Aruna menarik selimut sampai ke dada Jeso yang tertidur menghadapnya. Lelaki itu sedari tadi masih memeluk pinggangnya, bahkan matanya telah tertutup dan mendengkur halus. Jika dilihat-lihat wajah Jeso saat tidur sangat tampan, ah Aruna terpaku. Aruna tergerak mengelus tulang hidung Jeso dengan jari telunjuknya.
Bukannya terusik, Jeso semakin merapatkan dirinya ke Aruna. Aruna tersenyum tipis dan mengelus lembut rahang tegas Jeso. Tunggu, lelaki ini sudah berapa lama tidak mencukur bulu halusnya. Tiba-tiba tangan Aruna diarahkan Jeso ke puncak kepalanya.
Aruna cukup peka maksudnya dan pada akhirnya ia mengelus rambut Jeso. Ah, besok berangkat ke Jerman pagi-pagi dan ini sudah jam 1 dini hari. Tanpa Aruna sadari ia terlelap dengan sendirinya. Merasa ada sesuatu yang berada di atas kepalanya, Jeso membuka matanya.
Listrik sudah menyala beberapa menit sebelum Jeso bangun. Jeso mendongak ke atas, Aruna tertidur di atas kepalanya. Akhirnya Jeso memindahkan dan memposisikan Aruna agar ia tidur dengan nyaman. Jeso menatap Aruna yang terlelap dan menarik selimut sampai ke dada Aruna.
Cupp...
Jeso mengecup lembut kening Aruna dan memeluk pinggang Aruna, serta menyusupkan wajahnya ke leher Aruna. Aruna memiringkan badannya dan memeluk Jeso.
***
Pukul 05.00, Aruna terbangun. Melihat Jeso yang masih terlelap, perlahan-lahan Aruna memindahkan lengannya yang di pinggangnya. Lalu, pergi ke kamar mandi dan menunaikan sholat Shubuh. Setelah selesai sholat, ia menyiapkan sarapan dan pakaian untuk berangkat ke Jerman.Selesai mandi dan menata diri, Aruna membangunkan Jose pelan-pelan. Jujur ia tidak ingin mengganggu lelaki itu tidur, tapi ini sudah 05.30 dan mereka harus berangkat pukul 06.00.
"Je, bangun." Aruna menepuk pelan pundak Jeso. Akan tetapi, lelaki itu masih terlelap.
Aruna mendekat dan hendak berbisik, tapi tiba-tiba Jeso berbalik sehingga bibirnya mencium pangkal hidung Jeso. Untung pangkal hidung. Aruna langsung menegapkan badannya dan merapikan rambutnya yang tidak berantakan. Jeso membuka matanya perlahan, mencoba bersikap biasanya. Padahal sejujurnya ia terkejut saat bibir mungil itu mengecup pangkal hidungnya.
"Kenapa?" tanya Jeso dengan suara serak khas bangun tidur.
"30 menit lagi jam 6." Aruna beranjak dari duduknya dan keluar kamar.
Jeso terkekeh kecil. Ia bisa melihat wajah Aruna yang memerah malu.
Setelah sarapan, mereka berangkat menuju bandara. Sesampainya di bandara, Jeso langsung menggenggam jemari Aruna dan melangkah untuk segera take off.
Jeso duduk di samping kanan Aruna. Aruna yang tengah mendengarkan lagu di earphone menoleh.
"Snack?" tanya Jeso. Aruna menggeleng dan kembali mendengarkan lagu.
Jeso meraih salah satu earphone Aruna, awalnya ia terkejut. Namun, setelahnya ia bersikap normal.
***
17 jam di perjalanan, kini mereka duduk di mobil menuju hotel. Aruna menatap takjub sepanjang perjalanan. Suasana malam Jerman benar-benar menyita perhatiannya. Ini juga adalah impiannya untuk mengelilingi dunia, tapi Tuhan malah menakdirkannya menikah duluan.Melihat Aruna yang menggemaskan itu, Jeso merapikan rambut Aruna yang keluar dari ikatannya. Aruna menoleh dan menaikkan alisnya.
"Biasa aja kali lihatnya," ucap Jeso.
"Mata-mata gue, terserah gue lah," ketus Aruna dan kembali menatap kaca jendela mobil. Jeso terkekeh kecil.
Mobil berhenti di depan sebuah hotel ternama di Jerman. The Ritz-Carlton, benar-benar menyita perhatian Aruna. Mereka menuju ke kamar VVIP. Memesan satu kamar? Tentu saja.
Sesampainya di depan kamar, Aruna berhenti melangkah dan berdiam mematung. Jeso yang merasa ada sesuatu berbalik dan mengerutkan keningnya bingung.
"Masuk," titah Jeso.
"Sekamar?" tanya Aruna.
"Sekandang. Ya iyalah sekamar. Kenapa? Ngga mau? Toh juga kemarin-kemarin satu ranjang."
Aruna menggembungkan pipinya dan memasuki kamar malas. Jeso semakin dibuat bingung dengan Aruna. Apa salahnya sekamar, toh mereka suami-istri.
"Okey Aruna, ini udah malam. Ngga usah bad mood dan ayo kita tidur," batin Aruna. Ia beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Jeso yang selesai mengecek jadwal untuk besok langsung membanting tubuhnya ke kasur. Tak lama ia terlelap dengan baju yang belum terganti. Aruna yang selesai membersihkan diri, menghembuskan napas jengah menatap lelaki yang tertidur tidak dengan semestinya posisi tidur. Setelah menaruh handuk di tempatnya dan koper di sebelah lemari di sana.
Aruna berjalan mendekat ke arah Jeso dan memposisikan Jeso ke posisi yang seharusnya. Posisi yang serong kini berganti lurus. Aruna membuka jaket kulit Jeso perlahan dan membuka kancing kemeja atas Jeso, serta melonggarkan ikat pinggang Jeso. Tak lupa melepas sepatu Jeso.
Kemudian ia mengambil bantal di samping Jeso dan merebahkan dirinya di sofa yang lebih lebar dari sofa di apartemen Jeso. Keduanya terlelap dengan tenang sentosa.
***
Drttt...Aruna meraba meja di depannya. Ia membuka perlahan matanya, walaupun ia masih mengantuk. Alarmnya berbunyi, tapi bukannya bangun Aruna justru mematikan alarm dan kembali tidur. Sampai akhirnya tanpa mereka sadari jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi.
Aruna bangun dan mengecek jam di ponselnya. Ia melotot sempurna dan langsung membangunkan Jeso.
"Je bangun Je," ucap Aruna.
"Je ini udah siang, kamu ngga meeting?" Aruna mengguncangkan lengan Jeso.
Sang empu hanya berdehem dan masih menutup matanya. "Ck, Je."
Jeso membalikkan tubuhnya menghadap Aruna dan perlahan membuka matanya.
"Ini udah siang loh," ucap Aruna.
"Udah tahu," sahut Jeso.
"Ya kalau udㅡ"
Jeso menarik Aruna ke sisi kanannya, sehingga membuatnya berada di pelukannya.
"Jeso!" kesal Aruna.
"Meeting gue masih jam 2 siang dan gue masih ngantuk."
"Okay, tapi gue mau mandi."
"Ya udah mandi tinggal mandi 'kan."
"Masalahnya sekarang lo meluk gue."
Jeso membuka matanya dan menatap Aruna lekat. "Mandi bareng," ucap Jeso dan menaikkan satu alisnya menggoda.
"In your dream!" Aruna mencoba berdiri dan setelah lepas dari sang singa ia masuk ke kamar mandi. Jeso kembali ke alam mimpinya.
Sembari menunggu Jeso bangun, Aruna keluar diam-diam. Ia ingin melihat Jerman. Baru saja menutup pintu, Aruna dikejutkan oleh seorang lelaki. Tak lain adalah sekretaris Jeso. Namanya Fakrus Lesmana, akrab disapa Fakrus.
Ia sudah bekerja cukup lama dengan Jeso, terbilang sejak Jeso merintis karir. Tak ayal jika lelaki berusia 28 tahun itu sangat mengenal bos-nya. Fakrus sudah menikah dan dikaruniai dua anak kembar perempuan.
"Nyonya mau kemana?" tanya Fakrus sopan.
"Ck, dikata gue emak-emak manggilnya nyonya. Panggil aja Ana."
"Tapiㅡ"
"Ana."
"Baik, Ana."
"Ngga usah terlalu formal. Biasa aja, toh aku juga bukan bos kamu."
"Tapi Anda istri bos saya."
"Terserah deh." Aruna melangkah pergi meninggalkan Fakrus yang menatapnya bingung.
Aruna turun ke lantai bawah dan mencari sepeda. Kenapa sepeda? Karena ia suka bersepeda dibanding dengan kendaraan lain. Ini juga sehat kan.
Tak butuh waktu lama ia mendapat spot penyewaan sepeda. Aruna pun mengayuh untuk berkeliling. Aruna mengembangkan senyum bahagia.
"Bahagiaku sederhana. Menikmati apa yang sederhana, tanpa ada embel-embel kemewahan."
Aruna menatap takjub tembok-tembok yang berjejer dengan berbagai coretan indah di sana. East Side Gallery menjadi destinasi pertama Aruna. Jujur ia tidak tahu mau kemana, tapi tak butuh perjalanan jauh ia tiba di sini. Aruna menyandarkan sepedanya di pos dan berkeliling."Kamu tidak perlu terlalu banyak tujuan, karena kamu akan melewatkan ada spot bagus jika kamu terlalu fokus dengan tujuanmu."Aruna mengembangkan senyum manisnya. Entah kenapa setiap coretan yang tercipta di sana ada penumpahan rasa. Ini membuat Aruna merasa bisa menjelajah dunia fantasi. Sudah lama ia tidak berkeliling, menikmati kehidupan sederhana.Selama ini ia sibuk dengan lembaran-lembaran kertas dan dunia bisnis yang ia pelajari. Ia tak punya waktu bermain, atau me time. Rencana mendirikan perusahaan sendiri pun tidak tercapai, ya kalian tahu lah apa sebabnya. Namun, Aruna tidak terlalu memusingkan itu. Ia percaya Tuhan punya sesuatu indah suatu saat nanti, tugas kita hanya menik
Aruna merebahkan tubuhnya dan menatap langit-langit kamar hotel.Ting...Aruna meraih ponselnya yang tergeletak di sampingnya. Ada pesan dari Ibu Sambungnya."Aruna bisakah kamu memberikan Mama uang? Kebutuhan dapur habis dan scincare Mama."Aruna menghela napas. Sampai kapan Ibunya itu selalu mementingkan fashion dan fashion. Akan tetapi, bagaimanapun juga Ibu sambungnya telah merawatnya selama ini. Walaupun, kasih sayangnya ke Liza lebih besar daripada kepada dirinya.Aruna mengirimkan sisa tabungannya, sebesar Rp 2.000.000. Ia harus berhemat, kalaupun Jeso memberikan uang untuk bulanan. Namun, itu bukan haknya sepenuhnya. Uang yang Jeso berikan kepada Aruna ia gunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari dan menabungnya, itupun Aruna membuka rekening baru untuk menyimpan uangnya. Mana mungkin ia lupa jika ia hanya istri sementara.Merasa badannya perlu diguyur air, Aruna memutuskan mandi. Selesai membersihkan diri dan men
Aruna membuka matanya perlahan dan meraih ponselnya di meja. Pukul 06.30, lagi-lagi ia telat bangun. Aruna berjalan lunglai sembari membuka tirai. Terpampang indah suasana pagi hari di Jerman. Aruna menggeser pintu kaca dan mendekati pembatas balkon.Aruna menghirup napas serakah. Udara pagi hari adalah hal langka bagi orang sibuk dan Aruna salah satunya. Bola mata Aruna berkeliling menikmati indahnya panorama pagi di Jerman. Saking fokusnya dengan apa yang ia lihat, tanpa ia sadari seseorang berdiri di sampingnya dan juga menatap lurus ke depan.Aruna menoleh dan berjingkat kaget. Jeso menaikkan alisnya kala Aruna memegang dadanya menetralkan degup jantungnya. Aruna memilih pergi untuk mandi, tapi cekalan tangan Jeso membuatnya menoleh."Gue laper," cengir Jeso. Aruna mengangguk paham dan melepas cekalan Jeso.Ia mengambil ponselnya dan menghubungi Frakus untuk membawakan sarapan ke hotel. Selesai mengirimkan pesan, Aruna merapikan is
Jose mengusap kening Aruna dengan tisu. Wajah pucat itu berangsur membaik."Pak Pram bisa nyalakan AC-nya," ucap Jeso.Supir yang bernama Pramana itu menyalakan AC mobil. Namanya Indonesia ya? Memang, sebab Pram adalah supir terpercaya Jose dari Indonesia. Jose sering mengikutsertakan Pram dalam perjalanan bisnisnya, sebab Jose tidak mudah percaya dengan orang baru. Pramana juga terbilang handal dalam menguasai rute, walaupun itu di luar negeri.Aruna membuka matanya perlahan dan memegang kepalanya yang masih sedikit pening. Jose merapikan rambut Aruna ke belakang. Pram menyodorkan air mineral ke Aruna dan diterima Jose."Minum," titah Jose setelah membuka tutup botolnya.Aruna meraih botol itu dengan kondisi lemas. Ditenggaknya minuman itu dengan bantuan Jose tentunya. Merasa masih belum bisa bergerak banyak, Aruna kembali menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi."Pak kita balik ke hotel," ucap Jose. Aruna m
Jeso menatap Aruna dan mengelus pipi gadis itu. Aruna hanya menatap lurus dan kedua lengannya masih bergelantung di leher Jeso. Jujur Aruna masih belum tersadar, entah kenapa bibir Jeso membiusnya seperti ini. Lihatlah ia membiarkan Jeso mengambil first kissnya, bahkan ia meladeninya."Masih mau di sini?" tanya Jeso. Aruna tersadar dan menggeleng polos. Jeso tersenyum dan naik ke atas, diikuti Aruna yang juga naik ke atas.***Sesuai dengan rencana malam ini, selesai mandi dan makan malam Aruna bersiap-siap. Namun, baru saja hendak masuk ke kamar mandi. Suara Jeso menginterupsinya dari ambang pintu, Jeso berjalan mendekat ke arah Aruna."Pakai ini," ucap Jeso."Apa ini?" tanya Aruna sembari mengambil paper bag tersebut.Aruna membuka kotak hadiah berwarna hitam dari dalam paper bag. Aruna membulatkan matanya sempurna."Gaun?" tanya Aruna. Jeso mengangguk.Aruna mengambil gaun tersebut dan mengamatiny
Jeso menggendong Aruna menuju kamar hotel. Gadis itu tertidur selama perjalanan, jadi Jeso tidak tega membangunkannya. Setelah pintu kamar terbuka, pelan-pelan Jeso membaringkan Aruna. Jeso melepas aksesoris di rambut Aruna dan high heels Aruna.Jeso menelan salivanya gelagapan saat melihat dada Aruna yang hampir terekspos penuh. Ingatkan Jeso untuk tidak memberikan gaun seperti ini pada Aruna. Ia harus habis-habisan menahan nafsunya. Segera Jeso menarik selimut sampai leher Aruna dan ia membersihkan dirinya di kamar mandi.Selesai ganti baju, Jeso merebahkan dirinya di samping Aruna yang masih terlelap. Baru saja memejamkan mata Jeso mengerutkan dahinya saat Aruna bangun dan memegang perutnya."Kenapa?" tanya Jeso. Aruna menggeleng dan beranjak masuk kamar mandi.Jeso menatap heran Aruna, tapi ujungnya ia memilih tidur kembali. Merasa sudah lama Aruna di kamar mandi membuat Jeso dibuat semakin bingung. Akhirnya, Jeso mengetuk pintu kamar ma
Jeso yang hendak membuka pintu mobil terhenti saat Aruna memanggilnya. Jeso berbalik dan menaikkan kedua alisnya. Aruna mendekat dan mengambil tangan kanan Jeso, lalu mengecupnya singkat dengan diakhiri senyuman. Jeso mengerutkan dahinya. "Habis kepentok apaan nih bocah?" batin Jeso. "Adab istri pada suami," jelas Aruna. Jeso menganggukkan kepalanya dan masuk kembali ke dalam mobil. Jeso mengklakson Aruna dan dibalas anggukan oleh gadis itu. Untuk menikmati perjalanan, Jeso memutar pelan musik. Tiba-tiba matanya melirik sesuatu di bangku penumpang sampingnya. Sebuah paper bag terduduk manis di sana. Sesampainya di kantor baru Jeso membuka isi paper bag itu. Kotak makanan lengkap dengan makanan tentunya menyita senyum Jeso. "Jangan lupa makan siang." Jeso tersenyum membaca tulisan dari Aruna pada sebuah kertas kecil yang tertempel di atas tutup bekal. Perhatian kecil yang akan selalu Jeso rindukan, kelak.
Jeso membuka pintu rumahnya, ia pulang cukup larut malam ini. Pastinya ulah pekerjaannya, bukan Anggun ya kawan. Jadinya, ia tidak tega membangunkan Aruna yang pasti sudah tertidur. Setelah masuk, dahi Jeso berkerut dan ia menyipitkan matanya. Memastikan apa yang ia lihat benar. "Runa?" lirih Jeso. Jeso mendekat ke arah Aruna yang tertidur di meja makan dengan buku yang terbuka di sampingnya. Gadis itu menunggunya atau ketiduran? "Hei?" Jeso menggoyangkan pundak Aruna. Aruna menegapkan badannya dan membuka perlahan matanya. Jeso duduk di depan Aruna, tepatnya di samping kiri gadis itu. "Kenapa tidur di sini?" tanya Jeso dan merapikan rambut Aruna. "Ketiduran," sahut Aruna sembari menutup mulutnya yang menguap. "Nunggu gue?" "Dih ngga lah, ketiduran karena baca buku." Jeso berdecak, padahal ia berharap jawabannya iya. Eh ternyata bukan. "Ya udah pindah ke ka
"Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, maaf nih saya ganggu waktu nontonnya sebentar. Begini, ini ada Bapak sama Ibu dari kota yang mau gabung nonton sekaligus traktir makan buat semua yang ada di sini," ucap Ibu penjaga rumah makan. Aruna dan Jeso tersenyum menyapa seluruh orang yang bersorak bahagia di sana. "Silahkan Pak, Bu. Mari sini duduk, masih ada tikar kosong kok," ucap seorang lelaki paruh baya dengan peci di kepalanya. Jeso mengangguk dan menggandeng Aruna menuju tempat dimana sebuah tikar yang sudah terpasang sempurna, tepat di bawah pohon. "Maklum Pak, Bu, seadanya," timpal seorang wanita dengan hijab panjang warna pink. "Tidak apa-apa, Bu. Diterima dengan baik saja sudah cukup kok," jawab Aruna sopan. "Silahkan dinikmati, Pak, Bu." "Terima kasih, Bu." "Kalau perlu sesuatu jangan sungkan ya, Pak. Saya ketua RT di sini, nama saya Pak Samsul," ucap lelaki paruh baya tadi. Jeso menyambut
"Mm." Aruna membasahi bibirnya. "Sahabatku kerja di sana, Kak." Della membola. "Serius?" Aruna mengangguk. "Wahh, sepertinya kita punya misi penting Aruna." Baru saja hendak bertanya, makanan sudah tiba di meja mereka. Ternyata Della memesan cukup banyak. "Hehe, maaf ya. Aku kalau makan emang banyak," ucap Della diakhiri senyum lebarnya. Aruna tersenyum maklum dan mengangguk. "Santai aja, Kak." "Aku makan dulu, sambung setelah makan. Okay?" Aruna mengangguk dan menyesap kopinya. Satu hal yang Aruna kagum dari Della, sekalipun ia makan banyak. Akan tetapi, tubuhnya tetap ternyata langsing. Bisa Aruna pastikan ini akan membuat iri banyak orang di luar sana, padahal jika dipikir lagi pasti Della juga ingin gemuk. Namun, ia tidak bisa. Persis seperti Aruna. Mau digimanain lagi, ya udah ini dia. Menerima itu lebih baik, tidak usah iri dengan yang lain. "Kamu beneran ngga mau pesan maka
"Je, may I come in?" tanya Aruna. Jeso yang tengah berbaring menoleh ke belakang. "Tumben izin, biasanya asal nyelonong aja," sahut Jeso. Aruna berdecak dan berjalan ke arah ranjang. "Aku boleh ngomong sesuatu ngga?" tanya Aluna setelah duduk di tepi ranjang. Jeso berbalik dan memundurkan tubuhnya, menepuk sisi depannya yang kosong mengisyaratkan agar Aruna tidur di sampingnya. Aruna menurut dan membaringkan tubuhnya ke sisi kiri Jeso. "Mau ngomong apa?" tanya Jeso. Aruna memiringkan tubuhnya menghadap Jeso. "Kamu keberatan ngga--" "Ngga." Aluna mencapit hidung Jeso dengan kedua jarinya. "Aku belum selesai ngomong!" kesal Aruna. Jeso tertawa. "Keberatan soal apa? Kamu di atas aku? Ngga masalah." Aluna berdecak. "Pikiran kamu tuh sekali-kali jangan sex bisa ngga sih?" "Ngga bisa, 'kan aku cowok." "Ya tahu, tapi ya jangan selalu soal itu lah
Aruna mengintip dari balik tembok, di sana Jeso dan Ardis tengah bercengkrama sebentar sebelum Jeso pergi. Saat Jeso melintas di depannya, sontak Aruna langsung menatap ke sisi kanan. Tepatnya ke arah kaca dan mencoba menutupi wajahnya dengan ponsel. Merasa sudah aman, Aruna mengelus dadanya dan menghela napas lega. Baru saja hendak menghampiri Ardis, Aruna kembali berhenti dan bersembunyi. "Saya sudah menandatangani kontrak tersebut, jadi kita jalankan rencananya," ucap Ardis kepada seseorang di seberang sana. "Rencana? Kontrak?" beo Aruna di balik tembok. "Apa ini ada hubungannya sama perusahaan Jeso?" lanjut Aruna. Aruna yang terus berpikir tanpa sadar Ardis mengerutkan keningnya dan menatapnya dari samping. "Kamu mau di sini terus atau kembali ke kantor?" tanya Ardis dingin. Aruna tersentak dan menoleh ke arah kiri. "Iya, Pak. Maaf." "Minta maaf mulu, lebaran masih lama," sahut Ardis pelan.&n
Aruna kembali menatap minumannya setelah memastikan Jeso tidak berulah dengan Ayahnya. Ya, memang lelaki itu tidak seburuk itu. Ah, Aruna hanya takut lelaki itu bisa berbicara aneh-aneh. Bukan soal kontrak mereka, tapi ya mungkin hal lain. Entahlah lupakan, hanya kekhawatiran sesaat. Saking asiknya menatap cairan dalam gelas, Aruna tidak menyadari ada seseorang berdiri di sampingnya menandinginya dengan kening berkerut. "What's happen with you, mu daughter-in-law," ucap Erni. Aruna langsung teralih dan tersenyum. "Nothing, Mam. Mama sama Ayah?" Erni mengangguk. "Dia sedang bernostalgia dengan anaknya." Aruna membalikkan badan, tak jauh dari sana Jeso sedang bercengkrama dengan Woni. "Ah, gimana kabar kalian?" tanya Erni sembari mengambil beberapa buah dessert di sana. Aruna kembali menatap Erni dan tersenyum. "Everything okay, Mam." Erni tersenyum dan mengangguk senang. "Mama tahu kamu bisa
Aruna terdiam. Parfum Ardis memang soft, tapi wanginya akan lama menempel jika berada di dekatnya. And you know lah, seharian dia bolak-balik ke ruangan lelaki itu bahkan mengikuti rapat yang dimana posisi duduk mereka selalu berdekatan. "Honey," panggil Jose, membuyarkan lamunan Aruna. Lebih tepatnya, diamnya Aruna yang entah harus menjawab seperti apa. "Emm, ah iya tadi calonnya kak Liza 'kan datang. Ya dia lelaki dengan selera parfum yang benar-benar anti-mainstream," alibi Aruna. Jeso mengerutkan keningnya. "Apa kalian banyak menghabiskan waktu berdekatan?" Aruna meneguk salivanya samar dan meringis. "Ya aku harus akrab dengannya, bukan?" Jeso membuka mulutnya, tapi detik selanjutnya ia memutuskan untuk menghentikan sesi wawancara ini. Pasalnya, ia tidak ingin menyia-nyiakan waktu saat ini. "Sudahlah lupakan, kita lanjutkan." Tanpa menunggu balasan Aruna, Jeso kembali menyusuri tubuh Aruna deng
Hai readers, gimana nih kabarnya? Aku harap kalian baik-baik saja ya. Jangan lupa jaga kesehatan dan selalu bahagia ya. Niatku membuat ini untuk mengucapkan terima kasih atas keluangan waktu kalian membaca novel ku ini. Ini adalah karya pertamaku di sini, aku harap kalian benar-benar menikmati ini and I hope your coment, guys. Maaf jika mungkin terkesan tidak sehebat novel hebat lain, but I'll always do my best. So, maybe there's a review later to give you comfort and convenience. Jangan lupa ajak temen-temen kalian buat baca yuk, siapa tahu cocok. Kayak Jeso sama Aruna. Wkwkwk. Sekali lagi, thanks a bunch, guys. Enjoy yash. And, I wish I could finish this novel well. Jangan lupa ya, ambil hikmah ceritanya. Jangan enaknya aja. Wkwkwk, just kidding, guys. See you next part and big love for you.
Aruna menatap sepatu formalnya, perkataan Jeso tadi pagi membuatnya terus berpikir, "Ada apa dengan Jeso?". "Bu Aruna, silahkan masuk ke ruangan untuk wawancara akhir," ucap wanita yang menjabat sebagai HRD membuyarkan lamunan Aruna. Aruna mengangguk dan tersenyum, lalu masuk setelah mengucapkan terima kasih. Aruna menatap pintu di depannya, baru saja hendak masuk. Akan tetapi seorang lelaki keluar dan menatap Aruna sejenak. "Aruna?" tanyanya sembari menunjuk Aruna dengan map di tangannya. Aruna mengangguk dan tersenyum. "Langsung aja, ikut saya rapat." Aruna melongo sempurna. Tunggu, wawancaranya bagaimana? Bentar, kok langsung ikut rapat. "Hei, rapat ini tidak menunggu dirimu ya, Aruna," ucap lelaki itu setelah berbalik dan melipat tangannya di dada. Aruna tersadar dan menunduk meminta maaf. Lalu, mengikuti langkah lelaki di depannya. Sepanjang langkahnya, Aruna menatap punggu
Aruna membuka matanya perlahan, lalu menoleh ke kanan tepatnya ke sumber cahaya. "Jam berapa ini?" tanyanya dengan suara serak. Tidak ada sahutan, padahal entah kepada siapa dia bertanya. Namun, tiba-tiba suara dengkuran menerpa telinganya. Aruna menoleh, di sisi kirinya seorang lelaki yang tak lain tak bukan sudah membuatnya tidak tidur semalaman kini dengan seenak jidat ia menampilkan wajah imutnya saat tidur. "Emang dasar Jeso," dumel Aruna pelan. Aruna memiringkan tubuhnya, walaupun selangkangannya perih saat ada gesekan di bawah sana. Mau tahu ulah siapa? Ya pastinya biang kerok Jeso lah. "Je, kamu ngga bangun?" tanya Aruna sembari merapikan rambut Jeso ke belakang. Bukannya bangun, Jeso malah mengeram kesal dengan mata tertutup. "Seharusnya aku yang capek, kamu main tanpa jeda," gerutu Aruna. "Udah tugas kamu," sahut Jeso masih menutup mata. Aruna berdecak.