran diri secara serempak? Bukannya kemarin mereka malah memilih bertahan," ucap Jeso diakhiri gelengan tidak percaya.Woni menyandarkan punggungnya di sofa. "Mungkin ada seseorang yang membujuk mereka," celetuk Woni.Jeso mengerutkan keningnya dan menatap Woni meminta penjelasan. Merasa paham akan maksud Jeso, Woni berdiri dari duduknya dan berjalan mendekat ke arah Jeso."Ini dunia bisnis, Pak Jeso. Berhati-hatilah. Siapa tahu orang yang kamu sangka mendukung adalah orang yang sebenarnya menusukmu dari belakang," ucap Woni sembari mengetuk-ngetuk ujung meja kerja Jeso."Apa maksudmu yang sebenarnya?" tanya Jeso dan memasukkan tangannya di saku celananya.Woni menoleh dan tersenyum. "Cobalah melihat lebih dalam, Pak. Jangan hanya melihat berkas saja," jawab Woni dan menepuk pelan pundak ki
Aruna membuka matanya perlahan, lalu menoleh ke kanan tepatnya ke sumber cahaya. "Jam berapa ini?" tanyanya dengan suara serak. Tidak ada sahutan, padahal entah kepada siapa dia bertanya. Namun, tiba-tiba suara dengkuran menerpa telinganya. Aruna menoleh, di sisi kirinya seorang lelaki yang tak lain tak bukan sudah membuatnya tidak tidur semalaman kini dengan seenak jidat ia menampilkan wajah imutnya saat tidur. "Emang dasar Jeso," dumel Aruna pelan. Aruna memiringkan tubuhnya, walaupun selangkangannya perih saat ada gesekan di bawah sana. Mau tahu ulah siapa? Ya pastinya biang kerok Jeso lah. "Je, kamu ngga bangun?" tanya Aruna sembari merapikan rambut Jeso ke belakang. Bukannya bangun, Jeso malah mengeram kesal dengan mata tertutup. "Seharusnya aku yang capek, kamu main tanpa jeda," gerutu Aruna. "Udah tugas kamu," sahut Jeso masih menutup mata. Aruna berdecak.
Aruna menatap sepatu formalnya, perkataan Jeso tadi pagi membuatnya terus berpikir, "Ada apa dengan Jeso?". "Bu Aruna, silahkan masuk ke ruangan untuk wawancara akhir," ucap wanita yang menjabat sebagai HRD membuyarkan lamunan Aruna. Aruna mengangguk dan tersenyum, lalu masuk setelah mengucapkan terima kasih. Aruna menatap pintu di depannya, baru saja hendak masuk. Akan tetapi seorang lelaki keluar dan menatap Aruna sejenak. "Aruna?" tanyanya sembari menunjuk Aruna dengan map di tangannya. Aruna mengangguk dan tersenyum. "Langsung aja, ikut saya rapat." Aruna melongo sempurna. Tunggu, wawancaranya bagaimana? Bentar, kok langsung ikut rapat. "Hei, rapat ini tidak menunggu dirimu ya, Aruna," ucap lelaki itu setelah berbalik dan melipat tangannya di dada. Aruna tersadar dan menunduk meminta maaf. Lalu, mengikuti langkah lelaki di depannya. Sepanjang langkahnya, Aruna menatap punggu
Hai readers, gimana nih kabarnya? Aku harap kalian baik-baik saja ya. Jangan lupa jaga kesehatan dan selalu bahagia ya. Niatku membuat ini untuk mengucapkan terima kasih atas keluangan waktu kalian membaca novel ku ini. Ini adalah karya pertamaku di sini, aku harap kalian benar-benar menikmati ini and I hope your coment, guys. Maaf jika mungkin terkesan tidak sehebat novel hebat lain, but I'll always do my best. So, maybe there's a review later to give you comfort and convenience. Jangan lupa ajak temen-temen kalian buat baca yuk, siapa tahu cocok. Kayak Jeso sama Aruna. Wkwkwk. Sekali lagi, thanks a bunch, guys. Enjoy yash. And, I wish I could finish this novel well. Jangan lupa ya, ambil hikmah ceritanya. Jangan enaknya aja. Wkwkwk, just kidding, guys. See you next part and big love for you.
Aruna terdiam. Parfum Ardis memang soft, tapi wanginya akan lama menempel jika berada di dekatnya. And you know lah, seharian dia bolak-balik ke ruangan lelaki itu bahkan mengikuti rapat yang dimana posisi duduk mereka selalu berdekatan. "Honey," panggil Jose, membuyarkan lamunan Aruna. Lebih tepatnya, diamnya Aruna yang entah harus menjawab seperti apa. "Emm, ah iya tadi calonnya kak Liza 'kan datang. Ya dia lelaki dengan selera parfum yang benar-benar anti-mainstream," alibi Aruna. Jeso mengerutkan keningnya. "Apa kalian banyak menghabiskan waktu berdekatan?" Aruna meneguk salivanya samar dan meringis. "Ya aku harus akrab dengannya, bukan?" Jeso membuka mulutnya, tapi detik selanjutnya ia memutuskan untuk menghentikan sesi wawancara ini. Pasalnya, ia tidak ingin menyia-nyiakan waktu saat ini. "Sudahlah lupakan, kita lanjutkan." Tanpa menunggu balasan Aruna, Jeso kembali menyusuri tubuh Aruna deng
Aruna kembali menatap minumannya setelah memastikan Jeso tidak berulah dengan Ayahnya. Ya, memang lelaki itu tidak seburuk itu. Ah, Aruna hanya takut lelaki itu bisa berbicara aneh-aneh. Bukan soal kontrak mereka, tapi ya mungkin hal lain. Entahlah lupakan, hanya kekhawatiran sesaat. Saking asiknya menatap cairan dalam gelas, Aruna tidak menyadari ada seseorang berdiri di sampingnya menandinginya dengan kening berkerut. "What's happen with you, mu daughter-in-law," ucap Erni. Aruna langsung teralih dan tersenyum. "Nothing, Mam. Mama sama Ayah?" Erni mengangguk. "Dia sedang bernostalgia dengan anaknya." Aruna membalikkan badan, tak jauh dari sana Jeso sedang bercengkrama dengan Woni. "Ah, gimana kabar kalian?" tanya Erni sembari mengambil beberapa buah dessert di sana. Aruna kembali menatap Erni dan tersenyum. "Everything okay, Mam." Erni tersenyum dan mengangguk senang. "Mama tahu kamu bisa
Aruna mengintip dari balik tembok, di sana Jeso dan Ardis tengah bercengkrama sebentar sebelum Jeso pergi. Saat Jeso melintas di depannya, sontak Aruna langsung menatap ke sisi kanan. Tepatnya ke arah kaca dan mencoba menutupi wajahnya dengan ponsel. Merasa sudah aman, Aruna mengelus dadanya dan menghela napas lega. Baru saja hendak menghampiri Ardis, Aruna kembali berhenti dan bersembunyi. "Saya sudah menandatangani kontrak tersebut, jadi kita jalankan rencananya," ucap Ardis kepada seseorang di seberang sana. "Rencana? Kontrak?" beo Aruna di balik tembok. "Apa ini ada hubungannya sama perusahaan Jeso?" lanjut Aruna. Aruna yang terus berpikir tanpa sadar Ardis mengerutkan keningnya dan menatapnya dari samping. "Kamu mau di sini terus atau kembali ke kantor?" tanya Ardis dingin. Aruna tersentak dan menoleh ke arah kiri. "Iya, Pak. Maaf." "Minta maaf mulu, lebaran masih lama," sahut Ardis pelan.&n